Oleh: Lutfi Zanwar Kurniawan
Voluntir RBK
Beberapa hari terakhir Yogyakarta diguyur hujan. Sebagaimana
yang terjadi malam itu, seperti sudah terjadwal, hujan mengguyur Yogyakarta.
Menjelang Isya’ hujan masih menyisakan rintik-rintiknya sehingga hawa dingin
pun terasa. Dinginnya udara Yogyakarta malam itu tidak lantas membuat suasana
bedah film yang diadakan oleh Rumah Baca Komunitas sepi peserta. Suasana hangat
tetap terasa diantara pesera bedah film. Apalagi saat satu per satu dari mereka
menyampaikan tanggapannya setelah film selesai diputar.
Ya, malam itu Rumah Baca Komunitas menyelenggarakan kegiatan
rutin yang dinamakan Reboan. Dengan mengadakan bedah Film berjudul Belakang
Hotel, kali ini Reboan mengangkat tema seputar pembangunan hotel-hotel yang
begitu marak terjadi di Yogyakarta. Dalam film yang berdurasi sekitar empat
puluh menit itu kita menyaksikan bagaimana maraknya pembangunan hotel yang
terjadi di Yogyakarta ternyata memberikan dampak negatif bagi warga sekitar
lokasi hotel dibangun.
Penyedotan air sumur dalam yang dilakukan oleh hotel
menyebabkan sumur-sumur warga asat (kering). Beberpa warga sekitar hotel
mengaku bahwa berpuluh-puluh tahun sumur mereka tidak pernah asat. Semenjak
hotel-hotel itu dibangun tidak lama kemudian sumur-sumur mereka asat.
Film ini merupakan wujud gerakan protes yang dilakukan oleh
beberapa komunitas di Yogyakarta atas efek negatif pembangunan. Pembangunan
yang seharusnya memberikan kesejahteraan, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Keuntungan itu hanya menggumpal pada segelintir orang pemilik modal. Warga
dirugikan atas ekes-ekses negatif pembangunan. Alih-alih ikut merasakan madu
hasil pembangunan bahkan kecipratanpun tidak. Mereka hanya kebagian residunya,
itupun residu negatif yang merugikan warga.
Semenjak sumur-sumur itu asat, mereka kesulitan untuk
mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sehingga dibutuhkan
pengorbanan waktu dan biaya tak sedikit untuk mendapatkan air.
Sebelum-sebelumnya mereka hanya perlu mengambil air dari sumur-sumur di sebelah
rumahnya. Ketika sumber-sumber air di sumur-sumur itu mulai mengering mereka
harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan air. Salah satu warga
bahkan sampai harus ke pasar untuk mandi itupun masih harus bayar. Ada pula
kisah seorang ibu yang harus menimba sampai puluhan kali hanya untuk mengisi
bak airnya. Padahal biasanya hanya butuh beberapa kali angkat ia sudah bisa
memenuhi baknya.
Dalam film itu dipaparkan pula data kebutuhan satu kamar
hotel/hari 380 liter sedangkan kebutuhan rumah tangga satu keluarga hanya 300
liter/hari. Alangkah gelapnya hati manusia. Orang-orang kecil hanya dijadikan
selop atau alas kaki egois kesejahteraan pemilik modal yang rakus.
Kesejahteraan selalu terserap ke atas, kemakmuran selalu menggumpal di atas.
Walaupun begitu mereka masih bisa guyon, ngguya-ngguyu ketika
gambarnya diambil dalam proses wawancara, senyum mereka masih mengembang.
Mereka mampu mengolah dan memproses kebahagiaannya sendiri di tengah himpitan
keterbatasan. Mereka seperti memiliki banyak pintu untuk mengundang
kebahagiaan. Padahal di saat yang bersamaan kebutuhan vital mereka akan air
terancam.
Ngguya-ngguyu-nya warga itu
bukan berarti mereka tidak berbuat apa-apa. Diam saja melewatkannya sambil lalu
kemudian melupakan apa yang terjadi. Tidak. Mereka tentu saja tidak tinggal
diam. Mereka mengadakan perlawanan dengan meminta pertanggung-jawaban dari
pihak hotel. Merasa protesnya dianggap angin lalu, mereka mengadakan aksi mandi
debu di depan hotel. Debu itu menjadi simbol bahwa air mereka telah dirampas
dan dikuasai oleh pihak hotel. Mereka menagih diterapkannya dengan konsisten
undang-undang pasal 33 ayat 3 yang mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Membela Yang Lemah
Seperti layaknya bedah film, setelah screening film
selesai acara dilanjutkan dengan diskusi. Diskusi yang hangat adalah diskusi
yang memunculkan beragam perspektif sehingga yang lahir bukan hanya penafsiran
tunggal atas peristiwa. Itu juga yang terjadi dalam diskusi malam itu. Para
peserta bergantian menyampaikan pandangan dan pendapatnya tentang film yang
baru saja mereka tonton bersama.
Diskusi dibuka dengan pendapat dari salah satu peserta yang
mempertanyakan bahwa kenapa isu ini perlu diangkat? Padahal kan yang mengalami
masalah ini hanya segelintir saja, tidak semua warga yang tinggal di sekitar
hotel mengalami kejadian yang sama. Kemudian lantas peristiwa ini memunculkan counter wacana
bahwa Jogja Ora Asat. Karena toh kenyataannya kekeringan tidak terjadi di
banyak tempat. Tentu saja counter wacana yang lahir akan
mengurangi daya dobrak wacana Jogja Asat. Beberapa peserta diskusi menyayangkan
munculnya counter wacana karena ini justru melemahkan dan
merugikan warga Yogyakarta.
Counter wacana ini seharusnya tidak dilihat sebagai pelemahan
terhadap wacana Jogja Asat yang coba digulirkan untuk menggugah kesadaran warga
akan efek negatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan dampaknya pada
lingkungan alam dan sosial. Counter Wacana Jogja Ora Asat
kalau dilihat lebih dalam sebenarnya malah menguntungkan. Karena dengan adanya
counter, di satu sisi ini menyebabkan wacana mampu menjangkau dalam jangkauan
yang lebih luas. Wacana ini akan terus menerus bergulir dan terus hidup.
Bayangkan jika wacana ini tidak ada yang menanggapi, mengkritik, atau
meng-counter. Bisa jadi jangkauannya tak terlalu luas dan umurnya pendek.
Seperti curhat Steven Levitt, Profesor di Chicago dan penulis buku Freakonomics
dan Super Freakonomics dalam artikel yang ditulis oleh Pramudya A. Octavianda.
Pernah suatu hari Levitt stress luar biasa karena seringkali dikritik orang
gara-gara idenya yang dianggap kontroversial dan ia akhirnya meminta nasihat
kepada Gary Becker. Saran Gary Becker sederhana: "bersyukurlah kamu karena
ada yang mengkritik. Tahu yang lebih parah? Kamu dianggap angin lalu.”
Menjawab kegelisahan pertanyaan, kenapa isu ini perlu diangkat?
Padahal kan yang mengalami masalah ini hanya segelintir saja, tidak semua warga
yang tinggal di sekitar hotel mengalami kejadian yang sama. Salah seorang
peserta memberikan perspektif yang cukup melebarkan cakrawala dalam memandang
permasalahan. Biarpun ini permasalahan sebagian kecil orang, namun ini adalah
permasalahan kemanusiaan. Isu ini diangkat tidak ditentukan oleh berapa besar
dan berapa banyak orang yang mengalami ketertindasan. Bahkan hanya satupun,
jika ada penindasan manusia atas manusia lain, maka perlu dibela. Kita tidak
mungkin mengatakan, “lhoh kan itu hanya dialami segelintir orang”. Kemudian
kita menutup mata atas tragedi itu.
Dalam beberapa bulan belakangan ini, maraknya pembangunan hotel
dan obral izin pendirian hotel memang cukup meresahkan warga. Di beberapa
lokasi hotel dibangun, warga melakukan demo untuk menentang pembangunan.
Keresahan warga ini ternyata juga dirasakan oleh komunitas-komunitas yang
memang banyak tumbuh di Yogyakarta. Topik tentang pembangunan hotel cukup
mendominasi dan menjadi bahan perbincangan mereka yang tergabung dalam komunitas.
Mereka merasa ada yang tidak benar atau setidaknya-tidaknya tidak tepat dengan
maraknya pembangunan hotel tersebut.
Ada keinginan kuat diantara mereka yang tergabung di komunitas
untuk turut terlibat dalam mewacanakan permasalahan ini. Diharapkan keterlibatan
banyak pihak akan membuat permasalahan ini menjadi masalah lebih banyak
masyarakat Yogyakarta. Pada ujungnya nanti warga memiliki posisi tawar yang
kuat di hadapan pemerintah maupun birokrasi. Memiliki daya tekan yang lebih
kuat supaya pemerintah dan birokrasi segera terlibat untuk Turun Tangan
menjawab permasalahan yang sedang dihadapi warga Yogyakarta. Tetapi sayangnya,
banyak diantara komunitas-komunitas tadi yang tidak memiliki pemahaman dan
pengetahuan yang cukup untuk terlibat. Hal ini menyebabkan mereka sampai
sekarang kurang memiliki strategi yang tepat dan efektif untuk turut terlibat
menjawab permasalahan yang sedang terjadi.
Ada pelajaran berharga dari pembuatan Film Belakang Hotel ini.
Jika diperhatikan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film, wacana yang
ingin mereka angkat fokus pada sasaran tertentu yang dirasa cukup efektif dan
memiliki dimensi luas dan bisa dilihat secara langsung. Mereka mengangkat isu
tentang keringnya sumur-sumur warga akibat berdirinya hotel yang menyedot air
sumur dalam untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. fokus yang diangkat ini
menarik karena langsung tertuju pada permasalahan yang bisa langsung dirasakan
oleh warga. Walaupun sebenarnya ada dampak-dampak lain yang tidak terlihat dan
dirasakan padahal itu menimbulkan kerugian yang besar. Tetapi penting untuk
mengangkat wacana-wacana yang mudah dipahami oleh warga. Dan itu biasanya
sesuatu mereka mampu lihat dan rasakan.
Problemnya di sini, komunitas-komunitas tadi tidak memiliki
fokus sasaran yang jelas. Malahan yang berkembang selama ini adalah bagaimana
menghentikan pembangunan hotel. Sebagai pihak yang berada di luar struktur
kekuasan, pembuat kebijakan, walaupun itu mungkin namun sangat sulit.
Seharusnya daripada wacananya difokuskan pada penghentian pembangunan hotel.
Mereka bisa menembak hal-hal yang lebih strategis. Misal saja fokus pada apakah
dalam pembangunan hotel mereka melibatkan warga sekitar yang berpotensi
terdampak akibat pembangunan. Apakah ada MOU antara warga sekitar dengan pihak hotel
jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang merugikan. Itu tadi hanya salah satu
strategi alternative, sebab kekuatan komunitas-komunitas tadi belum cukup kuat
untuk memaksa dihentikannya pembangunan-pembangunan hotel di Yogyakarta. Karena
jangan sampai mentoknya wacana tadi menghentikan semangat komunitas-komunitas
tadi untuk turut terlibat.
Diskusi Reboan malam itu ditutup dengan sebuah komentar.
Seharusnya organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki puluhan juta anggota memiliki peran yang besar untuk juga terlibat dalam
menyelesaikan permasalahan ini. Mereka jangan tutup mata terhadap permasalahan
riil yang dihadapi oleh umat. Ekses negatif dari maraknya pembangunan hotel ini
adalah masalah-masalah kongkret. Ekses-ekses itu tidak hanya bidang moral dan
mental, melainkan gap perolehan ekonomi, ketercerabutan
budaya.
Jangan sampai lembaga-lembaga keagamaan hanya sibuk menjadi biro fiqih yang kelak tak lagi dilirik orang dan
tak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tiap hari kerjaannya main semprit
menuduh ini salah, itu haram, itu offside, itu handsball.
Seperti yang dikatakan oleh Emha Ainun Nadjib, seharusnya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi
keagamaan ialah bagaimana menguasai lapangan sepak bola sejarah. Bagaimana
melatih pemain-pemain yang antisipatif dan determinative terhadap pola
permainan lain. bagaimana memilih siapa bek-nya, siapa libero-nya,
siapa playmaker, siapa winger dan striker-nya