Showing posts with label pelarangan buku. Show all posts
Showing posts with label pelarangan buku. Show all posts

Saturday, June 11, 2016

Hati-hati dengan Buku, Kawan!



David Efendi
FB: David Efendi I @kejarlahmimpi I WA:081357180841

Tulisan ini diniatkan untuk berbagi dengan teman-teman pegiat komunitas Banggai Membaca yang merupakan penggerak literasi yang dimotori oleh teman-teman mahasiswa asal kebupaten Banggai yang sedang belajar di Yogyakarta. Saya menyambut gembira diskusi yang dilaksanakan menjelang berbuka puasa di asramah putra mahasiswa Banggai yang letaknya tak jauh dari rumah saya di daerah Krapyak, Bantul. Saya sering melewati padepokan orang-orang panting pewaris republik ini kelak. Kali ini saya ingin berbagi sekilas biorgrafi saya sebagai pembaca dan apa yang telah berhasil aku rebut dari peristiwa membaca, menyisikan waktu untuk membaca dari pada bekerja mencari uang, atau menggeser keinginan membeli baju untuk sebuah buku.


Awal mula saya membaca buku pelajaran yang sama sekali tidak menarik perhatian saya selain terror keseharian jika saya tidak selesai mengerjakan tugas-tugas isian yang ada di dalam buku pelajaran sekolah di saat menempuh sekolah dasar di salah satu desa di tepian bengawan solo, Lamongan. Karenanya, saya sangatlah membenci kegiatan di bangku sekolah dan lebih sering melarikan diri ke sawah, mencari belalang atau ikan, atau sekedar berenang di sepanjang sungai yang bermuara ke bibir bengawan solo. Sungai raksasa ini yang menghidupi kami semua, bukan negara atau industri lainnya.  Sampai kelas 5 SD saya baru mengenal ada majalah asik dibaca yang taka da terror di dalamnya. Majalah itu namanya majalah kuntum yang sampai hari ini terbit di Yogyakarta. Pertama yang mengenalkan majalah ini adalah mahasiswa yang sedang belajar di Yogyakarta dan Surabaya yang sering membawa majalah ini. Malam jumat, saya membaca majalah ini. Ada puisi, ada tebak-tebakan mang kunteng, juga ada banyak bahan untuk berpidato.

Sejak itu saya tahu, ada dunia perbukuan lebih baik ketimbang buku-buku di perpustakaan sekolah yang gelap dan bocor jika musim hujan. Perpustakaan itu lebih dekat dengan gudang dari pada tempat membaca buku. Itu kesan pertamaku tentang mahkluk bernama ‘perpustakaan’ atau ‘library’ yang konon hari ini dikenak sebagai rumah pengetahuan, atau jendela dunia.

Karya sastra dan karya penelitian juga menjadi penting untuk mendorong peradaban bergerak maju dan tidak ditengelamkan oleh banalitas modernism yang kadang tidak pandang bulu untuk merusak sebuah perdaban mulia. Daya saing literasi suatu bangsalah yang akan menjamin apakah bangsa ini akan menjadi bangsa yang progresif atau bangsa yang gagal. Pesan Malala Yousafjai, seorang penerima nobel perdamaian asal Pakistan, sangatlah kuat yaitu : one child, one pen, one book, and one teacher can change the world” (satu anak, satu bullpen, satu buku dan satu guru dapat mengubah dunia.” Optimism jenis ini perlu kita wujudkan kebenarannya dengan cara kita sendiri-sendiri dengan kekuatan yang ada pada kita. Prinsip penting pegiat literasi adalah berdiri di atas kaki sendiri—tidak disibukkan mengharap uluran tangan dari sesuatu yang kita tidak miliki .

Saya kira obor literasi bangsa kita telah dinyalakan  di berbagai penjuru tanah air seperti teman-teman literasi jalanan di Ternate, rumah belajar, perahu pustaka, akademos, urban campus literacy, peprustakaan bergerak di Indonesia bagian timur dengan segenap manusia-manusia unik yang berda di dalamnya. Di Sumatra, kita lihat vespa pustaka di Bangka selatan yang digerakakn seorang sarjana muda baru pulang dari Yogyakarta. Di JOgja ada beragam komunitas literasi yang “tak biasa” seperti rumah baca komunitas, podjok batcja, Indonesia boekoe, dll yang mana aktifisme literasi ini pasti dipicu oleh keyakinan manusianya bahwa buku dapat membangun kesadaran keloektif, bahwa buku-buku dapat menggerakkan perubahan.

Buku mengubahku!

Dari beragam ulasan sejatinya saya juga tidak bisa menyangkal betapa banyak manfaat membaca buku. Saya termasuk yang berkeyakinan dengan tanpa keraguan bahwa pekerja literasi, pecinta buku, pembaca buku adalah pekerjaan yang tak pernah sia-sia. Ini haruslah menjadi kekuatan mendasar bagi insan pekerja literasi. Kita bisa berkaca, taka da bangsa menjadi raksasa tanpa tradisi literasi yang kuat. Daya saing sebuah bangsa selain capaian ekonomi dan tekhnologinya, hal mendasar yang bisa dilihat adalah tradisi keilmuwan—yang sedikit banyak disimbolkan dari keberadaan pusat altar pengetahuan yaitu perpustakaan umum-nya.

Dari banyak studi yang dilakukan universitas ternama di dunia, ada beberapa list mengapa membaca itu menjadi bermanfaat antara lain adalah membaca dapat meningkatkan kapasitas intelektual, kemampuan orasi/verbal, mengurangsi stress, membangun imajinasi, meningkatkan empati, juga mengatrol kecerdasan. Saya merasakan temuan ini tidak ada yang keliru dan personally saya merasakan ada banyak kebaikan yang tak ternilai dari kebiasaan membaca, mendiskusikan bacaan, dan menguoayakan menuliskan apa yang kit abaca untuk dibagi dengan pembaca lain. Ini mungkin peluang zakat pengetahuan yang akan langgeng sampai hari kiamat kelak.

Beberapa buku yang sangat mempengaruhi hidup saya adalah tetralogi Pramudya Ananta Tour dan juga beberapa buku karya Pramudya lainnya yang sangat penting dalam hidup saya. Buku-buku yang mengajarkan kita percaya pada kekuatan sendiri, buku yang mengajarkan menolak tunduk dalam keterbatasan, …dan tentu saja tulisan pram merangsang saya untuk menuliskan sesuatu baik memasukkan gagasannya dalam artikel atau menancapkan kalimat bebas seperti puisi untuk membangun kekuatan jiwa dan berbagi kepada teman-teman. Ada juga buku-buku seputar ideology pendidikan Paulo friere juga sangat mempengaruhi cara pandang saya tentang dunia pendidikan sampai hari ini.

Membaca dan menulis nyaris tak dapat dipisahkan untuk memperoleh kekuatan maksimal maka kedua aktifitas ini menjadi penting diberdayakan, dikolaborasikan. Membaca dan menulis ini juga sekaligus menjadi fondasi dari tradisi riset. Untuk menjadi peneliti yang handal, tentu perlu memperkuat tradisi membaca dan menulis sejak dini.  

Hati hati dengan buku, Kawan

Mengapa harus hati-hati dengan buku? Ada tiga alasan penting mengapa mengasuh buku menjadi sangat berbahaya bagi kehidupan kita. Bahaya itu bisa multitafsir karena seringkali apa yang kita lakukan adalah kebaikan sosial dan keshalehan individual terkait bacaan yang kita Imani, kita anggap sementara sebagai pengetahuan bermakna. Tapi, kadang tidak bagi Negara atau bagi kelompok ‘terbebani dosa sejarah’.

Pertama, buku buku mengajarkan kebebasan. Sangat jelas kekuatan buku ini dirasakan oleh manusia-manusia hebat yang pernah melakoni hidup bersama buku. Muhammad Hatta yang merupakan pendiri bangsa ini pernah mengutarakan bahwa “aku rela dipenjarah asal bersama buku karena dengan buku aku bebas.” Makna buku yang membebaskan berkait dengan imajinasi yang tumbuh subur dari kegiatan membaca serta kebebasan universal yang melekat dari insan-insan yang mampu membebaskan dari nafsu enak sendiri. Apa yang dimaknai kebebasan bukan hanya sekedar lepas dari jeruji besi namun ada dimensi kebebasan yang bisa dilahirkan dari resiko-resiko pilihan hidup.

Kedua, buku-buku sangat kuat mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran. Embaca buku itu belajar jujur dan tidak puas dengan kebenaran yang sekilas didapatkan sehingga membaca atau proses belajar pada umumnya adalah never ending process atau unfinished learning. Makanya, sebagai pembaca yang ‘matang’ tidak gampang menghakimi pendapat orang atau mematikan inisiatif pembaca lain atau orang lain. Salah satu contoh, pembaca buku kiri sangat ‘tidak terima’ jika buku buku yang disukainya disita negara—karena mereka sedang menghayati manfaat buku tersebut dan belum puas dengan satu sisi sejarah yang dipaksakan oleh dominasi kekuatan tertentu (state terrorism atau power abuse). Hal ini sangatlah berbahaya di tengah sengketa sejarah bangsa yang tak kunjung usai. Jalan ini juga pernah ditempuh oleh Masyraakat Literasi Yogyakarta yang mengirim maklumat kepada publik belum lama ini, juga pegiat Rumah Baca Komunitas yang menyelenggarakan festival dilarang melarang untuk menyuarakan protes pada kebiadaban rezim penghancur buku.


Terakhir, buku-buku mengajarkan kita agar berpihak. Semakin banyak membaca semakin kuat kebeprihakan pada nilia-nilai yang ia yakini dan juga menjadi kompas untuk mengantarkan pegiat/pembaca pada jenjang-jenjang kearifan dimana kepentingan orang banyak menjadi utama dan juga kekuatan-kekuatan baru untuk berpihak pada kedaulatan lingkungan dan menghadang banalitas kekuasaan (rezim pembangunanisme). Jadi, membaca dan memilih buku bukanlah pekerjaan tanpa resiko. Bukan sekedar menyalurkan hasrat kepuasan pribadi tetapi pilihan untuk berada dipihak yang mana kita ada. Maka, hati hati dengan buku, Kawan!.

Tuesday, May 17, 2016

Marhaban ya Sweeping Buku

Oleh Muhidin M. Dahlan*

DAMPAK dari Pengadilan Rakyat Internasional atau International People's Tribunal untuk korban pembantaian masal 1965 di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 melahirkan sebuah simposium terpenting sejak Orde Harto tumbang. Simposium tragedi 1965 di Jakarta pada 18-19 April lalu itu tak hanya menunjukkan respons positif pemerintahan Jokowi atas pelanggaran berat HAM masa lalu, tapi juga menjadi panggung untuk melihat bagaimana elite politik dan para jenderal berpikir dan berkata-kata.

Salah satu kutipan paling penting dalam 18 tahun reformasi berjalan saya kira yang diucapkan jenderal berdarah panas yang juga menjabat menteri pertahanan, Ryamizard Ryacudu: "Pancasila adalah ciptaan Tuhan". Konteks ucapan itu ada¬lah semua takfiri Pancasila mesti menyingkir sejauh-jauhnya jika ingin berhadapan dengan laskar dan jenderal-jenderal titisan Tuhan. Setelah itu, meledaklah di media sosial agitasi gerakan sapu bersih. Salah satunya isu sweeping buku.

Saat diskusi buku Ideologi Saya Adalah Pramis di pergelaran Jogja Itoe Boekoe pada pekan pertama Mei di UIN Sunan Kalijaga, Cak Udin (santri lapak buku murah) menceritakan pengalamannya yang tak tersebar luas ke media massa. Saat membuka lapak bertajuk "Buku Murah" di Gresik dan Pare, Kediri, Jawa Timur, semua buku kiri yang dijualnya dengan modal pas-pasan disikat dan diambil begitu saja oleh aparat yang katanya sudah mendapat mandat dari "atasan".

Cak Udin yang notabene santri itu hanya bisa masygul. "Mending mbayar. Ngambil gitu saja. Itu pakai modal (maaf, Red), cuk!" katanya. Dia seakan tak percaya, sweeping buku secara semena-mena tetap dilakukan bahkan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut Undang-Undang (UU) Pelarangan Buku pada 13 Oktober 2010. Pencabutan UU itu menandaskan bahwa perkara pelarangan buku diselesaikan lewat pengadilan dan bukan kesewenang-wenangan di lapangan.

Namun, ini soal penyakit yang kambuh. Semulia-mulianya UU tak bisa mematahkan penyakit kambuhan bernama paranoia terhadap bacaan. Mei ini pekerja buku di Jogja sedang dilanda waswas munculnya seruan teror sweeping buku kiri yang bahkan menunjuk langsung nama-nama penerbit yang bakal disikat.

Masih terlalu segar diingat bagaimana nyaris sepanjang bulan Mei, 15 tahun yang lalu, Jakarta dan Jogjakarta dikagetkan dengan praktik perampasan buku yang masif. Diawali dengan patroli Aliansi Anti Komunis (AAK) yang mengumpulkan dan membakar buku-buku kiri, antara lain Pikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno, tetralogi Pulau Buru dan Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, Hubungan Soeharto dan Kup Untung karya Wertheim, Bayang-Bayang PKI (Stanley, ed), Lenin: Pikiran, Tindakan, dan Ucapan karya Edy Haryadi cs, dan Dari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka. Buku-buku Mao, Lenin, dan Che Guevara juga turut disapu.
Lantaran terlalu bersemangatnya, di Jogjakarta, misalnya, buku yang menampilkan tokoh berjanggut lebat juga diembat. "Karya Yusuf Qardhawi saja dirampas laskar-laskar itu hanya karena janggutnya dan tak mengetahui isinya sama sekali," kata penulis Eko Prasetyo suatu ketika.

Mereka tidak hanya berbaris di antara rak-rak di toko buku, tapi juga menyerbu kos dan kontrakan mahasiswa di kawasan Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Buku kiri tersebut dikumpulkan dan langsung dibakar di depan mahasiswa. 

Aliansi yang terdiri atas 33 organisasi massa tersebut bisa seberani itu karena ada lampu hijau dari serdadu loreng dan cokelat. Bahkan, mereka ingin pula membongkar Tugu Tani di Jakarta Pusat karena itulah simbol komunis yang tersisa di jantung ibu kota dengan sebutan angkatan ke-5.

Orang-orang buku repot betul dengan peristiwa 15 tahun silam di bulan Mei itu. Tokoh-tokoh cendekia berhimpun dan menyatakan pendapat. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) yang membawahkan 325 penerbit buku se-Indonesia bersama asosiasi perbukuan bahkan mendatangi Kapolri, Kejaksaan Agung, dan DPR. Organ Gabungan Toko Buku Indonesia juga angkat suara.

Segala kerepotan 15 tahun silam itu tampaknya diulangi dengan setepat-tepatnya, sepandir-pandirnya. Internet yang me¬nawarkan keterbukaan informasi dan keluasan bacaan tanpa batas sepertinya sama sekali tak punya bekas apa-apa untuk mempertahankan akal sehat dan menahan diri melakukan perbuatan banal.

Jenderal-jenderal kita saat ini di kepolisian dan ketentaraan melakukan reaksi balik atas tuntutan pengungkapan HAM berat masa silam dengan cara-cara purba. Tindakan yang kita saksikan akhir-akhir ini dengan memakai kerumunan tangan sipil jauh dari impi-impi ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Wirahadikusumah berjibaku melakukan reformasi di tubuh TNI pasca '98.

Antara peristiwa 1965 yang "dijual" kelewat bersemangat oleh pemerintah Indonesia di Frankfurt Book Fair setahun silam rupanya tak menyentuh sama sekali pada nalar jenderal-jenderal berdarah panas dalam negeri. Pada akhirnya, mari ucapkan (lagi): marhaban ya sweeping buku!

*) Pendiri @warungarsip Jogjakarta
dimuat di opini JawaPos, 12/5/2016

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK