Monday, February 29, 2016

Mencari Kelas Menengah

Dua kutipan yang sangat mengundang perhatian saya di buku Gerry:

“kekuasan Negara berakar, sebagian, dalam politik mikro di tingkat lokal.” (Boone 1998:25)

“kelompok-kelompok kepentingan yang mengincar anggaran pengeluaran pemerintah yang besar dan longgar sudah berurat berakar dalam system politik.” (Mackie 1971: 62) 

#
Saya membaca buku yang paling meyakinkan soal kelas menengah waktu kuliah sarjana di Ilmu Pemerintahan UGM. Buku tersebut berjudul “Politik kelas Menengah Indonesia” yang diterbitkan oleh LP3ES dan diedit oleh Tanter dan Young (buku ini terbit tahun 1996). Buku kumpulan tulisan dari akademisi dan intelektual dari berbaai Negara dan universitas ternama dapat dikatakan juga sedahyat perdebatan kumpulan tulisan dalam buku In search of middle Indonesia yang sedang saya bicarakan. Buku politik kelas menengah ini meyakinkan pembaca bahwa keberadaan kelas menengah (ada) dan jelas punya kontribusi terhadap proses politik di Indonesia—baik atau buruk kontribusinya dapat dikaji, namun ada upaya pembelaan akan adanya eksistensi ini sebagai pendorong kekuatan pro-demokratisasi? Sebagaimana kata Bottomore, no bourgeoisie no democracy!? Ini dua tantangan besar untuk meng-iya-kan lantaran ada psimisme public juga bahwa kelas menengah di Indonesia hanyalah kelas menengah semu. Jumlahnya membesar karena peran Negara, jumlahnya membesar juga bisa karena ada di ranah life style (perilaku borjuasi).

Lama sekali, perdebatan kelas menengan dan politik berubah menjadi perdebatan soal rent seeker, soal local dinasti yang merusak, soal kekuatan oligarki nasional, typan media, dan sebagainya yang tidak dihubungkan secara kuat dengan teori-teori kelas menengah. Nyaris, orang lupa soal kelas menengah dalam politik. Kabar, meningkatnya jumlah kelas menengah, tidak lantaran dikaji sebagai potensi dan musabab akan mahalnya biaya politik dalam proses electoral sepuluh tahun terakhir ini, misalnya. Memisahkan kelas menengah dari persoalan politik adalah satu tindakan ‘vandal’ dalam kajian dinamika politik local maupun nasional.

Terbitnya dua buku berharga oleh YOI dua tahun berturut-turut yiatu The making of middle Insonesia (2015) karya Gerry van Klinken dan In search of middle Indonesia (2016) berisi kumpulan tulisan peneliti yang diedit oleh Klinken dan Berenschot membawa angina segar bagi kajian baru (research insight) di Indonesia, khususnya dalam kontek lokalisme. Lokalisme yang mengandung kompleksitas yang tidak sederhana. Karena, menurut Klinken, perlu mengajak lebih banyak peneliti untuk menelisik transformasi sosial yang terjadi di area yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai area “in-Between”. Buku ini jelas, memberikan nafas energy baru untuk berselancar menuju kota kota menengah dengan spesifikasi kajian yang diagendakan. Saya gembira, ajakan penelitian Klinken ini bukan semata-mata ke kota di propinsi nan jauh terpencil untuk melakukan penelitian etnhnografi, tetapi mengajak menelisik praktik kekuasaan (hal.viii). Termasuk karakter dan metode elitenya di dalam mempertahankan kuasanya. Karenanya, dalam beberapa informasi saya kepada mahasiswa saya yang mengambil mata kuliah politik dan dinamika pemerintahan lokal dan juga mata kuliah yang berurusan dengan birokrasi di daerah (EKOP), saya berikan beberapa keywords penting kepada mereka: desentarlisasi, demokrasi, birokrat lokal, dinamika ekonomi politik-lokal, local elites, etc,, agar mereka tak salah pikir atau sejenis gagal paham (Bahasa kekinian) kalau kuliah umum dengan Pak Gerry ini adalah kuliah sejarah atau kuliah dinamika ekonomi an sich di regional/kota-kota menengah. Ini kuliah umum yang menghubungkan masa lalu “kita” dengan masa kini dan masa depan negara, serta ihwal keyakinan apakah kita ini (masih) berada di negara yang sama bernama Indonesia. Imajinasi kelas menengah bagaimana? Jangan-jangan kita benar berada di suatu Bangsa yang dibayangkan,

Judul kuliah umum, “Mencari kelas menengah di kota-kota menengah di Indonesia” seolah taka da kaitan dengan politik padahal sangat kuat ikatannya. Klnken memberikan penjelasan bahwa yang disebut dengan “Indonesia Menengah” (Middle Indonesia) mengacu pada peran-peran mediasi yang dimainkan oleh kelas menengah di kota-kota propinsi di Indonesia. Indonesia menengah sebagai area in between yang mencakup dimensi antara ruang geografi (urban/rural); ruang sosial, ruang ekonomi, ruang politik, antara formal dan informal, …yang memberikan ilustrasi dimensi abu-abu yang tak kentara. Ruang-ruang yang ada perkotaan tapi tidak industrial city, atau juga tidak kekeh dan fanatik akan tradisi, tapi mereka cukup punya banyak informasi akan berbagai urusan politik dan peluang/praktik bisnis. Dalam beberapa aspek, mereka juga mengalami pembaratan (istilah Denys Lombard), misalnya dalam bagaimana manusia di kelas menengah ini punya cara makan yang berbeda dengan yang bukan kelas menengah. Ke-abu-abu-an lainnya adalah ihwal, mereka bisa menjadi kelas menengah relative—di level nasional atau kota besar bisa saja seseorang tidak tergolong kaya atau bahkan kelas menengah, tetapi di kota-kota kecil seorang camat atau birokrat kelurahan dapat menjadi seorang kelas menengah atau “orang kaya” dengan karakter khas : jamuan makan (hal.184/Lay), berpakaian, social media, tetapi diingat juga, dengan hadiranya media sosial yang murah dan terjangkau, siapa saja bisa menjadi cosmopolitan (karakter kelas menengah). Jadi lagi-lagi kita dihadapkan pada situasi abu-abu.

Ada beberapa kota di Indonesia, hidup dan matinya mengandalkan uang Negara. Bagaimana manusia di kota ini sebenarnya membangun karakter lokal? Ada juga istilah ‘bergaya di kota konflik’, apa pula ini sebagai keadaan terkini kota di bagian timur Indonesia? Ada juga karakter kelas menengah yang terbiasa menggunakan kekerasan dalam interaksi politik dan ekonomi, dan masih banyak lagi isu-isu yang belum disebutkan yang dapat kita diskusikan.

Siapakah mereka yang disebut kelas menengah? Bagaimana kepentingan mereka berkelindan dengan urusan politik? Kosmopolitanisme islam, orang orang bangsawan lama, birokrat, orang biasa jadi anggota dewan atau pejabat publik punya cerita tentang ini semua.

Banyak bahan harus di baca tentu saja untuk memperkuat pehamanan kita mengenai satu jenis banyak karakter (kelas menengah) ini, setidaknya membaca buku Gerry akan membawa kita pada upaya pencarian apakah kota-kota di indoensia dan manusia kelas menengannya ini sedang mengalami involusi, atau progresif menuju transformasi penting?

Dan saya kira, nanti pasti diberitahu oleh Gerry dan kita juga akan diajak untuk mencari secara sunggguh-sungguh bagaimana middle Indonesia bekerja dan bagaimana kita memprediksi apakah negara ini tetap terikat sebagai suatu nation-state lantaran kekuatan kelas menengah, atau bubar tergadaikan karena lemahnya ikatan kelas menengah yang berpihak pada kepentingan nasional?

Nyatanya Dua Tahun Bertahan


dunia pustaka, Tribun JOgja

Testimoni Tentang RBK

Banyak hal yang saya dapatkan dari kawan-kawan RBK, mulai dari semangat, saling mengapresiasi, gagasan, ide, hingga motivasi yang diberikan kepada saya agar - dan kepada siapa saja - untuk terus bergiat pada gerakan literasi.
Adalah Ecoliterasi, yang membuat saya begitu merasa tertarik.
Manusia dan alam merupakan satu kesatuan, manusia diberi beribu manfaat oleh alam, sehingga manusia harus wajib menjaganya dan merawat alam ini. Konsep Ecoliterasi yang diusung kawan-kawan RBK merupakan suatu hal, bahwasanya Literasi bukan hanya pada baca dan tulis menulis, tetapi lebih dari itu, yaitu menjaga dan peduli terhadap lingkungan sekitar (alam).
Melalui gerakan mikrobaliterasi juga gerakan-gerakan Ecoliterasi ini harus terus kita sebarkan kepada semua orang.
Terima kasih kawan-kawan yang telah berbagi banyak hal pd saya.
By Adlun Fiqri

BEYOND CREDIBILITY: Menghindari jebakan administratif dalam gerakan literasi



Abdullah Zed Munabari ~ Pegiat Literasi RBK~

Catatan ini merupakan refleksi saya selama setaun ini ikut terlibat dalam menggerakkan aktivitas Perpustakaan jalanan yg biasa disebut ROTS. Puncaknya tadi pagi, 28 maret 2016 saat kami berangkat dari Kalibedog membawa 3 kardus buku, 2 karpet dan peralatan" kecil lainnya dan membuka lapak di alkid seperti biasa.

Yaa, seperti biasa pula, selalu ada orang" yang baru pertama kali mampir ke lapak kita. Kami pun menyapa mereka seramah mungkin dan memberi tahu bahwa buku ini tidak dijual namun dipinjamkan secara gratis. Maklum, agak susah mengidentifikasi apakah lapak kami ini penjual buku atau perpustakaan mengingat ada puluhan lapak komersial lain yang menjual berbagai jenis barang. Alhasil, setelah bercakap cakap dan mereka mengetahui bahwa tidak dibutuhkan menaruh identitas sebagai jaminan atau mencatat nomor telpon di buku catatan peminjaman buku, mereka pun terkejut dan keheranan.

Saat itu pasti muncul pertanyaan: "Lho mas nek buku ne ilang/ndak kembali piye?", kata mereka. Saya atau pegiat lain pun menjelaskan bahwa komunitas ini ingin menjadikan " trust" sebagai landasan dalam menjalin relasi dgn masyarakat. Mendengar itu, warga sang calon peminjam pun biasanya tersenyum dan tak jarang pula memberikan pujian atas "keberanian" kami meminjamkan buku tanpa menaruh bukti identitas. Nah, ada kejadian menarik saat ROTS tadi pagi. Sebuah keluarga peminjam buku setia di lapak kami datang dan mengembalikan buku (sekaligus meminjam lagi). Sang ayah menyuruh anaknya memilih buku dan diambil lah beberapa buku bobo dan buku dewasa utk sang ayah. Setelah itu, seperti biasa, saya mencatat judul buku yg dipinjam mereka.
Tiba-tiba, sang ayah itu bertanya kepada saya seperti ini: "mas, buku yg saya kembalikan tadi sudah dicatat kan?". Saya pun menjawab " Oh iya pak sudah kok (padahal aslinya belum), lagipula kita saling percaya hehe" jawab ku. Si bapak itu berkata lagi "Hehe harus dicatat dong nanti reputasi saya sebagai peminjam buku rusak kalau ga dicatat dan nanti dikira saya tidak mengembalikan. Kredibilitas itu penting mas hehe (maksud si bapak itu kredibilitas dia sebagai peminjam buku)". Hmm, mendengar kata-kata bapak itu saya hanya menjawab "iyaa pak" sambil tersenyum.
Namun, dalam hati dan pikiran, saya jadi berpikir keras. Kredibilitas dan reputasi apa yang ingin dijaga oleh si bapak itu?. Begini yaa, jujur saja, bahkan saya tidak pernah mengecek lagi daftar pinjaman buku masyarakat. Bahkan sudah berulangkali kami mengganti dgn kertas lain utk mencatat buku yg dipinjam warga saat ROTS. Bahkan sudah banyak catatan yang hilang. Tapi terus kenapa kalo kita tidak pernah mengecek itu? kenapa kalau catatan nya hilang? lalu kenapa kalau secara ADMINISTRATIF KAMI TIDAK RAPIH? Memang nya kami pernah mengukur kredibilitas warga yang meminjam buku saat ROTS?

Secara pribadi saya meyakini bahwa kemuliaan tertinggi dari gerakan literasi yang kami lakukan (ROTS dalam konteks ini) itu bisa terwujud saat buku itu dibaca dan ada ilmu yang masyarakat serap dan ilmu tersebut ter-implementasikan. Artinya, iman tertingginya adalah sisi kebermanfaatan dari buku yang ter-sirkulasi via aktivitas perpustakaan jalanan (ROTS). Pencatatan itu metode (administrasi) yang kami pakai untuk memastikan kita bisa mencapai kemuliaan tertinggi tersebut. Jadi, yang substansia dari ROTS itu bukan teknik atau kerapihan pencatatan itu sendiri namun "TERSIRKULASI NYA BUKU-BUKU DAN DIBACANYA MEREKA SEHINGGA PARA PEMBACA TERSEBUT BISA MENGIMPLEMENTASIKAN NILAI-NILAI YANG MEREKA DAPAT DARI BUKU TERSEBUT". Itu substansinya.

Jadi, saat kita yakin bahwa apa yang kita lakukan telah berhasil mencapai tujuan kemuliaan tersebut (ini bisa kita ketahui dari pengunjung yang selalu kembali hampir setiap minggu untuk mengembalikan dan meminjam buku baru lagi dan ini dilakukan melalui dialog-dialog menyenangkan penuh senyuman tanpan kepentingan dan kemunafikan apapun), untuk apa lagi kita berbicara tentang kerapihan administrasi pencatatan buku tersebut? lalu kenapa kalau ada satu dua buku yang tidak kembali? apa yang salah dari buku yang berpindah orang tua asuh?. Sejak awal ROTS yang berupa perpustakaan jalanan yang digagas RBK ini merupakan alternatif dari minimnya akses terhadap buku yang 3M (Murah, Mudah, & Manusiawi) yang sebenarnya merupakan tanggung jawab terbesar pemerintah.

Rasa cinta, relasi manusiawi, dan kebahagiaan melihat manusia membaca buku dengan senyuman telah kita lihat dan wujudkan. Lalu kenapa kita harus menilai kredibilitas masyarakat yang kita telah sukses bangun relasi manusiawi dengan nya?. Yaappss, kita tak peduli dan tak akan pernah mengukur nilai-nilai yang lahir dalam logika masyarakat industri tersebut. Kita sudah menang melawan " Iliterasi kemanusiaan" di Jogjakarta. Ini yang saya sebut sebagai "Beyond Credibility/Melampaui Kredibilitas" dan kesusksesan untuk tidak terjebak pada kejahatan administratif yang sayangnya selama 70 tahun Republik ini berdiri, dalam urusan pengembangan literasi, negara ini masih terjebak "Kejahatan Administratif" tersebut.
Long live Literacy Movement..!!

Saturday, February 6, 2016

Perang Kota di Bumi Mataram

David Efendi
Pegiat #urbanLiteracyCampaign dan Rumah Baca Komunitas

Apa gerangan yang membuat rumah Jogja ini begitu gerah, sumuk, kemrungsung, suasana perang lebih gampang dikenal ketimbang suasana damai? pertanyaan ini paling penting ditujukan kepada siapa? siapa saja tentu punya legitimasi untuk menjawab, tak peduli dari mana, apa jabatan, ktp jogja atau bukan. Jogja konon indonesia mini wajah multikultural yang tercerahkan. Jadi, jangan sampai ethnisitas menjadi penghalang untuk melihat obyek kebenaran mengenai apa yang sedang menimpah kota pendidikan ini. Atau dengan cara bertanya lain, jenis perang apa yang sedang berkecamuk siang malam di jogja kota republik ini? Perang asimetris? Bumi mataram makin panas, perang pun sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari baik secara tersembunyi maupun terang-terangan.




Ilustrasi di atas sedikit memberikan peta pertempuran di Yogyakarta yang bersumber pada (1) dana keistimewaan atau proyek pembangunan pemerintahan; (2) praktik per-mafia-an tanah di DI Yogyakarta yang semakin mewabah berjejaring layaknya mafioso Italia; (3) sengketa dan darurat hotel yang mengkonsolidasikan kekuatan pemodal vis a vis warga berdaya--sayang pemerintah tidak jelas berada di kubu siapa. Ketiga musabab pertempuran dalam perang kota Yogyakarta ini  juga dapat dikembangkan untuk pemetaan aktor-aktor yang terlibat mulai aktor dengan orotitas finansial, karismatik, pragmatis-oprtunis, sampai pada aktor-aktor grassroot yang terus tumbuh.

Peperangan apa dan siapa?

Dalam teori Bordieu (1984) untuk terjadinya konfrontasi diperlukan apa yang dinamakan field of force--yaitu kondisi yang memungkinkan beragam kekuatan dinamis yang ada di masyarakat mewujud dalam ekpresi dan perannya. Misalnya, kondisi kemacetan, panasnya kota, keringnya sumur warga, hilangnya ruang publik akan memicu kelompok yang menolak kerusakan dan juga sekaligus kelompok yang mempertahankan kepentingan proyek ekonominya di tengah reruntuhan harapan hidup masyarakat luas. Kebudayaan guyup dihadapkan pada rezim pertumbuhan ekonomi yang tak kenal siang dan malam dalam operasi merebut sumber kemakmuran (uang). Segregasi elit baik di level official politics, masyarakat bisnis s, atau actor politik intermediate sangat besar kontribusinya akan potensi perang kota.
Faktor lainnya yang juga sangat penting adalah apa yang disebut teori (1) contentious politics   (McAdam, Tilly) yang diolah oleh media yang dekat dengan masyarakat (TV, koran lokal, radio dll) dan juga struktur peluang politik (political opportunity) yang juga biasanya berkelindan dengan kepentingan ekonomi elit. Site politik bernama pemilihan wali kota adalah ajang paling startegis untuk menghasilam kekuatan bargaining baru akan apa yang menjadi concern publik dalam persoalan tata kota dan kebijakannya. Kedua teori tersebut yang akan menjelaskan bagaimana transformasi ketidakgembiraan masyarakat menjadi suatu gerakan sosial bahkan anarkisme. Anarkisme bukan berarti tak mengakui Negara karena anarkisme baru itu adalah ekpresi otonomi dan keberdayaan individu—tak berarti mengancam negara. Anarkisme itu adalah seperti, nafas kehidupan, yang tak bisa dikebiri. Cara kerjanya akan didiskusikan sebagai berikut.



Batalyon Warga Berdaya


Warga berdaya bukan komunitas, melainkan sebuah inisiatif positif yang diusung oleh warga yang hidup di ruang kota Yogyakarta. Kini dan seterusnya, gerakan Warga Berdaya merupakan sebuah wadah terbuka bagi warga dan siapa saja yang mendukung prinsip dan praktik pembangunan yang lestari dan adil di Yogyakarta (siapakah warga berdaya?sumber: wargaberdaya.wordpress.com). Mungkin menjadi penanda penting, ketika ratusan anak muda dengan bekal kreatifitas dari berbagai komunitas berkumpul mengkritisi kotanya. Tanpa titel gerakan tertentu, mereka menyebut diri sebagai warga Yogya peduli ruang publik kota. Sebelumnya, masing-masing komunitas ini kerap melakukan aksi sporadis terkait pembenahan kualitas ruang publik kota. Komunitas Jogja Last Friday Night, misalnya, telah terlebih dahulu melakukan pengecatan ulang berbagai marka jalur sepeda. Komunitas Reresik Sampah Visual, dan sebagainya. Kekuatan ini dikonsolidasikan oleh suatu common enemy--mafia yang merusak kota.


Kemunculan aktor masyarakat yang terhimpun dalam gerakan warga berdaya sudah memperlihatkan konsolidasi warga yang merasa otonom dan berani menghadapi kemungkinan buruk apa yang dipaksakan oleh pemilik modal (hotel dna mall) dan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah yang selalu beralasan soal regulasi dan kewenanan sebagai basis argumen ‘lepas tanggungjawab’nya. Di laman web warga berdaya tertuliskan slogan “terus berkarya, jangan berharap kepada negara” ini sudah mengarahkan kepada moral kelompok urban yang mirip kepada model anarkisme petani yang pernah dituliskan James C Scott dalam the weapon of the weak. Bukan karena lemah, mereka justru sangat percaya bisa bertindak secara otonom melawan kebijakan negara baik langsung maupun tidak langsung. 
Kelompok warga berdaya ini sadar betul pentingnya media sebagai saluran contentious politics untuk meroketkan perjuangan dan mencari simpati. di laman webnya ada hal menarik yaitu ajakan kepada pengunjung untuk memboikot hotel bermasal. Di sana tertulis:


“Mudik & liburan di Yogyakarta? Hindari menginap di hotel bintang yang dibangun antara 2010 – 2015. Ada banyak indikasi pelanggaran pada izin lingkungan dan IMB.Jangan sampai mudik atau liburan Anda jadi bagian dari masalah bagi warga Yogyakarta. Selamat mudik dan berlibur di Yogyakarta :)#JogjaOraDidol.

Kalau saja ini dilengkapi list hotelnya tentu akan dapat memicu perang lebih nyata di bumi mataram. Bisa saja nama-nama hotel sudah dikantongi tinggal disiarkan di social media. Ini adalah senjata yang sangat cerdik dan halus (soft power).


Mafia Hotel dan Mall.

kelompok ini mewakili kubu ekspansif yang kekuatannya bukan hanya lokal, bahkan internasional sebagai habitat pebisnis yang melakukan penetrasi dengan beragam jenis usaha seperti hotel, mall, swalayan berjejaring yang sangat berpengaruh langsung atas kehidupan warga. Dengan hotel bagus yang banyak dan murah akan menggusur losmen, akan mematikan ekonomi lokal selain itu juga dampak ekologisnya yang berkepanjangan mengancam kehidupan. Kasus Fave hotel adalah cermin untuk semua--untuk pengambil kebijakan IMB (pemerintah kota) dan Amdal (propinsi). Tidak main-main, pengembang hotel dalam kurun waktu 5 tahun terakhir telah mengantongi izin lebih dari 100 hotel, tahun 2015 sebanyak 67 hotel sedang dibangun. Data lain mengatakan ada 189 hotel dan 34 mall yang sudah mendapat izin. Sebagian sudah dibangun. Apabila pemerintah fair dan mau mempublish semua ‘fitnah’ Ini, tentu bermakna antisipatif dan juga provokatif. Hal akan meningkatkan eskalasi perang kota yang luar biasa. Jika dirahasiakan, Ini adalah bom waktu yang juga akan membunuh jogja, bumi mataram.


Memang tak mudah hentikan kekuatan kapital berjejaring. Cara kerjanya seperti mafioso, licik cerdik, ulet, dan punya banyak cara untuk mendapati kemauannya, nafsunya. Seringkali kepala daerah, Bappeda, otoritas, preman, warga, tak berdaya menghadapinya sehingga dengan diam-diam atau sembunyi-sembunyi berada di pihak sindikat perusak kota (budaya, ekologi, dan hubungan sosial). Suasana tak rukun juga kerap muncul akibat pembelahan sikap warga yang mendukung pembangunan hotel/mall dengan yang tidak setuju (kubu seberang). Sebelum RTRW kelar, izin-izin hotel sudah diberikan karena memang juga sudah didesakkan oleh para mafia dan makelar. Inilah sistem pemerintahan yang hanya menekankan pada aspek do thing right (sesuai atau tidak melawan regulasi) dan bukan do the right thing (di atas hukum atau regulasi, ada dimensi etika dan nurani) karena bisnis itu sama dengan politik sehingga berlaku pepatah politics as bussiness as usual. kekuasaan politik adalah subordinasi kekuasaan kapital/ekonomi. Namun, hal ini bukan berarti tak mendapat perlawanan. 


Thomas Hobbes dan Charles Darwin mengilustrasikan potensi manusia yang menjadi pemangsa atas lainnya dalam kompeteisi bebas purba. Situasi perkotaan hari ini semakin mendekati pada praktik kompetisi yang tidak manusiawi alias buas. Bukan hanya karena sumber daya yang terbatas diperebutkan oleh semakin banyak orang, tetapi ada satu kelompok yang jumlahnya tak lebih dari 1% itu sangat rakus dan buas sehingga pertempuran di dalam 1% itu saj telah mematikan kesempatan banyak orang di luar kelompoknya.



Situasi kesenjangan antara the haves and the haves not ini adalah malapeta. Hadirnya gap kesejahteraan ini dalam sejarah Indonesia telah terbukti bekerja untuk melahirkan perang antar ethnis, antar kelompok dan tentu saja pihak yang paling dirugikan adalah kelompok kebanyakan. kapitalist hanya akan pindah tempat setelah situasi memburuk dan mencari daerah jajahan baru, pindah keluar negeri misalnya, dan sementara orang-orang lokal (pribumi) akan mencari cara bertahan dengan apa yang bisa dilakukan sesuai moral economy yang berlaku. Siapa yang jelas akan merusak, jika sudah jelas seharunya tidak perlu menunggu keruskaan sempurnah untuk kemudian di lawan. Bumi mataram adalah bumi manusia yang perlu diselamatkan. Siapa saja dapat melakukan dan mengambil bagiannya dengan cara masing-masing. Kekuatan individu tak lagi bisa dianggap sebelah mata.


Mari rebut Jogja kembali bung! jika tidak sekarang kapan, jika bukan kita siapa?! Orang baik saatnya bicara!



Minat Baca Buku Terkendala Perilaku Instan


RBK-Multimedia dinilai memengaruhi perilaku dan minat siswa untuk membaca narasi secara utuh. Siswa cenderung membaca serpihan naskah secara instan melalui situs berita dan blog ketimbang membaca buku secara tuntas.

Upaya sekolah mengadaptasi naskah buku dari versi cetak ke digital pun ternyata tidak serta-merta menggairahkan minat baca siswa terhadap teks yang terstruktur dan sistematis.
Di SMA Negeri 78 Jakarta, misalnya, perpustakaan melakukan digitalisasi sejak 2013. Hal itu memungkinkan siswa dan guru mengakses buku koleksi sekolah dengan komputer jinjing dan telepon pintar. Namun, siswa belum antusias memanfaatkan fasilitas tersebut.
Sebagai contoh, untuk menggali bahan bacaan tentang suatu teori atau konsep, siswa lebih cenderung mencari bahan dari situs tertentu melalui mesin pencari data/informasi ketimbang membaca buku versi cetak ataupun PDF.
“Tentang Teori Evolusi Darwin, misalnya, rasanya lebih mudah mencarinya dari situs web ketimbang membaca bukunya,” kata Cornelia, siswi kelas XI IPA SMA 78, Rabu (3/2).
Paramita (17), siswi kelas XII IPS SMAN 29 Jakarta, pun merasa nyaman memelototi gawai ketimbang buku cetak. Visualisasi di situs lebih atraktif sehingga menarik dibaca. “Lagi pula, tulisan di web tidak terlalu panjang, berbeda dengan buku,” ujarnya.
Bahkan, Rama (16), siswa kelas XI IPS SMAN 4 Tangerang Selatan, lebih memilih membuka situs video digital ketimbang membaca buku. Menurut dia, video di kanal digital lebih mengasah kreativitas dan bakat dirinya.
“Visualisasi video amat konkret terhadap suatu keadaan. Berbeda dengan membaca buku yang lebih imajinatif,” katanya.
Instan
Pegiat pendidikan Amanda P Witdarmono menilai, siswa kini cenderung menyimak informasi secara instan sehingga bacaannya pun selintas. “Karena terbiasa membaca tulisan pendek, minat untuk membaca naskah yang runtut dan sistematis tidak tumbuh,” ujarnya.
Pakar pendidikan dari Universitas Terbuka, Dodi Sukmayadi, mengatakan, cara kebanyakan guru menerjemahkan Kurikulum 2013 belum menumbuhkan kebutuhan siswa untuk membaca. Upaya siswa mencari informasi di luar jam sekolah dilakukan hanya untuk menggugurkan kewajiban.
“Siswa hanya mencari teks informasional untuk disalin karena tugas sekolah. Mereka tidak berusaha memahami informasi itu lebih dalam karena merasa tidak membutuhkannya,” kata Dodi.
Tradisi verbal
Bagi Dodi, masalah utama adalah membaca belum menjadi budaya bangsa. Tradisi verbal, seperti berkisah dan mendongeng, jauh lebih kuat dibandingkan dengan menulis dan membaca. Karena itu, kebutuhan membaca harus dibangun dengan cara menyesuaikan bahan bacaan dengan ketertarikan.
Program 15 menit
Direktur Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, program 15 menit membaca sebelum pelajaran sekolah dimulai menjadi salah satu momentum penanaman nilai moral dan jati diri atau identitas bangsa. Program tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015.
Pemilihan bahan bacaan untuk menunjang hal itu hendaknya berupa karya sastra dan naskah-naskah tua asli Tanah Air. “Kita sebelumnya tidak pernah dikenalkan secara lengkap karya-karya tertulis yang pernah diciptakan di Tanah Air,” kata Hilmar.
Dengan demikian, minat baca tidak hanya menambah pengetahuan terutama terhadap sejarah bangsa, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sejarah bangsa.
Temuan serta pandangan para narasumber tersebut relevan dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 5-6 September 2015. Hasilnya, rata-rata lama membaca buku warga Indonesia hanya 6 jam per minggu (Kompas 15/9/2015).
Bandingkan dengan warga India yang rata-rata membaca buku 10 jam per minggu, Thailand 9 jam per minggu, dan Tiongkok 8 jam per minggu.
Survei Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) 2012 menunjukkan, hanya satu dari 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca serius. Rata-rata, kurang dari satu buku yang dibaca per tahun.(C05/C06/NAW)
( Sumber dari Kompas, 4/2/2016, Hal 1)

Taman Bacaan Masyarakat Kurang Kekinian

KARAWANG, KOMPAS — Program dan kegiatan di sebagian besar taman bacaan masyarakat masih sebatas urusan membaca buku, menggambar, atau kegiatan mendasar lain yang kurang kekinian. Hanya sedikit taman bacaan masyarakat yang melahirkan ide sekaligus mempraktikkan kegiatan-kegiatan kreatif inovatif sesuai budaya populer yang sedang tren dan sesuai kebutuhan masyarakat. 
Warga  memilih komik yang akan disewa di taman bacaan Pagilang, Jakarta. Pemilik taman bacaan kini harus bersaing dengan komik yang bisa diakses melalui internet. Meski demikian, masih banyak warga yang memilih meminjam buku di taman bacaan karena harga sewanya murah.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNGWarga memilih komik yang akan disewa di taman bacaan Pagilang, Jakarta. Pemilik taman bacaan kini harus bersaing dengan komik yang bisa diakses melalui internet. Meski demikian, masih banyak warga yang memilih meminjam buku di taman bacaan karena harga sewanya murah. 
Padahal, taman bacaan masyarakat yang lebih kekinian dalam artian mengikuti tren anak, remaja, atau orang dewasa yang sedang terjadi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pasti akan lebih bisa menarik minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi di taman bacaan masyarakat (TBM). 
content
Ini mengemuka dalam diskusi-diskusi di Festival Indonesia Membaca 2015 yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Forum Taman Bacaan Masyarakat di Lapangan Karang Pawitan, Karawang, Jawa Barat. 
Presenter Inne Sudjono  membacakan cerita kepada anak-anak yang hadir dalam acara Festival Mendongeng di Perpustakaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Perpustakaan Cikini) di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (10/10).  Kegiatan ini antara lain bertujuan menumbuhkan minat anak agar gemar membaca buku.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNGPresenter Inne Sudjono membacakan cerita kepada anak-anak yang hadir dalam acara Festival Mendongeng di Perpustakaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Perpustakaan Cikini) di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (10/10). Kegiatan ini antara lain bertujuan menumbuhkan minat anak agar gemar membaca buku.
Novelis Heri Hendrayana Harris yang lebih dikenal dengan nama pena Gola Gong menceritakan pengalamannya setelah berkeliling ke TBM di sejumlah daerah. Menurut dia, banyak TBM yang berjarak dengan budaya masyarakat tempat TBM itu berada. Budaya masyarakat setempat belum direspons sehingga program dan kegiatan kebanyakan TBM cenderung monoton. Pengelola TBM seharusnya mempunyai strategi yang progresif untuk memajukan minat baca. 
"Pengelola TBM harus terbuka, gaul, dan kreatif memasukkan budaya populer ke kegiatan. Kebudayaan bisa dikaitkan dengan literasi. TBM bisa jadi trendi kalau begitu, sekaligus bisa mendorong gerakan Indonesia membaca. Proses membaca pengelola TBM harus lebih maju dari warga belajarnya," kata Heri.

Iman Soleh dari Komunitas Celah Celah Langit menambahkan, TBM harus bisa melibatkan partisipasi aktif masyarakat di sekitarnya. Tidak perlu menggunakan program atau kegiatan yang muluk-muluk sehingga sulit dilakukan. Cukup kegiatan sederhana tetapi "memuliakan" orang-orang yang ada di sekitarnya. Selain itu, pengelola juga harus bisa dan berani membangun jaringan, baik dengan pemerintah dalam negeri maupun luar negeri, melalui perwakilan di Indonesia ataupun swasta seperti industri. "Jangan takut untuk mengetuk pintu siapa pun," ujarnya.
sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/10/24/Taman-Bacaan-Masyarakat-Kurang-Kekinian

Literapedia Edisi Februari 2016

Edisi No.1| Feb 2016

Rasa rasanya ada persoalan maha berat yang sulit tertanggulangi untuk menggenjot tradisi literasi di republik ini. Di era menguatnya tekhnologi informasi semakin menggerus kesadaran massal bahwa kekuatan literasi akan berkorelasi positif dengan menguatnya daya saing suatu bangsa juga kedaulatannya. 

Sekali lagi ihwal minat baca tidak hanya menambah pengetahuan terutama terhadap sejarah bangsa, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sejarah bangsa. Bayangkan, jika kita hidup tanpa kesadaran sejarah dan pengetahuan. Gelaplah bangsa ini tak bisa tengok ke belakang tak pula terarah ke depan.

Temuan serta pandangan para narasumber tersebut relevan dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 5-6 September 2015. Hasilnya, rata-rata lama membaca buku warga Indonesia hanya 6 jam per minggu (Kompas 15/9/2015). Kita di bawah warga India yang rata-rata membaca buku 10 jam per minggu, Thailand 9 jam per minggu, dan Tiongkok 8 jam per minggu.

Survei Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) 2012 menunjukkan, hanya satu dari 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca serius. Rata-rata, kurang dari satu buku yang dibaca per tahun.

Butuh energi dewa dan kekuatan langit untuk mengatasi beban yang nyaris tak tertanggulangi ini. Dengan keyakinan mikroba literasi, "siapa saja dapat menjadi penggerak literasi", kita masih membawa obor di tengah kegelapan[]
Oleh kontributor#de

Mantra-Mantra Rifki Sanahdi

Puisi-puisi Rifki Sanahdi

Tentang aku
Aku adalah hembusan angin musim semi
Berhembus syahdu melewati hutan hingga padang ilalang.
Menerpa daun-daun muda maupun kering
Menyemaikan benih senyuman di tanah tandus tak bertuan.
Aku adalah hujan di musim kemarau
Datang sekali namun berarti
Melenyapkan fatamorgana yang terlihat nyata namun semu
Menghadirkan pelangi yang melengkung seperti lengkungan senyummu.
(Yogyakarta, 5 februari 2016)

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK