Tuesday, August 26, 2014

Kisah Para Pedagang Buku di Facebook

Oleh: Fahd Ahmad Arifan
Pengajar di STAI al-Yasini

Sekian lama berselancar di media sosial Facebook, saya punya banyak teman yang berprofesi sebagai pedagang buku online. Disamping menjadi teman, mereka sangat berjasa kepadaku terutama dalam perburuan referensi yang amat langka di pasaran.  Melalui mereka pula dalam jangka 6 bulan saya bisa melengkapi buku-buku yang berkaitan dengan mata kuliah “Pengantar filsafat”. Buku-buku tersebut amat berguna untuk menunjang pengajaran saya di kampus.

Belanja buku via online punya kelebihan diantaranya: dari sisi kepraktisannya cukup menghemat waktu dan tidak perlu bersusah payah mencari bukunya karena ada sebagian pedagang yang bersedia mencarikan buku-buku yang saya incar. Kekurangannya adalah belanja buku via online di Facebook menganut sistem “siapa cepat dia dapat”, harganya pas alias tidak bisa ditawar seperti membeli di took-toko buku loak. Lalu buku-buku yang tersedia sangat terbatas yakni 1-3 eksemplar. Dengan keterbatasan buku yang dijual membuat seorang pembeli tidak bisa menukar bukunya apabila ada yang kurang jumlah halamannya dan sampul belakangnya robek. Tidak perlu panjang lebar lagi, berikut ini profil singkat dari para pedagang buku online yang menurut penilaian saya kredibel dan bisa dipercaya. 

Andi Anang Firmansyah

Walaupun masih mahasiswa tapi punya jiwa entrepreneur. Buku-buku dagangan pria berdarah bugis ini cukup beraneka macam dari buku sejarah, biografi politik, novel hingga buku-buku berbahasa Inggris. Pernah sekali beli buku berjudul “Minoritas Muslim di Israel”. Harganya murah juga untuk ukuran buku terbitan LIPI. Tempo hari saya melihat Andi mempublish buku langka yang berjudul “SBY antek Yahudi AS?” karangan Dr. Eggi sudjana SH, Ketika akan membeli, saya kalah cepat dari seorang pembeli dari Surabaya.

Blackbird publishing

Blackbird Publishing sejatinya adalah penerbit indie dan juga toko buku online penyedia buku-buku second. Buku yang dijual terdiri dari beragam genre dari agama, Sastra, filsafat, ekonomi syariah, pendidikan, politik hingga buku berbahasa Belanda. Kabar terakhir Blackbird berencana menerbitkan teks bahasa Belanda tentang Sejarah nusantara, tapi dalam edisi terbatas. Baru sekali membeli buku disini yakni buku “Migas dan energi di Indonesia” karangan Widjajono Partowidagdo. Untungnya dapat potongan harga 5 ribu rupiah.

Buku Lawas Menk-Menk

Seperti biasa beli buku lewat Facebook tidak ada diskon alias harga pas. Akan tetapi khusus pedagang yang satu ini, saya minta potongan 5 ribu per buku pun dikasih. Misalnya dulu beli buku “Aku Bangga jadi Anak PKI” dan “Pooh and the Philosopher”, oleh pedagangnya diberi potongan 5 ribu rupiah. Ongkos kirimnya juga murah karena pakai jasa ekspedisi Wahana. Buku-buku bekas yang dipasarkan harganya dikisaran 35 sampai 125 ribu rupiah.

Cahaya Pustaka

Lokasi kios buku pedagang ini di Jl Raya lebo no 30, kota Sidoarjo. Harga buku-buku yang dijual di kisaran Rp 15 hingga 200 ribu. Pedagangnya penyabar banget, buktinya hampir seminggu lebih saya belum transfer uang buat buku-buku filsafat yang kupesan beliaunya sama sekali tidak menegur. Untuk penggemar berat Ko Ping Hoo, bisa membeli di toko Cahaya pustaka. 

Delani bookstore

Kalau berbicara pedagang yang satu ini, sebetulnya saya malu karena sekian lama baru tahu kalau pedagangnya seorang perempuan. Harga buku yang dijual disini pas alias tidak bisa ditawar, tapi kalau minimal pembelian Rp 100 ribu dapat diskon 10 persen. Harga buku-buku yang dijual dari Rp 10 sampai dengan 200 ribu. Bagi penggemar Sherlock holmes, Pedagang yang satu ini bisa jadi tumpuan harapan.

Selain berjualan online, Delani membuka kios di dekat UIN Jakarta, Ciputat. Buku-buku yang saya beli disini kebanyakan buku tentang ilmu Hadits, Filsafat dan juga buku-buku terbitan UIN Jakarta Press. Baru-baru ini, Delani menggelar kuis menebak publik figur di sebuah cover majalah, yang bisa menjawab dengan cepat dan benar akan mendapat hadiah majalah Tempo edisi lama. Tentu saja hadiah kuis tersebut berhasil saya dapatkan.

Dhen Buku

Pedagang buku asal Sidoarjo ini saya dengar mendapat musibah. Rumahnya diterjang banjir rob pada bulan Juni 2014. Akibat banjir itu, sebagian besar buku-buku koleksinya pak Dheny jatmiko tidak terselamatkan alias basah kuyup. Buku-buku dagangannya di kisaran harga 18 ribu sampai dengan 100 ribu rupiah.

Kesan saya pedagang buku ini ramah, pernah dapat potongan harga 3 ribu rupiah dan buku yang saya beli sudah dalam keadaan tersampul plastik. Pada akhir transaksi selalu bilang “Saya tunggu pesanan berikutnya”. Seingat saya pernah beli buku filsafat Cina dan buku karya Aimee darwis PhD. Di sini pula saya punya saingan berat dalam urusan borong buku, siapa lagi kalu bukan akun facebook bernama Hendrotan hendro.

Ikhsan Buku

Berteman sejak akhir bulan Mei di Facebook. Dari beliau saya menemukan salah satu buku langka berjudul “15 dalil Mengapa Soeharto Masuk Neraka” karya Khairil Ghazali. Buku-buku yang ditawarkan kebanyakan buku bekas dengan harga rata-rata 25 hingga Rp 60 ribuan. Buku yang paling mahal harganya Rp 100 ribu terbitan Routledge. Bagi pembaca yang suka buku-buku berbau filsafat, Marxisme dan sejarah bisa membeli ke Ikhsan buku.
Buku-buku yang diupload di Facebook antara 15-25 judul per hari. Sayangnya pedagang ini tidak memilah-milah mana buku yang khusus filsafat, buku sejarah, buku militer, buku sastra, buku agama dan mana buku yang berkategori buku-buku kiri. Dengan cara ini bisa memudahkan pembeli dalam pencarian buku yang diinginkan. Kelebihannya buku yang kita beli sudah dalam keadaan tersampul dengan baik.

Kedai buku Murah

Serupa dengan Ribut wijoto, buku-buku yang diperdagangkan murah meriah. Jika mengacu pada nama Rekening yang disediakan, toko buku online ini dikelola oleh suami istri. Pemiliknya juga kolektor buku, persis pak Nassirun asal Purwokerto, pak Lukman hadi pemilik toko buku "Cahaya pustaka" dan pak Erwin dari Komunitas buku kuno. Kebanyakan yang saya beli disini buku-buku filsafat,  ulumul Quran, dan sufisme. Terakhir masih pesan buku filsafat Mulla sadra dan buku filsafat Arab-Islam karangan Muhammad Abed al-Jabiri. Oh ya, kalau di tempat lain saya punya saingan abadi. Adapun di sini saingan saat berburu buku adalah Ahmad halimy, seorang guru MAN di Sumenep, Madura.

Kujang Press

Tiap beli buku di Kujang press, saya dibebaskan ongkos kirimnya dan boleh minta potongan harga 5 ribu rupiah. Ditambah lagi, buku-buku yang dijual kebanyakan yang saya incar sejak lama. Seperti buku “Paradigma Islam” Kuntowijoyo dan Buku “Sosialisme religius” terbitan Kreasi wacana tahun 2002. Terakhir kali saya membeli 3 buku dibonusi 1 buku tentang Aksi buruh Sarbupri di pabrik karung Delangu. Pedagang seperti inilah yang disukai pembeli.
Lotus

Pedagang buku asal Jogjakarta punya ciri khas menjual buku yang masih bersegel. Kebanyakan yang dipasarkan dari penerbit Ombak, kanisius, Obor dan Pustaka pelajar. Dari Lotus inilah saya memperoleh buku Madilog terbitan Narasi. Harganya pun paling murah dibandingkan kompetitornya. Bagi pembaca yang suka tema-tema sejarah dan filsafat, langsung saja merujuk ke Lotus. Nilai plus pedagang ini, selalu mengingatkan pelanggannya yang lupa kalau dirinya sudah membeli sebuah judul buku yang sama di Lotus. Contohnya saingan saya namanya Hendrotan hendro. Padahal sudah punya buku “Ketika kapitalisme berjingkrak” tapi yang bersangkutan mau membeli lagi di Lotus. Satu lagi, pedagang yang masih studi Pascasarjana di UGM ini bisa dimintai tolong pembeli untuk mencarikan buku-buku yang jarang dijual di pasaran. Misalanya buku karangan alm Prof Darmajati Supadjar.

Mantra books

Buku-buku yang dipasarkan kebanyakan penerbit di Bandung dan Jakarta. Dari sini pula saya memperoleh buku “Pelajaran Agama Islam” dan “Studi Islam” karya buya Hamka. Buku Catatan sang Demonstran edisi lama juga saya peroleh disini. Kalau saya amati lagi, Mantra books juga menjual buku-buku dan jurnal yang berisi tulisannya tokoh Syiah. Saya pikir ini cukup membantu untuk melengkapi koleksi buku-buku berbau Syiah. Bukan berarti kalau saya punya banyak koleksi buku Syiah, saya penganut teologi tersebut.

Buku-buku Syiah yang saya beli cuma sebagai penunjang diskusi saja karena paman saya sendiri adalah penganut Syiah. Tiap beliau silaturahmi ke rumah, beberapa kali membahas isu Syiah terutama masalah insiden di Sampang, Madura. Terakhir kali beli buku di Mantra books itu terkait Sultan Herucakra atau yang lebih popular disebut Pangeran Diponegoro.

Mbah Dimas Jual Buku

Di Facebook, pedagang buku asal sidoarjo ini memakai foto profil dua anak Balita yang sedang baca buku. Pernah saya borong buku-buku berkaitan dengan Kuntowijoyo, Gus dur dan Rene Descartes. Buku-buku bekas yang dijual terdiri dari beraneka macam genre dan harganya pun murah meriah. Misalnya buku Bunga rampai Ekonomi karangan Ayahanda Prabowo subianto. Dijual 40 ribu saja. Padahal buku yang amat langka ini harganya di Kaskus mencapai 200-an ribu rupiah.

Nyangking buku

Foto profil pedagang yang berdomisili di Solo ini menggunakan cover buku "Seks para Pangeran" terbitan Bentang. Pemiliknya yang sedang mengerjakan Skripsi tentang MUI ini suatu saat menjual buku ini. Karena buku ini pula, saya jadi paham kebiasaan Priyayi Jawa di masa kolonial. Wacana-wacana yang bermunculan hanya disekitar urusan seks dan klenik (kitab primbon).  Di sini saya tidak menemui kendala atau saingan berat dalam perburuan buku. Pembaca juga bisa minta potongan harga 2-5 ribu rupiah. 

Rak Buku Langka

Awal bertransaksi beli buku sekitar bulan Agustus 2013, buku yang saya incar adalah “Pledoi Kolonel A. Latief”, tapi saya tidak jadi beli buku ini karena isinya tidak sebagus bukunya John Roosa. Buku-buku yang dijual cukup langka di pasaran dan tentu saja harganya murah meriah. Terakhir saya mendapatkan buku almarhum Qodri azizy dan Disertasi tentang Peran tokoh Islam dalam UU Sisdiknas. Harga buku terakhir seingat saya 65 ribu rupiah. Harganya paling murah dibanding dengan kompetitornya. Hampir lupa, bagi anda yang pecinta majalah “Cahaya sufi”, pedagang buku ini punya koleksi yang cukup banyak.

Ribut Wijoto

Sejak awal 2013 saya menjadi pembeli setia bapak yang kabarnya dilahirkan dari orang tua berideologi PNI. Karena keturunan PNI, maka bisa ditebak kemana pilihan politiknya ketika Pilpres 2014. Saya akui buku-buku yang beliau jual termurah diantara kompetitornya. Dari sinilah saya mendapakan buku-buku langka yang sedari dulu saya incar. Misalnya buku biografi A. Hassan, Buku filsafatnya Sutan takdir Alisjahbana (STA), buku “Bukan di negeri dongeng” karya Helvy Tiana Rossa, bukunya al-Chaidar tentang Kartosuwirjo, buku karangan Prof Roem rowi hingga buku-buku Chinese studies.

Buku paling murah dijual dengan harga Rp 12 ribu dan paling mahal kalau tidak salah Rp 70 Ribu. Adakalanya sebagai pembeli, saya memberanikan diri minta potongan harga Rp 2-3 ribu rupiah, padahal harga yang ditawarkan sudah termurah. Tentu saja sebagai pembeli disini saya dibayang-bayangi seorang Hendrotan hendro. Mungkin duitnya banyak sekali sehingga dia bisa memborong buku apapun.

Sarinah Pangab

Nama facebooknya paling unik diantara yang lain. Penjualnya saya perkirakan orang Batak bila mengacu pada nama rekeningnya. Pertama kali beli di sini seingat saya pada bulan juli 2013, yang saya beli adalah majalah Tempo. Pembelian selanjutnya didominasi buku-buku lawas berbau filsafat jawa dan filsafat agama. Terakhir kali saya beli novel berjudul “Tuhan Tiri”, sebuah novel yang membela dunia prostitusi dan orang-orang yang terdiskriminasi seperti wong cilik yang profesinya sebagai pembantu. Kelebihan Pangab, dia punya barang dagangan yang lengkap khususnya komik silat Indonesia dan komik Marvel. Dijual pula majalah musik dan buku-buku seni rupa. Kecepatan buku yang saya pesan sampai di rumah maksimal 2 hari saja.

Stalinebook

Pedagang buku online ini punya motto, “Paling update se Indonesia”. Buku-buku tentang kemuhammadiyahan yang dipublish cukup lengkap. Meski semuanya sudah “out of stock”. Pengalaman saya beli disini lebih banyak memborong buku-buku berbau filsafat khususnya buku “filsafat Batak” dan filsafat pendidikan Ibnu Maskawih terbitan Belukar. Pernah sekali membeli buku terkait sejarah Golkar. Buku yang cukup tebal itu harganya cuma 40 ribu rupiah. Stalinebook juga memiliki website www.stalinebook.com, disertai nomer kontak yang bisa dihubungi pembelinya.   

Toko Buku Multatuli

Dari namanya bisa ditebak pedagang buku yang berdomisili di Yogjakarta ini pengagum Multatuli atau Eduard Douwes Dekker. Foto profil Facebooknya saja pakai gambar Multatuli. Di sini saya peroleh buku-buku karangan buya Hamka dan buku Nawangsari karya Prof Darmajati Supadjar. Pernah memesan buku “Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia” karangan Adolf Hueken SJ, namun saya batalkan karena harganya cukup mahal. Di Toko buku Multatuli cukup lengkap menyediakan buku-buku Tan malaka, Pramoedya, Muh Yamin, Kuntowijoyo hingga buku karangan WS. Rendra.

Demikianlah kisah para pedagang buku di Facebook, selain mereka masih banyak lagi pedagang buku terpercaya yang belum saya ulas profilnya seperti Trisna buku, Zakeus, toko buku Zeit dan Pojok Cerpen. Dalam berjualan buku via online, kuncinya di aspek transparansi dan kelengkapan sinopsis buku yang akan dijual, sehingga para pembeli tidak akan ragu-ragu dalam memborong buku. Jangan lupa sedekah, supaya rezeki makin lancar saat berwirausaha di dunia perbukuan. Wallahu’allam bishowwab.

Sumber: http://indonesiana.tempo.co/read/20971/2014/08/21/filepenting.1/kisah-para-pedagang-buku-di-facebook


Sunday, August 10, 2014

Kesadaran; "Proses Kreatif “Tanah Tabu”

berikut ini adalah catatan Anindita Siswanto Thayf, penulis Novel asal Jogjakarta, terhadap salah-satu karyanya "Tanah Tabu" yang memenangi sayembara menulis novel pada DKJ Tahun 2008.  
_______________________________________________________
Oleh: Anindita Siswanto Thayf

“Suatu hari saya membaca sebuah realitas, seketika hidup saya pun berubah…”

Dalam novelnya The New Life, Orhan Pamuk mengisahkan seorang pemuda bernama Osman yang begitu terpengaruh dan terobsesi dengan sebuah buku yang dibacanya. Tak hanya merampas hari-harinya, pemuda itu justru sengaja menjerumuskan diri ke dalam pencarian-pencarian makna rahasia dari buku tersebut, yang ternyata semakin menjauhkannya dari “kehidupan normal” sebagai seorang mahasiswa.

Hampir mirip kisah Osman, saya pun pernah merasakan hal sama. Bagaimana sebuah realitas yang saya temukan tanpa sengaja lewat sejumlah tulisan di internet—dari sumber berbeda tapi memaparkan kisah yang serupa—begitu memengaruhi saya. Membangkitkan sebentuk kesadaran yang selama ini, sepertinya, hanya tidur-tidur ayam dalam diri saya. Hingga terjagalah saya. Mulai kasak-kusuk sendiri karena merasa “cukup terganggu”; mengapa saya baru tahu sekarang? Kemarin-kemarin saya ke mana saja? Dulu-dulu mata saya hanya digunakan untuk “melihat” apa saja? Kok bisa-bisanya saya lupa bahwa hidup tak hanya melulu diisi warna cerah yang menyenangkan hati, tetapi warna suram yang menyimpan rahasia pun pasti ada. Sejak itu, niat saya yang semula ingin mengumpulkan bahan untuk menulis sebuah buku non fiksi untuk anak-anak tentang keindahan panorama alam di Pulau Kepala Burung, Papua, sontak berubah haluan.

Untuk apa menulis tentang keindahan jika di sebelahnya ada penderitaan yang lebih nyata dan sangat membutuhkan perhatian? Bukankah sudah banyak buku/artikel yang membahas tentang keindahan tersebut—bahkan telah diterjemahkan entah dalam berapa bahasa asing, pada buku panduan wisata atau katalog tempat wisata, lengkap dengan foto beresolusi tinggi dari seorang lelaki tua berkoteka—sebaliknya buku/tulisan yang menyinggung nasib rakyat di pulau itu yang begitu menderita dan tersisih di negara sendiri justru diwanti-wanti penerbitannya (padahal jumlahnya pun sedikit). Apa pula gunanya mengabadikan keindahan pulau itu dalam bentuk buku (tulisan)—yang jika kelak diterima penerbit dan diterbitkan, maka saya pun akan mendapat keuntungan materi dari hal tersebut—sementara mereka yang tinggal di tempat itu malah tidak bisa menikmati keindahan tanahnya sendiri karena terlalu diberati beban hidup yang tak habis-habis?

Sebenarnya, pada titik ini, semula saya ingin pura-pura “buta” saja. Pura-pura menyesal karena telah mendapat informasi yang bertentangan dari yang saya butuhkan. Pura-pura telah salah baca bahwa telah terjadi “ketidakadilan yang merata” di negara yang seharusnya “berkeadilan merata” ini. Tapi apa boleh buat, saya tidak bisa. Benar-benar tidak bisa! Realitas itu ada di mana-mana. Tertulis di buku, jurnal, koran, situs internet, bahkan blog pribadi. Semakin saya hindari, semakin menari-nari dalam kepala ini. Semakin tak digubris, semakin membuat diri serasa pengecut. Pemerkosa kebenaran karena lebih memilih diam. Benarkah saya seperti itu?

***
Butuh keberanian untuk meruntuhkan dogma “Diam adalah Emas”. Bohong jika saya berkata tidak ada palang rintang yang harus saya lewati sebelum kemudian memantapkan hati menulis tentang nasib rakyat tanah Papua dalam bentuk novel. Maksud saya, hey, bisakah novel serius model begituan diterima penerbit? Sebagai seseorang yang bernapas, makan, dan minum dari menjual tulisan (tidak ada pekerjaan lain, selain mengurus rumah tangga), bisakah saya menggantung harapan atas seikat sayur bayam dan sepotong tempe dari novel itu nantinya?—sungguh, waktu itu belum ada niat untuk mengikutkannya dalam lomba, apalagi Sayembara DKJ, karena berdasarkan hasil survey saya, novel pemenang DKJ selama beberapa tahun terakhir tidak ada yang seperti novel yang akan saya tulis (dan saya pernah memaksakan diri mengikutkan novel karya saya yang “lain sendiri” namun hasilnya: kalah!). Dan Papua, tahu apa saya tentang pulau yang belum pernah sekali pun saya kunjungi itu? Bagaimana dan dimana mencari bahan tulisan tentangnya?

Sungguh beruntung saya lahir di abad yang begitu modern sekarang ini. Kalau semisal saya lahir sezaman dengan Pramoedya Ananta Toer, tentu saya harus bolak-balik keperpustakaan untuk meminjam buku berbecak-becak, kemudian sampai di rumah diketik ulang buku-buku itu sebagai bahan tulisan—dan mungkin pula saya tidak mempunyai ketekunan seulet itu. Abad ini memudahkan saya melakukan ini-itu tanpa harus mengeluarkan biaya yang bisa membuat saya dan suami bangkrut mendadak. Melintasi sulitnya melakukan penelitian secara langsung, dari mulut orang pertama—karena saya terbentur besarnya biaya untuk melakukan perjalanan ke Papua—saya pun memilih melakukannya melalui tulisan.

Anak-anak pun tahu kalau buku adalah jendela dunia. Namun bagi saya, tak hanya sebatas buku, semua bentuk tulisan, apapun isi dan maksudnya, adalah jendela serba guna. Lewat jendela itu saya bisa mengintip kehidupan di sebuah tanah yang belum pernah saya jejaki, mencoba merasakan penderitaan penghuninya, dan menguping keinginan terpendam mereka—dalam hal ini, saya pikir menguping adalah kegiatan positif. Lewat jendela yang sama pula saya tersadarkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi mereka: membuat satu jendela baru yang semoga berguna bagi siapapun yang membacanya. Hingga terbangkitkanlah sadar mereka, seperti sadar saya dahulu. Sebuah kesadaran yang sangat penting, saya rasa, mengingat masih adanya pandangan negatif dari segelintir orang yang menganggap mereka berbeda (secara fisik, budaya, dan gaya hidup).

Satu kenyataan pahit yang sempat membuat saya tersentak kaget dan miris, ketika menemukan betapa tidak mudahnya orang Papua mencari rumah kontrakan atau kos di Jogja, yang sesuai keinginan mereka, karena para pemilik kontrak dan kos-kosan (juga sebagian besar tetangga) merasa mereka adalah sejenis tetangga yang suka bikin ribut (baca: suka memasang musik keras-keras, berbicara keras-keras, dan bertengkar keras-keras). Sebuah sikap yang membuat saya semakin bersemangat mengais-ngais kisah tentang tanah leluhur mereka: Papua.
***
Tanah Tabu adalah judul yang saya pilih untuk novel saya karena beranggapan bahwa setiap tanah yang merupakan warisan leluhur pastilah ditabukan oleh turunannya yang berbakti. Ditabukan dalam arti dipergunakan sesuai manfaat dan kebutuhan, serta dijaga kelestariannya.

Dengan hanya berbekal riset pustaka[3] dari berbagai jenis tulisan, entah dalam bentuk buku dan jurnal di perpustakaan, atau artikel-artikel koran setempat, situs LSM lokal, bahkan blog komunitas dan pribadi selama dua tahun, saya pun mulai menyusun informasi. Dengan teliti, saya mencoba mengenali sumber permasalahan rakyat tanah Papua dan menyusun kembali adegan kehidupan imajinatif yang harus mereka jalani dalam kepala saya berdasarkan semua sumber pustaka itu. Dan untuk membantu visualisasi, saya mencari potongan film dokumenter yang menggambarkan keadaan masyarakat Papua di internet (biasanya milik sebuah LSM lokal atau yayasan sosial asing), dan semakin rajin mengamati berita di televisi. Beruntungnya, latar belakang saya yang lahir dan besar di Makassar, Sulawesi Selatan, dan berasal dari keluarga bermacam suku (salah satu saudara nenek saya menikah dengan orang Papua dan tinggal di sana) membuat saya dengan mudah memelajari dan memahami aksen/logat bahasa Indonesia-Papua, yang sedikit banyak telah dipengaruhi aksen/logat para pendatang dari Sulawesi, khususnya Bugis-Makassar. Hingga akhirnya tibalah waktu untuk menulis.

Ada begitu banyak penulis yang memengaruhi saya dalam berkarya. Saya telah membaca lebih dari satu kali Anna Karenina-nya Leo Tolstoi (novel ini bagi saya sangat luar biasa dalam pengarapan tokoh-tokohnya sehingga seolah-olah tokoh-tokoh itu punya daging dan nyawa seperti kita), Ibunda-nya Maxim Gorki (walaupun saya tidak begitu suka kalimat-kalimat Gorki yang mengiris ciri khas realisme sosialis, tapi saya memuji semangat dan kejujuran Gorki dalam berkisah), The Famished Road-nya Ben Okri ( ini novel favorit saya. Sudah saya membaca sebanyak enam kali novel ini dan tak pernah bosan), The Name Shake-nya Jhumpa Lahiri, dan My Name is Red-nya Orhan Pamuk (bagi saya Pamuk memang jago mendongeng tentang runtuh-bangunnya peradaban). Dengan penuh ketakjuban, saya juga membaca kisah Minke-nya Pramoedya Ananta Toer (dalam tetralogi Buru), kisah keturunan Jose Arcadio Buendia-nya Gabriel Garcia Marquez (dalam Seratus Tahun Kesunyian), dan keajaiban hidup Jean Valjean-nya Victor Hugo (dalam Les Miserables). Pun, saya tak pernah bosan mengikuti setiap petualangan kata Ernest Miller Hemingway dengan Lelaki Tua dan Laut, dan Salju Kilimanjaro-nya, Seno Gumira Adjidarma dengan tokoh Sukab-nya, dan Naguib Mahfouz dengan Kisah Seribu Satu Malam-nya (walaupun Mahfoudz lahir di Mesir, dalam karya-karyanya saya tak pernah mendapatkan dia berdakwah tentang agamanya). Guna memperkaya kosa kata saya juga membaca puluhan buku kumpulan puisi dan tentu saja kamus bahasa. Namun yang terjadi kemudian, ketika tiba saatnya jemari ini mulai mengetikkan huruf demi huruf, maka yang terjadi adalah saya menulis sesuai keinginan saya. Dengan gaya bahasa yang sesuai dengan irama yang dimainkan kepala saya. Menggunakan kosakata yang pernah saya dengar dan baca entah dimana. Mengeluarkan semua pengetahuan saya tentang pulau yang jauh di ujung timur itu: Papua. Dan hasilnya, setelah melewati enam bulan masa penulisan, novel tersebut rampunglah. Novel ala saya. Tanah Tabu. Bisa dibilang novel ini mengikuti irama realisme magis ala saya. Dan, nantinya kalau ada orang membaca novel ini dan ingin mencari-cari pahlawan di dalamnya, maka orang itu akan kecewa, karena tidak ada pahlawan dalam Tanah Tabu. Atau kalau ada yang ingin menemukan kisah percintaan, romantisme, perselingkuhan, seks dengan segala variasinya, ataupun kutipan-kutipan dari ayat-ayat suci, maka ia pun akan kecewa, karena di dalam Tanah Tabu hanya ada seorang bocah kecil, seekor anjing dan babi!

Novel Tanah Tabu adalah suara individu saya, sebagai penulis, yang merasa terpanggil untuk memotret sekeping kebenaran yang terjadi tak jauh dari kita, tapi tersamarkan. Terlepas dari kita yang terlalu acuh, atau realitas yang terlalu kejam, saya sangat berharap novel saya tersebut dapat menjadi sebuah jendela yang akan menghubungkan kita dengan kebenaran di luar sana, dengan manusia-manusia yang terpinggirkan, dengan masalah-masalah yang sengaja ingin dilupa.

Akhir kata, saya ingin mengutip kata Pramoedya Ananta Toer:

“Pengarang itu korps avant garde, bukan penghibur… tugasnya melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya.”

Sepenggal kalimat tersebut terasa sangat hebat bagi saya yang masih pemula ini. Karenanya, saya coba menjadikannya pedoman dan pemicu semangat. Mencoba menulis tanpa kenal takut. Mencoba menulis atas nama kebenaran. Mampukah saya? Entahlah. Semoga saja.


*Lereng Merapi, Jogjakarta, jelang 2009

tulisan bersumber dari salah-satu komentar yang Anindita tulis sendiri untuk merespon tulisan di : http://jalansetapak.wordpress.com/2008/12/15/hanya-satu-juara-tanah-tabu/ 

Tuesday, August 5, 2014

Mudik; "Puisi Tadi Malam"

Oleh: Iqra Garda Nusantara

Estafet zaman yang tak tentu
Mengadu kepada Tuhan tak selalu ditempuh
kerana rasio telah menjadi senjata ampuh
untuk menangguhkan kekerdilan manusia
Lihatlah mesin menderu deru tumpah ruah di lintasan waktu,
menempuh jarak entah
dengan kepongahannya.
Jati diri mesin telah menjadi harga status manusia
Lihat, orang bergelantungan di rimba waktu
menyalurkan hasrat terberat: ingin disunting kegilaan dalam arus ketimpangan
Bulan sabit menggurat langit, pertanda musim mudik telah sempurna
anai anai jasad manusia kembali tertiup angin beliung nestapa waktu.
kemana jasad jasad itu akan berlabuh? duh, sankan paraning dumadi.
Seonggok daging dan tulang dalam gembala keangkuhan tiada terperi,
mudiklah menuju jalan jalan sunyi yang dirahmati, jalan yang dibalut dengan cinta dan keabadaian, yang dijauhkan dari keangkaramurkaaan. Al Fatihah.
hutan Ngawi, di dalam mesin waktu, 2 Agustus 2014.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK