Showing posts with label bedah film. Show all posts
Showing posts with label bedah film. Show all posts

Saturday, September 19, 2015

CONFUCIUS : Simbol Kebijaksanaan Klasik Tiongkok (Sebuah Resensi singkat)



Oleh : Gus Ind (Pegiat RBK)

Dalam dekade awal milenium tak bisa dipungkiri memang film mandarin sempat membanjiri tayangan nasional kita, berbeda dengan saat ini dimana film televisi (FTV) telah tuntas mengambil urutan emas rating dunia hiburan televisi. Serial-serial mandarin yang seperti hilang ini pun tak cukup banyak meninggalkan jejak.

Beberapa saat lalu petualangan kecil saya dimulai antara jejeran kolom folder film pada hard drive, mendapatkan film mandarin di dalamnya menjadi sebuah penemuan tersendiri bagi saya. Sebuah Film berjudul Confusius telah berhasil mendapatkan rasa penasaran saya, terlebih karena rasa nostalgis yang bukan sedikit dengan tontonan mandarin yang sontak dahulu pernah akrab itu, dari sampul film yang berisi pemeran itu hadir seorang dewa judi, Chow yun fat, ketertarikan itu semakin saya dapati, seiring play button pada monitor yang menemukan fungsinya.


Friday, March 6, 2015

Diskusi reboan Diskusi film Munir " kiri merah kanan hijau"

Oleh: Relsan
Pegiat rbk

tepat pada tanggal 25 februari 2015 para pegiat rumah baca komunitas membedah suatu film yang mengisahkan seorang aktivis sejati yang mengumandangkan pemberian hak asasi manusia, aktivis yang tidak pernah pantang mundur dalam membela kebenaran bahkan sampai akhir hayatnya idealismenya tentang perjuangan membela buruh, kaum tertindas, rakyat lemah tetap dipertahankan, ya sangat tepat dia adalah MUNIR SAID TALIB. Seorang aktivis yang berasal dari batu, malang yang harus kehilangan nyawanya diatas pesawat dengan cara di racun. 

Suasana malam di padepokan rumah baca konunitas begitu hangat , hubungan kekeluargaan diantara pegiat nampak hadir secara natural tanpa ada tujuan lain selain memanusuakan manusia , tidak pula memandang status usia dan dari mana asal pegiat. Semua berkumpul untuk kembali mengingat perjuangan munir yang mulai terlupakan. Tepat pada malam itu juga terdapat aktivis2 dari berbagai golongan usia yang tentunya memiliki potensi melanjutkan perjuangan munir di masa lalu. 

Kisah munir di kisahkan sejak kecik munir merupakan manusia yang memiliki kepekaan sosial terhadap sesama manusia , munir berasal dari keluarga islam dan berlatar belakangkan organisasi himpunan mahasiswa islam akan tetapi selama dalam perjuangannya membela dan memperjuangkan hak asasi manusia munir tidak pernah berdiri mewakili suatu golongan, munir berdiri sebagai manusia yang tidak dapat melihat kesewenangan2an orde baru yang di pimpin soeharto. 

Sekali lagi kita di perlihatkan resistensi tehadap orde baru oleh seorang aktivis bernama munir, bagaimana buruknya pemberian hak asasi manusia , hak asasi manusia seolah menjadi suatu hal yg sulit didapatkan oleh semua warga negara padahal jelas diatur dalam peraturan perundangan2 negara indonesia hak asasi manusia di jamin bahkan sejak pertama kali manusia hadir ke atas bumi ini bahkan jauh sebelum itu pada tahun 1215 disahkannya magna charta.

Dengan jelas dalam magna charta di jelaskan bahwa raja/pemimpin menjamin hak2 dari setiap rakyat , memberikan kebebasan kepada rakyat dan yang paling fundamental adlh HAM lebih penting dri pd kedaulatan & kekuasaan. Artinya kita kembali dibenturkan bahwa rezim orde baru mematikan peran civil society sebagai bagian dari negara untk mengkontrol jalannya negara. 

Rakyat dibuat tertidur dengan diberikan makan yang kenyang oleh rezim orde baru tp ditengah hal tersebut yg terjadi justru jurang pemisah antara si kaya & si miskin makin tak terkendali yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin. Melihat realitas yang ada munir menjadi jawaban akan kegusaran buruh & rakyat kecil terhadap ketidakadilan yg mereka terima pada era orba. Kata2 yg harus kita ingat bahwa untuk menjadi seorang aktivis seperti munir kita tidak perlu "membaca dan paham teori kapitalisme, marxisme atau sosialisme untuk membela rakyat kecil, yg diperlukan adalah membuka hati , telinga dan mata bahwa ketika ada ketidak adilan yg sedang terjadi di sekeliling kita maka kita yg berhak dan berkewajiban mengahncurkan dan membinasakan ketidakadilan & diskriminsasi tersebut ". 

Sampai detik ini negara seolah berusaha melupakan perjuangan munir, melupakan proses hukum untuk menghukum pembunuh munir,pembunuhan yang di lakukan dengan cara yg hina. dengan begitu banyak intelejen yang handal yang dimiliki indonesia rasanya tidak mungkin kesulitan untuk mengungkap satu kasus mengupas tuntas kematian munir akan tetapi realitas yang terjadi negara seolah berusaha melupakan kasus munir & berusaha melindungi & menutup rapat2 identitas pembunuh munir. Ketika munir melakukan resistensi dari ketidak adilan rezim orde baru saat ini bagi kami para aktivis resistensi yg dpt kmi lakukan kpd negara kadalah MENOLAK LUPA KASUS MUNIR , KUPAS TUNTAS KASUS MUNIR!. Masalah politik yang di hadapi indonesia sampai pada dewasa ini dikarenakan sedikit sekali para pemegang jabatan publik yang memegang teguh pembelajaran dan kontrak sosial-kinerja yg diberikan kepadanya.

Masalah politik yang dihadapi indonesia pada dewasa ini dikarenakan sedikit sekali para pemegang jabatan publik yg memegang teguh prinsip dan idealisme munir dalam berjuang, sesuatu ilmu sederhana tp jika dilakukan akan mengubah masa depan khalayak ramai bahkan negara menjadi lebih baik yakni "berjuang bukan untuk satu golongan , lakukan perjuangn dengan tulus untuk kebaikan umat bukan untuk kebaikan dan kepentingan golongan ". 

Pembelajaran yang terkahir yg dpt saya simpulkan adalah hilangkan paradigma bahwa seorang aktivis akan sulit menyelesaikan program studinya di dunia perkuliahan karena sekali lagi almarhum munir menunjukkan kepada kita bahwa almarhum mampu menyelesaikan studinya dengan waktu yang tepat sesuai dengan target yng menjadi acuan selama ini, intinya menjadi aktivis dengan bertujuan memperjuangkan kemaslhatan umat tdak akan mengahambat studi untuk menggapai cita2.

Walaupun munir sudah pergi tidak etis ketika kita meratapi kepergian munir secara berlarut2 namun yg dpat kita lakukan sebagai manusia yng masih diberikan nyawa oleh tuhan adalah menruskan perjuangan munir dengan konsep disertai aksi nyata demi perbaikan indonesia di masa depan dan buat almarhum bangga di alam sana bahwa semangatnya dalam memperjuangkan hak asasi manusia masih tetap hidup sampai saat ini. . . # rumah baca komunitas


Screening film "Gandhi" Catatan Diskusi Reboan, 18 Februari 2015

Oleh: Abdullah Bin Zed (diedit oleh AP)

Dalam diskusi Reborn kali ini –saya suka memlesetkan Reboan menjadi reborn, sebab setelah diskusi terasa lahir kembali kerana tercerahkan-- RBK menyaksikan pemutaran film “Gandhi”. Dan seperti biasa, disertai diskusi setelahnya. Film panjang berdurasi sekitar 3 jam 11 menit itu bercerita tentang kisah hidup dan perjuangan seorang Mahatma Gandhi, tokoh besar dari India. Secara sangat luar biasa, film menceritakan bagaimana kehidupan Gandhi, dimulai dari saat dia menyelesaikan studinya di London, kemudian pindah ke South Africa, hingga akhirnya dia pulang lagi ke India, Gandhi berniat untuk melakukan perubahan di tanah kelahirannya yang saat itu tengah dijajah oleh Kerajaan British.

Adalah Ben Kingsley, seorang aktor Inggris keturunan India, yang memerankan sosok Ghandi. Ia nampak sukses membawakan perannya seolah menjelma menjadi seorang Mahatma Gandhi.

Diperankannya sosok Gandhi yang tengah menyelesaikan studinya di London, menjadi seorang lawyer yang merantau ke South Africa. Inilah titik awal perubahan hidup seorang Mahatma Gandhi. Di South Africa itu, Gandhi dihadapkan pada sebuah realitas kejam tanah jajahan di South Africa yang menampar kesadarannya: dia melihat sebuah sistem apartheid diterapkan. Tidak hanya melihat saja, bahkan Gandhi pun menjadi korban sistem rasisme itu ketika dia ditendang keluar dari kereta api, karena dia mencoba duduk di kelas bisnis (di situ, hanya orang kulit putih yang boleh duduk di kelas bisnis. Gandhi bukan kulit putih!). Kejadian itu seolah menginjak-injak segala rasionalitas prinsip egaliter yang diyakini Gandhi: "Kita semua adalah anak Tuhan yang sama antara satu dengan lainnya". Kejadian itu rupanya merubah kehidupan Gandhi, dari seorang intelektual elitis ia kemudian turun gunung menjadi seorang pejuang --bersama rakyat tertindas-- melawan tirani colonial kaum kulit putih. 

Nama dan perlawanan Gandhi mulai dikenal banyak orang lintasnegara saat dia memimpin perlawanan terhadap ketidakadilan sistem apartheid di Afrika selatan yang mendiskriminasikan orang-orang kulit berwarna. Karena melawan, sejak saat itu, Gandhi seolah telah tumbuh menjadi kanker bagi rezim kolonial British. 

Setelah sekitar 10 tahun lebih tinggal di Afrika Selatan, kemudian Gandhi memutuskan pulang ke tanah kelahirannya, India, untuk mencoba melakukan perubahan di sana. Di India, Gandhi langsung mendapat sambutan meriah dari masyarakat dan para tokoh kongres nasional India. Gandhi memulai perlawanannya dengan melakukan perjalanan ke beberapa tempat di India untuk mengenali realitas kondisi masyarakat India. Setelah itu Gandhi memulai aksi-aksi perlawanannya terhadap rezim kolonial british. 

Gandhi adalah sesosok tokoh kemanusiaan dan pahlawan kemerdekaan India yang perjuangannya dijadikan model oleh berbagai gerakan sosial di dunia sekarang. Model perlawanan Gandhi itu adalah perlawanan nir-kekerasan. Sebuah bentuk perlawanan yang menghindari aksi-aksi kekerasan dengan menonjolkan bentuk-bentuk perlawanan berbasis non-cooperate. Kepada seluruh masyarakat India, baik muslim maupun hindu, Gandhi selalu menekankan untuk bersatu melawan tirani kolonial British, dengan cara menerima saja segala kekerasan yang dilakukan rezim dan membuat rezim itu melihat ketidakadilannya sendiri. Gandhi mengajak masyarakat India melawan rezim dengan tidak menyerahkan kepatuhan mereka. Satu hal yang sangat khas dari seorang Gandhi, yang membuat jutaan masyarakat India selalu mengikutinya --bahkan rela mati deminya—adalah, kehidupan Gandhi sebagai tokoh pemimpin ratusan juta rakyat India dengan menjadi masyarakat India itu sendiri. 

Gandhi hidup layaknya orang-orang miskin India, dia tidak mempraktekkan kepemimpinan elitis. Sebuah sikap dan model penampilan yang sangat berbeda dengan para tokoh kongres nasional saat itu yang Nampak sangat elitis dan borjuis… 

Dalam diskusi, komunitas RBK peserta diskusi screening film ini menggarisbawahi, bahwa Gandhi bukan hanya milik rakyat India. Lebih dari itu, Gandhi adalah simbol pahlawan kemanusiaan, ia adalah milik seluruh manusia di jagad raya yang ingin menentang segala bentuk ketidakadilan dan kekerasan. David Efendi, salah peserta diskusi, mengemukakan bahwa Gandhi adalah seorang tokoh yang rendah hati. Sosok Gandhi bukan tipe tokoh yang gila hormat dan pujian. Menurut David, Gandhi terinspirasi oleh buku "Civil Disobedience" didalam cara dan prinsip dia menggalang massa untuk melawan penindasan. Ajakannya kepada rakyat India adalah melawan dengan tidak mematuhi, tidak bekerja sama dan tidak melakukan tindak kekerasan, sekalipun saat mereka menerima segala bentuk tindak kekerasan. 

Itulah Mahatma Gandhi, sesosok figur tokoh kemanusiaan milik seluruh umat manusia dari berbagai zaman dan generasi. Simbol antipenindasan, antiarogansi dan antikekerasan. Ruh dan spirit Gandhi ada pada setiap manusia yang ingin melawan ketidakadilan, melawan kekerasan, dan melawan elitisme intelektual dan pemimpin atas penderitaan rakyat… 

Monday, February 2, 2015

Catatan Bedah Film Belakang Hotel

Oleh: Lutfi Zanwar Kurniawan
Voluntir RBK

Beberapa hari terakhir Yogyakarta diguyur hujan. Sebagaimana yang terjadi malam itu, seperti sudah terjadwal, hujan mengguyur Yogyakarta. Menjelang Isya’ hujan masih menyisakan rintik-rintiknya sehingga hawa dingin pun terasa. Dinginnya udara Yogyakarta malam itu tidak lantas membuat suasana bedah film yang diadakan oleh Rumah Baca Komunitas sepi peserta. Suasana hangat tetap terasa diantara pesera bedah film. Apalagi saat satu per satu dari mereka menyampaikan tanggapannya setelah film selesai diputar.

Ya, malam itu Rumah Baca Komunitas menyelenggarakan kegiatan rutin yang dinamakan Reboan. Dengan mengadakan bedah Film berjudul Belakang Hotel, kali ini Reboan mengangkat tema seputar pembangunan hotel-hotel yang begitu marak terjadi di Yogyakarta. Dalam film yang berdurasi sekitar empat puluh menit itu kita menyaksikan bagaimana maraknya pembangunan hotel yang terjadi di Yogyakarta ternyata memberikan dampak negatif bagi warga sekitar lokasi hotel dibangun. 

Penyedotan air sumur dalam yang dilakukan oleh hotel menyebabkan  sumur-sumur warga asat (kering). Beberpa warga sekitar hotel mengaku bahwa berpuluh-puluh tahun sumur mereka tidak pernah asat. Semenjak hotel-hotel itu dibangun tidak lama kemudian sumur-sumur mereka asat.
Film ini merupakan wujud gerakan protes yang dilakukan oleh beberapa komunitas di Yogyakarta atas efek negatif pembangunan. Pembangunan yang seharusnya memberikan kesejahteraan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Keuntungan itu hanya menggumpal pada segelintir orang pemilik modal. Warga dirugikan atas ekes-ekses negatif pembangunan. Alih-alih ikut merasakan madu hasil pembangunan bahkan kecipratanpun tidak. Mereka hanya kebagian residunya, itupun residu negatif yang merugikan warga.

Semenjak sumur-sumur itu asat, mereka kesulitan untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sehingga dibutuhkan pengorbanan waktu dan biaya tak sedikit untuk mendapatkan air. Sebelum-sebelumnya mereka hanya perlu mengambil air dari sumur-sumur di sebelah rumahnya. Ketika sumber-sumber air di sumur-sumur itu mulai mengering mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan air. Salah satu warga bahkan sampai harus ke pasar untuk mandi itupun masih harus bayar. Ada pula kisah seorang ibu yang harus menimba sampai puluhan kali hanya untuk mengisi bak airnya. Padahal biasanya hanya butuh beberapa kali angkat ia sudah bisa memenuhi baknya.

Dalam film itu dipaparkan pula data kebutuhan satu kamar hotel/hari 380 liter sedangkan kebutuhan rumah tangga satu keluarga hanya 300 liter/hari. Alangkah gelapnya hati manusia. Orang-orang kecil hanya dijadikan selop atau alas kaki egois kesejahteraan pemilik modal yang rakus. Kesejahteraan selalu terserap ke atas, kemakmuran selalu menggumpal di atas. Walaupun begitu mereka masih bisa guyon, ngguya-ngguyu ketika gambarnya diambil dalam proses wawancara, senyum mereka masih mengembang. Mereka mampu mengolah dan memproses kebahagiaannya sendiri di tengah himpitan keterbatasan. Mereka seperti memiliki banyak pintu untuk mengundang kebahagiaan. Padahal di saat yang bersamaan kebutuhan vital mereka akan air terancam.

Ngguya-ngguyu-nya warga itu bukan berarti mereka tidak berbuat apa-apa. Diam saja melewatkannya sambil lalu kemudian melupakan apa yang terjadi. Tidak. Mereka tentu saja tidak tinggal diam. Mereka mengadakan perlawanan dengan meminta pertanggung-jawaban dari pihak hotel. Merasa protesnya dianggap angin lalu, mereka mengadakan aksi mandi debu di depan hotel. Debu itu menjadi simbol bahwa air mereka telah dirampas dan dikuasai oleh pihak hotel. Mereka menagih diterapkannya dengan konsisten undang-undang pasal 33 ayat 3 yang mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Membela Yang Lemah  

Seperti layaknya bedah film, setelah screening film selesai acara dilanjutkan dengan diskusi. Diskusi yang hangat adalah diskusi yang memunculkan beragam perspektif sehingga yang lahir bukan hanya penafsiran tunggal atas peristiwa. Itu juga yang terjadi dalam diskusi malam itu. Para peserta bergantian menyampaikan pandangan dan pendapatnya tentang film yang baru saja mereka tonton bersama.

Diskusi dibuka dengan pendapat dari salah satu peserta yang mempertanyakan bahwa kenapa isu ini perlu diangkat? Padahal kan yang mengalami masalah ini hanya segelintir saja, tidak semua warga yang tinggal di sekitar hotel mengalami kejadian yang sama. Kemudian lantas peristiwa ini memunculkan counter wacana bahwa Jogja Ora Asat. Karena toh kenyataannya kekeringan tidak terjadi di banyak tempat. Tentu saja counter wacana yang lahir akan mengurangi daya dobrak wacana Jogja Asat. Beberapa peserta diskusi menyayangkan munculnya counter wacana karena ini justru melemahkan dan merugikan warga Yogyakarta.

Counter wacana ini seharusnya tidak dilihat sebagai pelemahan terhadap wacana Jogja Asat yang coba digulirkan untuk menggugah kesadaran warga akan efek negatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan dampaknya pada lingkungan alam dan sosial. Counter Wacana Jogja Ora Asat kalau dilihat lebih dalam sebenarnya malah menguntungkan. Karena dengan adanya counter, di satu sisi ini menyebabkan wacana mampu menjangkau dalam jangkauan yang lebih luas. Wacana ini akan terus menerus bergulir dan terus hidup. Bayangkan jika wacana ini tidak ada yang menanggapi, mengkritik, atau meng-counter. Bisa jadi jangkauannya tak terlalu luas dan umurnya pendek. Seperti curhat Steven Levitt, Profesor di Chicago dan penulis buku Freakonomics dan Super Freakonomics dalam artikel yang ditulis oleh Pramudya A. Octavianda. Pernah suatu hari Levitt stress luar biasa karena seringkali dikritik orang gara-gara idenya yang dianggap kontroversial dan ia akhirnya meminta nasihat kepada Gary Becker. Saran Gary Becker sederhana: "bersyukurlah kamu karena ada yang mengkritik. Tahu yang lebih parah? Kamu dianggap angin lalu.”

Menjawab kegelisahan pertanyaan, kenapa isu ini perlu diangkat? Padahal kan yang mengalami masalah ini hanya segelintir saja, tidak semua warga yang tinggal di sekitar hotel mengalami kejadian yang sama. Salah seorang peserta memberikan perspektif yang cukup melebarkan cakrawala dalam memandang permasalahan. Biarpun ini permasalahan sebagian kecil orang, namun ini adalah permasalahan kemanusiaan. Isu ini diangkat tidak ditentukan oleh berapa besar dan berapa banyak orang yang mengalami ketertindasan. Bahkan hanya satupun, jika ada penindasan manusia atas manusia lain, maka perlu dibela. Kita tidak mungkin mengatakan, “lhoh kan itu hanya dialami segelintir orang”. Kemudian kita menutup mata atas tragedi itu.

Dalam beberapa bulan belakangan ini, maraknya pembangunan hotel dan obral izin pendirian hotel memang cukup meresahkan warga. Di beberapa lokasi hotel dibangun, warga melakukan demo untuk menentang pembangunan. Keresahan warga ini ternyata juga dirasakan oleh komunitas-komunitas yang memang banyak tumbuh di Yogyakarta. Topik tentang pembangunan hotel cukup mendominasi dan menjadi bahan perbincangan mereka yang tergabung dalam komunitas. Mereka merasa ada yang tidak benar atau setidaknya-tidaknya tidak tepat dengan maraknya pembangunan hotel tersebut.
Ada keinginan kuat diantara mereka yang tergabung di komunitas untuk turut terlibat dalam mewacanakan permasalahan ini. Diharapkan keterlibatan banyak pihak akan membuat permasalahan ini menjadi masalah lebih banyak masyarakat Yogyakarta. Pada ujungnya nanti warga memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemerintah maupun birokrasi. Memiliki daya tekan yang lebih kuat supaya pemerintah dan birokrasi segera terlibat untuk Turun Tangan menjawab permasalahan yang sedang dihadapi warga Yogyakarta. Tetapi sayangnya, banyak diantara komunitas-komunitas tadi yang tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup untuk terlibat. Hal ini menyebabkan mereka sampai sekarang kurang memiliki strategi yang tepat dan efektif untuk turut terlibat menjawab permasalahan yang sedang terjadi.

Ada pelajaran berharga dari pembuatan Film Belakang Hotel ini. Jika diperhatikan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film, wacana yang ingin mereka angkat fokus pada sasaran tertentu yang dirasa cukup efektif dan memiliki dimensi luas dan bisa dilihat secara langsung. Mereka mengangkat isu tentang keringnya sumur-sumur warga akibat berdirinya hotel yang menyedot air sumur dalam untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. fokus yang diangkat ini menarik karena langsung tertuju pada permasalahan yang bisa langsung dirasakan oleh warga. Walaupun sebenarnya ada dampak-dampak lain yang tidak terlihat dan dirasakan padahal itu menimbulkan kerugian yang besar. Tetapi penting untuk mengangkat wacana-wacana yang mudah dipahami oleh warga. Dan itu biasanya sesuatu mereka mampu lihat dan rasakan.

Problemnya di sini, komunitas-komunitas tadi tidak memiliki fokus sasaran yang jelas. Malahan yang berkembang selama ini adalah bagaimana menghentikan pembangunan hotel. Sebagai pihak yang berada di luar struktur kekuasan, pembuat kebijakan, walaupun itu mungkin namun sangat sulit. Seharusnya daripada wacananya difokuskan pada penghentian pembangunan hotel. Mereka bisa menembak hal-hal yang lebih strategis. Misal saja fokus pada apakah dalam pembangunan hotel mereka melibatkan warga sekitar yang berpotensi terdampak akibat pembangunan. Apakah ada MOU antara warga sekitar dengan pihak hotel jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang merugikan. Itu tadi hanya salah satu strategi alternative, sebab kekuatan komunitas-komunitas tadi belum cukup kuat untuk memaksa dihentikannya pembangunan-pembangunan hotel di Yogyakarta. Karena jangan sampai mentoknya wacana tadi menghentikan semangat komunitas-komunitas tadi untuk turut terlibat.

Diskusi Reboan malam itu ditutup dengan sebuah komentar. Seharusnya organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki puluhan juta anggota memiliki peran yang besar untuk juga terlibat dalam menyelesaikan permasalahan ini. Mereka jangan tutup mata terhadap permasalahan riil yang dihadapi oleh umat. Ekses negatif dari maraknya pembangunan hotel ini adalah masalah-masalah kongkret. Ekses-ekses itu tidak hanya bidang moral dan mental, melainkan gap perolehan ekonomi, ketercerabutan budaya.

Jangan sampai lembaga-lembaga keagamaan hanya sibuk menjadi biro fiqih yang kelak tak lagi dilirik orang dan tak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tiap hari kerjaannya main semprit menuduh ini salah, itu haram, itu offside, itu handsball. Seperti yang dikatakan oleh Emha Ainun Nadjib, seharusnya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan ialah bagaimana menguasai lapangan sepak bola sejarah. Bagaimana melatih pemain-pemain yang antisipatif dan determinative terhadap pola permainan lain. bagaimana memilih siapa bek-nya, siapa libero-nya, siapa playmaker, siapa winger dan striker-nya

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK