Tuesday, May 17, 2016

Marhaban ya Sweeping Buku

Oleh Muhidin M. Dahlan*

DAMPAK dari Pengadilan Rakyat Internasional atau International People's Tribunal untuk korban pembantaian masal 1965 di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 melahirkan sebuah simposium terpenting sejak Orde Harto tumbang. Simposium tragedi 1965 di Jakarta pada 18-19 April lalu itu tak hanya menunjukkan respons positif pemerintahan Jokowi atas pelanggaran berat HAM masa lalu, tapi juga menjadi panggung untuk melihat bagaimana elite politik dan para jenderal berpikir dan berkata-kata.

Salah satu kutipan paling penting dalam 18 tahun reformasi berjalan saya kira yang diucapkan jenderal berdarah panas yang juga menjabat menteri pertahanan, Ryamizard Ryacudu: "Pancasila adalah ciptaan Tuhan". Konteks ucapan itu ada¬lah semua takfiri Pancasila mesti menyingkir sejauh-jauhnya jika ingin berhadapan dengan laskar dan jenderal-jenderal titisan Tuhan. Setelah itu, meledaklah di media sosial agitasi gerakan sapu bersih. Salah satunya isu sweeping buku.

Saat diskusi buku Ideologi Saya Adalah Pramis di pergelaran Jogja Itoe Boekoe pada pekan pertama Mei di UIN Sunan Kalijaga, Cak Udin (santri lapak buku murah) menceritakan pengalamannya yang tak tersebar luas ke media massa. Saat membuka lapak bertajuk "Buku Murah" di Gresik dan Pare, Kediri, Jawa Timur, semua buku kiri yang dijualnya dengan modal pas-pasan disikat dan diambil begitu saja oleh aparat yang katanya sudah mendapat mandat dari "atasan".

Cak Udin yang notabene santri itu hanya bisa masygul. "Mending mbayar. Ngambil gitu saja. Itu pakai modal (maaf, Red), cuk!" katanya. Dia seakan tak percaya, sweeping buku secara semena-mena tetap dilakukan bahkan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut Undang-Undang (UU) Pelarangan Buku pada 13 Oktober 2010. Pencabutan UU itu menandaskan bahwa perkara pelarangan buku diselesaikan lewat pengadilan dan bukan kesewenang-wenangan di lapangan.

Namun, ini soal penyakit yang kambuh. Semulia-mulianya UU tak bisa mematahkan penyakit kambuhan bernama paranoia terhadap bacaan. Mei ini pekerja buku di Jogja sedang dilanda waswas munculnya seruan teror sweeping buku kiri yang bahkan menunjuk langsung nama-nama penerbit yang bakal disikat.

Masih terlalu segar diingat bagaimana nyaris sepanjang bulan Mei, 15 tahun yang lalu, Jakarta dan Jogjakarta dikagetkan dengan praktik perampasan buku yang masif. Diawali dengan patroli Aliansi Anti Komunis (AAK) yang mengumpulkan dan membakar buku-buku kiri, antara lain Pikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno, tetralogi Pulau Buru dan Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, Hubungan Soeharto dan Kup Untung karya Wertheim, Bayang-Bayang PKI (Stanley, ed), Lenin: Pikiran, Tindakan, dan Ucapan karya Edy Haryadi cs, dan Dari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka. Buku-buku Mao, Lenin, dan Che Guevara juga turut disapu.
Lantaran terlalu bersemangatnya, di Jogjakarta, misalnya, buku yang menampilkan tokoh berjanggut lebat juga diembat. "Karya Yusuf Qardhawi saja dirampas laskar-laskar itu hanya karena janggutnya dan tak mengetahui isinya sama sekali," kata penulis Eko Prasetyo suatu ketika.

Mereka tidak hanya berbaris di antara rak-rak di toko buku, tapi juga menyerbu kos dan kontrakan mahasiswa di kawasan Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Buku kiri tersebut dikumpulkan dan langsung dibakar di depan mahasiswa. 

Aliansi yang terdiri atas 33 organisasi massa tersebut bisa seberani itu karena ada lampu hijau dari serdadu loreng dan cokelat. Bahkan, mereka ingin pula membongkar Tugu Tani di Jakarta Pusat karena itulah simbol komunis yang tersisa di jantung ibu kota dengan sebutan angkatan ke-5.

Orang-orang buku repot betul dengan peristiwa 15 tahun silam di bulan Mei itu. Tokoh-tokoh cendekia berhimpun dan menyatakan pendapat. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) yang membawahkan 325 penerbit buku se-Indonesia bersama asosiasi perbukuan bahkan mendatangi Kapolri, Kejaksaan Agung, dan DPR. Organ Gabungan Toko Buku Indonesia juga angkat suara.

Segala kerepotan 15 tahun silam itu tampaknya diulangi dengan setepat-tepatnya, sepandir-pandirnya. Internet yang me¬nawarkan keterbukaan informasi dan keluasan bacaan tanpa batas sepertinya sama sekali tak punya bekas apa-apa untuk mempertahankan akal sehat dan menahan diri melakukan perbuatan banal.

Jenderal-jenderal kita saat ini di kepolisian dan ketentaraan melakukan reaksi balik atas tuntutan pengungkapan HAM berat masa silam dengan cara-cara purba. Tindakan yang kita saksikan akhir-akhir ini dengan memakai kerumunan tangan sipil jauh dari impi-impi ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Wirahadikusumah berjibaku melakukan reformasi di tubuh TNI pasca '98.

Antara peristiwa 1965 yang "dijual" kelewat bersemangat oleh pemerintah Indonesia di Frankfurt Book Fair setahun silam rupanya tak menyentuh sama sekali pada nalar jenderal-jenderal berdarah panas dalam negeri. Pada akhirnya, mari ucapkan (lagi): marhaban ya sweeping buku!

*) Pendiri @warungarsip Jogjakarta
dimuat di opini JawaPos, 12/5/2016

Amnesia Buku



Hasil studi deskriptif yang dilaksanakan Central Connecticut State University, AS, yang diumumkan belum lama ini, telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti dalam hal literasi para warganya. Orang bisa saja memperdebatkan validitas penelitian ini. Namun, sesungguhnya hal ini tak terlalu mengagetkan kita. Sebelum ada penelitian ini pun kita sudah merasakan banyak indikasi yang mengarah ke sana. Misalnya, dalam angka proporsi jumlah judul buku yang terbit terhadap jumlah penduduk.

Belum lagi jika kita lihat fenomena "kutukan 3.000 eksemplar" -yakni jumlah rata-rata buku terjual untuk setiap judul buku yang terbit. Jangan bandingkan dengan Jepang yang penduduknya memang gila baca, apalagi negara-negara maju dan berbudaya baca tinggi, seperti Finlandia. Turki saja, yang jumlah penduduknya hanya sedikit di atas sepertiga penduduk negara kita, jumlah rata-rata cetak-pertama setiap judul buku bisa mencapai 10.000 eksemplar. Lebih parahnya lagi, seperti dengan tepat diungkapkan oleh Tajuk Rencana Kompas(21/4/2016), tantangan peningkatan minat baca kita lebih besar daripada yang dialami negara-negara maju. Meningkatkan minat baca Ketika kita belum lagi berhasil dalam mengembangkan budaya baca yang merata, dan negeri kita masih didominasi oleh budaya tutur, masyarakat kita sudah masuk ke budaya audio-visual (radio dan TV) yang lebih mudah menyedot perhatian masyarakat.

Tambahan lagi, dalam pergulatan penuh susah payah dengan budaya audio-visual itu, kita sudah "terpaksa" larut dalam budaya digital. Sebenarnya, teknologi digital sampai batas tertentu juga mengembalikan budaya baca kepada masyarakat, baik lewat akses kepada berbagai tulisan di internet melaluisearch engine yang ada maupun melalui berbagai sarana media sosial, seperti situs web,blog, Facebook, dan Twitter.  Akan tetapi, di sisi lain, tantangannya justru menjadi makin besar. Di satu sisi, tantangan peningkatan minat baca secara umum masih menghantui.

Di sisi lain, besarnya pasokan informasi yang menerpa serta sifat sebagian besar tulisan yang tersedia di media digital telah menyebabkan para pengguna internet mengakses lebih banyak tulisan-tulisan pendek yang kurang keluasan dan kedalaman. Yang lebih mengkhawatirkan,  alasan praktis pemilihan bahan bacaan ini dalam waktu panjang bisa mempermanenkan habit keengganan membaca buku,  dalam makna bahan bacaan yang memiliki keluasan dan kedalaman yang memadai. Dengan kata lain, yang diminati para konsumen bahan-bahan bacaan digital hanyalah yang memiliki tingkat "ketuntasan" yang rendah, khususnya anggota generasi muda yang termasuk dalam golongan"digital natives" (penduduk pribumi dunia digital). Bukan saja mereka kehilangan ketelatenan membaca buku yang memiliki keluasan dan kedalaman yang cukup akibat dimanjakan oleh teknologi komputer yang menawarkan kecepatan tinggi untuk mengakses banjir informasi yang ada di internet, gaya mereka mencari informasi yang bersifat multi-tasking juga telah memperparah gejala ini. Hal ini kiranya juga didorong sifat sarana digital yang belum sepenuhnya senyaman medium buku cetak sehingga lebih cepat mengakibatkan rasa capai (fatigue). Hal yang terakhir ini lebih terasa khususnya bagi generasi "digital migrant" (penduduk imigran dunia digital) yang tak seterbiasa generasi yang lebih belakangan dalam menggunakan perangkat pembaca (reader) elektronik. Apalagi di waktu- waktu belakangan ini, ketika telepon pintar berlayar kecil telah mulai merampas fungsi PC/laptop ataupun tablet sebagai reader.

Maka, faktor fatigue dan ketaktelatenan akibat kekurangnyamanan dalam membaca pun memberikan dampak lebih besar dalam hal penurunan daya baca masyarakat. Lalu terciptalah suatu lingkaran setan yang makin memperburuk keadaan: produsen informasi mulai terdorong untuk menerbitkan bahan-bahan bacaan-  mereka sebut buku juga-dengan panjang tulisan yang jauh lebih pendek demi memuaskan tuntutan gaya baru membaca buku (digital) ini. Sering kali bahkan hanya terdiri dari belasan halaman. Jika sebelumnya Neil Postman,  melalui bukunya yang berjudul Amusing Yourself to Death, mengkhawatirkan generasi yang tak tahan kesusahpayahan belajar dan mencari ilmu akibat terpaan teknologi audio-visual, kini apa yang ditakutkan Nicholas G Carr tentang akan lahirnya generasi "orang-orang dangkal" (the shallows) makin tampak di depan mata. Nasib industri penerbitan Ada ancaman besar bahwa generasi muda kita,  meski memiliki keragaman informasi, akan menderita kekurangan besar dalam hal kedalaman dan keluasan ilmu (bukan sekadar informasi).  Dan hal ini membawa kita kepada diskusi tentang masa depan industri penerbitan di masa digital.  Akan tetapi, sebelum sampai ke sana, penting kita pahami sentralnya peran industri penerbitan dalam peningkatan literasi masyarakat. Industri penerbitan pada dasarnya menjalankan beberapa fungsi sekaligus. Pertama, fungsi kurasi, yakni penyeleksian bahan-bahan bacaan yang dipandang layak untuk dilempar ke pasar bebas gagasan. Dan di dunia digital masa depan, fungsi ini justru akan menjadi makin krusial mengingat besarnya pasokan bahan bacaan, meskipun itu hanya kita batasi dalam bentuk buku, yang akan membanjiri kita. Seperti ditulis Michael Bhaskar dalam kolomnya yang berjudul "The Real Problem" (Publishers Weekly,  14 April, 2016), jumlah buku yang diterbitkan-  dan ini hanya mencakup buku cetak, jadi tak termasuk buku yang khusus diterbitkan dalam bentuk digital, apalagi artikel-artikel yang bertebaran di internet -tak pernah sebesar sekarang. Di Inggris diterbitkan tak kurang dari 200.000 judul buku per tahun.

Di Tiongkok malah dua kali lipatnya, yakni 400.000 judul buku. Inilah benar-benar suatu masa yang di dalamnya terjadi apa yang  seperti dinubuatkan Marshall Mc Luhan setengah abad lalu, disebutinformation spill-over (peluberan informasi), bahkan banjir informasi. Masih terkait dengan itu, industri penerbitan juga melakukan fungsi distribusi buku. Akan ada lubang besar jika industri penerbitan di suatu negara mengalami kolaps. Self publishing, yang menjadi jauh lebih mudah oleh teknologi aplikasi digital, tak akan bisa melakukan tugas ini. Yang akan terjadi nantinya adalah konvergensi antara penerbit buku yang secara alami juga melakukan fungsi distribusi, seperti sekarang ini, dengan platform-platform digital penjualan buku yang sekaligus melakukan fungsi kurasi dengan cara memperkenalkan fasilitas rating produk dan display buku- buku dengan ratingtertinggi di halaman muka (home) mereka.

Bahkan, seperti yang dilakukan Amazon, platform-platformpenjualanonline malah masuk ke fungsi penerbitan.  Persoalannya,  dengan adanya transformasi dari bentuk cetak ke bentuk digital ini-meski saat ini dampaknya baru amat terasa pada pengurangan kebutuhan (demand) terhadap media massa cetak, lebih khususnya majalah- banyak orang percaya bahwa industri buku pun tinggal menunggu waktu untuk mati. Kegairahan yang saat ini terkesan tetap terpelihara terhadap industri buku cetak terjadi berkat masih adanya lagantara konsumen buku cetak sekarang dan generasi pembaca buku digital yang saat ini masih berumur muda, khususnya para digital natives itu. Namun, hal ini pun tak urung sudah menghantam banyak penerbit relatif kecil yang sudah mulai berguguran pada tahun-tahun terakhir ini.

Toko-toko buku,  dengan alasan yang masuk akal, juga sudah mulai mengurangi ruang displaybagi buku dan memperbesar ruang bagistationery dan produk-produk lain. Dan dengan transformasi industri penerbitan ke era digital, meski- dalam persaingannya dengan artikel-artikel yang bertebaran di internet-buku dalam makna aslinya akan musnah. Kolapsnya industri penerbitan buku ini akan menjadi kenyataan jika industri penerbitan tak mau berubah, lebih-lebih jika tak ada cukup dukungan dari pemerintah yang menyandang peran pengembangan strategi pendidikan dan budaya yang kondusif bagi peningkatan literasi-yakni literasi buku, dalam makna aslinya- di tengah masyarakat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengembangkan kurikulum baca-tulis-secara khusus,  dan bukan hanya sebagai bagian (lebih sering tidak serius) dari pelajaran bahasa Indonesia-di sekolah-sekolah, mulai tingkat paling dasar hingga perguruan tinggi. Juga melalui kampanye-

kampanye gencar dan besar-besaran melalui media massa ataupun pemanfaatan/pengembangan berbagai lembaga pendukung literasi di tengah masyarakat,  seperti perpustakaan-perpustakaan, taman-taman bacaan, dan komunitas-komunitas baca-tulis. Gerakan literasi yang baru-baru ini dilancarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kiranya bisa menjadi awal yang baik bagi upaya-upaya lebih strategis dan masif ke arah ini. HAIDAR BAGIR Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina


Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Seri Poster Hari Buku Nasional #MaklumatBuku #MaklumatKalibedog

baca ‪#‎Maklumatbuku‬ di LBH Yogyakarta bareng ratusan pegiat literasi. Semoga rezim bodoh segera berlalu dengan baca buku. selamat hari buku bung., mari kita rebut kembali pengetahuan yang dirampasnya. selamat hari buku.
menolak bungkam
melawan rezim kepatuhan


Undangan terbuka ðŸ‘Š
Orasi Dan maklumat BUKU JOGJA 
Selasa, 17 Mei 2016 jam 10.00 wib di LBH Yogyakarta (Kotagede).
Saatnya tidak diam �suarakan tanda bahaya.
"Jika rakyat berdaulat atas buku bukunya, maka tak ada penguasa fasis yang bisa berbuat seenak enak hidungnya sendiri" 
Manifesto kalibedog bergenerasi dalam nalar mikroba literasi

Pelaksana tugas Ketua Perpusnas, Dedi Junaedi, mendukung pemberangusan buku-buku berisi pemikiran kiri ‪#‎MaklumatBuku‬‪#‎CopotDediJunaedi‬ ‪#‎Bukuadalahsejarahbangsa‬ 


”Caesar, maukah nama Paduka dikenang anak cucu sebagai tentara barbar yang terlampau bodoh untuk mengerti nilai penting buku-buku?” kata Theodotus kepada Caesar di sebuah adegan dalam lakon Caesar and Cleopatra karya George Bernard Shaw (1856-1950). ‪#‎MaklumatBuku‬#MaklumatBuku #MaklumatBuku #MaklumatBUKU

Pasal 28 F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.


komentar status anak sma di bantul yang saya kenal: Muhammad Bintang Akbar

Kiri atau kanan bukunya, yang penting memajukan bangsa tujuannya. Baca buku itu penting, karena selain membuka wawasan, menajamkan pemikiran tapi juga menguatkan perasaan. Kalau babar blass gak baca buku, nanti memahami relativisme hanya sekedar "Only God Can Judge Me" alias ikut2an tren tanpa tau apa itu terjemahannya .. hihihi .. apalagi nanti ikut2an mbakar buku2 yg dianggap bertentangan dgn ideologi disaat ia lupa apa arti ideologi karena gak baca buku dan tau kata ideologi hanya dari pelajaran waktu dulu masih SD 😛 .. intinya, selamat hari buku yah ..





Jogja menyumbang 40% buku di negeri ini. Lahirnya pemimpin-pemimpin kita dari masyarakat literasi Jogja. Jika pemberangusan ini dibiarkan oleh negara, maka pada dasarnya mereka berkhianat terhadap dasar tumbuh kepemimpinan era pasca Reformasi. Mereka yang melakukan pemberangusan sesungguhnya membunuh manusia-manusia yang memberi inspirasi kebangsaan,”  Garin Nugroho, Calon Walikota Jalur Independent Yogyakarta.




PERNYATAAN BANDUNG #JANGANBAKARBUKU



Bagi rakyat Indonesia, Bulan Mei bukan hanya sekadar keterangan waktu. Tetapi juga bermakna sebagai ingatan atas peristiwa penting dalam sejarah pergerakan kebangkitan nasional 1908, juga perubahan besar yang terjadi dengan Reformasi 1998. Dan setiap tahun, tanggal 17 Mei juga ditetapkan sebagai peringatan Hari Buku Nasional. Kebangkitan Nasional 1908, Reformasi 1998, Hari Buku Nasional; ketiganya bermakna sebagai kesatuan menuju budaya demokrasi.
Namun, ironisnya pada bulan Mei 2016 inilah terjadi berbagai peristiwa pemberangusan terhadap dunia literasi dan kebebasan berekspresi. Dengan alasan bangkitnya kembali paham Partai Komunis Indonesia (PKI), aparat kepolisian, militer, dan organisasi massa, secara sewenang-wenang melakukan razia dan memberangus buku-buku yang mereka sebut sebagai buku “Kiri”.

Perbuatan anti kebudayaan ini senyata-nyatanya telah melanggar Keputusan Mahkamah Kontitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. Keputusan tersebut telah membatalkan UU No.4/PNPS/1963, yang selalu dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam pemberedelan buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Kejaksaan hanya bisa menyita buku dan barang cetakan lain jika telah mendapat izin pengadilan. Maka, mengingat keputusan Mahkamah Keputusan tersebut, aparat kepolisian, militer, terlebih organisani massa, tidak berhak melakukan razia dan memberangus buku.
Selain itu, sejak beberapa bulan terakhir, dengan alasan mencegah kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), telah terjadi pula berbagai pemberangusan terhadap kebebasan bereskpresi. Intimidasi dan pembubaran diskusi publik, festival seni budaya, pemutaran film, teater, hingga penyerbuan organisasi massa intoleran ke dalam lingkungan kampus.

Tap MPRS No. XXV Th. 1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme yang selalu dijadikan dalih, sesungguhnya telah ditinjau ulang melalui Tap MPR No.1 Th. 2003 melalui Pasal 2 angka 1 yang mengamanatkan tetap adanya “Penghormatan pada prinsip-prinsip keadilan, menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak azasi manusia.”

Di Bandung, ini terjadi pada pementasan Monolog Tan Malaka, penangkapan seniman pantomim, dan penyerbuan organisasi massa ke dalam lingkungan kampus Insititut Seni Budaya Indonesia (ISBI).  Intimidasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi ini tak hanya terjadi di Bandung, tapi juga Jakarta dan Yogjakarta. Terjadi pembiaran aparat kepolisan atas kesewenang-wenangan organisasi massa yang bertindak intoleran tersebut.



Atas nama hak-hak kami sebagai warga negara yang dilindungi kontitusi,  maka dengan ini, kami pegiat literasi, seniman, aktivis budaya, dan pelaku komunitas kreatif Kota Bandung menyerukan pernyataan:

1. Mendesak aparat kepolisan dan  militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku, diskusi buku, dan aktivitas literasi lainnya
2. Mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan pembiaran atas perbuatan organisasi massa intoleran yang mengancam kebebasan bereskpresi
3. Mendesak kesungguhan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya melaksanakan UUD, demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan budaya demokrasi melalui kehidupan dunia literasi yang sehat, termasuk melindungi hak-hak warga negara dalam kebebasan berekspresi
4. Mendesak para pembesar di jajaran pemerintahan untuk berhenti mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontra produktif  bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, termasuk bagi kelangsungan budaya demokrasi yang sehat
5. Menyerukan pada para pemangku kepentingan dalam perbukuan nasional (para penulis, penerbit, penerjemah, penyunting, penjual buku, pembaca, pegiat literasi) dan masyarakat luas; bersatu menolak pemberangusan buku dan kebebasan berekspresi.

Tuhan bersama kita!      
Bandung, Gedung Indonesia Menggugat,  17 Mei 2016.
Pegilat Literasi, seniman, aktivis budaya, pelaku komitas kreatif Kota Bandung
1. Ahda Imran (Selasar Bahasa)
2. Hanief (Komunitas Gedung Indonesia Menggugat)
3. Bilven (Ultimus)
4. Deni (Lawang Buku)
5. John Heryanto (LPM Daunjati)
6. Ekalaya Adji (Idea Institute)
7. Sahlan Mustaba ( Main Teater Bandung)
8. Dyaning. P (Media Parahyangan)
9. Robby Darmawan (LPM Suaka)
10. Adrian Dwi (BEM UNLA)
11. Regin WN (BEM FKIP UNLA)
12. Aditya F. Ihsan (ISH Tiang Bendera ITB)
13. Renando Yafi (MG – KSSEP ITB)
14. M. Nata Adhiyaksya (DPM STKS Bandung)
15. Arief Rahman H (Media Mahasiswa Indonesia)
16. M. Syahid Syawahidul Haq (Unit Pers Mahasiswa UPI)
17. Wisnu (Perpustakaan Apresiasi)
18. Indra (Jaringan Buku Alternatif)
19. Kukuh (Lingkar Sastra ITB)
20. Raka (BEM FIB UNPAD)
21. Mujia R. Idris (UKSK UPI)
22. Dasep Sumardjani (Kebun Seni)
23. Sinatrian Lintang R (Lingkar Studi Mahasiswa Telkom University)
24. Zen RS (panditfootball.com)
25. Harold Wilson (LBH Bandung)
26. Urab (Ultimus)
27. Rinaldi Fitra Riandi (Unpas)
28. M. Rizky A.D (Unpas)
29. Muhammad Taufik (STKIP Pasundan)
30. Ryan R. Akbar (Universitas Telkom)
31. Lenin (Unhan)
32. Firman Hidayah K (STKS Bandung)
33. Egi Budiana (LPM Jumpa Unpas)
34. Muhammad Rushdi (Majalah Ganesha ITB)
35. Rama Priambudhi (Dewantara Institute)
36. Isthiqonita (LPM Suaka)
37. Adytia F. Ihsan (KM ITB)
38. Didin Tulus (Ultimus)
39. Adi (AJI Bandung)
40. Iqbal AS Hidayat (Gerakan Aktivis 77/78)
41. M. Habib (LPM Daunjati)
42. Immanuel Deporat (LPM Daunjati)
43. Anton Kurnia (Front Api)
44. Adi Marsela (AJI Bandung)
45. Adam Rahadian Ashari
46. Agung Sedayu
47. Agus Bebeng
48. Ahmad Fauzan
49. Ahmad Nurcholi
50. Aming Derahman
51. Andar Manik
52. Wisnu Primason (Cikuda Papers)
53. Anwar Siswadi
54. Ari Adi Purwawidjana
55. Arif Yogiawan (LBH Bandung)
56. Bob Teguh
57. Budi Yoga Soebandi
58. Budiana Irmawan
59. Dadan Ramdan Harja
60. Dedie Koral
61. Denai Sang Denai
62. Deddy Koral
63. Dwi Amelia
64. Dewi Maulani
65. Dodi Ahmad Fauzi
66. Eko Arif Nugroho
67. Faiz Ah Soul
68. Frino Bariarclarur
69. Furqon AMC (Kabar Kampus)
70. Goben Gusmiadi
71. Gusjur Mahesa
72. Gustaf Hariman Iskandar
73. Hari Pochang
74. Hawe Setiawan
75. Heliana Sinaga
76. Hervana HMT
77. Hernadi Tanzil
78. Heri Dia
79. Iman Abda
80. Ipong Witono
81. Isa Perkasa
82. Kiai Matdon
83. Maman Imanulhaq
84. Mang Dadang
85. Martha Topeng
86. Melia Melie Agustine
87. Mimi Fadwi
88. Mohammad Chandra (LPM Daunjati)
89. M. Firman EP (Festival Indonesia Menggugat)
90. Muhidin M. Dahlan
91. Mukti Mukti
92. Oshi Prisepti Koestatan (Studio Jamus)
93. Deni (Lawang)
94. Rifqi Fadhlurrakhman (Festival Indonesia Menggugat)
95. Pradetia Novitri
96. Rahmat Jabaril
97. Reggi Kayong Munggaran
98. Ridwan CH Madris
99. Riyadus Salihin
100. Sahlam Bahuy
101. Sapei Rusin
102. Semi Ikra Anggara (Alumni STSI)
103. Setiaji Purna Sataoko
104. Tisna Sanjaya
105. Ubaidillah Muhtar
106. Wanggi Hoedianto
107. Wawan Sam
108. Wawan Sofwan (Main Teater Bandung)
109. Wawan WG
110. Wili Hanafi
111. Yopi Setia Umbara
112. Yusef Muldiana
113. Zaki Yamani
114. Zullfa Nasrullah
115. Fagih R. Purnama (Media Parahyangan)
116. M. Muslim Gifari (Bias Bahasa)
117. Irfan Teguh P. (Pustaka Preanger)
118. Farhad Zamani (Majalah Ganesha ITB)
119. Beni AS (Perpustakaan Antropologi Unpad)
120. Suka Sapi (Ultimus)
121. Doni (Ultimus)
122. Wytny Alia (LMP Jumpa Unpas)
123. Wildan (STHB)
124. Iman (RJ Soang)
125. Fauzan Sazli (Warga Cijerah)
126. Reni Andriani (ISBI)
127. Saepul Mujib (ISBI)
128. Galuh Pangestri Larashati (In The House Project)
129. Fareza HS (Festival Indonesia Menggugat)
130. Sultan (Suas Lorong)
131. Apel Gumilar (Media Parahyangan)
132. Andrenaline (Tjimahi Heritage)
133. Ismael Faruki (Majalah Ganesha ITB)
134. Ujang (Front API)
135. Rudiansyah (Front API)
136. Fajar Kelana (Festival Indonesia Menggugat)
137. Edo W Aditiawarma (Festival Indonesia Menggugat)
138. Herdiansyah Suhandi (Festival Indonesia Menggugat)
139. Ghera Nugraha (Festival Indonesia Menggugat)
140. Wisnu Tri (Festival Indonesia Menggugat)
141. Abi Koes (Festival Indonesia Menggugat)
142. Annisa Yovani (Festival Indonesia Menggugat)
143. Dani Yulio Putra (Festival Indonesia Menggugat)
144. Annas (Festival Indonesia Menggugat)

Narahubung Ahda Imran 082240353120

TUJUH MAKLUMAT BUKU DARI YOGYAKARTA – #MAKLUMATBUKU

Indonesia bukan hanya dibangun dengan tetabuhan perang, tapi juga dipahat lewat kata-kata dan perdebatan. Maka kita saksikan dalam kaca benggala sejarah nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan yang sidik jarinya menempel dalam traktat perumusan bangsa dan pembentukan negara adalah para penulis dan pembaca buku. Mereka datang dari berbagai alam pikir, multiideologi, ragam suku, dan dari rumah bahasa yang majemuk.
Lalu kita melihat Indonesia adalah panggung kata-kata dan sekaligus perdebatan. Indonesia adalah eksperimen bagaimana kebhinnekaan dihidupkan dari sebuah pencarian dan gesekan ideologis dan pengetahuan. Pancasila, untuk menyebut salah satunya, adalah temuan asas yang lahir dari panggung perdebatan multiideologi itu.
Pasca Indonesia lahir sebagai negara, kita telah melewati nyaris seluruh eksperimen dan percobaan; dari perdebatan dalam ruang dan penerbitan buku, brosur, dan koran hingga pelaksanaan kehendak lewat operasi bersenjata paling berdarah di beberapa faset sejarah.
Menginsyafi sejarah panjang kita berbangsa dalam kemajemukan ideologi dan bernegara di sabuk geografis yang luas mestinya kita bisa belajar tentang arti penghormatan pada keragaman dan pentingnya mengekspresikan keyakinan lewat perdebatan. 
Pemberangusan untuk membungkam pandangan yang berbeda dalam muatan atau isi buku justru bertentangan dengan semangat Pancasila yang menawarkan eklektisisme ketimbang keseragaman. Buku adalah ruang pengetahuan yang demokratis sehingga penyeragaman pandangan melalui pelarangan buku merupakan cara yang tidak demokratis.  
Pemberangusan buku akhir-akhir ini di berbagai kota yang dilakukan dengan dalih membawa pandangan dan falsafah tertentu yang berbahaya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah tindakan yang tidak perlu terjadi di dalam masyarakat terbuka dan demokratis seperti saat ini. Apalagi, di tengah menguatnya usaha pemerintah yang bekerja sama dengan pegiat literasi mengampanyekan Indonesia untuk memperkuat kultur membaca, peristiwa ini menjadi semacam anakronisme.


Menyikapi situasi terkini yang menekan dan meresahkan, kami, Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY) yang terdiri dari penerbit, lembaga percetakan, toko buku, pelapak online, asosiasi buku, pembaca, pegiat media komunitas dan literasi, perupa, media independen, dan organisasi kemahasiswaan menyampaikan 7 (tujuh) maklumat:
SATU. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat di hadapan orang banyak lewat berbagai media, termasuk persamuan seni-budaya dan penerbitan buku, adalah amanat Reformasi dan Konstitusi yang mesti dijaga dan dirawat bersama dalam kerangka kebhinnekaan sebagai bangsa.
DUA. Setiap perselisihan pendapat atas pikiran yang berbeda hendaknya diselesaikan dengan jalan dialog dan/atau mimbar-mimbar perdebatan untuk memperkaya khasanah pengetahuan dan keilmuan.
TIGA. Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan produk-produk akal budi seyogyanya dilakukan pihak-pihak yang berwewenang atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum perundangan yang berlaku dengan mengedepankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan. Prosedur hukum yang dimaksud salah satunya seperti termaktub dalam Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelarangan Buku Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
EMPAT. Mendesak kepada lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk membuka secara bebas arsip-arsip negara yang terkait dengan tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari upaya kita belajar dan memperkaya khasanah pengetahuan kesejarahan.
LIMA. Mendorong pemerintah, baik pusat dan daerah, menciptakan iklim perbukuan yang sehat, kompetitif, dan memberi perlindungan pada kerja penerbitan, diskusi buku, dan gerakan literasi yang inovatif sebagaimana diamanatkan preambule UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
ENAM. Asas, kerja umum, dan kegiatan harian ekosistem perbukuan membutuhkan aturan main yang jelas dan mengikat semua ekosistem yang bernaung di dalamnya. Oleh karena itu, mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menggodok dan segera mengesahkan UU Sistem Perbukuan Nasional yang demokratis.
TUJUH. Mendesak Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagai salah satu dari asosiasi penerbit buku yang menjadi mitra pemerintah dan sudah berpengalaman dalam sejarah panjang perbukuan nasional senantiasa mengambil peran yang signifikan dan aktif-responsif untuk membangun komunikasi yang sehat dengan elemen-elemen masyarakat yang plural.
Demikian “Maklumat Buku” Masyarakat Literasi Yogyakarta yang disampaikan di Kota Yogyakarta (Kantor LBH Yogya), bertepatan pada Hari Buku Nasional, 17 Mei 2016.
13177288_10154115419972593_2526037603813251260_n
MASYARAKAT LITERASI YOGYAKARTA (MLY)
  1. 3G Production
  2. Achmad Munjid (Akademisi)
  3. Adhe Maruf (Octopus Publishing)
  4. Aguk Irawan M.N. (Baitul Kilmah)
  5. Afthonul Afif (Penulis)
  6. Ahmad Sahide (Komunitas Belajar Menulis/KBM)
  7. Akhmad Irham (Gerilya Buku)
  8. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jogja
  9. Aliansi Penerbit Alternatif
  10. Alissa Wahid
  11. Andres Busrianto (Anagard/Street Artist)
  12. Andy Seno Aja (Seniman)
  13. Arif Abdulrakhim (Doelz Idea)
  14. Baskara T. Wardaya (Sejarawan)
  15. Bimo Adimoelya (Satunama Yogyakarta)
  16. Bintang Nusantara
  17. Bonar Saragih (Editor)
  18. Bondan Nusantara (Jurnalis dan Seniman)
  19. BPPM Balairung UGM
  20. Budiawan (Penulis dan Akademisi)
  21. Buku Papua
  22. Buldanul Khuri (MataBangsa)
  23. Bunda Kata
  24. Combine Resource Indonesia (CRI)
  25. Darmawan
  26. Dipo Andy Muttaqien (Yayasan Indonesia Buku)
  27. Djaman Baroe
  28. Djendelo Koffie
  29. Dodo Hartoko (Pekerja Buku dan Penggiat Seni)
  30. Dongeng Kopi Jogja
  31. Dwi Cipta (Penulis dan Pegiat Literasi)
  32. Eka Saputra (Bloger dan Pembangun Web)
  33. Elga Joan Sarapung (Peneliti)
  34. Fairuzul Mumtaz (Radio Buku)
  35. Faiz Ahsoul (Apresiasi Sastra/Apsas)
  36. Faruk H.T. (Penulis, Pengajar Sastra, dan Pengelola PKKH UGM)
  37. Forum TBM Yogyakarta
  38. Fransisca Dwi Indah Asmiarsi (Penggiat NGO)
  39. FX Widyatmoko Koskow (Pengajar Seni)
  40. Gading Publishing
  41. Galam Zulkifli (Seniman di Bale Black Box)
  42. Gambang Buku Budaya
  43. Garin Nugroho (Sutradara Film, Calon Wali Kota Jogja)
  44. Genta Publishing
  45. Guntur Narwaya (Pusham UII)
  46. Gusdurian
  47. Hasan Basri (Lesbumi PWNU DIY)
  48. Hasta Indriyana (Penyair)
  49. Hendra Himawan (Pengajar Seni)
  50. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Yogyakarta
  51. Indonesian Visual Art Archive (IVAA)
  52. Indra Gunawan (Lebah Buku)
  53. Indra Ismawan (Narasi)
  54. Indro Suprobo (Penerjemah dan Editor)
  55. Info Seni Jogja (ISJ)
  56. INSIST Press
  57. Institut DIAN/Interfidei
  58. Interlude Publishing
  59. Iqbal Aji Daryono (Penulis/Gelar Pustaka)
  60. Irwan Bajang (Indie Book Corner)
  61. Jual Buku Sastra
  62. Kalatida
  63. Kampung Buku Jogja
  64. Katrin Bandel
  65. KBEA
  66. Kedung Darma Romansha (Penulis dan Pemeran) 
  67. Kiri Sufi
  68. Klub Baca
  69. Klub Buku Yogyakarta
  70. Komunitas Mata Pena
  71. KUNCI Cultural Studies
  72. Kuncoro Hadi (Penulis Sejarah)
  73. LBH Yogyakarta
  74. Lidahibu
  75. Listeno Audio Book
  76. Listia (Peneliti, Penulis)
  77. LPM Ekspresi UNY
  78. LPM Mata Angin UPN
  79. LPM Poros UAD
  80. Jadul Maula (Wakil Ketua PWNU Yogyakarta)
  81. Majelis Pustaka Muhammadiyah (Yogyakarta)
  82. Markaban Anwar (Editor)
  83. Mediasastra.com
  84. Metabook
  85. Mojok.co dan Buku Mojok
  86. Muhammad Nursam (Ombak)
  87. Muhidin M. Dahlan (Warung Arsip)
  88. Ong Hari Wahyu (Pekerja Seni)
  89. Ons Untoro (Penggiat Sastra dan Kebudayaan)
  90. Penerbit Cakrawangsa
  91. Penerbit Kakatua
  92. Penerbit Kendi
  93. Penerbit Oak
  94. Perempuan Mahardika
  95. PINDAI
  96. Planet Bookstore
  97. PPMI Dewan Kota Jogja
  98. Puisi Indo Jogja
  99. Pusham UII
  100. Pussaka Institute
  101. Rain Rosidi (Kurator dan Pengajar Seni)
  102. Rakyat Sastra Jogja
  103. Ruang Kelas SD
  104. Rumah Baca Komunitas (RBK)
  105. Sanggar Pertunjukan Sastra (SPS)
  106. Sangkal Indie Book
  107. Shoffan Hanafi (Bookshop Online)
  108. Social Movement Institute (SMI)
  109. Stand Buku
  110. Stiletto Book
  111. Suhadi (Akademisi)
  112. Sulistyo (Distributor Buku Satu Makna)
  113. Tikah Kumala (Penulis)
  114. Titis Prihatini
  115. Togamas Jogja
  116. Toko Budi
  117. Utama Offset
  118. WarningMagz
  119. Wawan Arif
  120. Wahyudi Anggoro Hadi
  121. Wiwin Siti Aminah (Penggiat Gerakan Perempuan dan Dialog Antariman)
  122. Wiwitan Buku
  123. YANTRA Jogja
  124. Yasser Muhammad Arafat (Penulis dan Penggiat Masjid Jend Sudirman) 
  125. Yoseph Yapi Taum (Akademisi dan Penulis)
  126. Yoshi Fajar Kresno Murti (Rumah Baca Cimot)
  127. Yusuf Efendi (Diandra Creativa)

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK