Showing posts with label literasi media. Show all posts
Showing posts with label literasi media. Show all posts

Saturday, June 11, 2016

Literasi Media dan Dakwah Berkemajuan

Oleh: David Efendi (Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah)
SUARA MUHAMMADIYAH Pada awal tahun 2016, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merilis hasil survey kualitas program siaran televisi di Indonesia yang cukup mencengangkan.  Ada sembilan kategori program yang diteliti yaitu program religi, wisata/budaya, talk show, berita, komedi, anak-anak, variety show, sinetron dan infotainment. Dari sembilan kategori hanya ada dua program yang masuk kategori berkualitas yaitu dengan indeks 4.10 dan 4.01 berturut-turut. Sementara ada empat program yang tidak berkualitas yaitu acara talk show, berita, komedi, dan anak-anak yang skornya hanya antara 3.13-3.78. Bahkan, ada dua jenis program yang sangat tidak berkualitas yaitu variety show, sinetron, dan invotainment yang skornya kurang dari 3. Penelitian ini tergolong cukup serius karena kolaborasi dengan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan 9 perguruan tinggi di Indonesia.
Populasi dari penelitian ini adalah semua program siaran yang ditayangkan di 15 stasiun televisi nasional (ANTV, Global, Indosiar, MetroTV, MNCTV, RCTI, SCTV, TransTV, Trans7, TVOne, TVRI, RTV, Sindo TV, Kompas TV dan Net.)  Asumsinya, setiap stasiun televisi rata-rata menayangkan 20-an program siaran setiap harinya dalam rentang waktu jam 05.00 – 24.00. Jika ditotal untuk semua stasiun televisi nasional, total ada sekitar 9.000-an program siaran setiap bulan.  Dari 9000-an program siaran televisi diambil sample program sebanyak 45 buah. Program siaran diklasifikasikan terlebih dahulu berdasarkan kategori 9 program siaran masing-masing berita, sinetron/ FTV/film, variety showtalkshow, religi, budaya/wisata, infotainment, komedi dan anak-anak.
Memang, tidak semua program acara televisi dinilai tidak berkualitas oleh audience televisi. Ada beberapa yang mempunyai muatan edukatif lebih dominan ketimbang hiburan. Namun pertanyaannya adalah apa makna dari hasil penelitian ini? Apa yang bisa menjadi agenda aksi untuk kelompok non-negara, dalam merespon eskalasi banalitas program televisi beserta iklan yang menyertainya?
Pertama, hasil penelitian ini menjadi amunisi publik kepada pengusaha siaran agar terbuka mata dan hatinya bahwa selama ini masyarakat menilai buruk siaran-siaran yang dibanggakan dengan rating tinggi dan iklan berlebih. Keadaan ini dapat dijadikan bahan bagi  negara untuk mengingatkan pemilik TV agar memperhitungkan dampak buruk dari program yang dijual ke penonton. Bukan hanya pemilik TV, negara melalui KPI dan masyarakat dapat meningkatkan bargaining position kepada sponsor agar tidak sembarangan memasang iklan -minimal menimbang aspek lain bukan sekedar iklan di program yang memiliki rating tinggi.
Ada situasi faktual dimana akhir-akhir ini mencuat beragam kasus kekerasan seksual dan juga beragam jenis kekerasan lainnya yang dilakukan oleh anak-anak bahkan orang tua. Di saat yang sama ada berbagai program siaran TV yang mengumbar adegan kekerasan, merendahkan derajat perempuan, atau etnis tertentu. Seolah-olah ada korelasi yang dekat dengan keadaan sosial masyarakat kita. Ini hendaknya disikapi dengan cerdas disertai aksi-aksi preventif yang mengedepankan nilai-nilai kearifan untuk target jangka panjang.
Kedua, hasil penelitian KPI ini memberikan second opinion bagi masyarakat bahwa rezim rating itu berbeda dengan kualitas program siaran televisi. Tingginya rating program tidak berkorelasi positif dengan kualitas program, bahkan sebaliknya itu terjadi di Indonesia. Hasil penelitian ini jelas mendorong publik agar membangun kesadaran literasi media sebagai penonton yang cerdas. Artinya, data ini dapat dipakai sebagai bahan dalam membuat peringkat kualitas isi siaran sekaligus menjadi bahan evaluasi bagi KPI untuk terus memperbaiki kinerja juga industri pertelevisian untuk memperbaiki kualitas siarannya. Tayangan yang mengedepankan kekerasan, hiburan, kekerasan seksual, stigma, dan miskin pesan edukatif adalah gambaran paling kuat mengenai rendahnya kualitas program.
Dalam situasi ini keberadaan kelompok civil society termasuk Muhammadiyah mempunyai andil yang besar untuk melakukan penetrasi kepada masyarakat mengenai dampak buruk dari anak-anak atau masyarakat yang diasuh oleh televisi. Dalam banyak situasi, orang tua tidak memungkinkan mendampingi anggota keluarganya untuk memfilter tontonan sehari-hari. Kesulitan lainnya adalah situasi di mana banyak program TV, tetapi yang berkualitas hanya sebagian kecil saja. Keberadaan kelompok non-negara dapat melakukan konsolodasi untuk mengkritisi industri siaran yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup masyarakat. Ketahanan keluarga akan dampak negatif TV dapat dimulai dari struktur paling sederhana yaitu keluarga. Konsep keluarga sakinah bisa dikontruksi sebagai keluarga bebas sinetron atau keluarga yang mempunyai kecerdasan literasi tinggi (penonton cerdas).
Sebagai bentuk dakwah berbasis komunitas yang berkemajuan, Muhammadiyah dapat menyediakan ruang edukasi lain dalam lembaga pendidikan yang lebih menarik, atau memproduksi program TV yang positif dan menarik bagi segmentasi tertentu baik anak-anak, remaja, maupun umum. Beberapa ormas berbasis keagamaan sudah mempunyai channel TV. Sehingga, peran-peran edukatif dan strategis dapat dijalankan dengan leluasa. Dengan dakwah berkemajuan, artinya Muhammadiyah tidak hanya mengutuk industri TV tetapi juga memberikan solusi nyata dengan mengelola TV dengan model konvergensi bersama media online dan offline lainnya. Dengan demikian, kemenangan merebut penonton sedikit terbuka lebar.
Namun demikian, keberpihakan organisasi dakwah Islam seperti Muhammadiyah dalam membentengi konsumen TV dari pengaruh buruk siaran perlu mendapat dukungan dari otoritas kekuasaan yang punya sifat memaksa. Itu adalah tugas Negara, dan negara dalam konteks ini direpresentasikan oleh KPI. Salah satu tugas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yaitu melakukan pengawasan agar program televisi makin berkualitas dan berkualitas. Oleh karenanya, KPI punya kewajiban memproteksi masyarakat dengan memberikan garansi kepada masyarakat dengan program acara televisi yang berkualitas.

Thursday, September 3, 2015

Refleksi Sekolah Literasi (Bagian 1)


Lutfi Zahwar, pegiat Podjok Batca

Sekolah Literasi pertama yang diselenggarakan oleh Rumah Baca Komunitas (selanjutnya disebut RBK) berakhir senin 31 Agustus 2015 dengan materi Praksis Advokasi Gerakan Literasi Terhadap Kaum Tertindas yang difasilitatori oleh Kang Dwi Cipta dari Gerakan Literasi Literasi menorehkan bekas yang dalam pada diri saya. Bekas yang mendalam itu yang kemudian membuat saya memutuskan untuk membuat refleksi singkat tentang Sekolah Literasi yang saya ikuti di RBK.
Menyesal rasanya tidak bisa mengikuti Sekolah Literasi dari pertemuan pertama tanggal 21 Agustus karena masih berada di Kediri. Tetapi beruntung saya bisa mengikuti kelas kedua sampai kelas terakhir. Sekaligus saya mendapatkan kesempatan yang tidak terduga untuk menjadi salah satu fasilitator di kelas ketiga karena David Efendi yang seharusnya menjadi fasilitator mengikuti konferensi di Davao, Filipina.
Menjadi fasilitator tentu saja memberikan banyak pelajaran bahwa saya masih harus banyak belajar. Untung saja waktu itu ada Ahmad Sarkawiyang membantu menjelaskan dengan cukup detail latar belakang lahirnya RBK serta nilai-nilai apa yang diperjuangkan. Menurut Om Wiek, panggilan Ahmad Sarkawi di RBK lahir karena adanya semangat untuk berbagi. Membuka akses seluas-luasnya bagi siapapun untuk bisa mengakses pengetahuan. Menjadikan buku sebagai kepemilikan pribadi menjadi milik bersama di komunitas. Buku yang sebelumnya privat disosialkan.
Om Wiek juga menjelaskan bahwa dalam perjalanan keberadaan RBK yang saat ini sudah berumur tiga tahun. RBK sempat mengalami beberapa transformasi gerakan untuk menemukan formula gerakan yang lebih pas guna menjadi gerakan literasi yang transformatif. Di periode kedua ketika di Jalan Paris (selanjutnya disebut mahzab paris) RBK mengorientasikan keberpihakannya pada kaum-kaum marjinal yang disisihkan oleh masyarakat. RBK membuka diri seluas-luasnya kepada kelompok-kelompok waria, anak gelandangan, dan pekerja seks komersial untuk mendapatkan bahan bacaan, akses pada ilmu pengetahuan. Sedangkan di saat yang sama perpustakaan negara melakukan diskriminasi terhadap mereka. RBK ingin memperlakukan mereka sebagai layaknya manusia, tidak melakukan diskriminasi.
Kemudian apa yang membedakan RBK dengan taman baca-taman baca pada umumnya. Dalam diskusi di Podjok Batja, Cak Daviid pernah menyinggung bahwa gerakan yang diinisiasi di RBK adalah model gerakan baru yang memberikan nafas baru dalam gerakan literasi. Ia menyebutnya sebagai gerakan post taman baca yang hanya menyediakan buku. RBK dengan mengusung dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan, anti diskriminasi, anti kekerasan, berpihak pada mereka yang tertindas tidak saja menyediakan buku untuk bisa diakses. Namun juga secara rutin mengadakan diskusi rutin dua kali seminggu, Diskusi Reboan dan Diskusi Jumat Sore (DeJure) yang banyak mengangkat isu-isu tentang nilai-nilai yang diusungnya.
Tentang Gerakan Post Taman Baca yang disebut oleh David Efendi.Fauzan Anwar Sandiah dalam kelas kedua dalam Sekolah Literasi yang mengangkat topik Dinamika Gerakan Literasi. Sayang dalam pertemuan itu saya datang terlambat sehingga tidak bisa mengikuti dari awal penjelasan menarik dari Fauzan tentang dinamika gerakan literasi. Namun beruntung malam harinya saya berkesempatan mengulang materi yang disampaikan sambil berbincang santai di kafe. Fauzan membagi dinamika gerakan literasi menjadi tiga bagian penting. Pertama gerakan literasi yang berfokus pada meningkatkan minat baca masyarakat. Kritik Fauzan Anwar Sandiah terhadap gerakan ini selain karena tidak kontekstual dengan realitas sosial yang dihadapi masyarakat, bahkan kerap kali dijadikan lahan basah proyek bagi yang berkuasa untuk mengeruk keuntungan. Kedua, gerakan literasi yang berorientasi pada pengembangan dan peningkatan skill, misal saja pelatihan komputer, membaca dan menyusun laporan keuangan.
Tentu saja gerakan itu bagus apalagi jika sesuai konteks dan kebutuhan masyarakat dalam sistem ekonomi yang berkembang seperti sekarang. Namun lebih penting lagi jika tahap kedua itu dilanjutkan ke tahap ketiga, gerakan literasi kritis transformatif. Sebab kalau tidak gerakan literasi model kedua hanya akan menyediakan tenaga terampil yang akan menjadi penopang sistem kehidupan yang instrumentalistik industrial. Gerakan literasi model ini tidak hanya berorientasi, meminjam istilah Karlina Supelli, memproduksi manusia yang semata-mata mampu survive, beradaptasi dengan lingkungan demi keselamatan diri. Melainkan menumbuhkan pemikiran baru, merangsang pemikiran kritis. Ini adalah kemampuan khas manusia untuk mengkreasi budayanya, menangani realitas, menambahkan hal-hal baru, bahkan mengubahnya.
Sebagai model gerakan literasi post taman baca, RBK ingin menjadi tempat disemainya model pendidikan dan pembelajaran gaya baru. Seperti dikatakan David, gagasan sekolah literasi yang diadakan RBK bukan didesain untuk teknikalisasi atau fabrikasi komunitas yang rentan dengan proses mekanistik yang tidak apresiatif kreatifitas dan proses evolusi ilmiah. Mendesain dan mempraktikkan model belajar manusiawi dengan interaksi non doktriner serta menghargai keragaman peserta belajar. Sekaligus membuat Model gerakan literasi seperti itulah yang dalam pandangan saya akan membuka dan menumbuhkembangkan pemahaman kritis mengenai permasalahan apa yang terjadi, kenapa bisa terjadi, dan bagaimana kemungkinan upaya pemecahan yang bisa dikerjakan dalam dunia ini terus berubah. Sekaligus membuat dunia tempat kita hidup mendapatkan kehadiran seseorang yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya.

Proses seperti ini akan menjadikan gerakan literasi model baru seperti RBK sebagai tempat berdialog dengan realitas, bukan semata-mata pengalihan pengetahuan tentang realitas. Pemahaman dialogis ini juga berarti pelibatan subyek di dalam membentuk sejarahnya sendiri. Melalui proses berdialog dengan realitas, seseorang akan mampu merekonstruksi dan merevisi kepemahamannya mengenai dunia secara terus menerus. Ia akan lahir sebagai mahluk yang terus menerus mencipta diri, atau secara sederhana, mahluk pembelajar seumur hidup. Dari proses inilah lahir subyek otonom yang tidak lepas dari konteks sosial-kulturalnya, dan konteks kehidupan secara menyeluruh.

Refleksi sekolah literasi: Memaknai Kehidupan

Ahmad Sarkawi, pegiat RBK

Proses yang dilakukan bersama dalam sekolah literasi sangatlah membahagiakan, membangun semangat berbagi merupakan ciri yang penting untuk tidak dilupakan. Dialog setiap manusia yang berada dalam ruang bersama sekolah literasi tentu saja memberi makna setiap kita, namun yang menjadi indah dalam sekolah literasi adalah tumbuhnya cinta dan kasih sayang antar sesama modal dari benih-benih kepercayaan antar sesama.

Dalam proses yang dilakukan pada setiap pelatihan atau sekolah kita sering mendengar kontrak belajar dan pemetaan kekhawatiran. Tetapi bila saya memfasilitasi yang disebut “kontrak belajar” saya selalu menggantikan dengan kesepakatan bersama sedangkan pemetaan kekhawatiran saya menggantikan dengan kekuatan kepercayaan. Sederhananya jika menggunakan pemetaan kekhawatiran itu berangkat dari asumsi kecurigaan sedangkan menggunakan kekuatan kepercayaan adalah berangkat dari asumsi kekuatan Trust yang ada pada setiap individu yang mengikuti proses berbagi pengetahuan dan pengalaman bersama. Penggunaan kontrak belajar ini lebih pada pilihan kata saja sebenarnya namun saya punya alasan tidak mengunakan kata belajar, diajar dan sebagainya yang menggunakan kata dasar ajar. Karena menurut subjektif saya kata ajar menjadi relasi tidak setara. Maka saya menggunakan kata berbagi pengetahuan dan pengalaman, asumsi saya setiap orang mempunyai pengetahuan dan pengalaman dengan kekuatan berbagi maka pengetahuan dan pengalaman setiap individu bisa diramu menjadi pengatahuan dan pengalaman bersama sebagai proses berbagi dalam kehidupan.

Melalui sekolah literasi mengingatkan saya bahwa berbagi tidak mesti melihat ke siapa kita berbagi namun lebih pada proses refleksi terhadap perjalanan kemanusiaan kita semata. Misalnya seperti cerita masa kecilku : pada hari jumat hampir 20 tahun yang lalu seorang laki-laki datang menuju kerumah kemudian menyampaikan niatnya pada bapakku bahwa dia mau menginap dirumah padahal laki-laki itu belum ada yang mengenalnya di tengah keluargaku, semua anak-anak keberatan jika laki-laki itu menginap di rumah. Tapi saat itu bapak menyampai dengan suara yang tenang “laki-laki itu adalah malaikat yang akan menyempurnakan amal ibadah kita”. Akhirnya kita semua menerima, hampir satu minggu laki-laki itu menginap. Anehnya bapak tidak ada kekhawatiran sedikitpun, terus aku protes saat itu dengan berbagi kekhawatiranku namun bapak selalu menang. Bapak memberikan penjelasan kepadaku “kamu harus menghilangkan kekhawatiran dan kecurigaan kepada siapapun walaupun itu sangat kecil, belajarlah untuk percaya kepada semua orang bahwa semua manusia di dunia ini adalah baik”.

Sekolah literasi tidak sekedar mengenal tulisan dan bacaan namun lebih jauh dari itu semua, yaitu proses memahami setiap makna kehidupan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis kemudian melahirkan berbagi aksi nyata sebagai bentuk komitmen terhadap kemanusiaan kita.

Condang catur, 4 September 2015


Monday, June 29, 2015

INCLUSIVE LITERACY PENNY LACEY

INCLUSIVE LITERACY
PENNY LACEY

AIM
To enable participants to reflect on aspects of teaching and learning in relation to pupils with profound (and multiple) learning disabilities.

INTENDED OUTCOMES
By the end of the session, you should be able to:

  1. reflect on your literacy sessions and decide how they might be developed even more
  2. be an even better story teller for pupils with PMLD
  3. enable pupils with PMLD to participate even more in your lessons

CONTENT
  • Reminder of difficulties in learning faced by those with profound learning disabilities
  • University of Birmingham Inclusive Literacy Research
  • Story telling ideas
  • Evaluation of the participation of pupils with PMLD in a Maths lesson


***************

Researchers from the Universities of Birmingham, Manchester Metropolitan and Plymouth studied the way schools approach teaching literacy to children with severe learning difficulties.  Although not the main focus of the study, pupils with profound learning disabilities featured in the information we collected.  This article is an attempt to share some of what we found.

The study took about 18 months to complete and during that time, we carried out five different activities:
  1. desk-based research using books, journals, magazines and web-sites
  2. observations in classrooms, in both literacy lessons and others lessons where literacy skills might be being used
  3. interviews of the teachers who taught those lessons
  4. focus groups of teachers to discuss our results
  5. interviews of ‘expert witnesses’ (people who are well-known for developing aspects of literacy with children with SLD/PMLD).

Conventional Literacy
Most definitions of the word ‘literacy’ contain reference to reading and writing text and the reality in schools (special or mainstream) is that Literacy on the timetable is about learning to read and write or to engage in activities that are eventually meant to lead to reading printed or written text as well as generating written text and writing.  The original National Literacy Strategy material (DfEE, 1998) answers its own question of ‘what is literacy?’ : with ‘Literacy unites the important skills of reading and writing’.  It does go on to include speaking and listing as important, but the rest of the materials are about reading and writing: speaking and listening are hardly mentioned again.

This position has changed with the new Primary National Strategy (DfES, 2006), where speaking and listening are much more prominent under the literacy heading, with 4 of the 12 strands relating to 1. speaking, 2. listening and responding, 3. group discussion and interaction and 4. drama.  The other 8 all relate specifically to reading and writing, with the emphasis at an early stage on learning through ‘synthetic phonics’, where children need sophisticated knowledge about the segmental nature of spoken language and to be able to match speech-sounds and letters.

I have dwelt on conventional views of literacy because when we went to schools for pupils with SLD/ PMLD, we found that most of them were taking a conventional approach to teaching literacy,  at least to pupils with SLD.  Children were being taught words and phonics, how to get information from books and other kinds of text, and lessons we observed looked very similar to those that can be seen in mainstream classrooms all round the country.  There was a greater variation for pupils with profound learning disabilities, but even so, many lessons looked, in essence similar to the prescription for the Literacy Hour. 

Observations
Typically, a class of children with severe and profound learning disabilities were seen sitting in a semi-circle around a teacher holding a big book.  The book was read or a story told using the pictures and staff engaged the pupils in the story through pictures and objects.  Following the story, again typically, the class divided into smaller groups for work related in some way to the book but pitched at a level that was right for the individuals in that group.  Usually, the whole class met again for a plenary session at the close of the lesson where pupils’ work was recalled and celebrated.

The work we observed that was specifically designed for pupils with profound learning disabilities was often sensory in nature.  It was usually centred around a story or a book, but access to the activity was often through objects to touch and activate or odours to smell, things to look at and listen to or even food to taste.  We saw stories being told through a range of sensory experiences, such as the Bag book ‘Gran’s Visit’.

There were also examples of what might be called ‘pure communication’, rather than anything specifically related to conventional literacy or pre-literacy skills.  These were variations on Intensive Interaction (Nind and Hewett, 2000) and usually began from the child him or herself, rather than from a book or a story.  The intention appeared to be to engage the child and achieve even minimal social interaction using little games associated with typically developing infants and caregivers.  One game observed involved the adult having a conversation of ‘ahs’, following the lead of the child’s vocalisations.  It is not known whether the adult thought that what was happening was part of literacy but it was happening in a Literacy lesson.

Inclusive Literacy
One of the central concepts that developed through the study was the idea of ‘inclusive literacy’.  Conventional literacy is clearly not open to children (or adults) with profound learning disabilities as they are not going to learn to read and write.  However, if we conceive of literacy as ‘inclusive’, there may be ways in which even the most profoundly disabled can take part.  So what did we mean by ‘inclusive literacy’?  We identified a range of activities for learners with SLD that we want to argue could legitimately be identified as ‘inclusive literacy’ even if there was no use of text at all, and many of these can include those with profound learning disabilities.  We identified:

       Objects of reference
       Life quilts and life history boxes
       Personal storytelling
       Sensory stories & multimedia stories
       Cause and effect software
       Photo albums and scrap books
       Picture books & stories
       Graphic facilitation
       Reading icons and symbols
       Talking books
       Early conventional reading skills
       Simple conventional books
       Drama and role play
       Simple software for computer
       Television and films
       Navigating websites (eg: Eastenders)
       Creating websites
       Still photography to create books
       Film-making

The list includes some activities that definitely do not fit into conventional literacy relating to letters, words and text.  Some can be seen as ‘new literacies’ belonging to the media age of television, ipods and computers (Lankshear and Knobel, 2003) and others are seen as, perhaps simplifications of, or substitutions for, the whole business of traditional text-based literacy, such as objects of reference, life quilts and sensory stories.

Objects of Reference
The first few in the list seem to have the greatest potential for learners with profound learning disabilities.  Objects of reference (Ockelford, 2002), for example could be seen as the first real step into learning about symbols, which in conventional literacy might lead to more and more abstract symbols and eventually into letters, words and text.  In the absence of this kind of progression, learning to use objects of reference can be seen as an early and important form of literacy in its own right for those learners who are unable to progress further down the conventional literacy or even the new literacies route.

Life Quilts and Life Boxes
Life quilts (Grove, 1996) or life history boxes can be seen as akin to books about a person.  A life quilt is literally a quilt made from sewing together pieces of material from the clothes, curtains, cushions, duvet covers that have meaning for that person from early childhood through to adulthood.  There can also be objects sewn into the quilt: anything that might spark familiarity.  If this started at an early age and continually added to and enjoyed, it can become an important ‘book’.  Alternatively or in addition, a box can be used to collect important objects such as slippers, a personal cup, a toy or birthday candles.  These can be used regularly to ‘tell the story’ of the person’s life.

Sensory Stories and Multimedia Activities
There are many examples of sensory stories in schools and colleges: published and home-made, although perhaps fewer multimedia stories.  If you haven’t already found Pete Well’s disgusting stories, you might try them especially with teenagers or young adults.  Go to http://www.portland-school.co.uk/Petes-stuff/PetesStuff.htm.  Two other special school websites that offers interesting activities for learners with profound learning disabilities are Priory Woods School  www.priorywoods.middlesbrough.sch.uk/ and Meldreth Manor School http://atschool.eduweb.co.uk/meldreth/textandinfo/Powerp/Media2.html.

Pictures and Moving Pictures
The activities on our list that are related to pictures (still or moving) may or may not be meaningful to an individual with profound learning disabilities.  Learning to understand and ‘read’ pictures is an important skills for learners with SLD and the first rungs of that ladder may be relevant to someone with profound disabilities, especially recognising themselves, their family and friends on video.  For some people, attaching the camera to the television and watching themselves in real time can be motivating and interesting.

Film-making and Drama
There are some other activities on our list above within which learners with profound disabilities could be included, for example film making or drama.  Nicola Grove and Keith Park have many suggestions for how this can be achieved and if you haven’t come across their work, you might start with their book ‘Odyssey Now’ (Grove and Park, 1996) or ‘Macbeth in Mind’ (Grove and Park, 2001) or find Keith’s many articles published in SLD Experience.  Keith’s work can also be seen on Teacher’s TV online in a programme called ‘Special Schools: Access the Curriculum http://www.teachers.tv/video/1403

Conclusions
From our research we were able to see examples of activities that we called ‘inclusive literacy’.  We recognise, as did the teachers in the study, that literacy for learners who don’t learn to read and write is not conventional.  It includes a wider view of communication than might typically be seen as literacy, as well as some of the new literacies that are more often associated with creative, performance or media studies or information and communications technology.  For the most profoundly disabled learners, to be inclusive, literacy must also embrace the use of objects as a kind of text and perhaps even see someone learning to anticipate a favourite activity as learning to ‘read’ what is happening.  I don’t want to stretch literacy to a ridiculous degree but there is definitely more to it than the conventional reading and writing of text.

Hopefully, the inclusive literacy activities that have been briefly discussed in this article will inspire you to be as creative as you can in providing experiences for learners with profound learning disabilities.  Although joining in a conventional literacy hour with more able peers is one activity, there are lots more that appear to us as legitimate responses to teaching literacy to learners who are not going to learn to read and write.  Have fun in Literacy!

The research was carried out by Lyn Layton, Penny Lacey, Carol Miller, Juliet Goldbart and Hazel Lawson.  The article was written by Penny Lacey, Senior Lecturer in Education, The University of Birmingham, School of Education, Edgbaston, Birmingham, B15 2TT.



REFERENCES


Caldwell, P. (2007) From Isolation to Intimacy: Making Friends Without Words London: Jessica Kingsley

Corke, M. (2002) Approaches to Communication Through Music London; David Fulton

Coupe O’Kane, J. and Goldbart, J. (1998) Communication Before Speech London; David Fulton

DfES (1998) The National Literacy Strategy London: DfES

DfES (2006) The Primary National Strategy http://www.standards.dfes.gov.uk/primaryframeworks/ (accessed 25.10.06)

Fyfe, C. (2001) Gulliver’s Travels: A Multisensory Approach London: Bag Books

Grove, N. (1996) Life quilts, Talking Sense 42, 2 (http://www.sense.org.uk/publications/allpubs/magazine/tsarticles/1996/lifequilts.htm) (accessed 26.10.06)

Grove, N. and Park, K. (1996) Odyssey Now London: Jessica Kingsley

Grove, N. etc (2000) See What I Mean?  Guidelines to Aid Understanding of Communication by People with Severe and Profound Learning Disabilities Kidderminster: BILD

Grove, N. and Park, K. (2001) Social Cognition through Drama and Literature for People with Learning Disabilities: Macbeth in Mind London: Jessica Kingsley

Grove, N. (2005) Ways into Literature London: David Fulton

Lacey, P. and Ouvry, C. (1998) People with Profound and Multiple Learning Disabilities London: David Fulton

Lacey, P. (2006) Inclusive Literacy PMLD-Link 18, 3, 11-13

Lankshear, C. and Knobel, M. (2003) New Literacies: Changing Knowledge and Classroom Learning Maidenhead: Open University Press

Nind, M. and Hewett, D. (2000) A Practical Guide to Intensive Interaction Kidderminster: BILD

Ockleford, A. (2002) Objects of Reference London: RNIB








Useful Websites

Bag Books

Call Centre story packs

Catalyst
(Flo Longhorn) (Information Exchange)

CBeebies (switch accessible)

Check the Map (list of fun sites)

Communication aids

Dave Hewett

Dub City Rockers (music games)

Hirstwood Training (multisensory)

Inclusive Technology (hardware & software)

Intensive Interaction

Knee Bouncers (fun games)

Mencap PMLD section

Moorcroft School sensory stories
MOVE
(movement)

Oily Cart
(theatre)

Pete Wells sensory stories

Poisson Rouge (cause and effect games)

PMLD Link (magazine)

PMLD Network (email forum)

Priory Woods School (cause and effect games)

Routes for Learning

Sherbourne Developmental Movement

SLD Forum (email forum)

Soundabout (music)

Sound Beam

Story Sacks

Tac Pac

Tactile books for visually impaired people

University of Birmingham (courses in SLD/ PMLD)
then click on Learning Difficulties and Disabilities



Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK