Showing posts with label urbanLiteracyCampaign. Show all posts
Showing posts with label urbanLiteracyCampaign. Show all posts

Thursday, December 24, 2015

Pembangunan Hotel dan Mall Rugikan Masyarakat


dimuat sebagai bahan untuk #urbanLiteracyCampaign
sumber:https://www.ugm.ac.id/id/berita/9938-pembangunan.hotel.dan.mall.rugikan.masyarakat

Dalam beberapa tahun terakhir pembangunan hotel dan mall kian marak di Yogyakarta. Kondisi tersebut tidak hanya semakin menekan masyarakat kecil, tetapi juga menimbulkan berbagai persoalan lingkungan. Dadok Putera Bangsa, aktivis gerakan Jogja Asat menyampaikan munculnya puluhan hotel maupun mall di Yogyakarta lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Seperti yang dialami warga di kampung tempat tinggalnya yaitu Miliran yang terdampak akibat pendirian Fave Hotel. Sumur-sumur warga mengalami kekeringan sejak munculnya hotel tersebut. "Kami jadi korban dari pembangunan Fave Hotel, sejak beroperasi 2012 silam sumur warga jadi kering. Padahal sejak saya hidup disini dari kecil sumur tidak pernah kering meski musim kemarau," ungkapnya, Rabu (22/4) dalam diskusi publik bertajuk "Yogya Sould Out" di FISIPOL UGM.
Menyikapi hal tersebut, ia bersama para melakukan protes ke manajemen hotel hanya saja tidak mendapatkan respon yang jelas. Juga menyambangi pemerintah kota Yogyakarta untuk melakukan pengawasan penggunaan sumur dalam hotel yang ada. "Ironisnya pemerintah kota melalui BLH malah berargumen membenarkan operasional hotel karena  dinilai sudah tepat mengambil sumber air dalam yang tidak akan menggganggu sumber air dangkal masyarakat. Sementara jelas-jelas sumur warga terdampak menjadi kering," ucapnya menyayangkan.
Karenanya, ia mengajak kepada seluruh masayarakat dan juga kaum muda untuk bersama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah kehilangan kebutuhan dasar yakni air. Salah satunya dengan melakukan riset terkait amdal pembangunan hotel dan mall di Yogyakarta. "Saya takut Jogja nantinya benar-benar jadi kering. Jadi ayo siapa yang mau membantu melakukan riset amdal dan IMB mal dan hotel di kota Jogja," ajaknya.
Aktivis lingkungan, RM. Aji Kusumo menilai bahwa  pembangunan hotel maupun mall tidak banyak memberikan nilai positif bagai masyarakat sekitar. Namun sebaliknya, justru lebih banyak memunculkan dampak negatif yang tidak memberikan keuntungan bagi warga. "Pembangunan hotel dan mall dengan modal investor tidak menguntungkan warga karena keuntungan hanya masuk ke kantong mereka sendiri,"ujarnya.
Meskipun merugikan masyarakat, kata dia, kebanyakan usaha pembangunan bangunan-bangunan komersil tersebut tetap berjalan karena adanya dukungan dari aparat kepolisian. Bahkan tidak jarang mendapat dukungan ilmiah dari kalangan akademisi yang luput dari fokus pembangunan yang berkeadilan."Sekarang ini pengusaha, negara, dan kaum intelektual bekerjasama menyengsarakan rakyat," tutur Aji yang sempat ditahan selama 3,5 bulan karena melakukan perusakan terkait aksi protes terhadap pembangunan apartemen Uttara The Icon di Jalan Kaliurang,Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman. 
Sementara Francis Wahono, Direktur Center for Integrated Development and Rural Studies menilai maraknya pembangunan hotel dan mall telah merusak keistimewaan Yogyakarta. Pasalnya dengan hadirnya bangunan-bangunan itu menggusur warga kampung menyebabkan kerusakan lingkungan sekitarnya. "Mall-mall dan superblock menjadi tontonan tak elok di tengah rakyat yang setia mengawal keistimewaan penguasa," katanya.
Dalam pandangannya, tidak ada hal yang khas lagi di Yogyakarta.Sebut saja, citra rakyat yang ramah semakin pudar seiring dengan sering meletusnya konflik bernuansa sara. Lalu cara berjualan yang tidak jujur "nuthuk harga" yang semakin banyak dipraktekan di berbagai kawasan objek wisata dan sejumlah hal lainnya. "Kalau dulu warung-warung kampung dan dusun hidup, sekarang sepi digilas super market. kalau dulu tanpa polisi saka orang tidak saling mendahului, kini seolah berebut  jalan tak berbeda dengan di kota besar seperti Jakarta. Jadi apa yang istimewa?" ujarnya.
Menurutnya, kondisi Yogyakarta akan berjalan secara harmonis dan lestari apabila jagad pakeliran geo ekologis dijadikan sebagai acuan  pertumbuhan, penghidupan,  dan pembangunan Yogyakarta. Karena ciri khas yang istimewa dari Yogyakarta tidak hanya terletak pada bentuk pemerintahan dan penguasa tanahnya, tetapi justru dari geo-ekologis yang ditopang oleh inisiatif rakyatnya. "Hanya dengan itu "Jogja Sold Out" tidak terjadi," terangnya.(Humas UGM/Ika)

Gerakan Membunuh Kota

#gerakanMembunuhJogja #urbanLiteracyCampaign

Sumber foto: www.instagram.com/tuturpena


Atas nama pembangunan Dan pertumbuhan ekonomi perusakan lingkungan Dan cagar budaya dilegalkan di jogja. Persetan RTRW, persetan ruang terbuka hijau. Enyalah kota ramah anak. Kita butuh uang bukan filosofi Dan naskah akademik. 

Orang Baik hanya diam, orang pintar sibuk festival Dan parade, anak anak Muda asik dengan hobi travelling Dan kuliner atau bersocmed alay alay an. Ya, kota jogja mati di tangan setan pemodal Dan pengembang modernitas. Saatnya uang mengatur segalanya. Jogja ITU masa lalu, sekarang dan masa depan adalah "kota baru."

Innalillahi Jogjakarta telah sekarat. Semoga husnul khotimah. Amien.



Jogja Ora Didol: catatan ethnografi orang orang biasa 
Gotong royong nulis APA pun gaya ekspresi (catatan pendek, puisi, status, desain, dll) tentang kota jogja hal hal yang brutal tentang pembangunan, banalitas, kemacetan, kekerasan, daya tahan orang Baik, kesederhanaan orang jogja, bagaimana tetap waras, Dan isu lainnya. 

Kami akan merajut Dan menyulam juga menyelaraskan beragam tulisan dalam bentuk buku Dan ilustrasi untuk mendukung kebaikan umum di tengah kota yang sedang bunuh diri akibat liberalisasi pembangunan sementara jalan kebudayaan tak berdaya menghentikan nnya. 
Sillakan email tulisan teman2 ke rumahbacakomunitas@gmail atau inbox atau tag di FB: rumah baca komunitas. 
Salam
Urban literasi.

Thursday, December 17, 2015

Untuk siapa perkotaan dibangun? (Seri Urban Literacy Campaign)


David Efendi


Pertanyaan dalam judul di atas adalah pertanyaanbl paling syah untuk diajukan pada diri sendiri Dan juga kepada pemangku kebajikan serta penguasa formal di mana saja Dan di level APA saja. Pertanyaan yang terus menerus mencari pemahaman ihwal "sangkan paraning dumadi" dalam pembangunan sebuah perkotaan. 
Disinyalir kuat, orientasi pembangunan kota semakin menjauhkan manusianya dengan filosofi hidup, memperburuk, kesetimbangan alam, proporsi air Dan tanah, juga proses soft yang desebut tekhnokrasi yang berimbas pada dehumanisasi: pembangunan yang menuhankan modernistas beserta teknologi asrsitek Dan sebagainya sambil di saat yang sama, menghina nilai nilai luhur yang dirawat manusia di dalamnya.
Kita bisa berangkat Dari persoalan yg kita baca di perkotaan mengenai ilusi kesejahteraan, pengangguran, kekerasan yang berkelindan dengan citra kota metropolitan, keren, modern, dengan ragam pusat belanja Dan hotel kelas melati sampai bintang Lima. Modernistas simbolik yang kerap harus mengorbankan manusia sebagai konsekuensi tak terhindarkan. Rezim tertih tata ruang melihat PKL di trotoar Dan anak jalanan adalah masalah sosial yang merusak citra baik kota. Mereka, DLM keyakinan pemerintah, harus ditertibkan secara paksa. Ini dikenal dalam pemikiran Foucoult dengan istilah governmentality.
Imajinisasi tentang kota " Elysium" yaitu sebuah kota yang indah, modern, hijau, smart, sangat disinyalir kuat bahwa ini adalah imajinasi tak lebih Dari segelintir elit atau imajinasi negara maju dengan kultur moderniser akut. Imajinisasi kota demikian bukanlah imajinasi orang orang biasa yang jumlahnya 99%. Orang orang berduit menjadikan kota sebagai tempat berebut kesenangan Dan transaksi ekonomi, sementara orang miskin atau orang biasa memimpikan kota yang ramah untuk mempertahankan kemampuan siklus ekonomi Dan kebudayaannya. Dua entitas yang berbeda tentang bagaimana sebuah kota menjadi manusiawi. Kedua sudut pandang ini juga sangat terlihat daalam beragam ajang pertemuan forum global. Soal keadikan iklim, global warming, pengentasan kemiskinan di negara ketiga, selalu mengundang bias modernisme dimana negara kaya memaksakan paradigms developmentalisme atas negara miskin, bahkan memperlihatkan sikap dominasi dalam melihat persoalan. 
Salah satu keadilan yang tata ruang dapat dimulai Dari upaya membangun pengetahuan ecologi kota melalui disiplin kita masing2 masing. Kita belajar disiplin ilmu berbeda satu sama lain srperti ilmu politik, economi,anthropologi, pertanian, hukum, psikologi, DLL pada akhirnya semua bisa digunakan untuk melihat keadilan kehidupan perkotaan. Tak perlu kita kuasai semua pengetahuan trtapi kedalaman ilmu yg kita tekuni akan dengan mudahnya dijadikan alat analysis terhadap ketimpangan hidup dalam perkotaan. Ini namanya membangun melek perkotaan. 
Dari ilmu yg kita prlajari, kita tahu anatomi, karakter banal kota, aktor di belakang layar, lembaga formal, siapa mendapat apa dengan cara APA dalam politics as business as usual keseharian. Dengan melihat struktur ekonomi kita tahu kelemahan economi kerakyatan, kita tahu desa yang dikucilkan oleh peradaban kota, oleh importer, poebisnis swalayan modern berjejaring. Kita bisa mengerti banyak hal kalau semua orang mendalami minimal satu disiplin ilmu pengetahuan. Pemikiran demikian saya belajar Dari Soedjatmoko dalam bukunya Dimensi Manusia dalam pembangunan (YOI, 1995). 
Soedjatmoko ini banyak memberikan pencerahan untuk merumuskan suatu kurikulum belajar melek perkotaan (urban literacy) ang saya coba susun. Keahlian di bidang sosial budaya untuk menjadi pertimbangan dalam pembangunan terlihat kiprahnya di bappenas 1971-1980, bahkan pernah menjadi rektor UN University di Tokyo tahun 1980. Banyak hal bisa dieksplore darinya. 
Dari pembuka wacana di atas, kira kira Urban literasi adalah emergensi atau kondisi yang niscaya untuk mengatakan urgent literacy campaign untuk semua orang, untuk orang orang yang percaya bahwa kita bisa mencegah bunuh diri kota kota yang berisi manusia yang mendamba kehidupan manusiawi.

Literasi Perkotaan

Salah satu bentuk keberdayaan warga adalah keberanian menyampaikan ekspresi dukungan atau protest tertulis kepada pemerintah setempat dapat misal, melalui Surat terbuka, atau Surat yang dibaca di ruang publik. Tak hanya bentuk Surat, dpt juga beragam bentuk lainnya srperti puisi, lirik, lagu, musik, Dan sebagainya. 
Pada kesempatan ini, kita yang melek kota saatnya menulis Surat untuk wali kota dimana kita merasa punya inisiatif, kritik, dukungan thd program, oposisi terhadap pembangunan hotel, kolam renang, mall, DST. Saatnya yang dianggap bisu bersuara. Selamatkan kota, selamatkan manusia baik di kota kota yang semakin murka. 
Terlampir Contoh Surat untuk walikota.
Surat Terbuka untuk Walikota Yogyakarta
tentang Pengelolaan Ruang Publik di Jembatan Kewek dan Lingkungannya
Yogyakarta, 4 Maret 2013
Kepada Yth. Walikota Yogyakarta
di tempat
Dengan hormat,
Kami, masyarakat Yogyakarta, telah menemukan fakta bahwa kualitas pengelolaan ruang publik di Kota Yogyakarta sangat buruk dan jauh dari ideal. Banyak kasus privatisasi dan komersialisasi ruang publik Kota Yogyakarta yang terjadi dengan atau tanpa izin dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Salah satu ruang publik yang tidak terkelola dengan baik adalah Jembatan Kewek dan lingkungannya. Jembatan Kewek dan lingkungannya telah ditetapkan sebagai bagian inti dari Kawasan Cagar Budaya Kotabaru di Kota Yogyakarta melalui Keputusan Gubernur DIY No 186/KEP/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya. Namun, saat ini Jembatan Kewek dan lingkungannya telah disalahgunakan fungsinya untuk penyelenggaraan reklame berupa mural yang tercat pada dinding bangunan. Praktik ini telah melanggar ketentuan izin penyelenggaraan reklame yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 1998 tentang Izin Penyelenggaraan Reklame dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 75 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 8 Tahun 1998 tentang Izin Penyelenggaraan Reklame. Hal ini juga telah melanggar ketentuan persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Masyarakat Yogyakarta secara swadaya telah membeerikan tanggapan atas praktik privatisasi dan komersialisasi Jembatan Kewek yang lingkungannya itu dengan melakukan pengecatan putih pada dinding jembatan. Pengecatan ini telah dilakukan pada hari Minggu, 10 Februari 2013 dan Jumat, 1 Maret 2013 sebagai tanda bahwa masyarakat menolak praktik privatisasi dan komersialisasi ruang publik dan kawasan cagar budaya. Namun, kami memandang bahwa aksi pengecatan kembali ini bukan jawaban atas masalah yang dihadapi ruang publik kota Yogyakarta. Masalah pelanggaran pengelolaan dan penyalahgunaan fungsi ruang publik harus dicari akar persoalannya bersama-sama agar tidak terjadi lagi di masa mendatang. hal ini juga penting dilakukan untuk mendorong praktik pengelolaan ruang publik yang lebih baik di seluruh wilayah Kota Yogyakarta.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kami, masyarakat Yogyakarta mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kota Yogyakarta untuk memfasilitasi sebuah forum audiensi/pertemuan yang melibatkan para pihak yang terkait dengan pengelolaan Jembatan Kewek dan lingkungannya. Pertemuan ini bersifat terbuka untuk publik dan media. Kami memohon Pemerintah Kota Yogyakarta dapat memfasilitasi pertemuan bersama para pihak ini pada Minggu III Maret 2013 (antara tanggal 11 – 15 Maret 2013). Pihak-pihak yang diundang meliputi:
Pemerintah Kota YogyakartaPT Kereta Api IndonesiaDPRD Kota YogyakartaPihak/perusahaan pemasang mural iklan di Jembatan KewekWarga kampung di sekitar Jembatan Kewek dan lingkungannyaMedia massa
Pertemuan ini bertujuan untuk membahas bersama situasi yang terjadi di Jembatan Kewek dan lingkungannya usai aksi pembersihan/pengecatan putih yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta. Melalui forum ini kami berharap pelanggaran pengelolaan ruang publik dan kawasan cagar budaya dengan penyelenggaraan reklame yang tak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat dihentikan sebagai sebuah kesepahaman dan kesepakatan bersama.
Hormat kami,
atas nama masyarakat Yogyakarta

Literasi Perkotaan

Gagasan untuk melek perkotaan dengan mempromosikan nilai nilai yang berurusan ekologi, tata ruang, kebijakan sosial, advokasi anak Dari kekerasan, radikalisasi pasar, human trafficking, regulasi kota, Dan lain lain yang berkaitan dengan isu perkotaan. 

Kemampuan mencernah beragam masalah perkotaan menjadikan suara yang bisu dapat didengar, memberikan kesempatan pada semua orang menjadi autonom untuk berkontribusi kepada kehadiran kota yang lebih baik, lebih manusiawi, Dan adil.
Kampanye ini mendukung keberadaan individu yang berdaya untuk membela kotanya Dari degradasi nilai Dan kemerosotan tata hidup di dalamnya. Salah satu target Dari kampanye ini adalah agar siapa pun dapat bersuara, dpt ambil posisi konstruktif dengan mendayagunakan APA yang dimiliki baik melalui seni, graffiti, menulis, gerakan sepeda, gerakan berkebun, sastra, promosi buku, aksi diam, poster, ecopreneurship, Dan seterusnya. 
Gerakan ini memberikan kredit, bahwa semua warga kota penting Dan dengan demikian tak ada alasan diskriminatif. Beragam pihak didorong untuk berfikir kepentingan publik jangka panjang. Juga mendorong, yang rakus berbagi Dan mebgurangi kerakusannya. 

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK