Monday, February 16, 2015

Joshua Oppenheimer: "Babak Penutup Bagi Indonesia"

(Oppenheimer: Wawancara Kompas dengan Myrna Ratna
"Babak Penutup bagi Indonesia", Kompas, 8 Februari 2015)*


Udara dingin yang disertai hujan salju di akhir Januari tidak menyurutkan semangat peserta menghadiri kelas master bersama Joshua Oppenheimer, sutradara film ”The Look of Silence” (”Senyap”), pada Festival Film Internasional Goteborg, yang berakhir 2 Februari lalu.

Sekitar 200 kursi yang disediakan penuh terisi. Tanya jawab yang berlangsung selama 1,5 jam memenuhi keingintahuan peserta seputar pembuatan film Senyap.

Pesan terpenting yang ingin disampaikan dalam film ini, kata Oppenheimer, adalah never again. ”Jangan sampai terjadi lagi di mana pun atau pada siapa pun. Jangan sampai lagi ada impunitas yang didukung sistem politik dan dirayakan,” ujarnya.

Nasib sang pemain, Adi Rukun, beserta keluarganya juga menjadi pertanyaan banyak hadirin. Apakah keselamatan mereka terjamin? ”Satu tahun sebelum film ini ditayangkan, keluarga itu telah dipindahkan ke tempat yang aman. Kami telah mempersiapkan segala kemungkinan,” kata Oppenheimer.

Film Senyap begitu menyedot perhatian penonton festival sehingga karcis sudah habis terjual sebelum jadwal penayangan. Tepuk tangan panjang mengiringi setiap akhir pertunjukan. Namun, itu bukan berarti pertanda gembira. Seorang pria yang duduk di kursi sebelah bahkan berkali-kali menyusut air matanya. Reaksi ”bagaimana mungkin kita sampai tidak mengetahuinya”, muncul di sana-sini,

Ketika Senyap kemudian dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik (Dragon Award Best Nordic Documentary), publik sudah menduga. Padahal, di ajang ini Oppenheimer harus berkompetisi dengan tujuh film yang tak kalah kuat, di antaranya Every Face Has a Name karya Magnus Gertten yang mengisahkan mereka yang lolos dari maut di kamp konsentrasi Nazi.

Dewan juri menilai Senyap berhasil memecah penghalang antara dokumenter dan fiksi dengan membuka ruang bagi kilas balik sejarah, dan menginspirasi rekonsiliasi.

Bagi pembaca yang belum sempat menonton Senyap, film ini merupakan sekuel dari film The Act of Killing (Jagal) yang menjadi nomine penghargaan Oscar tahun 2014. Jagal mendokumentasikan kesaksian para pembantai yang membunuh warga yang dituduh komunis di Deli Serdang pada periode 1965-1966. Dalam Senyap, adik seorang korban pembantaian, Adi Rukun, mencari kejelasan tentang kematian sang kakak, Ramli. Ia pun dipertemukan dengan para pembantai.

Oppenheimer yang mengaku kini sulit untuk bisa datang kembali ke Indonesia karena berbagai intimidasi yang dihadapi membutuhkan waktu 10 tahun untuk menyelesaikan Jagal dan Senyap. Pada 29 Desember 2014, Lembaga Sensor Film (LSF) dalam suratnya menolak seutuhnya film tersebut untuk dipertontonkan kepada khalayak umum atau bioskop.

Berikut perbincangan Kompas dengan Joshua Oppenheimer di Goteborg, Swedia.

Kedua film ini banyak memperoleh penghargaan internasional yang prestisius. Apa maknanya bagi Anda?

Setiap penghargaan menguatkan dampaknya bagi Indonesia. Asvi Warman Adam dalam artikelnya menyebutkan, perhatian internasional setidaknya memaksa diskursus di Indonesia karena untuk pertama kali dunia luar menyadari hal itu. Dengan demikian, perdebatan tidak bisa lagi sepenuhnya diset oleh pemerintah. Ini berarti harapan.

Sewaktu The Act of Killing menjadi nomine penghargaan Oscar, Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan, ini pertama kali setelah film itu diputar 1 tahun 4 bulan. Bagi saya pernyataan itu sangat positif karena pemerintah mengakui ada pelanggaran kemanusiaan dan mengatakan perlu rekonsiliasi. Satu hal yang baru dinyatakan kembali sejak pertama kali dilontarkan oleh pemerintahan Gus Dur. Tapi, kalau menyebut ini sebagai film buatan asing, tunggu dulu. Kalau kita melihat credit title di akhir film Jagal, ada 60 orang Indonesia yang terlibat di situ, termasuk ko-sutradara yang semuanya disebut anonim. Jelas ini bukan film buatan asing.

Apakah pesan never again dari film tersebut sudah tersampaikan?

Ini baru permulaan. Dari sejumlah penayangan dilaporkan sudah 53.000 orang yang menonton. Ruang yang sudah dibuka ini menunjukkan betapa terbelahnya masyarakat yang satu dengan yang lain. Lalu bagaimana kita menjembatani itu? Melalui kerendahhatian seperti yang ditunjukkan Adi, juga yang dicontohkan oleh putri dari seorang pembantai yang meminta maaf. Sungguh indah. Ia menemukan martabat kemanusiaannya dengan memohon maaf atas nama sang ayah. Ini menunjukkan bahwa proses penyembuhan itu mungkin terjadi. Kita butuh proses dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berupa sejumlah pengakuan kolektif bahwa ini adalah salah, bahwa perilaku premanisme, intimidasi yang sudah selama beberapa dekade didiamkan, dinyatakan terlarang. Dan ini memang harus diperjuangkan.

Apakah ini dimaksudkan sebagai sebuah film politik?

Anda tidak bisa memisahkan individu dari masyarakatnya. Terkait pembantaian massal, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah individu atau sistem politik? Individu tidak akan eksis tanpa masyarakat, begitu juga sebaliknya. Kita adalah satu entitas kolektif. Film apa pun yang mengangkat cermin kemanusiaan secara inheren adalah politik, tapi juga sekaligus manusiawi dan universal.

Bagaimana Anda melihat reaksi pro dan kontra di Indonesia. Apakah ini sudah diperkirakan?

Sepertinya begitu. Ketika Komisi Nasional HAM dan Dewan Kesenian Jakarta memutar film ini dan dihadiri sekitar 2.000 orang, juga ketika Adi dikenalkan di panggung dan memperoleh 10 menit standing ovation, itu membuat 500 penayangan lainnya juga dihadiri banyak orang. Dan itu semua membuat Anda penuh harap. Tapi, apa yang terjadi belakangan (penghentian penayangan) sudah diperkirakan. Komnas HAM sudah men-submit film itu kepada LSF, tak ada respons. Mereka baru merespons ketika polisi dari Malang men-submit film itu ke LSF, dan kemudian LSF melarang penayangan film itu.

Menyakitkan

Anda mengatakan telah melewati pergulatan yang sangat menyakitkan ketika membuat film ini. Itu dikarenakan materinya atau karena telah ”memunculkan” situasi yang menyakitkan?

Keduanya. Saya rasa pembuatan The Act of Killing (Jagal) memang menyakitkan, sedangkan The Look of Silence lebih mengkhawatirkan karena saya khawatir dengan keselamatan kami semua, khususnya para kru. Tapi, proses dalam The Look of Silence merupakan proses penyembuhan (healing). Itu sebuah cara untuk mengucapkan selamat tinggal. Sebuah cara untuk membuat babak penutup, babak 10 tahun terakhir dalam kehidupan saya. Mereka adalah keluarga dan kru yang sangat saya cintai. Itu seperti sebuah perpisahan panjang.

Materi The Act of Killing memang menyakitkan, tapi saya dipaksa untuk tidak tergetar dan tetap membuka hati, khususnya untuk Anwar Congo (salah satu pembantai). Persoalannya, tak ada yang selama ini pernah mendengarkan Anwar. Cara dia membual (boasting) ketika melakukan pembantaian adalah cara untuk meyakinkan dirinya bahwa dia adalah pahlawan sehingga ia bisa lari dari rasa salah. Tidak ada yang pernah mendengarkan apa makna hal itu bagi dirinya. Berkali-kali ia mengatakan sering mimpi buruk. Tapi, tak ada yang pernah bertanya, apa mimpinya, apa yang membuatnya takut, apakah ia merasa bersalah?

Jadi, upaya boasting yang dilakukan selama bertahun-tahun merupakan upaya untuk meyakinkan dirinya, untuk menutupi jeritan hatinya. Dan ketika saya datang dan mendengarkan, Anwar mulai berbicara lebih jujur, dan muncullah rasa sakit itu. Saya ikut merasakan rasa sakit Anwar itu, tapi Anwar tetap ingin melanjutkan. Tentu saja saya bergulat dengan situasi seperti itu. Dan kadang saya juga merasa bersalah dengan situasi semacam itu.

Bagaimana Anda mengatasinya?

Saya mendapat dukungan dari para kru yang luar biasa, para kru Indonesia adalah orang-orang yang menakjubkan. Ko-sutradara saya adalah orang yang sangat mencintai pepohonan. Dia membawa saya jalan-jalan dan mengajari saya tentang pepohonan. Dia berbicara tentang pohon dengan penuh rasa kasih, dan hal itu sangat menenangkan dan menghibur. Mengingatkan mengapa kemanusiaan itu begitu berarti. Karena film bukan untuk menyalahkan, film ini berbicara tentang kita semua.

Puitik

Setelah menyaksikan film ini, penonton umumnya merasa sedih yang sangat sakit. Namun, Anda menyebutnya puitik?

Banyak puisi yang menyedihkan. Saya rasa puisi yang terindah selalu tentang kesedihan. Salah satu satu favorit saya adalah puisi The Waste Land karya TS Eliot. Salah satu puisi yang sangat menyedihkan tapi visioner. Membuat kita melihat tentang kebenaran fundamental di dunia. Salah satu yang menginspirasi The Act of Killing adalah karya Dante, Inferno, sebuah puisi panjang. Salah satu alasan mengapa film ini puitik karena dalam hampir semua dokumenter saya tentang HAM selalu diakhiri dengan sebuah harapan. Setidaknya penonton yang keluar dari ruangan merenung bahwa sesuatu sudah dilakukan.

Saya akan membuat puisi itu sebagai in memoriam terhadap kesenyapan yang menghancurkan. Saya ingin menghormatinya melalui sinema puisi, mengingat tak ada lagi yang bisa kita tegakkan untuk semua yang telah dihancurkan, tak ada yang bisa mengembalikan dekade-dekade yang hilang pada keluarga Rukun. Karena itu, film ini adalah sebuah puisi, melihat pada jurang kesenyapan. Meminta kita untuk berupaya mendengarkan suara-suara lirih yang mungkin datang dari kesenyapan itu. Seperti juga adegan ketika ibu Adi melihat kacang yang bergerak di telapak tangannya. Itu merupakan metafora tentang harapan, tentang sesuatu yang akan muncul. Saya berharap itu adalah rekonsiliasi yang kita tunggu-tunggu.

Bagaimana reaksi publik di Amerika Serikat (AS)?

Film ini baru diputar di festival-festival. Sejauh ini, reaksinya sangat baik. Sangat kuat. Ketika saya hadir bersama Adi di AS, orang-orang begitu antusias menyambut Adi. Setiap kali dia hadir dalam penayangan film, Adi selalu memperoleh standing ovation. Hal itu sedikit atau banyak merupakan penyembuhan untuk Adi atas penderitaan yang dialami dia dan keluarga selama 50 tahun, bagaimana ia dan keluarga distigmatisasi tidak bersih lingkungan.

Apakah publik AS menyadari pemerintah mereka secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam tragedi itu?

Rakyat AS memiliki kenangan terbatas atas apa yang terjadi di Indonesia. Tapi, kami mengerti bahwa AS terlibat dan pemerintah kita terlibat dalam menggerakkan kekerasan atas nama korporasi multinasional di sejumlah negara di dunia. Kami (AS) punya sejarah di Amerika Latin, di Vietnam, di Filipina, dan cukup banyak yang berpendapat bahwa AS berperang di Irak karena minyak. Saya pikir masyarakat di sini menyadari itu. Di film ini pun kita lihat bagaimana perusahaan Goodyear memperbudak pekerja dan membiarkan pekerjanya dibunuh, seperti juga perusahaan Jerman menggunakan pekerja dari Auschwitz. Kenyataan ini sangat memukul penonton AS. Pada pemutaran ketiga The Look of Silence di AS, seorang putri dari eksekutif Goodyear menangis tersedu-sedu setelah melihat film ini. Dia sangat terpukul.

Sejauh mana Anda melakukan intervensi dalam pembuatan film ini? Sejauh mana sutradara dibenarkan melakukan intervensi dalam film dokumenter?

Tidak ada batasnya. Pembuat film memiliki tanggung jawab untuk bertindak sejauh yang dibutuhkan untuk mengungkapkan kebenaran terpenting, untuk mengeksplorasi pertanyaan terpenting. Kami juga bertanggung jawab untuk tidak mencederai siapa pun, untuk menjaga keselamatan siapa pun.

Sebagai contoh dalam adegan The Act of Killing, sewaktu Herman memeras orang di pasar, saya berpikir bagaimana saya harus memfilmkan ini, dengan juga mempertimbangkan rasa takut yang dialami pemilik toko setiap hari. Setelah pengambilan gambar selesai, kami sampaikan kepada pemilik toko bahwa kami akan membayar berapa pun yang diambil oleh Herman. Langkah ini diambil untuk mencegah pencederaan apa pun bentuknya. Anda selalu bertanggung jawab untuk melakukan intervensi. Adalah bohong jika Anda mendokumentasikan realitas yang preexisting. Di dalam film Anda selalu menciptakan realitas. Anda juga bertanggung jawab bertindak sejauh yang dibutuhkan untuk mengekspresikannya sekuat mungkin.

Jika melihat kembali perjalanan 10 tahun terakhir Anda, apa yang Anda lihat? Apa yang Anda rasakan?

Saya dihadapkan pada sejumlah aspek menyakitkan yang membuat kita menjadi manusiawi. Juga pada sejumlah kebenaran fundamental, bukan tentang Indonesia, melainkan tentang masyarakat. Saya juga dihadapkan pada hal-hal yang menakutkan, keterbukaan, kejujuran, dan cinta yang mungkin dilakukan. Dan itu membuat Anda tidak takut untuk terus bergerak maju karena Anda telah berhasil mengalahkan rasa takut yang membuat Anda tidak mau melihatnya. Setidaknya Anda kini bisa menatapnya langsung. Saya harap film ini bisa berdampak sama terhadap para penonton Indonesia. Saya juga ingin berbagi rasa hormat dengan para kru, saya merasa istimewa memperoleh kepercayaan mereka. Saya rasa, sangat jarang seni bisa membuat perbedaan.
Film ini juga mengubah cara pandang saya. Saya lebih mudah untuk memaafkan, seperti simpati saya yang dalam untuk Anwar meskipun bukan simpati terhadap apa yang dia lakukan.

Kuatkah dampaknya terhadap kehidupan pribadi Anda?

Sangat menguras, sampai saya harus pindah ke Denmark untuk mengedit film ini karena Denmark yang membiayainya. Saya juga terus bermimpi buruk selama hampir satu tahun. Sangat berat. Tapi, saya tidak pernah menyesal. Saya juga perlihatkan film ini kepada orangtua saya. Saya ingin mereka melihat sesuatu yang dalam tentang diri saya yang mungkin tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Mereka sangat menyukainya, dan itu sangat berarti bagi saya. Saya juga memiliki keluarga kedua di Indonesia yang sangat saya cintai. Sungguh sedih bahwa situasi ini membuat saya tidak bisa datang dan mengunjungi mereka.

Film berikutnya akan seperti apa?

Akan bercerita tentang ketakutan, kerakusan, penipuan diri. Tidak akan dibuat di Indonesia dan tidak terkait Indonesia. Banyak yang bertanya, mengapa saya tidak membuat sekuel ketiga. Di luar kesulitan teknis pembuatannya, saya berpikir bahwa apa yang selanjutnya terjadi di Indonesia adalah milik masyarakat Indonesia. Film pertama sudah membuka ruang. Film kedua menunjukkan sejumlah kemungkinan untuk rekonsiliasi. Babak ketiga adalah milik masyarakat Indonesia.


*sumber:https://www.facebook.com/TheLookofSilence/posts/609996925767630?fref=nf

Monday, February 2, 2015

Batas-Batas



Oleh : Ramadi Zulhafdi (Pegiat RBK) 

Sebuah perjalanan yang panjang membutuhkan waktu untuk berfikir sejenak tentang langkah-langkah yang seharusnya dilakukan. Hal-hal tersebut memberikan sebuah pemikiran bagaimana seharusnya berimajinasi atas sebuah langkah yang akan diterapkan kedepan. Dalam konteks mencari sebuah jati diri, seseorang dapat dikatakan berhasil apabila ia mampu melewati rintangan yang menjadi titik balik atau berputar arah atau melawan arus dari sesuatu yang tidak dilakukan menjadi sebuah kewajiban yang bisa menuntut demi sebuah kebaikan dan perbaikan di dalam dirinya. Dari sudut pandang berbeda bahwa passion adalah sebuah ciptaan maha karya manusia yang telah ia temukan didalam hidupnya dalam mencari arti hidup sebenarnya. Menemukan the character of identity  merupakan sebuah proses yang amat pandang dalam mengenal diri sendiri. Sebuah kemampuan apabila seseorang telah mengetahui keahliannya di bidang tertentu bisa dikategorikan bahwa seseorang tersebut telah menemukan passion itu sendiri.

Pertanyaan Sederhana ; (Ketakutan Sang Penulis)


Oleh : Ramadi Zulhafdi (Pegiat RBK)



Penulis takut akan masa depan, kenapa?
 
Penulis takut tidak bisa menguasai ilmu politik dan teori yang diberikan dalam ruang akademis, kenapa?


Apa solusinya? 

Kosong

kalau hidup ini bisa terwujud dengan hayalan, saya ingin hidup dengan penuh ekspresi dalam segala hal. Karena saya menyadari bahwa, kehidupan ini butuh ekspresi yang bisa mengubah suasana hati, hati yang tadinya sedih bisa menjadi senang, gembira, bahagia, ceria dan berwarna.

Catatan Bedah Film Belakang Hotel

Oleh: Lutfi Zanwar Kurniawan
Voluntir RBK

Beberapa hari terakhir Yogyakarta diguyur hujan. Sebagaimana yang terjadi malam itu, seperti sudah terjadwal, hujan mengguyur Yogyakarta. Menjelang Isya’ hujan masih menyisakan rintik-rintiknya sehingga hawa dingin pun terasa. Dinginnya udara Yogyakarta malam itu tidak lantas membuat suasana bedah film yang diadakan oleh Rumah Baca Komunitas sepi peserta. Suasana hangat tetap terasa diantara pesera bedah film. Apalagi saat satu per satu dari mereka menyampaikan tanggapannya setelah film selesai diputar.

Ya, malam itu Rumah Baca Komunitas menyelenggarakan kegiatan rutin yang dinamakan Reboan. Dengan mengadakan bedah Film berjudul Belakang Hotel, kali ini Reboan mengangkat tema seputar pembangunan hotel-hotel yang begitu marak terjadi di Yogyakarta. Dalam film yang berdurasi sekitar empat puluh menit itu kita menyaksikan bagaimana maraknya pembangunan hotel yang terjadi di Yogyakarta ternyata memberikan dampak negatif bagi warga sekitar lokasi hotel dibangun. 

Penyedotan air sumur dalam yang dilakukan oleh hotel menyebabkan  sumur-sumur warga asat (kering). Beberpa warga sekitar hotel mengaku bahwa berpuluh-puluh tahun sumur mereka tidak pernah asat. Semenjak hotel-hotel itu dibangun tidak lama kemudian sumur-sumur mereka asat.
Film ini merupakan wujud gerakan protes yang dilakukan oleh beberapa komunitas di Yogyakarta atas efek negatif pembangunan. Pembangunan yang seharusnya memberikan kesejahteraan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Keuntungan itu hanya menggumpal pada segelintir orang pemilik modal. Warga dirugikan atas ekes-ekses negatif pembangunan. Alih-alih ikut merasakan madu hasil pembangunan bahkan kecipratanpun tidak. Mereka hanya kebagian residunya, itupun residu negatif yang merugikan warga.

Semenjak sumur-sumur itu asat, mereka kesulitan untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sehingga dibutuhkan pengorbanan waktu dan biaya tak sedikit untuk mendapatkan air. Sebelum-sebelumnya mereka hanya perlu mengambil air dari sumur-sumur di sebelah rumahnya. Ketika sumber-sumber air di sumur-sumur itu mulai mengering mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan air. Salah satu warga bahkan sampai harus ke pasar untuk mandi itupun masih harus bayar. Ada pula kisah seorang ibu yang harus menimba sampai puluhan kali hanya untuk mengisi bak airnya. Padahal biasanya hanya butuh beberapa kali angkat ia sudah bisa memenuhi baknya.

Dalam film itu dipaparkan pula data kebutuhan satu kamar hotel/hari 380 liter sedangkan kebutuhan rumah tangga satu keluarga hanya 300 liter/hari. Alangkah gelapnya hati manusia. Orang-orang kecil hanya dijadikan selop atau alas kaki egois kesejahteraan pemilik modal yang rakus. Kesejahteraan selalu terserap ke atas, kemakmuran selalu menggumpal di atas. Walaupun begitu mereka masih bisa guyon, ngguya-ngguyu ketika gambarnya diambil dalam proses wawancara, senyum mereka masih mengembang. Mereka mampu mengolah dan memproses kebahagiaannya sendiri di tengah himpitan keterbatasan. Mereka seperti memiliki banyak pintu untuk mengundang kebahagiaan. Padahal di saat yang bersamaan kebutuhan vital mereka akan air terancam.

Ngguya-ngguyu-nya warga itu bukan berarti mereka tidak berbuat apa-apa. Diam saja melewatkannya sambil lalu kemudian melupakan apa yang terjadi. Tidak. Mereka tentu saja tidak tinggal diam. Mereka mengadakan perlawanan dengan meminta pertanggung-jawaban dari pihak hotel. Merasa protesnya dianggap angin lalu, mereka mengadakan aksi mandi debu di depan hotel. Debu itu menjadi simbol bahwa air mereka telah dirampas dan dikuasai oleh pihak hotel. Mereka menagih diterapkannya dengan konsisten undang-undang pasal 33 ayat 3 yang mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Membela Yang Lemah  

Seperti layaknya bedah film, setelah screening film selesai acara dilanjutkan dengan diskusi. Diskusi yang hangat adalah diskusi yang memunculkan beragam perspektif sehingga yang lahir bukan hanya penafsiran tunggal atas peristiwa. Itu juga yang terjadi dalam diskusi malam itu. Para peserta bergantian menyampaikan pandangan dan pendapatnya tentang film yang baru saja mereka tonton bersama.

Diskusi dibuka dengan pendapat dari salah satu peserta yang mempertanyakan bahwa kenapa isu ini perlu diangkat? Padahal kan yang mengalami masalah ini hanya segelintir saja, tidak semua warga yang tinggal di sekitar hotel mengalami kejadian yang sama. Kemudian lantas peristiwa ini memunculkan counter wacana bahwa Jogja Ora Asat. Karena toh kenyataannya kekeringan tidak terjadi di banyak tempat. Tentu saja counter wacana yang lahir akan mengurangi daya dobrak wacana Jogja Asat. Beberapa peserta diskusi menyayangkan munculnya counter wacana karena ini justru melemahkan dan merugikan warga Yogyakarta.

Counter wacana ini seharusnya tidak dilihat sebagai pelemahan terhadap wacana Jogja Asat yang coba digulirkan untuk menggugah kesadaran warga akan efek negatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan dampaknya pada lingkungan alam dan sosial. Counter Wacana Jogja Ora Asat kalau dilihat lebih dalam sebenarnya malah menguntungkan. Karena dengan adanya counter, di satu sisi ini menyebabkan wacana mampu menjangkau dalam jangkauan yang lebih luas. Wacana ini akan terus menerus bergulir dan terus hidup. Bayangkan jika wacana ini tidak ada yang menanggapi, mengkritik, atau meng-counter. Bisa jadi jangkauannya tak terlalu luas dan umurnya pendek. Seperti curhat Steven Levitt, Profesor di Chicago dan penulis buku Freakonomics dan Super Freakonomics dalam artikel yang ditulis oleh Pramudya A. Octavianda. Pernah suatu hari Levitt stress luar biasa karena seringkali dikritik orang gara-gara idenya yang dianggap kontroversial dan ia akhirnya meminta nasihat kepada Gary Becker. Saran Gary Becker sederhana: "bersyukurlah kamu karena ada yang mengkritik. Tahu yang lebih parah? Kamu dianggap angin lalu.”

Menjawab kegelisahan pertanyaan, kenapa isu ini perlu diangkat? Padahal kan yang mengalami masalah ini hanya segelintir saja, tidak semua warga yang tinggal di sekitar hotel mengalami kejadian yang sama. Salah seorang peserta memberikan perspektif yang cukup melebarkan cakrawala dalam memandang permasalahan. Biarpun ini permasalahan sebagian kecil orang, namun ini adalah permasalahan kemanusiaan. Isu ini diangkat tidak ditentukan oleh berapa besar dan berapa banyak orang yang mengalami ketertindasan. Bahkan hanya satupun, jika ada penindasan manusia atas manusia lain, maka perlu dibela. Kita tidak mungkin mengatakan, “lhoh kan itu hanya dialami segelintir orang”. Kemudian kita menutup mata atas tragedi itu.

Dalam beberapa bulan belakangan ini, maraknya pembangunan hotel dan obral izin pendirian hotel memang cukup meresahkan warga. Di beberapa lokasi hotel dibangun, warga melakukan demo untuk menentang pembangunan. Keresahan warga ini ternyata juga dirasakan oleh komunitas-komunitas yang memang banyak tumbuh di Yogyakarta. Topik tentang pembangunan hotel cukup mendominasi dan menjadi bahan perbincangan mereka yang tergabung dalam komunitas. Mereka merasa ada yang tidak benar atau setidaknya-tidaknya tidak tepat dengan maraknya pembangunan hotel tersebut.
Ada keinginan kuat diantara mereka yang tergabung di komunitas untuk turut terlibat dalam mewacanakan permasalahan ini. Diharapkan keterlibatan banyak pihak akan membuat permasalahan ini menjadi masalah lebih banyak masyarakat Yogyakarta. Pada ujungnya nanti warga memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemerintah maupun birokrasi. Memiliki daya tekan yang lebih kuat supaya pemerintah dan birokrasi segera terlibat untuk Turun Tangan menjawab permasalahan yang sedang dihadapi warga Yogyakarta. Tetapi sayangnya, banyak diantara komunitas-komunitas tadi yang tidak memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup untuk terlibat. Hal ini menyebabkan mereka sampai sekarang kurang memiliki strategi yang tepat dan efektif untuk turut terlibat menjawab permasalahan yang sedang terjadi.

Ada pelajaran berharga dari pembuatan Film Belakang Hotel ini. Jika diperhatikan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan film, wacana yang ingin mereka angkat fokus pada sasaran tertentu yang dirasa cukup efektif dan memiliki dimensi luas dan bisa dilihat secara langsung. Mereka mengangkat isu tentang keringnya sumur-sumur warga akibat berdirinya hotel yang menyedot air sumur dalam untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. fokus yang diangkat ini menarik karena langsung tertuju pada permasalahan yang bisa langsung dirasakan oleh warga. Walaupun sebenarnya ada dampak-dampak lain yang tidak terlihat dan dirasakan padahal itu menimbulkan kerugian yang besar. Tetapi penting untuk mengangkat wacana-wacana yang mudah dipahami oleh warga. Dan itu biasanya sesuatu mereka mampu lihat dan rasakan.

Problemnya di sini, komunitas-komunitas tadi tidak memiliki fokus sasaran yang jelas. Malahan yang berkembang selama ini adalah bagaimana menghentikan pembangunan hotel. Sebagai pihak yang berada di luar struktur kekuasan, pembuat kebijakan, walaupun itu mungkin namun sangat sulit. Seharusnya daripada wacananya difokuskan pada penghentian pembangunan hotel. Mereka bisa menembak hal-hal yang lebih strategis. Misal saja fokus pada apakah dalam pembangunan hotel mereka melibatkan warga sekitar yang berpotensi terdampak akibat pembangunan. Apakah ada MOU antara warga sekitar dengan pihak hotel jika di kemudian hari terjadi hal-hal yang merugikan. Itu tadi hanya salah satu strategi alternative, sebab kekuatan komunitas-komunitas tadi belum cukup kuat untuk memaksa dihentikannya pembangunan-pembangunan hotel di Yogyakarta. Karena jangan sampai mentoknya wacana tadi menghentikan semangat komunitas-komunitas tadi untuk turut terlibat.

Diskusi Reboan malam itu ditutup dengan sebuah komentar. Seharusnya organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki puluhan juta anggota memiliki peran yang besar untuk juga terlibat dalam menyelesaikan permasalahan ini. Mereka jangan tutup mata terhadap permasalahan riil yang dihadapi oleh umat. Ekses negatif dari maraknya pembangunan hotel ini adalah masalah-masalah kongkret. Ekses-ekses itu tidak hanya bidang moral dan mental, melainkan gap perolehan ekonomi, ketercerabutan budaya.

Jangan sampai lembaga-lembaga keagamaan hanya sibuk menjadi biro fiqih yang kelak tak lagi dilirik orang dan tak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tiap hari kerjaannya main semprit menuduh ini salah, itu haram, itu offside, itu handsball. Seperti yang dikatakan oleh Emha Ainun Nadjib, seharusnya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan ialah bagaimana menguasai lapangan sepak bola sejarah. Bagaimana melatih pemain-pemain yang antisipatif dan determinative terhadap pola permainan lain. bagaimana memilih siapa bek-nya, siapa libero-nya, siapa playmaker, siapa winger dan striker-nya

Sunday, February 1, 2015

Romo Francis Wahono Jadi Pembicara DeJure 23 Januari 2015

Oleh: Lek Malaka

Di malam tanggal 23 Januari, kami sudah menunggu Romo Francis Wahono (selanjutnya saya sebut dengan singkatan Romo Francis). Rasa tidak sabar dan bertanya-tanya pada mahasiswa, voluntir dan pegiat RBK yang saat itu jadi peserta DeJure.

RBK DeJure edisi 23 Januari 2015 sudah direncanakan oleh Abdullah untuk mengundang Romo Francis. Abdullah waktu itu berkata “saya ingin undang romo, gimana?”. Cak David dan Kak Wiek, menjawab “oke”. Maka berjalanlah komunikasi Abdullah dengan Romo Francis, yang memang sebelumnya sudah sering diajak obrol oleh Abdullah.

Malam itu setelah beberapa saat menunggu, Romo Francis akhirnya datang. Kemeja kotak bercampur warna kuning gading, lengkap dengan kacamata, Romo Francis masuk ke ruang utama RBK.

Setelah duduk, Abdullah memberikan sedikit pengantar tentang Romo Francis dan materi yang akan dibahas malam itu yakni; Teologi Pembebasan. Poster BC dibuat oleh Indra.

Unik juga, Romo Francis membuka diskusi dengan pertanyaan, “saya mau memulainya dengan pertanyaan-pertanyaan dari anda saja”. Tiga pertanyaan awal muncul dari peserta diskusi, pertanyaan pertama, “bagaimana sebenarnya hakikat dari teologi pembebasan”, kemudian ada yang bertanya “mengapa disebut teologi pembebasan?”, dan yang terakhir bertanya “bagaimana tanggapan Romo Francis tentang kasus kekerasan yang terjadi atas nama agama atau Tuhan?”.

Romo Francis menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menceritakan pengalaman-pengalamannya. Romo Francis kemudian balik bertanya dengan jenaka kepada semua peserta, “agama itu untuk siapa? Manusia atau Tuhan?”. Peserta kemudian diminta untuk unjuk pendapat. Macam-macam komentar muncul dari pertanyaan Romo Francis. Ada yang menjawab “untuk Manusia Romo, kan agama itu buat diterapkan ke dalam hidup manusia”. Ada juga yang merespon “agama itu harus menyerap ke dalam persoalan profan. Agama itu merupakan narasi dari Tuhan untuk manusia”.

Diskusi berlanjut hingga pukul 10.30, edisi DeJure kali ini memang lebih lama daripada DeJure biasanya, yang akan berakhir secara seremonial antara pukul 7 atau pukul 8 malam. Biasanya dilanjutkan diskusi kecil-kecil.

Apresiasi muncul dalam sesi terakhir sebelum Romo Francis mengakhiri diskusi, “kalian bikin rumah baca begini tentu perjuangan yang baik. Ngak mungkin kan kalian bikin ini satu-dua hari. Saya mendukung perjuangan kalian. Begini ini bagus, kalau nunggu pemerintah akan lama. Saya salut dengan kalian”. 

Sentilun Dari Aksi Diam RBK 25 Januari 2015

Oleh: Lek Malaka

Dalam Aksi Diam yang kami (baca: RBK) lakukan 25 Januari kemarin, sudah kami katakan dalam press release. Dukungan kami tidak tertuju pada KPK, atau POLRI. Kami, hanya membela suatu persoalan klasik yang begitu menggurita hingga saat ini, tiada lain; korupsi. Jadi beberapa pertanyaan pra dan pasca Aksi Diam RBK di nol KM kota Yogyakarta, misalnya; “isu KPK hanya isu elit politik”, “kalian tidak seharusnya ikut-ikutan dengan isu pelemahan KPK” dan “pelemahan KPK hanya pengalihan isu dari sejumlah agenda politik liberal Jokowi”, dan lain sebagainya kami pahami sebagai bentuk perhatian rekan-rekan terhadap kami. tetapi penting untuk kami ceritakan juga terkait aksi malam itu, bahwa isu “dukungan terhadap KPK” yang kami angkat bukanlah satu-satunya isu yang kami angkat.

Di RBK, sudah lumrah berbagai persoalan kami bahas. MP3EI, #JogjaAsat, Pengawasan Politik Lokal, Diskursus Sastra, Apotik Hidup, Gerakan Ekoliterasi, hingga gerakan voluntir 3 jam, teologi pembebasan, pendidikan yang membebaskan, dan banyak lagi perbicangan yang terjadi di RBK, semuanya kami bahas. Sama sekali tidak ada peringai laten di dalam aksi-aksi RBK. Kami hanya sesekali tampil di publik dalam rangka yang sederhana saja, yakni berdialektika dengan realitas kesadaran masyarakat di zaman sosial media. Kami tidak mengkaji isu melulu juga dengan pendekatan substansial, kadang-kadang kami juga pakai pendekatan strukturalisme yang bertolak pada bagaimana isu tidak berkaitan erat dengan maksud hakikat tetapi merupakan ekspresi yang terwujud dari pemaknaan yang berjejaring dengan makna yang lain.

Jadi, ketika orang bicara tentang #SaveKPK, itu bukan berarti KPK sebagai objek utama isu. Kata “KPK” berelasi dengan “harapan publik terhadap simbol perlawanan atas korupsi yang akut”. Aksi Diam yang kami lakukan di malam itu membuktikan hal tersebut. Tukang becak, ibu-ibu penjual baju hingga gudeg, merespon kami yang jalan dengan mengangkat poster-poster mendukung KPK dengan “dukung KPK!”, “bagus-bagus”, “ada poster ‘saya orang ngak jelas’ ngak mas?”. Waktu kami diam di nol KM, seorang perempuan di sepeda motor mengangkat jempol tinggi dan bersunggut “bagus-bagus, lawan!”. Beberapa pengendara memang acuh dengan aksi kami, tetapi banyak yang memberikan jempol.

Aksi Diam kami di malam itu juga memberikan hal yang menarik. Remaja-remaja yang sedang nongkrong di sekitar Benteng Vredeburg berebut ingin meminjam poster-poster dukungan terhadap KPK yang dibuat Mascu dan Indra, dua orang pengurus RBK. Remaja-remaja itu berebut berfoto dengan pose bak seorang demonstran modern, lengkap dengan pose “dua jari-peace”, atau pose-pose remaja “zaman saiki” menurut mbah-mbah”. Aktivis 98 mungkin akan tertawa kalau melihat pose-pose remaja itu.

Abdullah, seorang pengurus RBK yang menjadi kordinator Aksi Diam diwawancarai oleh mahasiswa Malaysia. Komentar mahasiswa Malayasia “gimana anda bikin macam begini?, menurut saya itu bikinan menarik. Apa yang hendak anda sampaikan?”. Abdullah yang diwawancarai malam itu menjelaskan panjang lebar tentang Aksi Diam RBK sebagai bentuk kampanye pegiat literasi terhadap pentingnya menjaga kewarasan di saat kasus-kasus korupsi semakin menggurita.   

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK