Friday, December 26, 2014

Hati-Hati Mati, Kawan (Resensi Buku Martin Aleida "Mati Baik-Baik Kawan")

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Setidaknya, dalam sejarah diskursus sastra di Indonesia, kita mencapai perkembangan yang baik. Pembebasan tiga tahanan politik pada tahun 1970-an, dua di antaranya adalah Pramoedya Ananta dan Daoed Joesoef memberikan warna yang lain. Kita bisa menyebut warna itu sebagai apa saja. Tetapi yang jelas, muncul penerbitan yang penting dan berpengaruh; Hasta Mitra. Dan tetralogi buru karya Pram diterbitkan lewatnya. Tetapi apa yang dapat kita pastikan dari kehadiran-kehadiran tersebut? Jika pada kenyataannya humanisme universal sebagai mahzab sastra berkembang lebih meluas di Indonesia? Ketimbang realisme-sosialis, selain catatan spektakuler penjualan karya-karya Pram?

Martin Aleida, setahu dan sedapatnya saya peroleh, bukan nama baru. Dulu sempat bekerja di Tempo. Dan Goenawan Mohamad, saat itu adalah pimpinannnya. Tetapi, bagi penikmat sastra populer, nama Aleida sama sekali tidak tampak. Nama-nama beken seperti Nh. Dini, Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge, tentu saja menutup sebagian akses kita terhadap nama-nama yang memang menyembunyikan cara-caranya menangkap dan melukis realitas, seperti Saut Situmorang, Hersri Setiawan, dan Aleida.


Tetapi, Aleida, sebagaimana penulis, sastrawan, budayawan lainnya, punya kekhasan. Aleida, adalah seorang pembaca Hamka dan Pram. Tapi seperti pengakuannya dalam suatu wawancara dengan Fatimah Fildzah Izzati, tentang pengaruh dua sastrawan tersebut, dijawabnya “...walaupun cerita-cerita mereka itu sangat memikat, tapi kalau terpengaruh betul sih tidak.” Karangan lamanya yang dicetak ulang beberapa kali Mati Baik-Baik Kawanmenggambarkan bunyi yang sama. Tentang sebuah hak, dan kejengkelan masa lalu. Atau tentang perpindahan antara kedalaman-kedalaman pelaku dalam cerita yang dia hadirkan. Pernah muncul, cerita dengan sudut yang berlainan. Aleida seperti memahami apa yang dipikirkan istri bekas jegal orang PKI. Maka wajar saja jika kita harus menunggu (atau kita ditutup berharap jauh-jauh) Aleida punya epigon.

Dalam sejarah sastra, ada beberapa deret nama yang tidak dapat disebut sebagai yang-utama. Widji Thukul misalnya, disebut sebagai “catatan kaki”. Penikmat sastra populer yang ahistoris tentu tidak menemukan estetika dalam puisi Thukul, atau cerpen Aleida. Yang kebanyakan mereka tunggu adalah “puisi mbeling”, atau sastra yang bicara soal kasur-kasur, atau dalam bahasa Saut adalah “ideologi tempat tidur”. Cerita tentang kekerasan arbitrer sekelompok orang bukanlah topik yang bernilai. Paling-paling, sastra realisme-sosialis dipandang sebagai pendakian pubertas seorang sastrawan muda. Dengan bahasa yang sarkastik, penikmat sastra realisme-sosialis dipandang sekedar pengaruh darah panas. padahal, ada saja yang menunggu sastra tentang “kasur”, sebagian penikmat sastra populer itu ingin terbang menjulang ke langit beserta kalimat yang menyihir. Dan sudah pasti, tidak ingin melihat dunia yang profan.

Aleida bicara dalam beberapa tema tentang pengasingan. Rasa tak bersahabat. Dan tatapan mata yang melaksanakan tugasnya; memata-matai. Bagi pembaca sastra yang lahir sesudah luka-luka peperangan ideologis, tidak bisa berbuat apa-apa. Kita adalah penikmat yang berjalan di atas pergulatan dan darah-darah sejarah. Yang bisa kita lakukan adalah belajar darinya. Syukur-syukur bisa memperbaiki. Akhirnya kita hanya bisa berbicara tentang bagaimana hak-hak manusia tidak terabaikan lagi. Satu kata, Adil.

Mengutip Asep Sambodja, cerpen-cerpen Aleida adalah “kesaksian”. Penuturan yang menyatakan realitas. Aleida, seperti yang dapat kita hayati sendiri, menangkap realitas begitu kuat, saya kutipkan dari Wasiat Untuk Cucuku:

“Bukan permesuman itu benar yang ingin kuwasiatkan untukmu. Perempuan-perempuan itu! Perempuan yang menunggu di atas becak-becak itu adalah gadis-gadis kecil yang dikorbankan orangtua mereka untuk mendapatkan uang gampang. Ketika mereka memasuki usia belasan tahun dan baru mendapat mens beberapa kali, mereka dijodohkan. Setelah nikah sebulan-dua-bulan, perceraian mereka diatur untuk mendapatkan surat cerai. Dengan surat cerai ini gadis-gadis kecil itu dijual kepada para pedagang manusia dan dikirim ke kotaku.”

“Aku tak sudi kau melihat kekerasan dan perlakukan semena-mena terhadap anak-anak di kota ini. Biarlah kenyataan itu hanya sampai ke telingamu sebagai bahan pergunjingan belaka. Kota ini, sebagaimana yang kukatakan, adalah sahara bagi anak-anak. Anak-anak tak punya tempat di sini, apalagi binatang.”

Apa yang ditangkap Aleida? Tuturannya untuk seorang cucu yang baru lahir. Euforia menanti seorang cucu. Kebanggaan seorang atok. Kekhawatiran seorang sastrawan. Dan seperti judul kisahnya, itu adalah sebuah wasiat. Kekhawatiran Aleida, kekhawatiran manusiawi. Aleida tergelitik untuk mengungkap. Dan sedikit berdoa untuk sang cucu.

Seorang pembaca yang curiga dengan tema-tema ontologis Aleida tentang kematian, silahkan membaca catatan penutup Wasiat untuk Cucuku,

“Usiaku 85 Desember ini (saat itu tahun 2011-pen). Kalau kau tanyakan bagaimana sesungguhnya kematian yang kuinginkan, maka jawabanku adalah kematian di ujung tanganmu. Selama hidupku aku telah menyelesaikan delapan maraton. Orang bilang, sekali ikut dalam lomba lari berjarak 42.195 meter itu, maka serangan jantung akan terhindar selama delapan tahun. Aku percaya aku tidak akan dibunuh serangan jantung. Arswendo, kawanku, bilang betapa malunya mati kena stroke. Aku tak mau seperti itu. Kumau kau masukkan aku ke ruang operasi. Robeklah dadaku, pukulilah jantungku sampai dia berhenti berdenyut”.

“Kau” bisa berarti sang cucu. Bisa juga “Kau” si pembaca. Seperti kebanyakan teks, penunjuk “Kau” selalu punya kelekatan dengan si pembaca, sedangkan “sang cucu” adalah tokoh yang ditentukan oleh penulis. Tetapi pesannya, dapat menjadi informasi bagi si pembaca. Si pembaca menerima kata “Kau” sebagai “Kau”. Meskipun kadangkala, si pembaca tidak ingin melangkahi kemauan penulis. Si Pembaca yang sadar juga tidak ingin kurangajar terhadap si “Kau” yang sebenarnya. Karena sang cucu sebagai “Kau” adalah pewaris wasiat yang sebenarnya. Meskipun, penulis manapun selalu bicara kepada “Kau” siapa saja.

Aleida sebagai penulis, tahu bagaimana wasiatnya itu akan dibaca. Dan ada maksud khusus untuk meluapkannya dengan cara yang berkesan—sedapatnya menghindari kemungkinan ironis. Tapi, “...pukulilah jantungku sampai dia berhenti berdenyut” adalah perintah. Mungkin hanya sang cucu yang bisa melakukan itu. Kalau “Kau” sebagai si pembaca, tentu maksudnya berubah. Aleida, sebelumnya, menyimpah sebuah harapan, “Aku percaya aku tidak akan dibunuh serangan jantung”.


Yogyakarta, 26 Desember 2014
DeJure Rumah Baca Komunitas

Ekoliterasi dan Penyegaran Gerakan


 David Efendi, Pegiat Ekoliterasi

Gerakan yang tak mampu memperbaharui dirinya adalah gerakan yang sedang menemui ajalnya. Ungkapan ini menandai banyak sejarah di dunia dan telah dicatat di sana bahwa banyak sekali gagasan-gagasan besar kemudian lapuk akibat ia atau pengagumnya gagal mengawetkannya. Bisa jadi ia berhasil memasukkan dalam katalog buku atau sudut ruang museum, tetapi tak lagi berdaya untuk menggerakkan perubahan—membawa dampak positif bagi kehidupan kontemporer. Inilah tantangan besar, bagi Komunitas kecil sekalipun.

Di akhir tahun ini, tulisna ini bermasuk ingin kembali menyegarkan suasana terutama bagi pegiat literasi yang sudah lelah. Tulisan ini ingin menyapa sekaligus mengajak pembaca untuk terus menerus memperbaharui keadaan fikiran lalu aksi dan juga refleksi. Tentu ini tidak akan banyak mengubah pembaca sebagai resep pesakitan, tetapi setidaknya penulis ingin mengatakan bahwa penulis mengurai kejenuhan dalam gerakan literasi hampir setiap saat setiap waktu: berperang melawan kemalasan, kebosanan, dan kelelahan. Kita harus tampil menjadi pemenang!


Dalam kesempatan ini, penulis terinspirasi oleh status BB seorang pegiat literasi yang sangat reflektif yaitu Fauzan Anwar Sandiah beberapa hari lalu yaitu gerakan 3M: membaca, menulis , dan menanam. Dia rupanya sangat dekat dengan pikiran filosof Fritjof Capra, penulis buku the web of life (2001) yang kemudian banyak direplikasi gagasannya di website ecoliteracy.com. Gagasan ekoliterasi ini kemudian menjadi penting bagi pegiat RBK khususnya untuk menyegarkan gerakan anak-anak muda dalam mentradisikan gerakan membaca. Apa yang mampu kita perbaharui dalam tradisi gerakan literasi akan didiskusikan dalam tiga bagian pembahasan berikut ini.

Membaca

Membaca sebagai kegiatan aktif-produktif serta kreatif merupakan pekerjaan yang menguras banyak energy kita. Namun demikian, membaca telah terbukti memberikan ide-ide gila bagi pembacanya dan telah terbukti kegiatan ini memproduksi banyak ilmu pengetahuan. Buku-buku yang mengubah sejarah pun telah dirilis (lihat link 50 buku paling berpengaruh di dunia, http://superscholar.org/features/50-most-influential-books-last-50-years/). Berapa judul buku yang telah and abaca atau setidaknya pernah anda dengar gaungnya? Semoga ada beberapa judul yang telah mengubah kadaan menjadi lebih baik. Saatnyaberbagi kekuatan itu, setidaknya kita dapat merekomendasikan judul buku untuk masyarakat luas. 

Aktifitas membaca sebagai pembuka pagi, walau tak semua orang sama memiliki kebiasaan. Tidak sedikit pula , mereka membuka pagi dengan menulis: menulis puisi, cerpen, artikel, buku, dan sebagainya. Aktifitas membaca yang mendahului kegiatan menulis akan memperkaya materi yang kita tulis dan menjadikan lebih bergizi. Sesuai saran Hernowo (2008), text yang kit baca adalah vitamin sempurna untuk terus bertahan dalam segala pancaroba zaman. Semakin banyak vitamin, semakin sehat tulisan kita.  Tulisan yang baik akan mengerakkan pembacanya, memberikan inspirasi setidaknya.




Menulis

Taufiq Ismail pernah mengatakan bahwa “membaca dan menulis adalah kembar siam”. Artinya, dua aktifitas ini tak terpisahkan. Penulis yang hebat merupakan pembaca yang militant dan juga sebaliknya ( walau kurang kuat di sisi sebaliknya). Faktanya, banyak pembaca ideologis dan super militant, tetapi tidak banyak memproduksi tulisan namun lebih pada penyajian secara verbal. Potensi orang memang beragam, jika tak rajin menulis tentu diskusi menjadi solusi terbaik untuk mengawetkan ingatan dan pengetahuan.

Menulis adalah kegiatan mengabadikan pengalaman empirik untuk dijadikan pengetahuan bagi pembaca atau untuk menginspirasi pembaca termasuk juga bagaimana penulis menawarkan hal baru, gagasan baru untuk mendekonstruksi meanstream pemahaman yang sudah melekat.  Sebagaimana ‘mantra’ Pramudya yang sangat popular bahwa “menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Tanpa kebudayaan tulis, rasanya sangat berat membawa bangsa ini mengenyam kemajuan dan penerangan peradaban. Jadi, tak ada tawar menawar bahwa bangsa ini harus menulis agar dapat menentukan masa depannya sendiri. Bukan bangsa lain yang mendikte bagaimana hari depan harus dilakoni oleh anak-anak negeri ini.

“Menulislah sejak SD, apapun yang ditulis sejak SD pasti jadi”, kata Pramudya Ananta Tour, seorang sastrawan humanis yang sangat keras pendirianya mengenai kemandirian dan kebebasan manusia. Beberapa warisan pemikiranya saya kira cukup mendongkrak motivasi kalangan penulis muda salah satunya adalah tiga hal yang paling berharga yaitu (1) usia muda yang kreatif; (2) kebebasan; dan (3) harga diri sebagai manusia. Ketiga hal ini yang harus terus menerus diperjuangkan tanpa henti dan tidak kenal lelah. Pegiat literasi tak boleh menyerah dengan kelelahan!.

Menanam

Gerakan literasi, seharusnya, bukan melulu urusan perbukuan tetapi jugadilengkapi dengan aktifitas lain yang membumi seperti mengembangkan kebudayaan, menagpresiasi seni, sampai pada kegiatan berkebu. Membaca dan menanam punya orientasi masa depan. Membaca itu menanam pengetahuan untuk masa depan sementara menanam juga upaya advokasi terhadap lingkungan untuk melindungi bumi agar tetap sehat dan menyehatkan. Tak terbayangkan, jika pembaca tak peduli pada alam maka membaca itu terasa mencabut kesadaran akan pentingnya realitas. Realitas yang kita pahami sebagai persoalan kontemporer lingkungan. Bumi panas, oksigen kurang adalah satu persoalan sederhana yang akan bisa ditolong dengan menanam.  Upaya lainnya adalah pendayagunaan barang barang yang masih bermanfaat tetapi disepelekan dengan reduce dan reuse. Inilah yang dilabeli “ekoliterasi” dalam madzab RBK Kalibedog (Gerakan literasi #5).

Pesan agung dari gerakan ekoliterasi adalah kehidupan yang lebih harmoni, ramah longkungan, dan berkelanjutan. Gerakan literasi tidak boleh berhenti pada kemampuan masyarakat menyerap bacaan text dan beragam wacana kontemporer tetapi juga dituntut aksi nyatanya untuk mengurangi persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat misalnya hilangnya ruang terbuka hijau di kota dan degradasi fungsi tanah sebagai penyedia kehidupan (oksigen) dan juga ketidakpedulian manusia akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem—jaring-jaring kehidupan (meminjam Capra). Membaca harus diaktifasi dengan kegiatan menanam sebagai manifestasi keberihakan pegiatnya pada masa depan bumi.

Salah satu problem besar masyarakat modern adalah masalah pengelolaan sampah. Jumlah sampah setiap hari berlari seperti deret ukur, sementara tata kelola sampah sangat lamban seperti deret hitung. Jadi semakin sesaklah bumi manusia dengan sampah bahkan manusianya dapat tertimbun sampah. Di Jakarta, laporan majalah Tempo edisi Desember 2014 menuliskan bahwa masyarakat Jakarta menghasilkan sampah seberat 2000 gajah dewasa/per harinya. Jika tak mampu dikelola, maka akan menjadi bencana sewaktu-waktu. Apa yang bisa dilakukan? Sampah bisa saja menjadi komoditas ekonomi agar manusia tidak ceroba memindahkan sampah hanya karena egoism sesaat—menjauhkan sampah dari matanya tetapi mendekatkan kepada mata banyak orang dengan membuang secara sembrono di tempat yang menjadikan sampah itu mengganggu padahal sampah itu bisa tidak mengaggu bahkan menguntungkan.



Hari ibu, hari bumi, ibu bumi, bumi buku, I love you, 22 Des 2014. 

Gerakan Pelajar di Tengah Kegalauan


 David Efendi, Pegiat Rumah Baca Komunitas

Kegalauan aktifis gerakan pelajar itu antara lain karena beberapa persoalan pertama, karena tidak mendapatkan kepuasan akan capaian-capaian yang diharapkan; kedua, akibat kelesuhan para kader itu sendiri, dan ketiga adalah lebih disebabkan oleh ‘frustasi’ melihat keadaan sekitar yang tidak sesuai dengan imajinasi yang berkembang pada dirinya, atau pandangan organisasi. Termasuk di dalamnya, adalah cuaca politik yang tidak ramah terhadap cita-cita perjuangan. Bahkan, politik harapan pun tak dapat menyelamatkannya dari kegalauan. Sebagai aktifis dan berlatar belakang terdidik, tentu kegalauan adalah hal yang harus dilestarikan jika tidak mau mati sebelum berkembang.

Dalam tulisan ini akan diartikulasikan beberapa nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam spirit gerakan pelajar yang tentu saja diharapkan progresifitas/kemajuan untuk lanskap sosial-kebudayaan yang lebih luas, lebih humanis, dan inklusif. Secara praktis, keberadaan Gerakan pelajar seperti PII, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan gerakan pelajar lainnya mempunyai tantangan paradigmatik dan tantangan praksis sangat besar mengingat basis massanya luas sekitar 20 jutaan anak-anak muda berusia antara 15-24 tahun. Mereka semua adalah subyek perubahan dan mereka betul-betul mempunyai takdir sejarah untuk mengelola bangsa ini. Tanpa mereka, kerja keras Negara untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ hanyalah sebuah ‘piknik kemanusiaan’, layaknya sebuah keterputusan sejarah yang dampaknya maha mengerikan. “pelajar hari ini, pemimpin masa depan’, begitu ungkapan bijak arab mengajarkan.

Mengingat semakin mengganasnya situasi sosial kebudayaan kita yang tepat menembak jantung para kader bangsa ini, tentu strategi untuk mempertahankan diri dari gempuran nilai-nilai yang melawan akal sehat, menghina kebudayaan bangsa, adalah sebuah keniscayaan untuk kembali mempertegas jati diri, mempraktikakkan kesadaran dan aksi kritis untuk memperoleh keberhasilan dalam deretan kemenangan-kemenangan kecil—kemanangan yang sejati yang setiap hari kita raih.

Nilai-nilai yang kita perjuangkan setidaknya  ada tiga hal yang masih sangat relevan untuk memnyumbangkan kekuatan pada gerakan pelajar kontemporer. Pertama, nilai-nilai ideologi “islam-inklusif” di mana praktik dan nilai ajaran agama akan membangun kekuatan lintas organisasi, latar belakang, status sosial sehingga ‘rahmat untuk semesta’ itu benar-benar adalah nilai yang sudah tertanam kuat dalam akal pikir dan akal budi serta tercermin dalam sikap-perbuatan. Jadi, sikap ‘open minded’ yang dibingkai oleh nilai-nilai ketulusan, kejujuran, dan keadilan itu harus menjadi bagian dari akal sehat kita. Kekuatan nilai-nilai ini yang akan menjamin berlansungnya kehidupan bangsa—dari bayi bangsa menjadi anak semua bangsa.

Kedua, memperkuat tradisi literasi sebagai bagian perjuangan yang tak boleh diceraikan atau disia-siakan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tingkat melek baca dan melek wacananya tinggi. Dengan dalih apa pun, merebut ilmu pengetahuan dan hasanah kebudayaan adalah dengan jalan membangun budaya literasi—baik membaca, menulis, dan mendiskusikannya untuk mendpaatkan pemahaman dari dialektika yang konstruktif. Tanpa itu, sejarah akan gampang dilupakan dan tanpa buku peradaban akan membisu. Dari tradisi literasi ini pula, proses pengilmuwan gerakan menjadi sangat mungkin untuk didesiminasikan menjadi aksi nyata—mendapatkan kemenangan kecil terus menerus sampai menjadi gerakan yang massif. Kesadaran literasi telah berkonstribusi membangun  kesadaran dan merebut kebebasan dalam sejarah Indonesia. Kita tidak bisa membayangkan, tanpa propaganda tulisan bangsa ini mungkin saja maish jauh di bawah lumpur penjajahan.

Dengan demikian, aktifis gerakan pelajar harus meneladani bangsa sendiri sebelum menaladani bangsa-bangsa di atas angin, bangsa-bangsa dari semua bumi manusia. Tak boleh tidak, para pengggerak pelajar haruslah tekun dan sabar membaca jejak pejuang literasi sejati: membaca Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Pramudya AT, Rendra, dan masih banyak lainnya, membaca perjuangan para intelektual dan aktifis yang menjadi martir sejarah dengan mempelajari dan meneladani anak-anak muda dari anak kandung peradaban seperti Munir, Wiji Tukul, dan masih banyak lainnya. Anak-anak muda sekarang harus menyibukkan mencari kekuatan diri sendiri, dari bangsa sendiri, bukan sibuk mencari kelamahan sambil memberhalakan keunggulan bangsa-bangsa lain—yang kadang mereka tak segan-segan merebut kemerdekaan anak bangsa.

Terakhir, nilai-nilai “dekonstruktif” sebagai karakter anak muda. Keberanian keluar dari pakem kelaziman, “thinking out of the box”, berani salah, tidak takut resiko, berani tidak popular, adalah permintaan sejarah yang mestinya dipenuhi oleh aktifis pelajar. Kita saksikan anak-anak muda hari ini yang ingin terkenal, ingin mendapat pujian, dari pada berkhidmat pada nilai-nilai kemanusian sesama teman seperjuangan dan mendekatkan pada basis massa tanpa terdistorsi kepentingan sesaat. Pelajar yang tidak berani melawan arus dan takut mengalami kerugian masa depan, maka pada saat itu juga mereka telah berubah menjadi sosok manusia tua renta yang tinggal menunggu nyawa meregang dari sel-sel darahnya.

Tentu, berani menempuh “jalan lain” bukan tanpa argumentasi, bukan ‘membabi buta’ asal berbeda karena gerakan pelajar sudah mencapai pada tahap pengilmuwan (“masyarakat ilmu”, meminjam istilah Kuntowijoyo) sehingga tak beralasan jika langkah yang ditempuh hanyalah euphoria tanpa akar pengetahuan). Dengan kekayaan ilmu pengetahuan karena budaya literasi telah well established dalam diri kader, tentu saja langka-langka dekonstruktif dalam gerakan menjadi sangat kuat untuk kemudian diwujudkan dalam beragam kegiatan yang ‘positif’—misal, advokasi kebudayaan lokal, nilai-nilai counter hegemoni, dan anti-dominasi.


Kemampuan mengagendakan dan menngelola perubahan itu penting bagi organisasi pelajar karena memang dinamika menjadi tuntutan zaman. Anak-anak muda dengan kemampuan khusus menafsir tanda-tanda zaman ditunjang oleh kemampuan literasi yang kuat tentu mendesains sebuah perubahan yang pro-pelajar dan pro-terhadap cita-cita perjuangan menjadi hal yang tidak mustahil untuk di raih. Bahkan dalam kegiatan sehari-hari msalnya dalam kegiatan pro lingkungan, pemberdayaan komnitas, kedaulatan pelajar, dan beragam bentuk kemenangan kecil lainnya itu akan sangat intensif untuk diperoleh—sebagai bekal mendapatkan kemanangan yang besar pada waktunya nanti. Sebagai penutup, ketiga nilai-nilai itu seharusnya mempu menghentikan kemandegan gerakan dan sebagai manusia kita tak boleh “menyerah dengan kelelahan.”

Monday, December 15, 2014

Buku dan Lenyapnya Kegelapan

David Efendi, pegiat RBK

Pada tanggal 22 April 2013 sebuah perkumpulan anak-anak muda di Yogyakarta yang tergabung dalam Rumah Baca Komunitas mengadakan refleksi gerakan literasi dengan mengambil tema “habis gelap terbitlah terang”.  Refleksi ini tepat pada tanggal hari Kartini. Tepat sasaran. Itu kesan saya sebagai salah satu pegiat gerakan literasi. Kartini telah membuka kotak Pandora penyebab selimut gelap peradaban ‘negeri terjajah’ yang diberikan label INDONESIA. Kartini dilahirkan pada 21 April 1879 dan meninggal pada tahun 17 September 1904 pada saat umur 25 tahun di tengah bangsa merasakan pahitnya pasungan penjajahan.

Buku, sebagaiman diyakini banyak orang, menjadi alat paling efektif untuk merebut kebebasan yang sebenarnya. Keyakinan ini telah menjadi bagian dari proses pemerdekaan “bangsa” Indonesia sebagiamana yang banyak dinarasikan secara apik oleh Pramudya Ananta Toer dalam tetraloginya dan karya-karya lainnya khususnya buku yang berjudul “Panggil Aku Kartini Saja”. Sosok  seorang yang dinamai Minke juga menjadi “fakta” tak terbantahkan bahwa buku/tulisan adalah alat paling efektif untuk menyebarkan ide-ide kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan.

Ketiga nilai di atas benar-benar menjadi kontribusi penting dari seorang Kartini dalam panggung nusantara-dipantara yang secara luar biasa dipaparkan oleh Pramudya AT dalam bukunya.  Pram menyampaikan gagasan-gagasan besar dan luhur Kartini dan kita bias melihat betapa mulia pemikiran perempuan pingitan ini. Pertama, nilai-nilai kebebasan. Jelas, Kartini berupaya membebaskan ‘keterkengkangannya” dengan menuliskan karya sastra dan juga melakukan korespondensi dengan dunia luar dengan menuliskan surat-surat. Kartini pernah menuliskan:

“ sebagai pengarang, aku  akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami. Door Duisternis tot Licht (habis gelap terbitlah terang).”

Kedua, nilai-nilai keadilan jelas menjadi konsen penting bagi seorang Kartini untuk secara “diam-diam” dan “sembunyi-sembunyi”untuk memperjuangan keadilan di zaman baru nanti—walau dirinya sendiri tidak mendapatkan keadilan lantaran kekeangan budaya dan paradigm kaum feudal yang berada dialam alam penjajahan. Keadilan yang diusung oleh perempuan ini adalah keadilan generasi berikutnya. Kartini adalah futurist yang baru kita sadari sekian lama. Dia berani mengorbankan status bangsawannya untuk sebuah makna ‘keadilan’. Dia menulis “mboekak peteng” untuk mengepresikan gagasannya tentang optimisme “masa depan.” Sayang sekali, karangan-karangan Kartini tidak banyak tersedia dan bahkan terjemahan atas karya Kartini seringkali ‘terkontaminasi’ oleh konstruksi dari luar (tidak sebagaimana karakter/kebatinan autentik sang penulis).

Terakhir, adalah satu kekuatan besar apabila koalisi kebebasan dan keadilan itu unsur terpenting dari nilai-nilai kemanusiaan. Ketika kita bekerja keras untuk menegakkan keadilan, menolak diskriminasi dan stigma maka kita sebenarnya sedang bekerja untuk pembebasan dan kemanusiaan itu sendiri. Memanusiakan manusia, meminjam bahasa Paulo Friere dalam pendidikan kaum tertindas (pedogogy of oppressed). Dalam bahasa Pram, pentingnya menghormati hak-hak manusia itu harus sejak ada dalam pikiran kita sehingga perbuatan pun menjadi adil—setidaknya, tidak mengancam orang lain. Manusia yang punya kreatifitas, usia muda/waktu produktif, dan kehormatan/harga diri yang harus kita tempatkan sebagai bagian utama kemanusiaan—seperti halnya diri kita yang tak mau dirampas ‘kebahagiaan’ kita.

“Kronik” Kartini ini merupakan karya yang sangat mengagumkan. Buku ini tentu sangat penting untuk dibaca semua orang terlebih untuk generasi muda. Buku yang ditulis dengan berdarah-darah di zaman yang tidak aman ini tentu perlu advokasi serius dari pemegang kekuasaan untuk melakukan politik etis: kalau dulu ada pelarangan dan pembakaran buku Pram, kini harus dibalik, diwajibkan!. Berdasarkan pengakuan Pram via penerbit lentera dipentara, ada empat jilid buku tentang Kartini tetapi hanya dua yang berhasil diselematkan. Tentu, ini kesedihan yang teramat sangat bagi saya. Bagi pegiat literasi pada umumnya.

Jika di zaman ‘demokrasi’ ini masih ada ritual pembakaran dan jenis pelarangan buku, maka sudah dapat diasumsikan bagaimana ‘kegelapan’ masa depan negara tercinta ini. Negara yang mematikan sastra dan kreatifitas dalam peradaban buku/literasi adalah Negara yang otortiter dan kerap kali menghakimi manusia. Negara selalu benar tak pernah bias disalahkan (The King can do no wrong), dan masyarakat sebagai sumber persoalan. Maka pembabatan total akan mengebiri hak-hak kemerdekaan manusia, kebebasan menjadi terampas. Republik menjadi hanya milik segelintir orang elit dengan peringai mengganggu akal sehat.


Agar kita tak dituduh hanya mampu memadamkan pelita, maka periode kegelapan harus segera kita terangi dengan obor pengetahuan dan buku adalah lampu benerang yang kita punya. Semoga menyala. Merdeka!

RBK kampanyekan Kemanusiaan

Kampanye kami
   Angin bertiup kencang pagi itu, laju sepeda motor diatur oleh beberapa pemuda saling berboncengan yang sibuk membawa perlengkapan, puluhan foto ukuran besar disusun berjejer pada stereofom memanjang yg semalaman suntuk dikerjakan untuk 
siap dipampangkan pada stand pameran dalam kegiatan Gebyar Goverment 2014 yang memang menyediakan tempat untuk kami,
rumah baca Komunitas.
Indra "Gus In" Pradanaxs, Pegiat RBK
Suasana pagi kampus UMY itu tidak terlalu ramai, seperti ingin memberi kami kesempatan mempersiapkan apa yg kami butuhkan, Setelah mengetahui jenis dan lokasi pilihan stand, dimana aku dan teman-teman pegiat akan ada seharian penuh disana, tugas selanjutnya ialah menempatkan property-property yang sudah siap dipampang agar lokasi yg kami pilih terkesan menarik sesuai dengan semua yang kami rencanakan, persoalan tentu cukup rumit kami masih harus memikirkan kondisi stand yang relatif kecil dibandingkan dengan foto dan atribut yang telah siap untuk di display memang kami sediakan berjumlah cukup banyak tersebut, tapi syukurlah berkat lokasi yang berlatarkan gedung kaca dan yang paling sudut itulah kami boleh saja menggeser batas dan meluaskannya, dibawah kendali akbar labeh sebagai koordinasi kegiatan rabu pagi itu memutuskan kondisi stand untuk  menggunakan latar kaca sebagai media ornamen yang kemudian aku, relsan, hafid, agus, dkk siap bubuhi kaca tebal itu dengan rekatan selotip dan poster-poster yang menunggu untuk dinikmati pengunjung stand, sampai setengah jam ini berjalan tepat jam setengah sebelas kurang stand kami menyusul beberapa layer bermodel lanscape karya design mascu yang dahulu seukuran brosur kini jauh lebih besar ukurannya, sedangkan untuk meja stand yang digawangi dua srikandi dari rumah manusia yakni cacaa dan tyas itu dipersenjatai beberapa map yg berisi form oranye khas dan buku tamu bagi pengunjung seharian ini, jeng- jeng!,IMG_7117 dan stand kami telah siap betul untuk dikunjungi peserta acara yg cukup meriah itu.
Matahari semakin beranjak naik terikpun mulai bangkit menjadi-jadi, stand kami yang disinarinya semakin terlihat nyentrik dibandingkan stand-stand lainnya itu semakin ramai saja dikunjungi, ada yang sekedar lihat-lihat poster dan foto yang terpajang, ada juga yg banyak tanya dan ingin mengenal Rumah Baca Komunitas, dan tak sedikit pula yg ikut foto-foto dan mengabadikan dirinya di Photo-corner sederhana yg berlatar hasil kreasi pegiat-pegiat.IMG_7101
setelah perut-perut kami diisi oleh camilan dan makanan hasil comotan dari stand kuliner-kuliner sebelah yg memang umumnya stand budaya dari bermacam daerah yg mnyediakan aneka masakan, sedang asyik berkumpul menikmati  kami didatangi oleh dua orang perempuan muda yg hendak bertanya tentang kesediaan untuk dicantumkan pada penampilan tak banyak perbincangan, dan “Erbeka 15 menit setelah ishoma ashar ya tampil” kata perempuan muda yg baru kuketahui panitia acara itu.
susunan kegiatan kami pada rangkaian acara hari itu memang sudah kami siapkan, mulai menyediakan bahan bacaan yang kami beri title “buku-buku yang merubah sejarah” hingga slogan propaganda tentang pentingnya membaca, nilai apresiatif dan kemanusiaan.
Tak terasa waktu mulai beranjak mendekat, terdengar panggilan oleh panitia sudah mengudara beberapa dari kami mulai menyambut mengikuti dan naik ke panggung yang sudah penuh dengan alat musik dan susunan stand mic yang tertata menunggu, mencari titik pas dengan mengatur arah mic yang lurus dari penyangga besinya dan lagu “kebenaran akan terus hidup” seperti biasa dijadikan pilihan pembuka oleh robekan suara uki diikuti tepuk tangan penikmat yang rapih berjejer memenuhi anak tangga dan fokus memantau kami dengan santai, setelah penampilan pembuka, peranku yang berpuisi dengan uki  itu digantikan oleh om awiek yang mengambil tempat di sebuah kursi di atas panggung dalam posisi tersebut  ia mulai membaca keras baris demi bait isi dari secarik kertas biru yg dipegang kedua tangannya, suasana yang ramai itu pun tiba-tiba hening menyusul imaji ku sebagai pendengar merasakan ulasan warna-warni dalam puisi yg dialurkan pria berkaos munir itu sambil teriak sontaknya diikuti tepuk tangan penonton seperti biasanya hingga iringan gitar uki yang mngetuk cepat pada akhir penampilan kedua itu. entah masih belum cukup anggap kami kini la ode yang mengganti posisi hanya uki yang tidak berubah tempat dengan gitar yng menempel dikulit baju maroonya mulai lagi dipacu kerja, “disini negeri kami….” lagu darah juang mulai dimainkan, diikuti dengan sajakan tegas penuh ekspresi pria yg berkopiah  hitam di atas panggung itu “sungguh penampilan kawan satu ini mengingatkan aku pada sang proklamator heheh” batinku yang senyum dibelakangnya sambil menempel suara dengan mic, beberapa menit penampilan yang menarik ratusan pasang mata itu makin menjadi-jadi, serombongan teman-teman yang duduk dibarisan depan tiba-tiba meranjak dan naik ke arah panggung dengan caping merah yang melekat dikepala,aku kenal itu, caping merah khas Rumah Baca Komunitas selalu menarik perhatian memang apalagi sudah memenuhi panggung, iringan darah juang semakin lantang dengan bala bantuan pasukan bercamping dan “RBK Ocupy the Stage!”.
IMG_7244kendaliku hampir lepas melihat ratusan pasang mata yg berjejer dipelataran gedung kaca itu menatap penuh segerombolan pegiat, lantang manyuarakan nyanyian pembebasan, yang memang suatu keharusan bagi kami, bukanlah sebuah euforia semata tapi secara momentum pada tanggal 10 desember tersebut merupakan hari kemanusiaan internasional yg sudah tentu tak ingin kami lewatkan dengan sekedar hip-hip huray, maka dengan cara ini mungkin jalan kami melakukan kampanye kami para pegiat dari #RumahnyaManusia.

Rbk team Menguasai panggung.. ngeri sepanjang acara
fokusku yg tenggelam dalam pandangan para penonton itu tiba-tiba hilang saat kuketahui sepatuku menginjak kabel inject yg menyambung pada gitar elektrik yg sedang dimainkan uki, iringan gitar mati sebentar dan disambung cepat oleh uki sambil menggelengkan kepala menatapku, aku hanya menahan ketawa dengan senyum seperti biasa mendapati kejadian lucu yg kuulangi lagi semenit kemudian, tiba-tiba lemparan kertas oleh pembaca didepan dibanjiri tepuk tangan yang menutupi penampilan kami itu, kami mengantri menuruni tangga menyambut arah tepuk tangan dengan senyum puas oleh penonton yang cukup mengapresiasi 15 menit lebih penampilan kami sore itu.
Setelah mengambil tempat dibarisan depan yg kosong berjejer, sambil menikmati penampilan tarian yang cukup menarik perhatian jika dilihat dari jarak dekat, tiba-tiba tepukan bahu mengalihkanku pada panggilan om awiek yg memberi kode harus beranjak dari kegiatan yang diadakan di lingkungan kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu dan melanjutkan agenda kami. seperti yang sudah direncanakan  hari itu ialah puncak dari rangkaian kegiatan rumah baca komunitas dalam mengkampanyekan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan, setelah beranjak dari sofa dan kembali ke stand, kami membagi kelompok untuk yg bersedia menjaga stand yang akan berlanjut hingga pucak acara pada malam hari dan ada pula yang melanjutkan kampanye hari ini pada agenda “aksi diam” yang akan kami adakan sore itu juga di titik nol.km.  kulancarkan tapak sepatuku menuju parkiran yang menandakan satu agenda hebat baru saja kita sukseskan, agenda besar selanjutnya menanti, mari sukseskan kampanye kita ini, kampanye kemanusiaan!.
layer yang beradapdatsi dari brosur Hasil design maskcuini hasil karya saya *edisi seniman*IMG_7070IMG_7122

Friday, November 28, 2014

Imaji dari Balon Merah (Resensi Novel)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

...Akuilah, sebuah buku lebih baik daripada benda kecil tolol...
(Irene Tanurajaya, Balon Merah)

Buku Balon Merah karya Irene Tanurajaya adalah sisi lain yang berbeda 360 derajat dari mahzab sastra yang sering saya baca. Saya termasuk orang yang jarang membaca sastra atau novel populer. Tetapi saya senang membaca novel dengan spirit tertentu. Spirit itu, jika saya meminjam Pram, adalah spirit ausdaure. Setiap daya-tahan (ausdaure) selalu membangkitkan imajinasi yang melampaui. Kita tidak akan lagi berada dalam batas pertanyaan eksistensial yang kadang tidak terjawab, dan mulai melupakan perjalanan eksistensial itu sendiri sebagai sebuah kisah yang menguatkan batin.

Pertemuan saya dengan novel Balon Merah, kalau tidak salah, pertengahan tahun 2013 saat sebuah paket kirim berisi buku Balon Merah datang ke Rumah Baca Komunitas (RBK) kami.

Paket buku itu dibungkus menarik. Lengkap dengan permen-permen, yang menurut pengirim—Irene—ditujukan untuk “anak-anak” di komunitas kami. Balon Merah adalah novel karangan Irene untuk anak-anak yang pertama kali diterbitkan.

Irene, menawarkan sebuah imajinasi. Tentang hal-hal kecil. Tentang tarian pohon yang jarang diperhatikan. Atau tentang keindahan suatu wujud yang tak diperkirakan. Dalam bahasa, dibiarkannya menemukan ekspresi; rumit, sederhana atau selesai. Itu terserah. Tapi tampaknya, bahwa kata, dalam Balon Merah, menemukan rekannya sendiri. Menemukan makna bersama rasa penasaran pembaca pada setiap lembar.

Saya membayangkan Irene menuliskannya dengan imaji yang otentik. Karena dia mencoba masuk ke dalam keingintahuan yang khas. Keingintahuan itu lazim secara sarkastik dianggap polos, lugu atau semacamnya. Tetapi keingintahuan itu sendiri adalah proses menguliti makna melalui cara yang otentik. Menelusuri pengalaman dan kata. Sebagai yang bersatu, kata dan pengalaman adalah kewajiban dari pengalaman ontologis manusia.

Yang menarik bagi saya, Irene menyinggung tentang petani, peternak dan pekerja. Suatu kelas yang kadang-kadang dikutip bersama ironi. Tetapi pengungkapan Irene, “...ini adalah saat ketika para petani, peternak, dan pekerja...kau bisa menari, walau kau tahu kau adalah penari yang buruk.” Tidak tentang toleransi sisipus, tetapi tentang kebebasan yang klasik. Kebebasan yang direngut oleh kapitalisme. Dan kebebasan yang tercerabut. Suatu citra singkat tentang masyarakat.

Irene tidak bercerita dari  konsep “tidak”, seperti kebanyakan penulis pada umumnya. Irene mulai dari membuka harapan. Suatu narasi pada umumnya dari penulis novel senang bermain antara yang seharusnya dan kenapa yang “tidak” selalu terjadi. Dan sembari menunggu, Irene bermaksud dalam kalimat yang jenaka “Apa? Cerita ini akan membosankan? Oh, lihatlah diri kalian. Sepanjang hari menatap benda kecil...hanya menatap layar benda itu berjam-jam...”. Irene mengelitik kesombongan dewasa manusia. Tingkat dimana manusia meremehkan kontemplasi. Atau membiarkannya sebagai hasil yang terserak. 

Monday, November 24, 2014

Agenda Nop-Des 2014

Press Release Rumah Baca Komunitas Yogyakarta
Kampanye 16 Hari Anti kekerasan terhadap perempuan
25 Nopember – 10 Desember 2014

Kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye Internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan diseluruh dunia. Rumah baca komunitas sebagai lembaga yang menjunjung tinggi nilai-nilai  non-diskriminasi dan anti kekerasan merupakan lembaga yang fokus mengembangkan isu-isu anti kekerasan terhadap perempuan dan non-diskriminasi terhadap kelompok apapun ras, suku, agama, etnis maupun orientasi seksual, melalui pengayaan wacana dan gerakan  literasi kerakyatan maka semua pegiat Rumah Baca Komunitas mendorong seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama melakukan :

1.    Berperan aktif dalam membangun Masyarakat yang setara dan adil tanpa kekerasan.
2.    Berperan aktif untuk melaporkan kepada pihak terkait jika mengalami, melihat kekerasan yang terjadi sekitar anda.
3.    Berperan aktif sebagai pemangku kebijakan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara tanpa kekerasan bukan melakukan pembiaran.
4.    Berperan aktif untuk memberikan informasi dan mengkampanyekan “Stop Kekerasan terhadap perempuan” dan “Stop Diskriminasi terhadap kelompok apapun; ras, suku, agama, etnis dan orientasi seksual”
5.    Berperan aktif membangun masyarakat yang kritis melalui gerakan literasi kerakyatan tanpa kekerasan.

Untuk membangun bangsa yang bermartabat maka lima point diatas harus dilakukan oleh semua komponen bangsa ini, dalam upaya mengkampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan maka rumah baca melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1.    Pagelaran seni dan sastra
Tema          : Stop kekerasan terhadap perempuan
Waktu         : Selasa 25 Nopember 2014 pukul 20.30-23.00 WIB
Tempat       : Plekung Gading dan Pendopo Rumah baca komunitas

2.    Diskusi
Tema        : Reorientasi Teori Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Pendidikan Islam
Waktu       : Rabu 26 Nopember 2014 pukul 18.30-22.00 WIB
Tempat      : Pendopo Rumah Baca Komunitas

3.    Diskusi
Tema         : kekerasan dalam Pacaran
Waktu        : sabtu 29 Nopember 2014 Pukul 16.30-20.00 WIB
Tempat      : Pendopo Rumah Baca Komunitas

4.    RBK on the Street
Tema         : Stop kekerasan dan Diskriminasi
Waktu        : Minggu 20 Nopember 2014 pukul 07.00 – 10.00 WIB
Tempat      : Alun-alun Kidul

5.    Diskusi
Tema         : Kekerasan, Negara dan LGBT
Waktu        : Rabu 3 Desember 2014 pukul 18.30-22.00 WIB
Tempat      : Pendopo Rumah Baca Komunitas

6.    Analisi film “The Help”
Tema         : kekerasan Rasial
Waktu        : Sabtu 6 Desember 2014 Pukul 18.30-22.00 WIB
Tempat      : Pendopo Rumah Baca Komunitas

7.    RBK on the Street
Tema         : Munir mencari keadilan
Waktu        : Minggu 7 Desember 2014 pukul 07.00-10.00 WIB

8.    Aksi Damai dan aksi Diam
Tema         : Saatnya untuk tidak diam
Waktu        : Rabu 10 Desember 2014 pukul 16.00-17.00 WIB
Tempat      : Titik Nol Km

Demikian Press Release ini semoga bisa menjadi pekerjaan kita bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, setara tanpa kekerasan

Salam damai tanpa kekerasan
Yogyakarta, 25 Nopember 2014

Ahmad Sarkawi
Direktur Rumah Baca Komunitas
No HP : 085724014701

Tuesday, November 18, 2014

Kemenangan Kaum Literasi

Oleh: David Efendi
Pembina dan Pegiat RBK

RBK on the street, sebuah aktifitas yg makin akrab terdengar bagi pegiat literasi beberapa bulan terakhir, adalah sebuah konsep perpustakaan jalanan yang lahir dari komunitas anak muda di Kali Bedog (Rumah Baca Komunitas).
Salah satu visi utamanya adalah bagaimana buku itu menjadi muda diakses bagi setiap orang tanpa disekat status sosial. Ibaratnya air, buku adalah kehidupan bagi semua manusia. Tanpa setitikpun pengecualian.
Pada kegiatan RBK on the street #7 ini semakin menguatkan imajinasi para konseptornya. Kegiatan ini mampu menggerakkan kesadaran dan sekaligus kreatifitas pegiatnya. Ya, "kreatifitas tanpa batas", kata Indra yang berjibagu siapkan acara RBK di alun alun kidul.
Pegiat yang mengamalkan ajaran apresiatif ini semakin terbiasa dengan serangkaian kegiatan di akhir pekan. Malam menyiapkan buku, souvenir seadanya, spanduk untuk kampanye literasi dgn cara manual. Tantangan terberat adalah, keharusan bangun pagi di minggu hari. Ini serasa berat sekali pada awalnya.
Edisi kali ini mengambil tema, ramoco ramulyo dgn gambar Tirto Adisuryo. Seorang pegiat literasi di masa pra revolusi kemerdekaan Indonesia.

Artinya, salah satu cara memuliakan sebuah bangsa adalah dengan cara membangun kesadaran literasi, kesadaran akan nilai nilai kemerdekaan, kesetaraan, dan spirit pembebasan. Dengan kekuatan ini, bangsa kita layak diperhitungkan oleh bangsa bangsa lainnya terutama menjadi teror bagi kesewenangan kaum penjajah. Kini, penjajahan fisik itu lebih pada hegemoni dan dominasi kebudayaan. Karena itulah, media tv yg tidak edukatif, diskriminasi, budaya inlander haruslah menjadi common enemy para pekerja literasi.
Dgn gambar Tirto Adisuryo, menuntut kita harus dedikasikan diri kita untuk belajar keras, membaca menulis dengan militan, dan bekerja keras untuk kebaikan rakyat sbg kelanjutan dari revolusi literasi Tirto.
Aksi pembebasan ini dicatat oleh Agam, salah seorang pegiat RBK dalam notes BBM. Dia menulis demikian:
"...Setelah perut terisi, sambil menghisap dalam rokoku, datang seorang bapak berpostur tinggi, memakai kaos lengan panjang dan celana pendek, merapatnya ke lapak baca tentu tanpa panggilan. Keberadaannya dilapak baca hari ini menurut cak david adalah fenomena yg belum pernah terjadi sebelumnya, bisa disimpulkan beliau adalah pemecah rekor tukang becak pertama yg mengharimpi lapak baca. Sambil ditemani gus ind, dia melihat-lihat koleksi buku yg kami sajikan, tanpa berlama lama si tukang becak tadi menjatuhkan pilihannya pada buku anak-anak, entah apa yg mendasari beliau memilih buku anak-anak tersebut, kami mencoba utk meminta alasan kenapa beliau memilih buku itu ? Dgn tegas dia menjawab "anak saya pasti senang sekali kalau saya bawa buku ini untuknya". Subhanallaah, aku dan gus ind terdiam haru.
Ternyata buku selain memberikan pengetahuan, juga bisa membahagiakan hidup seseorang. Tidak hanya itu sebagai bentuk apresiasi atas keikhlasannya, cak David langsung memberikan 1 baju dewasa, 1 baju anak" hasil dari karya para pegiat literasi ,
"Terima kasih, terima kasih, anak saya pasti senang sekali saya bawakan buku dan baju ini, " celetuknya sebelum meninggalkan kami dan tumpukan buku."
Dia mempertegas pengalaman "etnografi" ini bahwa RBK telah memberikan bukti hilangnya sekat sekat kelas sosial dalam gerakan literasi. Buku sebagai media komunikasi lintas kelompok kepentingan. Saya setuju dengan kesimpulan ini. Hari ini ada banyak ragam menusia mampir di lapak "moco gratis" mulai dari wartawan, penulis buku (memberikan buku karya sendiri), pegiat pendidikan dari AJI, temannya teman, mahasiswa, dan masyarakat umum lainnya.
Ada beberapa pengunjung juga menghibahkan bukunya di RBK pada moment on the street.
Beberapa peminjam buku masih juga ada yang kaget tentang kegiatan pinjam buku boleh bawa pulang gratis ini. Ada dua "pelangggan" pinjam buku meminta maaf belum bisa pulangkan buku yang dipinjam.
"kemanusiaan saya tersentuh" nyaris terguncang, adalah sebuah penghargaan besar mereka (ada yang bapak bapak juga ibu) datang ke "TKP" hanya menyampaikan permohonan maaf karena belum selesai membaca buku dan masih dipakai bahan menulis. Para peminjam buku ini memanusiakan para pegiat RBK dengan kesantunan meminta maaf. Dan senyum terkembang dari wajah penjaga lapak ini.

Parkir dan Kemenangan
Walaupun say sudah nego dengan petugas parkir dan mendapatkan keringan, sampai pada akhirnya saya minta pendapat di komunitas sosial lain: "sudah empat bulan tak pernah diparkir, pagi tadi para pegiat gerakan literasi didatangi pak parkir agar bayar parkir.
Diantara peminjam buku adalah tukang becak dan siapa saja tak bs disebutkan satu satu."
Kegiatan sosial saja diparkir, apa negerri ini sudah kehilangan kearifan lokal? jika ada jamaah group ini yg tahu otoritas parkir alkid,dan bisa membantu untuk pembesan parkir dilapak moco buku gratis boleh dibawa pulang ini kami akan gembira sekali."
Adapun hasil nego pagi ini adalah motor pegiat RBK tidak ditarik parkir dengan dinaikkan ke atas sisi jalan. Saya pun gembira. Tapi ada kegembiraan lainnya, bahwasanya pegiat RBK tak ada yang menggerutu gara gara harus bayar parkir. Bahkan ada salah satu pegiat yang sudah banyak berbincang dan kenal dengan "abang parkir" itu. Satu hal yang saya khawatirkan adalah pengunjung/pembaca enggan mampir kalau harus membayar parkir.
Overall, suasana hati dan perbuatan telah kita menangkan hari ini. Kita bukan masuk golongan orang yang kalah dan marah! selamat untuk teman teman pekerja literasi. Kemenangan kecil kita sudah raih setiap hari, kita akan perjuangkan lahirnya hari raya kemenangan besar.




Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK