Showing posts with label inspirasi. Show all posts
Showing posts with label inspirasi. Show all posts

Monday, February 29, 2016

Mencari Kelas Menengah

Dua kutipan yang sangat mengundang perhatian saya di buku Gerry:

“kekuasan Negara berakar, sebagian, dalam politik mikro di tingkat lokal.” (Boone 1998:25)

“kelompok-kelompok kepentingan yang mengincar anggaran pengeluaran pemerintah yang besar dan longgar sudah berurat berakar dalam system politik.” (Mackie 1971: 62) 

#
Saya membaca buku yang paling meyakinkan soal kelas menengah waktu kuliah sarjana di Ilmu Pemerintahan UGM. Buku tersebut berjudul “Politik kelas Menengah Indonesia” yang diterbitkan oleh LP3ES dan diedit oleh Tanter dan Young (buku ini terbit tahun 1996). Buku kumpulan tulisan dari akademisi dan intelektual dari berbaai Negara dan universitas ternama dapat dikatakan juga sedahyat perdebatan kumpulan tulisan dalam buku In search of middle Indonesia yang sedang saya bicarakan. Buku politik kelas menengah ini meyakinkan pembaca bahwa keberadaan kelas menengah (ada) dan jelas punya kontribusi terhadap proses politik di Indonesia—baik atau buruk kontribusinya dapat dikaji, namun ada upaya pembelaan akan adanya eksistensi ini sebagai pendorong kekuatan pro-demokratisasi? Sebagaimana kata Bottomore, no bourgeoisie no democracy!? Ini dua tantangan besar untuk meng-iya-kan lantaran ada psimisme public juga bahwa kelas menengah di Indonesia hanyalah kelas menengah semu. Jumlahnya membesar karena peran Negara, jumlahnya membesar juga bisa karena ada di ranah life style (perilaku borjuasi).

Lama sekali, perdebatan kelas menengan dan politik berubah menjadi perdebatan soal rent seeker, soal local dinasti yang merusak, soal kekuatan oligarki nasional, typan media, dan sebagainya yang tidak dihubungkan secara kuat dengan teori-teori kelas menengah. Nyaris, orang lupa soal kelas menengah dalam politik. Kabar, meningkatnya jumlah kelas menengah, tidak lantaran dikaji sebagai potensi dan musabab akan mahalnya biaya politik dalam proses electoral sepuluh tahun terakhir ini, misalnya. Memisahkan kelas menengah dari persoalan politik adalah satu tindakan ‘vandal’ dalam kajian dinamika politik local maupun nasional.

Terbitnya dua buku berharga oleh YOI dua tahun berturut-turut yiatu The making of middle Insonesia (2015) karya Gerry van Klinken dan In search of middle Indonesia (2016) berisi kumpulan tulisan peneliti yang diedit oleh Klinken dan Berenschot membawa angina segar bagi kajian baru (research insight) di Indonesia, khususnya dalam kontek lokalisme. Lokalisme yang mengandung kompleksitas yang tidak sederhana. Karena, menurut Klinken, perlu mengajak lebih banyak peneliti untuk menelisik transformasi sosial yang terjadi di area yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai area “in-Between”. Buku ini jelas, memberikan nafas energy baru untuk berselancar menuju kota kota menengah dengan spesifikasi kajian yang diagendakan. Saya gembira, ajakan penelitian Klinken ini bukan semata-mata ke kota di propinsi nan jauh terpencil untuk melakukan penelitian etnhnografi, tetapi mengajak menelisik praktik kekuasaan (hal.viii). Termasuk karakter dan metode elitenya di dalam mempertahankan kuasanya. Karenanya, dalam beberapa informasi saya kepada mahasiswa saya yang mengambil mata kuliah politik dan dinamika pemerintahan lokal dan juga mata kuliah yang berurusan dengan birokrasi di daerah (EKOP), saya berikan beberapa keywords penting kepada mereka: desentarlisasi, demokrasi, birokrat lokal, dinamika ekonomi politik-lokal, local elites, etc,, agar mereka tak salah pikir atau sejenis gagal paham (Bahasa kekinian) kalau kuliah umum dengan Pak Gerry ini adalah kuliah sejarah atau kuliah dinamika ekonomi an sich di regional/kota-kota menengah. Ini kuliah umum yang menghubungkan masa lalu “kita” dengan masa kini dan masa depan negara, serta ihwal keyakinan apakah kita ini (masih) berada di negara yang sama bernama Indonesia. Imajinasi kelas menengah bagaimana? Jangan-jangan kita benar berada di suatu Bangsa yang dibayangkan,

Judul kuliah umum, “Mencari kelas menengah di kota-kota menengah di Indonesia” seolah taka da kaitan dengan politik padahal sangat kuat ikatannya. Klnken memberikan penjelasan bahwa yang disebut dengan “Indonesia Menengah” (Middle Indonesia) mengacu pada peran-peran mediasi yang dimainkan oleh kelas menengah di kota-kota propinsi di Indonesia. Indonesia menengah sebagai area in between yang mencakup dimensi antara ruang geografi (urban/rural); ruang sosial, ruang ekonomi, ruang politik, antara formal dan informal, …yang memberikan ilustrasi dimensi abu-abu yang tak kentara. Ruang-ruang yang ada perkotaan tapi tidak industrial city, atau juga tidak kekeh dan fanatik akan tradisi, tapi mereka cukup punya banyak informasi akan berbagai urusan politik dan peluang/praktik bisnis. Dalam beberapa aspek, mereka juga mengalami pembaratan (istilah Denys Lombard), misalnya dalam bagaimana manusia di kelas menengah ini punya cara makan yang berbeda dengan yang bukan kelas menengah. Ke-abu-abu-an lainnya adalah ihwal, mereka bisa menjadi kelas menengah relative—di level nasional atau kota besar bisa saja seseorang tidak tergolong kaya atau bahkan kelas menengah, tetapi di kota-kota kecil seorang camat atau birokrat kelurahan dapat menjadi seorang kelas menengah atau “orang kaya” dengan karakter khas : jamuan makan (hal.184/Lay), berpakaian, social media, tetapi diingat juga, dengan hadiranya media sosial yang murah dan terjangkau, siapa saja bisa menjadi cosmopolitan (karakter kelas menengah). Jadi lagi-lagi kita dihadapkan pada situasi abu-abu.

Ada beberapa kota di Indonesia, hidup dan matinya mengandalkan uang Negara. Bagaimana manusia di kota ini sebenarnya membangun karakter lokal? Ada juga istilah ‘bergaya di kota konflik’, apa pula ini sebagai keadaan terkini kota di bagian timur Indonesia? Ada juga karakter kelas menengah yang terbiasa menggunakan kekerasan dalam interaksi politik dan ekonomi, dan masih banyak lagi isu-isu yang belum disebutkan yang dapat kita diskusikan.

Siapakah mereka yang disebut kelas menengah? Bagaimana kepentingan mereka berkelindan dengan urusan politik? Kosmopolitanisme islam, orang orang bangsawan lama, birokrat, orang biasa jadi anggota dewan atau pejabat publik punya cerita tentang ini semua.

Banyak bahan harus di baca tentu saja untuk memperkuat pehamanan kita mengenai satu jenis banyak karakter (kelas menengah) ini, setidaknya membaca buku Gerry akan membawa kita pada upaya pencarian apakah kota-kota di indoensia dan manusia kelas menengannya ini sedang mengalami involusi, atau progresif menuju transformasi penting?

Dan saya kira, nanti pasti diberitahu oleh Gerry dan kita juga akan diajak untuk mencari secara sunggguh-sungguh bagaimana middle Indonesia bekerja dan bagaimana kita memprediksi apakah negara ini tetap terikat sebagai suatu nation-state lantaran kekuatan kelas menengah, atau bubar tergadaikan karena lemahnya ikatan kelas menengah yang berpihak pada kepentingan nasional?

Friday, December 25, 2015

Pidato Malala Yousafzai di Penghargaan Nobel Peace Prize

 Rumah Baca Komunitas
Bismillah hir rahman ir rahim.
In the name of God, the most merciful, the most beneficent
.
Your Majesties, Your royal highnesses, distinguished members of the Norweigan Nobel Committee,
Dear sisters and brothers, today is a day of great happiness for me. I am humbled that the Nobel Committee has selected me for this precious award.
Thank you to everyone for your continued support and love. Thank you for the letters and cards that I still receive from all around the world. Your kind and encouraging words strengthens and inspires me.
I would like to thank my parents for their unconditional love. Thank you to my father for not clipping my wings and for letting me fly. Thank you to my mother for inspiring me to be patient and to always speak the truth- which we strongly believe is the true message of Islam.  And also thank you to all my wonderful teachers, who inspired me to believe in myself and be brave.

I am proud, well in fact, I am very proud to be the first Pashtun, the first Pakistani, and the youngest person to receive this award.  Along with that, along with that, I am pretty certain that I am also the first recipient of the Nobel Peace Prize who still fights with her younger brothers. I want there to be peace everywhere, but my brothers and I are still working on that.

I am also honoured to receive this award together with Kailash Satyarthi, who has been a champion for children's rights for a long time. Twice as long, in fact, than I have been alive. I am proud that we can work together, we can work together and show the world that an Indian and a Pakistani, they can work together and achieve their goals of children's rights.
Dear brothers and sisters, I was named after the inspirational Malalai of Maiwand who is the Pashtun Joan of Arc. The word Malala means grief stricken", sad", but in order to lend some happiness to it, my grandfather would always call me Malala – The happiest girl in the world" and today I am very happy that we are together fighting for an important cause.
This award is not just for me. It is for those forgotten children who want education. It is for those frightened children who want peace. It is for those voiceless children who want change.
I am here to stand up for their rights, to raise their voice… it is not time to pity them. It is not time to pity them. It is time to take action so it becomes the last time, the last time, so it becomes the last time that we see a child deprived of education.

I have found that people describe me in many different ways.
Some people call me the girl who was shot by the Taliban.
And some, the girl who fought for her rights.
 Rumah Baca Komunitas
Some people, call me a "Nobel Laureate" now.
However, my brothers still call me that annoying bossy sister. As far as I know, I am just a committed and even stubborn person who wants to see every child getting quality education, who wants to see women having equal rights and who wants peace in every corner of the world.
Education is one of the blessings of life—and one of its necessities. That has been my experience during the 17 years of my life. In my paradise home, Swat, I always loved learning and discovering new things. I remember when my friends and I would decorate our hands with henna on special occasions. And instead of drawing flowers and patterns we would paint our hands with mathematical formulas and equations.
We had a thirst for education, we had a thirst for education because our future was right there in that classroom. We would sit and learn and read together. We loved to wear neat and tidy school uniforms and we would sit there with big dreams in our eyes. We wanted to make our parents proud and prove that we could also excel in our studies and achieve those goals, which some people think only boys can.

But things did not remain the same. When I was in Swat, which was a place of tourism and beauty, suddenly changed into a place of terrorism. I was just ten that more than 400 schools were destroyed. Women were flogged. People were killed. And our beautiful dreams turned into nightmares.
Education went from being a right to being a crime.
Girls were stopped from going to school.

When my world suddenly changed, my priorities changed too.
I had two options. One was to remain silent and wait to be killed. And the second was to speak up and then be killed.

I chose the second one. I decided to speak up.
We could not just stand by and see those injustices of the terrorists denying our rights, ruthlessly killing people and misusing the name of Islam. We decided to raise our voice and tell them: Have you not learnt, have you not learnt that in the Holy Quran Allah says: if you kill one person it is as if you kill the whole humanity?

Do you not know that Mohammad, peace be upon him, the prophet of mercy, he says, do not harm yourself or others".  
And do you not know that the very first word of the Holy Quran is the word Iqra", which means read"?

The terrorists tried to stop us and attacked me and my friends who are here today, on our school bus in 2012, but neither their ideas nor their bullets could win.
We survived. And since that day, our voices have grown louder and louder.
I tell my story, not because it is unique, but because it is not.
It is the story of many girls.


Today, I tell their stories too. I have brought with me some of my sisters from Pakistan, from Nigeria and from Syria, who share this story. My brave sisters Shazia and Kainat who were also shot that day on our school bus. But they have not stopped learning. And my brave sister Kainat Soomro who went through severe abuse and extreme violence, even her brother was killed, but she did not succumb.
Also my sisters here, whom I have met during my Malala Fund campaign. My 16-year-old courageous sister, Mezon from Syria, who now lives in Jordan as refugee and goes from tent to tent encouraging girls and boys to learn. And my sister Amina, from the North of Nigeria, where Boko Haram threatens, and stops girls and even kidnaps girls, just for wanting to go to school.
Though I appear as one girl, though I appear as one girl, one person, who is 5 foot 2 inches tall, if you include my high heels. (It means I am 5 foot only) I am not a lone voice, I am not a lone voice, I am many.

I am Malala. But I am also Shazia.
I am Kainat.
I am Kainat Soomro.
I am Mezon.
I am Amina. I am those 66 million girls who are deprived of education. And today I am not raising my voice, it is the voice of those 66 million girls.
 Sharing is Power
Sometimes people like to ask me why should girls go to school, why is it important for them. But I think the more important question is why shouldn't they, why shouldn't they have this right to go to school.
Dear sisters and brothers, today, in half of the world, we see rapid progress and development. However, there are many countries where millions still suffer from the very old problems of war, poverty, and injustice.

We still see conflicts in which innocent people lose their lives and children become orphans. We see many people becoming refugees in Syria, Gaza and Iraq. In Afghanistan, we see families being killed in suicide attacks and bomb blasts.
Many children in Africa do not have access to education because of poverty.  And as I said, we still see, we still see girls who have no freedom to go to school in the north of Nigeria.
Many children in countries like Pakistan and India, as Kailash Satyarthi mentioned, many children, especially in India and Pakistan are deprived of their right to education because of social taboos, or they have been forced into child marriage or into child labour.

One of my very good school friends, the same age as me, who had always been a bold and confident girl, dreamed of becoming a doctor. But her dream remained a dream. At the age of 12, she was forced to get married. And then soon she had a son, she had a child when she herself was still a child – only 14. I know that she could have been a very good doctor.
But she couldn't ... because she was a girl.

Her story is why I dedicate the Nobel Peace Prize money to the Malala Fund, to help give girls quality education, everywhere, anywhere in the world and to raise their voices. The first place this funding will go to is where my heart is, to build schools in Pakistan—especially in my home of Swat and Shangla.

In my own village, there is still no secondary school for girls. And it is my wish and my commitment, and now my challenge to build one so that my friends and my sisters can go there to school and get quality education and to get this opportunity to fulfil their dreams.
This is where I will begin, but it is not where I will stop. I will continue this fight until I see every child, every child in school.

Dear brothers and sisters, great people, who brought change, like Martin Luther King and Nelson MandelaMother Teresa and Aung San Suu Kyi, once stood here on this stage. I hope the steps that Kailash Satyarthi and I have taken so far and will take on this journey will also bring change – lasting change.

My great hope is that this will be the last time, this will be the last time we must fight for education. Let's solve this once and for all.
We have already taken many steps. Now it is time to take a leap.
It is not time to tell the world leaders to realise how important education is - they already know it - their own children are in good schools. Now it is time to call them to take action for the rest of the world's children.

We ask the world leaders to unite and make education their top priority.
Fifteen years ago, the world leaders decided on a set of global goals, the Millennium Development Goals.  In the years that have followed, we have seen some progress. The number of children out of school has been halved, as Kailash Satyarthi said. However, the world focused only on primary education, and progress did not reach everyone.
In year 2015, representatives from all around the world will meet in the United Nations to set the next set of goals, the Sustainable Development Goals. This will set the world's ambition for the next generations.

The world can no longer accept, the world can no longer accept that basic education is enough.  Why do leaders accept that for children in developing countries, only basic literacy is sufficient, when their own children do homework in Algebra, Mathematics, Science and Physics?
Leaders must seize this opportunity to guarantee a free, quality, primary andsecondary education for every child.

Some will say this is impractical, or too expensive, or too hard.  Or maybe even impossible.  But it is time the world thinks bigger.

Dear sisters and brothers, the so-called world of adults may understand it, but we children don't. Why is it that countries which we call strong" are so powerful in creating wars but are so weak in bringing peace? Why is it that giving guns is so easy but giving books is so hard? Why is it, why is it that making tanks is so easy, but building schools is so hard?
We are living in the modern age and we believe that nothing is impossible. We have reached the moon 45 years ago and maybe will soon land on Mars. Then, in this 21st century, we must be able to give every child quality education.

Dear sisters and brothers, dear fellow children, we must work… not wait. Not just the politicians and the world leaders, we all need to contribute.  Me. You. We. It is our duty.
Let us become the first generation to decide to be the last , let us become the first generation that decides to be the last that sees empty classrooms, lost childhoods, and wasted potentials.
Let this be the last time that a girl or a boy spends their childhood in a factory.
Let this be the last time that a girl is forced into early child marriage.
Let this be the last time that a child loses life in war.
Let this be the last time that we see a child out of school.
Let this end with us.
Let's begin this ending ... together ... today ... right here, right now. Let's begin this ending now.

Thank you so much.

Thursday, December 17, 2015

Ben Anderson: Tidak Ada Duanya


Ariel Heryanto, CNN Indonesia


Benedict Anderson, seorang Indonesianis asal AS, meninggal di Malang, Jawa Timur, Indonesia pada Sabtu malam (12/12). (Dok. Cornell University)
Ariel Heryanto
Canberra, CNN Indonesia -- Menulis tentang orang sehebat Ben Anderson jelas tidak mudah. Untuk memulai pun sulit, karena banyaknya pilihan. Apalagi bagi mereka yang dekat dalam kehidupan dan tahu banyak tentang sepak-terjang beliau. Untunglah saya hanya tahu sedikit tentang almarhum, dan tidak pernah kerja dekat dengannya.
Ben memukau banyak orang. Ia juga menjadi sumber ilham banyak sarjana dari berbagai negara. Tetapi saya menduga tidak banyak yang mampu mengambil pelajaran paling istimewa dari Ben. 
Menurut hemat saya, pesan dan teladan paling istimewa yang diwariskan Ben kepada para mahasiswa dan sarjana di mana pun adalah keberanian menjelajahi wilayah baru. Bukan sekadar mengulang atau meneruskan kebiasaan yang mapan. Ben mendorong anak-didiknya untuk keluar dan menjelajahi wilayah di luar pagar kelaziman. Termasuk memberontak tradisi dalam lingkungan kesarjanaan dan lembaga keilmuan yang mendidik kita sendiri.
Salah satu pendapat Ben yang meninggalkan kesan mendalam pada saya adalah kalimatnya dalam Kata Pengantar untuk bukuStubborn Survivors: Dissenting Essays on Peasants and Third World Development(1984). Buku ini kumpulan tulisan Rex Mortimer, seorang akademikus Australia yang pernah menjadi anggota Partai Komunis. Saya tidak ingat persis kata-kata Ben. Tetapi kira-kira pesannya: Rex merupakan seorang pemikir yang hebat, kreatif dan unik. Cara terbaik untuk mengikuti teladannya adalah dengan tidak semata-mata meniru dan mengekor dia.
Pesan yang sama layak diingatkan terus-menerus kepada ribuan sarjana dan pengagumnya di dunia yang pernah belajar dari Ben secara langsung maupun tidak. Ben sudah kebanjiran pengagum. Sebagian menjadi fans fanatiknya. Tapi sadar atau tidak, sebagian besar berusaha menjadi Ben-Ben kecil yang meniru-niru gaya menulis atau berbicara Ben. Bukan mengambil hikmah dan ilham darinya sebagai cendekiawan yang kreatif dan merdeka dari bayang-bayang orang yang dikagumi.
Di sepanjang kariernya sebagai sarjana, Ben menjalankan sendiri apa yang dipesankan pada orang lain. Sebagai mahasiswa, ia menimba banyak ilmu dari George Kahin, pembimbingnya, dan sekaligus menyimpang dari gaya pemikiran sang mahaguru. Ben seorang profesor paling terkemuka di dunia di bidang ilmu politik atau pemerintahan. Tetapi sebagian besar karyanya di dalam bidang ini menyimpang jauh dari tradisi baku yang secara turun-temurun dikerjakan para ahli ilmu politik di seluruh dunia.
Kebanyakan sarjana ilmu politik (termasuk mereka yang mendidik Ben) meneliti tentang elite politik. Begitulah tradisi baku dalam bidang disiplin ilmu ini. Ben memilih meneliti pemuda dan rakyat jelata di Jawa untuk disertasi doktoralnya. Kebanyakan sarjana ilmu politik suka berakrobatik dengan model-model, bagan serta memusatkan perhatian pada lembaga-lembaga dan prosedur resmi kenegaraan (undang-undang, parlemen, kepresidenan, pemilihan umum). Ben meneliti politik sebagai hubungan kekuasaan dalam pengertian seluas-luasnya. Bahan-bahan yang dipakai untuk menyusun karyanya bersumber dari praktik berbahasa sehari-hari (termasuk prokem), karya sastra, karikatur, monumen, teater dan produk budaya pop lain yang sering dicemooh oleh para sarjana ilmu politik.
Ketika saya berkuliah di AS sebagai mahasiswa S2, saya berkunjung ke Universitas Cornell (1983). Ben mengundang saya menjadi tamu di kelasnya untuk para mahasiswa S3. Yang bikin kaget, sebelum saya datang ke kelas itu, Ben sudah mengedarkan dan meminta mahasiswanya untuk membaca sebuah karya fiksi yang pernah saya tulis dan tidak pernah diterbitkan. Di kelas itu, karya saya dibahas (baca: dibantai habis-habisan dengan mesra) oleh Ben dan para mahasiswanya.
Itu terjadi di zaman ganasnya rezim militeris Orde Baru. Tidak lama setelah kunjungan itu, saya mendengar bahwa di kelas seminar yang diasuh Ben, para mahasiswa sering diminta membaca dan membahas berbagai selebaran gelap aktivis Indonesia yang beredar di bawah tanah. Dalam karier saya sebagai akademikus selama 30 tahun kemudian, belum pernah saya jumpai gaya dan suasana perkuliahan nyentrik seperti itu.
Berbagai karya Ben yang paling berpengaruh di dunia, termasuk karya agungnya Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (1983), hanya mungkin ditulis oleh orang yang cinta berat mendalami sastra dan bahasa, dan sangat fasih dalam beberapa bahasa sekaligus. Ben tidak sekadar meminjam dan mengutip pendapat para ahli sastra atau bahasa untuk memberi ilustrasi analisisnya tentang politik. 
Ia mendalami dan membahas pelik-pelik sastra dan bahasa, jauh lebih kreatif dan mencerahkan ketimbang sebagian besar ulasan sarjana dan kritikus dalam bidang ini. Dalam langkah berikutnya, wawasan Ben yang segar tentang pelik-pelik sastra dan praktik kebahasaan itu dijadikan landasan (bukan contoh ilustrasi) untuk membangun sebuah teori yang sangat segar dan provokatif tentang politik dalam sejarah moderen.
Ironisnya, sumbangan intelektual yang sangat unik dari Ben Anderson itu seringkali diabaikan atau dilecehkan di kalangan yang sangat menghormatinya. Yang saya maksud adalah berbagai universitas mancanegara. Mereka mengakui perlunya meneliti politik Indonesia, dan menanamkan modal besar untuk mengembangkan kajian politik Indonesia. Tetapi mereka mengurangi atau menutup program perkuliahan baik Bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Yang paling saya ingat dari perjumpaan pertama kali dengan Ben (San Francisco, 1982) adalah siasatnya memahami identitas dan latar belakang saya. Dia tidak bertanya saya berasal dari mana di Indonesia, apalagi agama atau etnisitas saya. Yang ditanyakan: kalau di rumah, saya berbahasa apa? Baginya, informasi ini menjelaskan banyak tentang identitas seseorang. Belum pernah saya jumpai orang lain yang menggunakan siasat sejenis sebagai teknik berkenalan.
Dalam wawancaranya yang terakhir, tiga hari sebelum meninggal, dengan Majalah Loka, Ben mengeluhkan mutu karya-karya tentang Indonesia mutakhir. Katanya, “sepertinya ada kemalasan intelektual, tidak ada konsep baru yang menarik yang lahir tentang masa depan Indonesia seperti pada dekade 1960an.” Ia menduga “ada problem dengan kreativitas”.
Yang merisaukan saya, bukan saja kekhawatiran Ben itu benar. Yang lebih parah, jangan-jangan banyak sarjana yang tidak memahami kegelisahan si mahaguru.

Saturday, November 14, 2015

Pejuang Literasi Bersepeda, Dauzan Farouk

“Kalau dulu saya menjadi pejuang mengangkat senjata untuk membela negeri tercinta ini, maka sekarang saya ‘mengangkat’ buku dan majalah bekas yang sudah tidak dipakai orang-orang. Saya minta, saya sampuli rapi-rapi dan saya edarkan bergilir, keliling dari satu rumah ke rumah lainnya, dari satu asrama ke asrama lainnya, dari satu kantor ke kantor lainnya dengan sepeda tua sahabat saya itu, sepanjang ada yang mau membaca. Mudah-mudahan ini menjadi amal jariyah saya sekaligus bentuk ‘mengangkat senjata’ yang bisa Mbah lakukan. Mencerdaskan orang Yogya, melalui aktivitas membaca.” -Mbah Dauzan Farouk-
Sahabat, kenal dengan Mbah Dauzan Farouk? Sosok ini sangat besar pengabdiannya bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Mbah Dauzan lahir tahun 1925 di Kauman, Yogyakarta. Saat zaman revolusi fisik, beliau mengangkat senjata dan memerangi musuh. Saat revolusi berakhir, perjuangannya tak berhenti. Mbah Dauzan berkeliling dari kampung ke kampung, menawari orang-orang untuk membaca. Dengan gaji pensiunannya sebagai veteran yang sebesar lima ratus ribu itu, Mbah Dauzan membeli buku-buku, menyampulinya dengan penuh cinta dan mengedarkannya kepada anak-anak di lingkungannya. Setiap hari, setelah sholat Subuh, beliau membaca, merapikan dan memperbaiki sampul buku-buku yang mulai rusak. Pada sore hari, Mbah Dauzan meminjamkan beraneka macam bukunya dengan bersepeda atau naik bus kota. Beliau mendatangi kelompok bermain anak, siswa-siswa di sekolah, remaja masjid, dan pemuda karang taruna. Bahkan, kelompok pengajian, tukang becak yang sedang mangkal dan ibu-ibu penjual di pasar tak luput menjadi “sasaran” untuk dipinjami buku secara gratis. Usaha beliau, dikenal dengan perpustakaan Mabulir (Majalah dan Buku Bergilir) Kiprah Mbah Dauzan ini membuahkan berbagai macam penghargaan, antara lain Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional tahun 2005, Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari Sabre Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge. Pada April 2007 di acara World Book Day Indonesia, Mbah Dauzan Farouk mendapat gelar sebagai Pejoeang Literasi Indonesia. Namun, tentu saja bukanlah pujian dan penghargaan yang beliau cari. Mbah Dauzan ingin agar anak Indonesia cinta membaca. Sebab, dengan membaca maka pintu-pintu ilmu akan terbuka. Begitulah besarnya cinta beliau pada ilmu dan pada Indonesia. Mbah Dauzan wafat pada 6 Oktober 2007 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Sawit Gamping. Bapak delapan anak ini, hingga akhir hayatnya mengabdikan diri menjadi pejuang literasi untuk masyarakat. Semoga semangatnya tetap menular pada kita ya, Sahabat!

Tuesday, September 8, 2015

"Semesta Mendukung" RBK

Agam Primadi
(Pegiat Rumah Baca Komunitas)

Gerakan membaca merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari satu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka negara pun tidak boleh absen dari dari gerakan ini. Secara histori, gerakan ini berdiri bersamaan dengan peringatan hari pendidikan nasional yaitu  pada tanggal 2 mei 2012. Gerakan Iqro bermula dipelopori organisasi pelajar di Yogyakarta IRM/IPM beberap tahun silam kemudian dilanjutkan dengan nama Rumah Baca Komunitas. Komunitas ini muncul berangkat dari keprihatinan atas betapa miskinnya bahan bacaan masyarakat, dan tidak meratanya distribusi buku, semakin ke daerah tertinggal buku semakin mahal, dan semakin jarang ditemui. Ini mengakibatkan terjadinya kesenjangan pengetahuan di negeri ini sehingga apa yang disebut Taufik Ismail sebagai "Tragedi Nol Baca" harus kita akhiri (baca:RBK)

"Semesta mendukung"
Kata "Semesta Mendukung" sebenarnya adalah sebuah bentuk apresiasi terhadap pertolongan alam yang mendukung gerakan ini berjalan hingga berusia kurang lebih empat tahun. Adalah David Efendi, kami biasa memanggilnya dengan sebutan Cak David.  dari mulut lulusan Amerika tersebut kata itu pertama terlisan dengan sangat sederhana tapi penuh dengan makna. Lalu kemudian kanda Fauzan Anwar Sandiah mencoba menangkap dan menguraikan terhadap saya apa tafsir dari kata "semesta mendukung". Dia memaparkan dengan santai, "saya menangkap makna dari kata semesta mendukung yang dilontarkan cak David adalah pada intinya apabila kita berbuat baik dan memiliki niat baik. Alam dengan senang hati pasti mendukung, alam pada konteks ini diganti dengan kata "Semesta".
Pemaparan tersebut mengingatkan saya pada suatu perkataan bijak "siapa yang menabur angin, maka dia akan menuai badai", bila kita kaji lebih lanjut, ini adalah suatu penjabaran dari hukum sebab akibat yang bisa diartikan apabila kita ingin mendapatkan akibat hasil yang baik, kita harus berbuat sebab yang baik. Sebaliknya apabila perbuatan kita buruk atau telah melakukan sebab yang buruk akibatnya tentu akan buruk juga.
Kemudian perkataan bijak tadi diperkuat dengan Firman Allag SWT dalam Surah Al-Isra (17):(7)  :
" jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri"
Ada beberapa fenomena rill yang saya potret dengan sengaja, mungkin juga ini sebagai bukti nyata alam mencintai komunitas ini.

Pertama, Akses jalan yang diperbaiki
Hijrahnya Rumah Baca Komunitas dari jalan parangteritis menuju kalibedog bukan tanpa alasan, tapi mungkin alasan itu tidak begitu penting untuk dipaparkan secara detail. Setiba saya di Rumah Baca Komunitas, ada semacam kekhawatiran untuk rumah tinggal yang baru jendela ilmu (buku) yang beralamatkan dusun Sidorejo, kalibedog. Kekhawatiran tersebut mengingat akses jalan menuju Rumah Baca sangat memprihatinkan, penuh lobang dan sangat jauh dari sentuhan tangan pemerintah. Namun optimisme para pegiat yang menguatkan fondasi gerakan ini tidak mudah goyah. Dua bulan kemudian, entah siapa yang menggerakkan, tiba-tiba para warga Rt 08 berbondong-bondong datang untuk bergotong-royong memperbaiki jalan tersebut, tak jelas berapa jumlah warga yang terlibat, taksiran saya ada sekitar belasan warga yang bersama dengan para pegiat memperbaiki akses jalan tersebut. Alhasil sekarang akses jalan menuju rumah baca komunitas tersebut mulus dan rapi. lobang yang dulu menganga, seketika menghilang oleh timbunan semen yang bercampur dengan pasir. 
Kedua, Revitalisasi Pinggiran Alun Alun Selatan

RBK on the street yang familiar dengan sebutan perpustakaan jalanan adalah salah satu program Rumah Baca Komunitas. Program ini sebagai bentuk komitmen Rumah Baca Komunitas yang konsen terhadap isu-isu literasi di Indonesia. Bertempat di Alun-Alun Selatan Yogyakarta. Kegiatan ini biasanya dimulai pada pukul 06.30 pagi sampai dengan pukul 11.00 WIb. Sejak direalisasinya kegaiatan ini pada pertengahan 2013 lalu, berbagai problem ringan datang silih berganti.  Misalnya,  ketika lapak hendak dibuka, debu dan rumput yang tumbuh dengan subur menjadi pekerjaan rumah yang harus di atasi terlebih dahulu guna menciptakan suasana nyaman para pengunjung yang menghampiri lapak baca perpustakaan jalanan.  Namun problem itu ternyata tidak berjalan lama, tiba-tiba Dinas Pekerjaan Umun memasang papan kontrak pertanda pekerjaan akan dilaksanakan secepat mungkin. Kabar akan di percantiknya pinggiran alun alun membuat haru sebagaian pegiat yang setia melawan kantuk setiap pagi demi membuka lapak baca, Artinya, persoalan rumput dan debu akan teratasi.

Ketiga, Kehadiran manusia lain di Rumah Baca Komunitas (KKN 06 UMY)
Saya ingat betul waktu pertama kali bergabung dengan Rumah Baca Komunitas, komunitas ini berdiri dengan tidak banyak orang, namun penuh dengan gagasan yang inovatif.  Seiring waktu berjalan dengan sangat cepat, satu persatu orang datang untuk kemudian bersedia dengan senang hati tanpa pamrih menjadi relawan Rumah Baca Komunitas. Tidak hanya itu, moment yang sangat menyenangkan adalah pada awal bulan september yang lalu, kemunculan anggota kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN 06) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang berjumlah 18 orang memberikan warna tersendiri untuk kecerian di rumahnya manusia. Ada semacam kegembiraan di raut wajah beberapa pendiri Rumah Baca Komunitas, Ahmad Sarkawi, Fauzan Anwar Sandiah, David Efendi, dan Sakir misalnya.  Hadirnya manusia baru dirumahnya manusia menyelipkan seuntai kegembiraan bercampur haru diraut wajah para laki-laki ini. Saya berkhusnuzon, mungkin inilah kemenangan kaum literasi yang absolut yang di tunggu-tunggu sejak lama oleh pendiri Rumah Baca Komunitas.


Sunday, September 6, 2015

Cerita di bawah Pohon Mangga (1)

Fauzan A Sandiah, pegiat RBK
Tepat setengah tahun yang lalu sewaktu bicara soal perpustakaan jalanan, tidak terpikirkan nama "Alun-Alung Kidul". Beberapa teman pada awalnya menawarkan Sunmor sebagai alternatif tempat membuka perpustakaan jalanan. Waktu itu saya ingat Indra dan Mascu bilang "sunmor itu nanti kita bisa sekalian jogging gitu, di sana juga rame banget..".
Pembicaraan malam minggu itu sedikit lama soal lokasi perpustakaan jalanan buat esok pagi. Kopi aceh, gorengan, dan kacang-kacangan sisa kerja bakti pagi hari masih tersedia. begini ceritanya bisa nekad buka perpustakaan jalanan di Alkid. 
Indra: "perpustakaan jalanan itu bisa jadi jalan biar RBK dikenal"
Mascu: "kalau saya sih ngak penting bisa dikenal, tujuannya itu yang penting lho ndra...kira-kira kita nanti bentuknya mau gimana?"
Saya: "iya, tujuannya itu yang penting..tujuannya kan biar buku-buku ini dekat sama pembaca..."
Indra: "Oh iya, biar buku ketemu orangtuanya gitu kan? hahaha"
Saya: "nah begitu juga oke"
Mascu: "indra ikut-ikut pak david aja..trus gimana cara nge-disain perpus jalanannya?"
Indra: "kita butuh banyak orang nih..besok sunan-sunan bisa bangun pagi ngak?..kita butuh banyak personel"..
Saya: "kamu nanti ngak usah tidur ndra, ini dah jam 2..kita nonton trus jam pagi berangkat ke sunmor"
Mascu: "Bang, sunmor itu kejauhan ngak?. dah pasti susah ngumpulin sunan-sunan RBK yang lain ntar pagi.."
Indra: "lho kok gitu, aku dah nyiapin sesuatu buat di sunmor"
Mascu: "tapi itu kejauhan..di Alkid aja gimana bang?" 
Indra: "Alkid cuma banyak lari pagi aja..tapi boleh juga sih. soalnya di Alkid juga kan jarang orang buka stand selain buat jualan..hehe.."
Saya: "aku ikut kalian berdua aja..enaknya gimana..yang jelas, kita yang harus siap di sana dulu baru bisa kontak teman-teman biar ngak kelamaan. nanti juga siapa tahu andan, cak david sama kak wiek bisa ke Alkid..".
Indra: "kita foto aja trus kirim ke WA"..
(Bersambung).

Wednesday, August 19, 2015

Kegembiraan dalam Perpustakaan Jalanan


RBK on the street 9 agustus 2015

Rahayu Dwiningsih, Mahasiswa UMY

Alhamdulillah program RBK on the street berjalan lancar. Kegiatan ini diadakan setiap hari Minggu mulai pukul 06:30 hingga pukul 11:00. Ada beberapa tambahan yang dijalankan. Pertama, kami membuka ruang mewarnai gambar bagi pengunjung anak-anak dan memamerkan karya mereka di area hotspot. Bagian ini mendapat sambutan yang cukup baik dari para pengunjung. Terlebih karena kami juga menghadiahkan para peserta sebatang pensil dan 5 bungkus permen.
Kedua, kami juga menyediakan beberapa koran harian. Kami berasumsi bahwa dengan disediakannya bacaan koran-koran, orang-orang menjadi lebih berminat mendekati titik RBK on the street. Dan faktanya, orang-orang memang berdatangan menyerbu dan mengakses informasi yang berkaitan dengan RBK, termasuk masalah-masalah teknis seperti soal keanggotaan, peminjaman buku, dan lain-lainnya.
Pengadaan perpustakaan jalanan atau RBK on the street juga membagikan brosur berisi informasi mengenai RBK pada yang lalu lalang dan mereka yang menyambangi area RBK on the street. Kami merasa optimis bahwa program ini sangat bermanfaat terutama bagi mereka yang memiliki minat pada dunia literasi.
Peminjaman buku yang gratis dan tanpa tenggat waktu, tanpa menyerahkan kartu identitas sebagai jaminan, tanpa ada kewajiban mengembalikan buku yang sudah dipinjam saat hendak kembali meminjam, membuat respek para pembaca pada RBK on the street menjadi tinggi. Semua barangkali karena pihak RBK menerapkan azas percaya—azas yang tak kenal syak wasangka. Dan kami, kelompok KKN 06 UMY, merasa terhormat dan bangga menjadi yang dipercaya mengelola. Meskipun, terus terang saja, kami menaruh sedikit cemas sebab bagaimanapun juga buku-buku yang kami bawa adalah amanah dari pihak RBK.
RBK on the street kali ini agak sedikit berbeda. Sebab, pelaksanannya bertepatan dengan kegiatan 17-an di Dusun Sidorejo, tempat kami live in selama KKN. Karenanya, saat itu kami membagi dua energi: sebagian kelompak KKN 06 standby di Alkid, sebagian lainnya segera kembali ke Dusun Sidorejo untuk berpartisipasi dalam kegiatan 17 Agustusan.
Hal menarik lain dari RBK on the street adalah bahwa pada pelaksanannya, kami kerap berdiskusi tentang banyak hal dengan para pengunjung. Pada kegiatan ROTS minggu kedua ini, misalnya, kami kedatangan salah satu tamu tak terduga. Tubuhnya sudah tak tegap. Sulur-sulur keriput memenuhi wajahnya. Uban di kepalanya pun tampak seperti kopiah haji yang menutupi. Usianya pasti tak kurang dari 70 tahun.
Kami berdiskusi tentang lanskap kota Jogja dari mulai sejarah politik, sosiologi, hingga kuda yang sampai kini masih menjadi salah satu alat transportasi. Sesi yang paling menarik adalah saat ia mengisahkan kota Jogja semasa mudanya: Jogja yang lengang namun hidup dan semarak, Jogja yang minim petugas kebersihan namun justru lebih ramah lingkungan.
Membengkaknya laju pertumbuhan penduduk memang membawa banyak persoalan. Kita memang belum mengalami krisis pangan. Namun masalah hunian, macet kendaraan, kebersihan, ketertiban, kenyamanan, atau angka kriminalitas yang terus meningkat, memaksa kita untuk berpikir ulang tentang tata kelola sebuah kota.
Jogja yang sekarang tidak sebagus dan senyaman jogja yang dulu tetapi beliau masih tetap mencintai jogja dikarenakan jogja menyimpan banyak kenangan tentang masa mudanya.
Sekian dulu cerita ROTS minggu kedua ini, kita tunggu cerita dari kejadian-kejadian menarik yang terjadi selama pelaksanaan ROTS di minggu-minggu selanjutnya yang tentunya kita akan menceritakannya kembali, sekian dan terimakasih.

Tuesday, August 11, 2015

Angkringan Literasi


Lupet, Pegiat Podjok Batca

Dibandingkan membaca tulisan Samuel Mulia di kolom parodi saya lebih sering membaca tulisan Bhre Redana di kolom udara rasa, Kompas Minggu. Hari minggu yang lalu salah satu teman, Fauzan Anwar Sandiah, ketika leyeh-leyeh di bawah pohon mangga sambil menunggui lapak perpustakaan jalanan Rumah Baca Komunitas, menyodorkan tulisan Samuel terbaru yang judulnya Mari Menabung!
Saya terima dan baca sampai selesai. Seperti biasa tidak ada impresi khusus yang saya dapatkan
ketika membaca tulisan-tulisan Samuel, biasa-biasa saja. Bahkan kerap kali saya tidak mengerti apa isi tulisan Samuel kecuali curhatan pengalaman kesehariannya dalam beraktivitas.
Dalam tulisan Mari Menabung! Samuel bercerita tentang kecelakaan antara taksi yang ditumpanginya dengan sepeda motor. Dari kecelakaan itu terjadilah drama singkat yang berakhir si sopir taksi harus mengeluarkan biaya untuk mengganti kerusakan motor. Padahal dalam kejadian kecelakaan itu kesalahan diakibatkan oleh dua belah pihak. Hanya saja yang satu berani mengakui kesalahan dan menanggungnya, yang satu berani menekan untuk mendapatkan ganti rugi.
Di bagian lainnya masih dalam tulisan yang sama. Samuel berkisah tentang kesulitan yang dialaminya ketika akan menyebrang jalan padahal saat itu sudah dibantu oleh satpam, namun tetap saja beberapa kendaraan tidak mau berhenti untuk memberikan kesempatan untuk menyeberang. Menurut Samuel perilaku pengendara yang tidak memberikan kesempatan untuk menyeberang bukan karena lalu lintasnya tetapi tetapi hanya karena orang tak mau mengalah. Ia percaya mereka yang tak mau mengalah tahu bahwa penyeberang jalan membutuhkan waktu dan kesempatan untuk menyeberang, tetapi tampaknya pengendara enggan memberikan waktu dan kesempatan itu. Rasanya mengalah itu susah sekali dilakukan.
Mengalah itu menurut Samuel membutuhkan kekuatan, bukan kekuatan fisik dan kegagahan raga, tetapi kekuatan hati dan kebesaran jiwa. Dan itu bukan hanya soal etika, sopan santun tetapi lebih merupakan tabungan di masa depan, di masa yang kita tidak ketahui apa yang akan terjadi di dalam hidup yang kita lalui. Kekuatan hati dan kebesaran jiwa untuk sebuah perbuatan baik itu adalah sebuah cara yang kita lakukan dan tanpa kita sadari untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan di masa depan. Perbuatan baik itu dikembalikan kepada kita dalam bentuk berbagai rupa dan datangnya tepat ketika kita membutuhkannya.
Sampai di sini saya tak mendapatkan impresi apapun membaca tulisan Samuel berjudul Mari Menabung! Seperti biasa berisi ujaran-ujaran klise, normatif semacam gaya bijak Mario Teguh. Dan itu sama sekali tidak menarik. Sampai teman tadi mengajukan pertanyaan, "bagaimana menurutmu tulisan Samuel? Adakah kutipan-kutipan menarik yang kamu temukan?" Saya jawab, "tidak ada yang istimewa, hanya saja Samuel menawarkan gagasan baru bahwa menabung itu tak melulu uang."
Kemudian ia mengambil koran dari tangan saya lalu menunjukkan kutipan yang menurutnya menarik yang bisa menjadi renungan, "jadi kalau sekarang ini anda merasa hidup anda tenteram, sehat, anak cucu bahagia, bisnis lancar, itu tidak semata-mata karena anda untuk memelihara semuanya dengan baik, tetapi juga merupakan hasil dari tabungan kekuatan hati dan kebesaran jiwa untuk hal-hal kecil yang setiap hari anda hadapi." Apa menariknya kutipan itu? Biasa saja normatif. Tapi aku diam saja tidak memberikan komentar karena aku menduga sebentar lagi akan keluar analisis filosofis darinya. Ternyata benar, tulisan Samuel yang menurutku biasa saja dan terkesan klise dan normatif diuraikan begitu menarik olehnya. Uraiannya terkait tentang tulisan itu begitu panjang. Ia sampai pada uraian tentang hasrat, kekuatan uang, konsumsi, dan teori kapital.
Saya mengangguk-angguk saja mendengar uraiannya di bawah pohon mangga yang teduh di saat siang mulai beranjak panas. Dari urainnya saya sedikit mengerti, tapi ini hanya dugaan saya saja bahwa tulisan Samuel Mulia selama ini adalah olok-olok dan kritik humor tentang keambiguan dan ambivalensi modernitas.
Kekhasan kekuatan tulisan Samuel adalah penolakannya untuk hanyut dalam ideologi konsumerisme, hedonisme, dan fetisme kapitalistik. Dalam ideologi itu mantra utamanya dalam mencapai kesuksesan dan kemuliaan hidup adalah kompetisi, efektif, dan efisien. Lewat tulisan-tulisannya di kolom parodi, Samuel Mulia berhasil menunjukkan ambivalensi mantra-mantra modernitas untuk mencapai kesuksesan dan kemuliaan

Sunday, August 9, 2015

RBK dan logika berpikir Yanto

Rubrik Angkringan Literasi edisi 1/Agustus/2015

Agam Primadi

Apa yg menggerakkan kalian ? Dapat apa kalian dari komunitas itu ? Tanya Yanto. 

Mendengar pertanyaan itu, Pozan hening lalu berlari menuju parkiran motor UMY dengan cepat tanpa memperdulikan jawaban apa yg akan disampaikan kepada Yanto. Sesampainya di parkiran, dia langsung menghidupkan motornya meninggalkan kerumunan orang yg sedang asyik berdiskusi ngalor ngidul.

Diperjalanan pulang menuju asrama, Pozan dihantui pertanyaan Yanto, focusnya sedikit terganggu dan hampir menabrak mobil yg sedang di parkir disisi jalan. Pertanyaan itu tidak hanya menganggu focus, tapi juga hampir merenggut nyawanya. .

Ah siaaal, gerutu Pozan dalam hati. Kali ini dia sedikit berhati hati dalam mengendarai motornya. Alon alon waton klakon, pepatah jawa yg tepat menggambarkan apa yg sedang ada di pikirannya saat itu. 

Sesampainya di asrama, Pozan langsung menjatuhkan badanya di atas kasur, lalu menyalakan TV dan kipas angin. Dia pun menjatuhkan pilihannya pada salah satu chanel yg menayangkan Film bergenre cinta dengan kolaborasi pendidikan. Anak muda sekarang menyebutnya FTV. Romantisnya skanerio Ftv siang itu ternyata tidak serta merta menghilangkan ingatannya pada pertanyaan Yanto tadi, pertanyaan itu seakan akan menghantui pikirannya. .

Seketika batinnya berucap menjawab pertanyaan Yanto, memang tidak ada yg kami dapatkan dari komunitas itu, kami juga tidak mengharapkan jabatan tinggi, kami sadar komunitas itu bukan alat untuk mendapatkan kekuasaan tinggi. Tapi ada satu panggilan jiwa yang menggerakkan kaki kami utk berjalan digaris revolusi. Buta huruf, sedikitnya bahan bacaan, dan kaum marjinal yg tidak mendapatkan akses buku adalah tanggung jawab kita semua waras. Generasi generasi terkontaminasi modernisasi, degradasi pola pemikiran semakin menjadi jadi. Itulah kenapa kami hadir ditengah tengah masyarakat. Ini semua kami lakukan karena budaya literasi adalah budaya menolak lupa. 

Karena dengan membaca maka kita akan tahu segala bentuk penindasan, secara itu pula memiliki insiatif untuk melawannya. Dengan membaca kita akan tahu kehidupan yg hidup dengan sebenar benarnya keadilan. 

Menjadi orang tua asuh buku adalah sesuatu yang menyenangkan Yanto. Kau harus tau itu, semoga kau tidak buta.

Bagi saya pribadi, perjuangan gerakan literasi adalah perjuangan menolak lupa. Untuk itu kita harus mengingat dan memperjuangkannya guna menjaga kewarasan

Thursday, August 6, 2015

Kegelisahan Anak Muda

Hanapi, Pegiat RBK
 
Saya selalu berfikir kenapa bangsa ini lambat bangkitnya padahal pergantian kepemimpinan di daerah telah berjalan cukup lama sedangkan kerusakan yang lama belum pulih, sekarang kerusakan semakin bertambah, Apakah kita bisa memperbaiki bangsa ini dalam waktu cepat?? Beribu keyakinan ada di dalam hati dan pikiran ini tapi kenyataannya kerusakanlah yang terjadi semakin cepat, kerusakan ini terlihat dalam bidang politik di indonesia, mulai dari prilaku para politisi yang sangat pragmatis, politik telah dijadikan tempat untuk memperluas kekayaan, menjual aset negara ke tangan para pengusaha, bidang ekonomi, ekonomi dalam negeri telah dikuasai oleh etnis tertentu sehingga pengusaha pribumi kalah dengan etnis ini, media massa telah dikuasai oleh para kapital yang memberikan informasi untuk pencitraan politik, saya teringat kata Cak David bahwa kita hanya bisa memperlambat kerusakan yang terjadi sekarang ini.
 
Saya ingat bahwa Iran bisa bangkit dari jajahan asing dalam bidang kehidupan negaranya dengan adanya para aktivis yang sejati, yang tak takut mati demi memperjuangkan kehidupan yang islami untuk masyarakatnya, kalau melihat di indonesia aktivis yang cerdas, idealis banyak tapi mereka tidak pada struktur kekuasaan, kalau setelah struktur mereka terjebak dengan permainan politik seperti banyak yang dikatakan teman teman saya kuliah bahwa para aktivis yang dulu idealis sekarang telah hilang idealismenya, setelah saya melihat kekuatan literasi maka saya sadar bahwa semakin cerdas masyarakat suatu bangsa akan semakin tinggi harapan untuk menjadikan negara ini sebagai negara maju dan bangkit, kenapa harus literasi??? 
 
Setelah saya berfikir, bahwa kegiatan literasi ini memberikan kesadaran masyarakat sehingga memunculkan sikap yang penuh nilai nilai kebaikan, humanisme, literasi ini akan memberikan informasi yang jelas dan teori yang berguna sehingga masyarakat bisa membaca situasi kehidupan negara, dengan Gerakan literasi maka akan terbangunnya budaya masyarakat yang beradab maka cita cita menuju masyarakat madaniyah lebih cepat terwujud, gerakan literasi ini kalau diwujudkan disetiap rumah dengan perpustakaan keluarga masing masing maka kita akan lebih cepat melahirkan tokoh tokoh cendikiawan muslim di indonesia, di tengah masyarakat yang mengalami pergeseran budaya maka akan terbentuk budaya budaya yang mencerdaskan dan budaya yang kreatif tanpa menyalahi Tauhid, gerakan literasi akan membangun sistem sosial yang islam, literasi akan membuat masyarakat tidak mudah ditipu oleh ulama ulama gadungan dan kapital yang menjual ilmu demi kesenangan dunia.
 
Gerakan literasi itu seperti dakwah kultural yang sangat lembut, dia hadir untuk mencerahkan, kehadiran gerakan literasi sangat jarang dibangun penguasa di abad ini tapi lihatlah peradaban islam terdahulu, budaya literasinya sangat tinggi sehingga maka peradaban islam berkemajuan. Setiap kaum muda harus menjadi pegiat literasi karena pemuda menanggung tanggungjawab secara konstitusional dan moral untuk membangun negara ini dijalan yang penuh khidmat agar cita cita semua masyarakat yang ada dalam mimpi menjadi nyata. Penting nya literasi moral???? Literasi moral bukan model dakwah tapi literasi moral ini lebih pada sikap dan prilaku kaum yang cinta terhadap buku, bisa disebut kaum yang tercerahkan begitulah masyarakat menyebutnya, literasi moral memberikan penekanan kepada pegiat literasi pentingnya sauri teladan, "penerus para Nabi itu bukan hanya ulama tapi juga orang berilmu" gerakan literasi harus menjadi budaya bahkan pada titik radikalnya harus fatwa, kalau memang penyadaran kolektif tidak bisa dilakukan dengan jalan kultural maka jalan politik dengan kebijakan penguasa yang mendukung, seperti kebijakan mewujudkan kota literasi. Gerakan literasi dan literasi moral tak bisa dipisahkan dengan tujuan untuk mewujudkan negara yang berkemajuan. 
Takkan indah sinar bintang dan bulan tanpa budaya literasi, jangan bermimpi membangun politik humanis sebelum masyarakat gila literasi. 
 
Selasa, 4 Agustus 2015

Wednesday, July 29, 2015

Apa kata tentang RBK?

Cerita saja. Literasi itu menarik Perkenalan dengan Literasi


Hafidz Afandi
Dua atau tiga bulan, lalu saya bertemu dengan Cak David Efendi, salah satu mantan pentolan IPM yg kini jadi akademisi di UMY, beliau mengenalkan saya dengan gerakan literasi yang dirintisnya dan kawan-kawan, bernama Rumah Baca Komunitas
sebuah komunitas yang menarik, di dalam komunitas ini mereka mencintai buku dan ilmu di dalamnya dengan sangat mesra, di grup wa-nya hampir tak pernah absen setiap hari merekomendasikan bacaan-bacaan bermutu, Saya baru beberapa kali berkesempatan kesana, menarik semuanya serba sederhana tetapi penuh makna, obrolan-obrolan dalam setiap perjumpaan bukan sekedar beradu pengetahuan, melainkan hampir semua berusaha mengkontruksi dirinya masing-masing dengan buku,
ada keunikan-keunikan yang saya sendiri tak pahami dari kultur yang sedang dibangun komunitas ini, Dan, mungkin mudah untuk mereplikasi semangatnya tapi pasti berat mereplikasi prosesnya. Di mulai dari kecintaanya pada buku, teman-teman RBK beranjak untuk berbagi, bahkan berbagi harta yang paling dicintainya, yaitu "BUKU". Kutu buku, RBK lebih dari itu?
Saya, jadi ingat dulu sejak sma banyak kawan-kawan di PII yang gila buku, aku pun hampir sama, sejak sma dulu selalu bergelut dengan setumpuk buku-buku, di masa kuliah sama, rela, rela tak punya apa-apa asal masih sanggup beli buku, dengan perjuangan berat untuk dapat buku rasanya sayang kalau sampai hilang, ini bak harta terakhir saya, toch tetap saja dari berdus-dus kira2 hampir separonya melayang terutama saat di bawa ke acara basic training HMI, pasti melayang hampir separo.... tak ikhlas rasanya, tapi ya bagaimana lagi.
DI RBK, sebaliknya sejak awal si para empunya buku mewakafkan aset pribadinya untuk komunitas. ntah, jangan bayangkan sistemnya secanggih perpustakaan kampus. yang ada sistem demokrasi, pilih sendiri, catat sendiri bawa sendirim, kembalikan sendiri, aneh....! padahal di perpus betapa ribetnya pinjam buku belum denda yang membayangi kalau telat, saat pernah ku tanya, "kok bisa sebegitu mudahnya?", teman-teman menjawab, "kita belajar percaya dan melatih kejujuran saja, pembaca buku, penggila buku pasti orang pintar, seharusnya beretika", jadi malu dengan prinsip kami dulu yang niru-niru gus dur"orang bodo itu yang mau pinjemin buku, tapi lebih bodo lagi orang yang dipinjemi buku malah balikin,"
ada juga sharing bang dollah namanya, aktivis gerakan turun tangan ini berbagi via wa saat dia habis kumpul dengan anak-anak gerakan literasi lainya dia bilang (karena sudah ke hapus jd izin pake bahasa saya) "saya sebenarnya punya cita-cita merubah bangsa ini dengan dirikan partai yang revolusioner, ngapai hanya main-main dengan anak-anak yang sekedar pengen bagi-bagi buku.... tapi setelah bertemu dan sharing dengan penggiat literasi agaknya saya jadi berfikir, perubahan harus dimulai dari buku, biarkan anak-anak baca buku dari awal, hingga mereka lahir menjadi generasi yang sadar, tak mungkin cita-cita dirikan partai revolusioner tanpa generasi yang revolusioner, dan tak mungkin ada generasi revolusioner tanpa dimulai dari buku"
Nasib perpustakaan pertama ku Alangkah indahnya, saya jadi teringat pula dengan sosok pembimbing kami saat remaja di tegal, pak Ratmana Sutjiningrat yang saat itu selalu konsen dengan dunia buku, sastra dan pendidikan, beliaulah yang mendukung remaja masjid angkatan mas dan mbak ku dulu buat perpustakaan masjid yang menarik, isinya tak cuma quran dan fikih, tapi novel dan buku-buku pemikiran sampai komik, dari hasan al banna, sayyid qutub, yusuf qardhawi, ali syariati, ayatullah khomenei, iqbal, hingga marx, pram, anton chekov, sayang, seiring dengan semakin sepuhnya beliau saat aku beranjak remaja ia "lemari perpustakaan itu" sudah tinggal sisa-sisa, dan saat aku kuliah syukur ia masih digudang masjid, Tidak dibakar atau di loak.... semoga jd jariyah beliau yg terus mengalir di diri kami yang sempat menikmatinya, "alm. SN. Ratmana"
semoga gerakan literasi tumbuh berkembang dimana pun manusia indonesia ada, sehingga kelak kita bisa berharap punya satu generasi baru yang berkesadaran, #optimis...! #terima_kash_RBK yang Mengggugah kesadaran (entah kenapa tiba-tiba menulis ini panjang lebar daripada bebal edit proposal, itung-itung nebus dosa dan menghibur diri)

Monday, June 29, 2015

Gathering & Bincang Muda komunitas pendidikan


By Abdullah Zed Munabari, pegiat RBK
Sabtu 27 juni 2015 menjadi sebuah hari yg penting bagi saya. Sore itu sekitar pukul 3 sore, saya mewakili Rumah Baca Komunitas menarik gas motor saya menuju universitas kebanggaan bumi Mataram, Universitas Gadjah Mada. Yap, saya menghadiri undangan sebuah komunitas di Fakultas Fisipol UGM yaitu YouSure FISIPOL UGM. Sore itu digelar lah gathering dan bincang-bincang kecil komunitas yg beraliran pendidikan dan literasi yg ada di bumi NgaYogyakarta. Kalau tidak salah, gathering itu dihadiri oleh 4 komunitas yaitu Komunitas Djendela, Buku untuk NTT, Jogja Mengajar,RBK, dan YouSure FISIPOL UGM sendiri selaku tuan rumah.
Bincang" dimulai sekitar pukul 16.00 dan dimoderatori oleh pegiat dri YouSure. Jujur saja sebagai pegiat literasi yg masih hijau, ekspektasi dan persepsi awal saya hanya sekedar memenuhi kewajiban sebagai pihak yg diundang. Saya saat hadir berfikir bahwa ini hanya kumpulan anak-anak muda yg bermimpi merubah Indonesia hanya dengan mengajar dan menyumbangkan buku. Itu terlihat agak "Memuakkan" bagi saya yg baru berkenalan dan akrab dgn pemikir-pemikir kiri seperti Karl Marx dan Antonio Gramsci. Di kepala saya saat itu yg terpikir hanya "Anda ingin merubah Indonesia?? Lakukanlah gerakan-gerakan penyadaran (pendidikan kritis), buat perubahan-perubahan radikal dan dirikan partai alternatif yg revolusioner". Anda bayangkan saja dgn persepsi seperti itu dan saya dikumpulkan dan harus berdialog dgn sekolompok orang yg bermimpi merubah dan menyelesaikan peliknya problematika negeri ini hanya dgn MENYUMBANGKAN BUKU KE PELOSOK NEGERI DAN MENGAJAR ANAK JALANAN?? Oohh betapa naifnya orang-orang ini, pikirku saat itu.
Namun, saya tetap coba jalani bincang-bincang itu dan memahami pola mikir mereka. Satu persatu komunitas mulai bercerita tentang asal usul komunitas nya masing-masing, kegiatan-kegiatan yg mereka lakukan, tantangan yang dihadapi, cerita seru hubungan mereka dgn masyarakat dan cerita unik yg lain nya. Saya pun tak ketinggalan juga bercerita tentang RBK dan segala seluk beluk tentang RBK (sebatas yg saya ketahui pastinya). RBK pun mendapat apresiasi yg cukup hangat dari peserta yg hadir, sebagaimana juga komunitas lain mendapat apresiasi itu saat bercerita tentang komunitasnya.
Sekitar 90 menit berdiskusi, bercerita dan mendengarkan pengalaman-pengalaman 3 komunitas itu, saya pun merasakan sesuatu. Ada sesuatu yg salah dalam pola pikir saya, pikir saya saat itu. Hal-hal yg sangat sederhana telah menyentil kemapanan berpikir saya. Cerita perjuangan kawan-kawan Komunitas Djendela yg mendirikan semacam tempat belajar di 2 tempat pelosok di jogja, perjuangan mereka mengajar anak-anak jalanan dibawah jembatan fly over di dekat stasiun lempuyangan, juga cerita kawan-kawan dri Jogja mengajar yg saat itu diwakili 2 siswi SMA tentang bagaimana mereka masuk ke rusun dan memberikan fasilitas belajar gratis, mengajak anak-anak utk membaca, dan tak kalah menyentilnya juga cerita pengalaman kawan-kawan dari komunitas Buku untuk NTT yg berjuang keras mengumpulkan buku untuk dikirim ke daerah pelosok NTT dgn berbagai macam perjuangan nya mulai dri mencari pihak yg bisa diajak kerja sama menyalurkan buku, mencari dana utk mengirim buku dri jogja ke NTT dan tentu saja mencari donasi buku dari berbagai pihak. Saat itu saya berpikir "Spirit macam ini?? Kenapa mereka bisa begitu yakin bahwa anak yang suka membaca semenjak kecil maka besarnya bisa menjadi orang yg berguna bagi negeri ini? Bagaimana mereka yakin bahwa bila anak-anak di pelosok NTT menjadi anak-anak yang melek membaca maka NTT bisa menjadj provinsi yang makmur dan sejahtera??
Aaaahhh saat itu alam pikir saya benar-benar 'terguncang'. Saat itu saya sadar bahwa ide-ide saya tentang melakukan pendidikan kritis dan mendirikan partai revolusioner itu akan menjadi angan-angan sampah belaka bila anak-anak negeri ini tumbuh besar dgn keterasingan dari buku. YAA, saya sadar bahwa sebenarnya apa yang dilakukan oleh kawan-kawan Komunitas Djendela, Buku untuk NTT, Jogja Mengajar adalah juga bagian dari misi RBK. Sesungguhnya, kita semua ini (komunitas & gerakan literasi) ibarat bagian-bagian tubuh yg mempunyai fungsi masing-masing yang sangat penting. Bila 3 komunitas ini berusaha mendekatkan anak-anak pada buku, hal-hal akademik, maka kita dari RBK siap mendidik dan membangun kesadaran kritis yg berbasiskan permasalahan-permasalahan di akar rumput seperti ekologi, HAM, politik, agama, ekonomi, dan budaya. Kita semua adalah bagian tubuh, yang satu sama lain nya saling menopang, membantu dan berjejaring demi bergeraknya tubuh yang ideal (Indonesia) untuk bergerak MELUNASI JANJI KEMERDEKAAN.
Gerakan literasi yang sejati pasti mengabdi pada rakjat, bukan mendidik untuk dikirim menjadi tukang korporasi yang terus melanggengkan ketimpangan dan penindasan. LONG LIFE LITERACY MOVEMENT..!!

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK