Showing posts with label #gerakanmembunuhjogja #urbanliteracycampaign. Show all posts
Showing posts with label #gerakanmembunuhjogja #urbanliteracycampaign. Show all posts

Saturday, February 6, 2016

Perang Kota di Bumi Mataram

David Efendi
Pegiat #urbanLiteracyCampaign dan Rumah Baca Komunitas

Apa gerangan yang membuat rumah Jogja ini begitu gerah, sumuk, kemrungsung, suasana perang lebih gampang dikenal ketimbang suasana damai? pertanyaan ini paling penting ditujukan kepada siapa? siapa saja tentu punya legitimasi untuk menjawab, tak peduli dari mana, apa jabatan, ktp jogja atau bukan. Jogja konon indonesia mini wajah multikultural yang tercerahkan. Jadi, jangan sampai ethnisitas menjadi penghalang untuk melihat obyek kebenaran mengenai apa yang sedang menimpah kota pendidikan ini. Atau dengan cara bertanya lain, jenis perang apa yang sedang berkecamuk siang malam di jogja kota republik ini? Perang asimetris? Bumi mataram makin panas, perang pun sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari baik secara tersembunyi maupun terang-terangan.




Ilustrasi di atas sedikit memberikan peta pertempuran di Yogyakarta yang bersumber pada (1) dana keistimewaan atau proyek pembangunan pemerintahan; (2) praktik per-mafia-an tanah di DI Yogyakarta yang semakin mewabah berjejaring layaknya mafioso Italia; (3) sengketa dan darurat hotel yang mengkonsolidasikan kekuatan pemodal vis a vis warga berdaya--sayang pemerintah tidak jelas berada di kubu siapa. Ketiga musabab pertempuran dalam perang kota Yogyakarta ini  juga dapat dikembangkan untuk pemetaan aktor-aktor yang terlibat mulai aktor dengan orotitas finansial, karismatik, pragmatis-oprtunis, sampai pada aktor-aktor grassroot yang terus tumbuh.

Peperangan apa dan siapa?

Dalam teori Bordieu (1984) untuk terjadinya konfrontasi diperlukan apa yang dinamakan field of force--yaitu kondisi yang memungkinkan beragam kekuatan dinamis yang ada di masyarakat mewujud dalam ekpresi dan perannya. Misalnya, kondisi kemacetan, panasnya kota, keringnya sumur warga, hilangnya ruang publik akan memicu kelompok yang menolak kerusakan dan juga sekaligus kelompok yang mempertahankan kepentingan proyek ekonominya di tengah reruntuhan harapan hidup masyarakat luas. Kebudayaan guyup dihadapkan pada rezim pertumbuhan ekonomi yang tak kenal siang dan malam dalam operasi merebut sumber kemakmuran (uang). Segregasi elit baik di level official politics, masyarakat bisnis s, atau actor politik intermediate sangat besar kontribusinya akan potensi perang kota.
Faktor lainnya yang juga sangat penting adalah apa yang disebut teori (1) contentious politics   (McAdam, Tilly) yang diolah oleh media yang dekat dengan masyarakat (TV, koran lokal, radio dll) dan juga struktur peluang politik (political opportunity) yang juga biasanya berkelindan dengan kepentingan ekonomi elit. Site politik bernama pemilihan wali kota adalah ajang paling startegis untuk menghasilam kekuatan bargaining baru akan apa yang menjadi concern publik dalam persoalan tata kota dan kebijakannya. Kedua teori tersebut yang akan menjelaskan bagaimana transformasi ketidakgembiraan masyarakat menjadi suatu gerakan sosial bahkan anarkisme. Anarkisme bukan berarti tak mengakui Negara karena anarkisme baru itu adalah ekpresi otonomi dan keberdayaan individu—tak berarti mengancam negara. Anarkisme itu adalah seperti, nafas kehidupan, yang tak bisa dikebiri. Cara kerjanya akan didiskusikan sebagai berikut.



Batalyon Warga Berdaya


Warga berdaya bukan komunitas, melainkan sebuah inisiatif positif yang diusung oleh warga yang hidup di ruang kota Yogyakarta. Kini dan seterusnya, gerakan Warga Berdaya merupakan sebuah wadah terbuka bagi warga dan siapa saja yang mendukung prinsip dan praktik pembangunan yang lestari dan adil di Yogyakarta (siapakah warga berdaya?sumber: wargaberdaya.wordpress.com). Mungkin menjadi penanda penting, ketika ratusan anak muda dengan bekal kreatifitas dari berbagai komunitas berkumpul mengkritisi kotanya. Tanpa titel gerakan tertentu, mereka menyebut diri sebagai warga Yogya peduli ruang publik kota. Sebelumnya, masing-masing komunitas ini kerap melakukan aksi sporadis terkait pembenahan kualitas ruang publik kota. Komunitas Jogja Last Friday Night, misalnya, telah terlebih dahulu melakukan pengecatan ulang berbagai marka jalur sepeda. Komunitas Reresik Sampah Visual, dan sebagainya. Kekuatan ini dikonsolidasikan oleh suatu common enemy--mafia yang merusak kota.


Kemunculan aktor masyarakat yang terhimpun dalam gerakan warga berdaya sudah memperlihatkan konsolidasi warga yang merasa otonom dan berani menghadapi kemungkinan buruk apa yang dipaksakan oleh pemilik modal (hotel dna mall) dan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah yang selalu beralasan soal regulasi dan kewenanan sebagai basis argumen ‘lepas tanggungjawab’nya. Di laman web warga berdaya tertuliskan slogan “terus berkarya, jangan berharap kepada negara” ini sudah mengarahkan kepada moral kelompok urban yang mirip kepada model anarkisme petani yang pernah dituliskan James C Scott dalam the weapon of the weak. Bukan karena lemah, mereka justru sangat percaya bisa bertindak secara otonom melawan kebijakan negara baik langsung maupun tidak langsung. 
Kelompok warga berdaya ini sadar betul pentingnya media sebagai saluran contentious politics untuk meroketkan perjuangan dan mencari simpati. di laman webnya ada hal menarik yaitu ajakan kepada pengunjung untuk memboikot hotel bermasal. Di sana tertulis:


“Mudik & liburan di Yogyakarta? Hindari menginap di hotel bintang yang dibangun antara 2010 – 2015. Ada banyak indikasi pelanggaran pada izin lingkungan dan IMB.Jangan sampai mudik atau liburan Anda jadi bagian dari masalah bagi warga Yogyakarta. Selamat mudik dan berlibur di Yogyakarta :)#JogjaOraDidol.

Kalau saja ini dilengkapi list hotelnya tentu akan dapat memicu perang lebih nyata di bumi mataram. Bisa saja nama-nama hotel sudah dikantongi tinggal disiarkan di social media. Ini adalah senjata yang sangat cerdik dan halus (soft power).


Mafia Hotel dan Mall.

kelompok ini mewakili kubu ekspansif yang kekuatannya bukan hanya lokal, bahkan internasional sebagai habitat pebisnis yang melakukan penetrasi dengan beragam jenis usaha seperti hotel, mall, swalayan berjejaring yang sangat berpengaruh langsung atas kehidupan warga. Dengan hotel bagus yang banyak dan murah akan menggusur losmen, akan mematikan ekonomi lokal selain itu juga dampak ekologisnya yang berkepanjangan mengancam kehidupan. Kasus Fave hotel adalah cermin untuk semua--untuk pengambil kebijakan IMB (pemerintah kota) dan Amdal (propinsi). Tidak main-main, pengembang hotel dalam kurun waktu 5 tahun terakhir telah mengantongi izin lebih dari 100 hotel, tahun 2015 sebanyak 67 hotel sedang dibangun. Data lain mengatakan ada 189 hotel dan 34 mall yang sudah mendapat izin. Sebagian sudah dibangun. Apabila pemerintah fair dan mau mempublish semua ‘fitnah’ Ini, tentu bermakna antisipatif dan juga provokatif. Hal akan meningkatkan eskalasi perang kota yang luar biasa. Jika dirahasiakan, Ini adalah bom waktu yang juga akan membunuh jogja, bumi mataram.


Memang tak mudah hentikan kekuatan kapital berjejaring. Cara kerjanya seperti mafioso, licik cerdik, ulet, dan punya banyak cara untuk mendapati kemauannya, nafsunya. Seringkali kepala daerah, Bappeda, otoritas, preman, warga, tak berdaya menghadapinya sehingga dengan diam-diam atau sembunyi-sembunyi berada di pihak sindikat perusak kota (budaya, ekologi, dan hubungan sosial). Suasana tak rukun juga kerap muncul akibat pembelahan sikap warga yang mendukung pembangunan hotel/mall dengan yang tidak setuju (kubu seberang). Sebelum RTRW kelar, izin-izin hotel sudah diberikan karena memang juga sudah didesakkan oleh para mafia dan makelar. Inilah sistem pemerintahan yang hanya menekankan pada aspek do thing right (sesuai atau tidak melawan regulasi) dan bukan do the right thing (di atas hukum atau regulasi, ada dimensi etika dan nurani) karena bisnis itu sama dengan politik sehingga berlaku pepatah politics as bussiness as usual. kekuasaan politik adalah subordinasi kekuasaan kapital/ekonomi. Namun, hal ini bukan berarti tak mendapat perlawanan. 


Thomas Hobbes dan Charles Darwin mengilustrasikan potensi manusia yang menjadi pemangsa atas lainnya dalam kompeteisi bebas purba. Situasi perkotaan hari ini semakin mendekati pada praktik kompetisi yang tidak manusiawi alias buas. Bukan hanya karena sumber daya yang terbatas diperebutkan oleh semakin banyak orang, tetapi ada satu kelompok yang jumlahnya tak lebih dari 1% itu sangat rakus dan buas sehingga pertempuran di dalam 1% itu saj telah mematikan kesempatan banyak orang di luar kelompoknya.



Situasi kesenjangan antara the haves and the haves not ini adalah malapeta. Hadirnya gap kesejahteraan ini dalam sejarah Indonesia telah terbukti bekerja untuk melahirkan perang antar ethnis, antar kelompok dan tentu saja pihak yang paling dirugikan adalah kelompok kebanyakan. kapitalist hanya akan pindah tempat setelah situasi memburuk dan mencari daerah jajahan baru, pindah keluar negeri misalnya, dan sementara orang-orang lokal (pribumi) akan mencari cara bertahan dengan apa yang bisa dilakukan sesuai moral economy yang berlaku. Siapa yang jelas akan merusak, jika sudah jelas seharunya tidak perlu menunggu keruskaan sempurnah untuk kemudian di lawan. Bumi mataram adalah bumi manusia yang perlu diselamatkan. Siapa saja dapat melakukan dan mengambil bagiannya dengan cara masing-masing. Kekuatan individu tak lagi bisa dianggap sebelah mata.


Mari rebut Jogja kembali bung! jika tidak sekarang kapan, jika bukan kita siapa?! Orang baik saatnya bicara!



Saturday, January 23, 2016

Matinya Kota



#urbanliteracycampaign I David Efendi


di Indonesia, rata-rata umur kota antara 200 sampai 400 tahun dengan segala warisan masa lalu, kisah kekerasan, dan juga pengalaman mengalami kebudayaan. Kebudayaan kota ditentukan oleh bagaimana kota tersebut mampu memberikan kedamaian, ketentraman, dan kesejaheteraan warga kota. Ibnu khaldun mendefinisikan kota sebagai tempat tinggal yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa begitu puncak kemewahan yang diinginkan tercapai. Jadi, hanya orang ‘kaya’ yang bisa bertahan di Kota. Seiring dinamika politik dan ekonomi, muncul juga hasrat kompetisi yang menyebabkan kota dirundung konflik dan perang. Nafsu akumulasi kapital merasuk ke dalam pikiran banyak orang kota sehingga terjadilah apa yang disebut Garreth Hardin (1965) sebagai tragedy of the common.

Kota secara alamiah semakin menua dan rapuh akibat gelombang zaman. Dr. David Kilcullen, a Non-Resident Senior Fellow di lembaga Pusat Keamanan Amerika Baru menuliskan:
“Rapid urbanization creates economic, social and governance chal- lenges while simultaneously straining city infrastructure, making the most vulnerable cities less able to meet these challenges. The implications for future conflict are profound, with more people fighting over scarcer resources in crowded, under-serviced and under-governed urban areas.”
Di Indonesia, fenomena hijrah dari desa ke kota, desa yang menjadi kota menjadikan persoalan sosial ekonomi tak tertanggulangi. Kota menanggung beban besar sementara desa yang seharunya memperkuat sektor agararis banyak ditinggalkan. Perkembangan ekonomi di desa terlalu lamban dan tidak sanggup memenuhi hasrat berkonsumsi manusianya. Kota menjadi pilihan. Peperangan pun dimulai: gelandangan, premanisme, pengangguran, dan buruknya sanitasi. Apakah masih ada masa depan untuk kota manusia? Pertama kita bicarakan paradigma yang mempengaruhi sistem kota dan kekacauan-kekacauan yang membutuhkan solusi nyata dan tepat.

Konstelasi peradigma

Banyak sumber tulisan mengarahkan pada kesimpulan bahwa di dalam kota itu embedded konflik di dalamnya. Hal ini mendapatkan pijakan faktanya bahwa di kota lebih dipahami sebagai arena pertempuran kapital atau sumber kesejahteraan. Pertempuran ini seperti perang, ada pertempuran semut melawan semut, gajah melawan gajah, ada juga peperangan menjadi asimteris bahkan ada jenis pertempuran yang tidak diketahui siapa yang sedang dilawan. Mekanisme pasar itu adalah setan yang tak kelihatan  (invisible devil). Hal ini menjadikan situasi perang semua melawan semua yang pernah dituliskan oleh Thomas Hobbes menjadi kenyataan pahit kehidupan manusia kota kontemporer—homo homini lupus. Kota-kota di indonesia sedang panen persoalan ini sebagai konsekuensi dari status ‘the emerging city’.

Untuk menjelaskan hal ini, bisa kita tengok dua paradigma pembangunan yang diyakini para penyelenggara pemerintahan khususnya pembangunan perkotaan. Kedua cara pandang tersebut adalah paradigma ekologi dan paradigma ekonomi-politik.

Tulisan ini akan mendiskusikan satu persatu bagaimana kedua paradigma ini diyakini, dipekerjakan, dan dihibridasi sedmeikian rupa dalam kehidupan kekinian. Pertama, adalah paradigma ekologi. Paradigma ekologi bertolak dari kacaunya antroposentrisme yang menjadikan pembangunan itu mengancam ekosistem yang ada. Paradigma ini memberikan aturan main bahwa pembangunan harus mengakomodir beragam kebutuhan lingkungan untuk sama-sama berdampingan dengan aktifitas manusia modern. Kedua adalah paradigma ekonomi-politik. Paradigma ini sangat dominan sejak dulu dimana beragam proyek tekhnokratis dihasratkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Hal ini kerap kali menggelincirkan situasi tata kelola kota sebagai politics as bussiness as usual—yang menerabas beragam etika dan kedaulatan ekologis. Dari posisi ini sebenarnya, muncul beragam kritik atas hukum besi perencanaan pembangunan tekhnokratik. Hukum besi yang tidak ramah kepada manusia—terutama kelompok rentan: kaum miskin kota, perempuan, dan anak-anak.

Matinya kota?

Kota yang oleh Khaldun disebut sebagai “locus of civilization” artinya kota hari ini bukanlah gejala modernitas. Peradaban selalu melahirkan kota dari ribuan tahun silam. Kota yang beradab akan memungkinkan penduduknya memperoleh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan. Ketiga hal ini semakin sulit digapai dalam kota yang padat, panas, kemacetan, ruang publik yang sempit, banyak kemiskinan di berbagaisudut kota dan pendidikan yang tak mengembangkan kebudayaan. Kota seperti mengalami involusi. Hal-hal yang ideal mengenai ‘tomorrow of city’ atau the city of hope sebagiamana yang dibayangkan warganya tak gampang ditemui. Justru stress dan frustasi yang melanda.
Dalam sejarah manusia, ada beberapa contoh kota yang punah yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun seperti kota yang airnya membusuk/tidak mengalir yang kemudian bertransformasi menjadi wabah penyakit di Maroko, juga ada beberapa kota yang musnah karena perang sipil tak berkesudahan. Air, terutama dan paling utama, adalah harta paling berharga yang menjadikan kota akan tetap hidup dan tumbuh. Jika salah urus air, misalnya dengan privatisasi membabi buta, maka ada ancaman serius kota ini akan punah—setidaknya punah manusianya dan hanya kelas tertentu yang memenangkan pertempuran kota. Yugoslavia dan bosnia adalah contoh kota yang hilang, bagdad menyusul. Dalam konteks yang lebih spesifik, ada juga kota yang mulai ditinggalkan manusia seperti Jakarta. Ke jakarta hanya mencari uang, hidup lebih menjanjikan ditempat lain.

Untuk mencegah kota mati terlalu cepat dibutuhkan kerjasama yang sangat erat antara kelompok pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku dunia bisnis. Di sektor pemerintah diperlukan pemerintahan yang inklusif, membuka ruang partisipasi, mewujudkan nilai-nilai keadilan, menyediakan pelayanan publik yang bagus, mengimplementasikan model-model smart city yang relevan seperti connectifity, tekhnologi infrormasi, dan di saat yang sama tetap mengapresiasi beragam nilai-nilai kebudayaan yang selama ini masih dirawat dan dihargai oleh masyarakat kota. Menjadi modern dan smart, tak selalu identik dengan proses negasi terhadap keberadaan infrastruktur kebudayaan dan kearifan lokal.

Ambisi modernitas tak boleh melanggar nilai-nilai yang menjadi keyakinan dasar manusia yang menghuninya. Di jawa, misalnya, ada nilai-nilai keguyuban, nilai-nilai tepo seliro (toleran), simbol-simbol arsitek dan sebagainya. Ini tak bisa dilanggar sebagai konsekuensi dari kebudayaan. Kecuali memang seluruh isi kota bersepakat untuk meninggalkan kebudayaan lamanya.


David Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.




Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK