Thursday, April 30, 2015

RBK Goes Wild

Oleh: Unggul Sujati Prakoso
Pegiat RBK, Mahasiswa Farmasi

Kali ini merupakan edisi 17/4/2015 ekoliterasi yang melaporlkan cuilan catatan perjalanan di taman nasional Bantimurung Bawakraeng.

Asri nan sejuk itulah gambaran mengenai taman nasional bantimurung bawaraeng (TNBB) yang ada di sulawesi selatan. Ini merupakan kali pertama bagi saya mengunjungi tempat ini yang juga sekaligus sebagai tempat penangkaran dan konservasi berbagai jenis kupu - kupu. Taman nasinal ini berada di kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Perjalanan ke TNBB memakan waktu lebih kurang 2 jam dari kota makassar.

Perjalanan dari kota makassar menuju TNBB menyuguhkan pemandangan alam yang indah khas pedesaan di sulawesi selatan yang mayoritas peduduknya berasal dari suku bugis. Begitu keluar dari kota makassar, yang terlihat di kanan dan kiri jalan adalah sawah yang menguning karena bertepatan dengan musim panen padi. Selain itu terdapat panoraman lain berupa gunung gunung kapur yang menjulang tinggi dan terdapat aktivitas penambangan batu kapur sebagai bahan baku pembuatan semen sehingga akan terlihat pada salah satu bagian pengunungan kapur akan seperti bagian yang "krowak". Terlihatnya bagian pegunungan kapur juga sebagai penanda bahwa perjalanan hampir sampai ke TNBB.
Begitu tiba di kawasan TNBB, pengunjung akan disambut oleh sebuah gapura besar bertuliskan Taman Baca Mata Aksara Nasional Bantimurung berbentuk setengah lingkaran yang menjulang tinggi. Selain itu ada juga sebuah patung besar berbentuk kera berwarna cokelat dan dikanan serta kiri jalan terdapat hamparan rumput yang tidak begitu luas yang menjadi ladang pangan untuk sapi sapi penduduk sekitar sehingga menambah keasrian kawasan ini. 

Setelah sampai di tempat parkir kendaraan pengunjung akan di sambut kembali dengan kios kios penduduk yang menjajakan aneka suvernir khas TNBB berupa kupu kupu yang telah diawetkan dalam berbagai bentuk hiasan. Bagi saya yang lama tinggal di yogyakarta, kawasan TNBB seperti tidak asing karena hampir hampir mirip dengan kawasan wisata air terjun yang ada dikaliurang dan bukit bukit kapur yang ada di gunung kidul. Namun yang penataan kawasan yang baik menjadikan taman nasional ini menjadi lebih asri dan sejuk.
Didalam area TNBB juga terdapat sebuah museum kupu kupu tempat pameran jenis kupu kupu yang ada di kawansan taman nasional. Namun ketika saya tiba disana sayangnya musem belum dibuka karena masih dalam proses pembangunan. Suasana menjadi semakin asri dan alami dengan adanya aliran air yang di alirkan pada saluran di sebelah kanan dan kiri jalur pengunjung yang berasal dari air terjun yang ada di kawasan ini. Derasnya air terjun bahkan terdengar begitu memasuki pintu masuk kawasan ini sehingga menambahkan kesejukan udara tnbb.

Air terjun yang berasal dari sungai bantimurung ini begitu deras terasa karena masih berada pada musim penghujan. Sungai yang berada di atas air terjun terbentang panjang hingga masuk cukup dalam kedalam hutan di tnbb. Penelusuruan sungai bantimurung dengan melewati hutan, pengunjung akan di suguhkan oleh suasana yg cukup lembab dan dingin karena lebatnya pepohonan yg tumbuh. Jalur penelusuran hutan cukup tertata dengan baik karena telah tersedia jalan setapak yang telah dikeraskan. Selagi berjalan di tengah hutan, suara yang berasal dari satwa yang hidup di kawasan ini sangat menghibur dan indah ketika mendengarnya.
Diujung jalan setapak, terdapat sebuah goa yang merupakan tempat yang biasa digunakan oleh bawakraeng bantimurung seorang raja dari kerajaan goa tallo untuk merenung dan menyendiri. Pengunjung dapat menggunakan jasa pemandu dari masyarakan yang tinggal di sekitar kawasan tnbb. Pemandu yang akan menjelaskan secara detail sejarah dari goa tersebut mulai dari tempat dimana lambang kerajaan goa tallo diambil hingga tempat sang raja duduk bersemedi dan bersembahyang. Namun yang sangat disayangkan adalah banyaknya coretan tangan tangan yang tak bertanggung jawab sehingga mengotori keasrian gua ini.
Bagi penulis yang baru pertama berkunjung ketempat ini, keindahan dan asrian tnbb membuat ingin berkunjung kembali suatu saat nanti dan menikmati suasana alam khas pedesaan di sulawesi selatan yang hijau nan menentramkan hati bagi siapa saja yang berkunjung kemari walaupun aktivitas industri penambangan gunung kapur sedikit mengusik keindahan alam dan kurang terawatnya beberapa fasilitas umum yang tersedia disini seperti taman yang mulai di tumbuhi rumput liar, gedung pertemuan yag terkesan tak terawat, banyaknya coretan dari orang orang yang tak bertanggung jawab.
Ya semoga saja seiring waktu keasrian dan keindahan alam TNBB dapat selalu terawat dan terjaga sehingga dapat dinikmati oleh siapa saja yang memburu keindahan yang telah disediakan oleh alam.
Salam hijau. [17/4/2015]

Negeri Yang Kaya: Kisah Perjalanan Anak Negeri Bersama Ayah (Cerpen)

Oleh: Hanapi
Pegiat RBK, Mahasiswa UMY

Suara lantunan kalimat Tauhid sangat terdengar di telingaku, ketika Ayah membaca ayat-ayat suci Illahi, aku terbangun dari tidurku, aku melihat jam tanganku menunjukkan jam 5:00 subuh, angin kencang berlari, dalam tidurku tadi, aku merasa mimpi-mimpi itu seolah-olah nyata hadir dalam dunia ini, aku melihat hamparan tanah yang hijau, disi dengan tumbuhan-tumbuhan yang indah, padi yang mulai menguning, air sungai yang mengalir dengan tenang, oh tidak… waktu terus berjalan, aku melangkah keluar kamarku untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang khalifah Tuhan, aku melangkah dengan perlahan, butiran-butiran embun pagi mulai beterbangan diluar sana, mungkin ini hanya perasaan saja, aku melihat Ayah yang sedang asyik kenikmatan yang tak terhingga, lantunan kalimat itu membuat cahaya-cahaya melingkar disekelilingnya, dingin air wudhupun terasa, aku bertauhid dan melaksanakan perintah Sang Khalik, ucapan salam telah aku kumandangkan yang menunjukkan sholat telah selesai, aku membaca doa dan wirid-wirid ulama terbaik dalam islam, Imam Al-Ghazali salah satunya, hatiku yang gersang seolah-olah disirami air yang bersih disertai emas-emas permata, inilah keniscayaan Tuhan atas ketakwaan manusia, itulah pikirku ketika itu.

            Setelah doa selesai, Ayah memanggilku dengan nada yang halus yang menundukkan kerasnya batu sekalipun, Nak Kata, Ayahku, Hari Ayah ingin mengajakmu melihat kekayaan yang ada di negeri jambi ini, bukan hanya kekayaan peninggalan kitab-kitab luhur nak, tapi negeri kita mempunyai kekayaan alam yang sangat berlimpah, kata Ayah, hatiku sangat senang, bibirku tak mampu berkata, Aku hanya menjawab, ya Ayah, aku sangat ingin tahu tentang kekayaan negeri ini tapi maukah Ayah menceritakan tentang kekayaan negeri “pusaka betuah” ini ayah, kataku, Ayah hanya tersenyum mendengar kalimatku, Ia langsung menceritakan bahwa negeri jambi merupakan wilayah bagian indonesia, indonesia adalah Negara kita, yang memiliki wilayah yang sangat luas, kaya akan sumber daya alam, kaya akan budaya, dan rakyatnya multicultural nak, jambi salah satu wilayah bagian indonesia, di negeri jambi ini, rakyat hidup dengan kekuatan ekonomi, ekonomi rakyat karet dan sawit anakku, kata Ayah, aku membayangkan betapa luasnya indonesia.

            Bayangan itu terlintas dipikiranku, negeri yang kaya akan budaya seperti Ayah katakan, itu membuat aku semakin penasaran, tidak terasa pukul jam telah menunjukkan waktu 6:00, tiba-tiba Ibu memanggil aku dan Ayah untuk sarapan pagi, setelah sarapan ini Ayah akan mengajakku melihat kekayaan negeri ini, harumnya makanan Ibu sangat menyengat di hidungku, Nasi goreng adalah makanan kesukaanku, karena aku cinta pada masakan khas negeri, aku sekarang sudah kelas satu SLTP, jadi aku tahu mana produk asing dan produk dalam negeri, semua berkat Ayah dan Ibu yang mengenalkan kepadaku rasa cinta kepada produk sendiri terutama produk indonesia, makanan nasi goreng aku lahab dengan cepat, rasanya sangat nikmat, aku menambah satu piring lagi, Ibu dan Ayah hanya tertawa kecil melihat tingkahku seperti anak yang kelaparan, Ibu bertanya kepadaku, Apakah nanti Adi mau ikut Ayah pergi ke kebun, pertanyaan ini sangat membuat aku merasa senang sekali, aku hanya menjawab dengan senyuman dan kepala yang menunduk kepada Ibunda, makananpun habis aku sangat merasa kekenyangan, Ayah sudah selesai duluan, sekarang sibuk dibantu Ibunda mempersiapkan alat untuk dibawa dan makanan untuk dibawak dikebun nanti.

            Persiapanpun telah selesai, Ayah menyalakan motor crossnya, dengan suara-suara yang halus tidak seperti motor anak berandalan yang membuat orang jantungan di desa pendakian ini, aku membawa tas kecil yang di dalamnya ada bekal makanan untuk nanti bersama Ayah, aku berpamittan dengan Ibu dengan menyalami Ibuku, karena aku ingin menjadi anak yang sholeh, selalu patuh kepada Ayah dan Ibu, zaman sekarang, anak muda suka membangkang tidak bagiku, ah pikiranku ini, aku berangkat bersama Ayah, kamipun pergi berlalu meninggalkan Ibu dirumah, jalanan-jalanan umum ramai, mobil-mobil berlalu, matahari semakin berisinar dan berseri dengan kekuatan yang di dorong oleh Penguasa Alam ini, aku dan Ayah mulai memasuki lorongan jalan kecil, yang cukup becek, banyak berbantuan kecil, udara-udara segar mulai aku rasakan, Ayah dengan tetap fokus pada pandangannya, angin sangat sejuk disini, tidak seperti di kota-kota besar, aku melihat hamparan sawit yang luas, suara-suara burung yang mungil, indahnya alam indonesiaku ini, pikirku, motor kami melaju dengan sangat pelan, melewati jalan yang sangat jelek tidak seperti di kota-kota yang mulus, aku bersyukur disini suasananya sangat tenang dan menyenangkan, Ayah menghentikan motornya di depan sebuah pondok sederhana.

           Kamipun turun dari motor, Ayah mengajakku untuk melihat pohon kareta yang sangat luas, melihat cabe tumbuh dengan subur dan sangat segar, kata Ayah, Kami berjalan menyisiri tepi-tepi pohon yang indah ini, aku melihat ke-arah kiri terlihat sungai yang mengalir indah sekali, airnya jernih, aku sangat suka air yang indah ini, Ayah terus berjalan, Ia berhenti, sambil mengeluarkan alatnya untuk membersihkan rumput-rumput yang tumbuh sembarangan, aku hanya melihat cabai yang hijau ini tumbu dengan indahnya, tanah yang subur ini membuat tumbuhan tumbuh dengan cepat di negeri ini, tanah yang bisa menumbuhkan berbagai macam jenis tanaman, negeriku, engkau sangat indah, ingin aku bersyair untukmu, panasnya matahari tak terasa disini, pohon yang tinggi, membuat cuaca panas menjadi dingin, aku melantunkan syair-syairku untuk alam ini, Syair-syair Anak Negeri, Kataku.

Angin bertiup kearah yang ditentukan Sang Pencipta
Bumiku yang subur, itu karena kekuatan yang Mutlak ini,
Pohon tumbuh dengan segar, hewan menikmati keindahan ini,
Menusia menciptakan kebaikan bagi negeriku,


           Ayah hanya tertawa kecil melihat aku menbacakan Syair-syair untuk alam ini, aku sangat bangga pada negeri jambi ini, bangga pada indonesiaku, aku akan selalu membela bangsaku, demi terjaganya keindahan negeriku, inilah ungkapan yang tulus dalam hatiku sebagai Anak Negeri, tiba-tiba Ayah memanggilku, Ia memerintahkanku untuk menanam bibit rambutan, agar nanti bisa dinikmati oleh semua orang yang kesini, kata, Ayah, aku mengambil cangkul, aku cangkul tanah ini secara sekuat tenagaku, agar bibit jambu ini tumbuh subur dan bermanfaat untuk semua mahkluk, tanahpun selesai dicangkul, aku memasukkan bibit rambutan ini dengan disertai kalimat “Bismillahhiramanirohim” dan “Allahhuakbar” agar Tuhan memberkati alam bumi yang indah ini, memberikan kehidupan pada bibit rambutan ini, Ayah yang masih sibuk membersihkan rumput di dekat tanamannya, kicau-kicau burung Murai Batu sangat merdu terdengar, suaranya lantang sekali, aku melihat ia terbang dengan bulu-bulunya yang indah, akhirnya tugas ini selesai juga, menanam bibit rambutan, aku merasa kelelahan, keringat berkucur dikening dan leherku, aku merasa puas dan bahagia telah berhasil menanam bibit pohon ini, aku hanya melihat ayah dengan kerja yang cepat, Ia bekerja, aku mengambil air dalam tasku, air ini sangat menyegarkan tubuhku, Aku memanggil Ayah dan meminta izin untuk melihat sungai yang tenang disebelah sana, Ayah membolehkanku, dengan pesan jangan macam-macam dan bermain terlalu jauh, aku pergi kesungai melihat betapa jernihnya air ini, aku yakin ikan disini pasti banyak, berlimpah ruah, udang-udang kecil saling berjalan disana, aku melihatnya, indahnya alamku ini, bukan hanya subur alam negeri ini namun kaya, kaya akan apapun, kataku, aku kembali menghampiri Ayah, untuk mengajak Ayah melihat ini.

Kunjungan TPA Baitul Makmur ke Rumah Baca Komunitas

Oleh: Agam Primadi
Pegiat RBK, Mahasiswa asal Bangka Belitung

Seperti biasanya, Rumahnya Manusia (kami pegiat biasa menyebutnya), memang tidak pernah sepi. ada saja kehidupan yg berlangsung didalamnya, seperti berdiskusi, membaca, apresiasi sastra, nonton film dan mendiskusikannya,menulis, mengerjakan tugas, menulis skripsi, menanam, bahkan tempat curhat para generasi yg "frustasi" akan tugas yg belum terselesaikan.

Pasca adzan ashar berkumbang. Tepatnya sore hari, sekitar pukul 16.00. Rumah baca komunitas kedatangan tamu istimewa. Namun bukan berarti yg sudah pernah berkunjung ke rumanhnya manusia tidak istimewa. Kita semua tentunya sepakat, orang orang yg pernah berkunjung ke rumahnya manusia adalah sosok yg istimewa, mungkin dengan begitu adalah cara pegiat mengapresiasi kehadiran manusia lain di rumah baca komunitas.

Istimewa dalam konteks ini adalah karena berbeda dari tamu tamu sebelumnya. Seperti biasanya rumah ini selalu kehadiran tamu semua kalangan seperti, dosen, mahasiswa, pecinta buku, pegiat literasi, aktivis, seniman, dll. 

Namun hari ini rumahnya manusia kedatangan tamu para santri TPA Masjid Baitul Makmur, sebuah kehormatan yg melangit ketika para calon generasi penerus  estafet perjuangan bangsa ini menginjakkan kaki di rumahnya manusia. Para generasi yg  juga diharapkan semua kalangan sebagai agen of change pembangunan bangsa dan negara. 

Setibanya di halaman rumahnya manusia, Beberapa pegiat langsung menyambut dengan rasa gembira anak anak tersebut sambil bersalaman. Seketika itu pula suasana menjadi ramai dengan teriakan teriakan pada santri tadi. silatuhami manusiawi pun semakin erat terjalin.

Lalu Nanda, seorang pegiat dengan didampingi beberapa pegiat lain membuka percakapan untuk berdiskusi dengan adik adik santri. Para santri juga menyambutnya antusias, terbukti dengan beberapa pertanyaan yg dilontarkan para santri terkait dengan bagaimana dinamika yg terjadi di rumahnya manusia ? Apa saja yg terjadi dalam rumahnya manusia ?. Diskusi dengan para santri berjalan dengan asik di sertai tertawa kecil nan semangat. 

Setelah sesi tanya jawab selesai, kegitan kemudian dilanjutkan perkenalan seluruh santri yg hadir, kemudian dilanjutkan dengan game interaktif yang juga melibatkan seluruh adik adik santri. Serunya  Game petak umpet literasi(temuan Om Sarkawi) itu terpancar dari para tawa santri yg mengikutinya. Sangat antusias.

Tak lama kemudian adzan magrib berkumbang, lirikan mata dari salah satu ustazah mengisyaratkan utk segera menghentikan permain yg sedang berlangsung itu, lalu Nanda seorang pegiat yg menjadi leader dalam permainan tersebut pun langsung menghentikannya. 

Meskipun permainan sudah dihentikan, tapi suara suara teriakan dari para adik adik santri belum berhenti, terlihat beberapa dari mereka masih asyik bersenda gurau, bahkan tertawa terbahak bahak. Tentu sambil menikmati minuman yang telah di sediakan.

Gus ind kemudian mengambil alih dengan memberikan pesan pesan motivasi utk kepada adik adik santri utk selalu meningkatkan belajar dan giat dalam membaca. 

Kegiatan yang berjalan pada tanggal 09 April 2015 itu pun ditutup dengan berfoto bersama adik adik TPA masjid Baitul Makmur dan para pegiat literasi rumah baca kamunitas. #RBK4kidz #kreatifitasTanpaBatas

Persamuhan Komunitas Literasi

Oleh: Lutfi Zanwar K
Pegiat Podjok Batca & RBK, Mahasiswa UII

Literacy Community Gathering mendapatkan padanannya dalam Bahasa Indonesia: pertemuan komunitas literasi. Namun ada kata lain yang lebih tepat mewakili  arti kata itu, Persamuhan Komunitas Literasi. Dalam persamuhan yang terjadi tidak sekedar pertemuan tetapi juga perbincangan, serta peristiwa budaya diantara yang mereka bertemu. Persamuhan bisa juga dimaksudkan sebagai tukar gagasan, tukar aspirasi, dan refleksi bersama tentang suatu yang dikerjakan bersama-sama.

Persamuhan Komunitas Literasi dalam Pesta Buku Jogja menjadi momen yang kiranya pas untuk berefleksi bersama-sama. Dalam persamuhan ini masing-masing komunitas tidak saja diberikan berkesempatan untuk bertemu, berbincang, menjalin keakraban satu sama lain melainkan menjadikan kegiatan literasi menjadi denyut nadi persamuhan.

Berbeda dengan pertemuan biasa. dalam Persamuhan Komunitas Literasi ini kegiatan literasi menjadi pokok bahasan utama untuk dibicarakan. Ia mendapat prioritas paling pokok sementara komunitas-komunitas berlega hati untuk mengesampingkan diri sementara. Bukan untuk menegasikan hadirnya komunitas, namun menjadikan persamuhan ini menjadi peristiwa budaya yang menandai semakin menggeliatnya kegiatan literasi di Yogyakarta.

Harapan dari Persamuhan Komunitas Literasi ini tentu saja tidak sekali jadi selesai. Persamuhan Komunitas Literasi tidak diniati sekedar menjadi penghibur untuk mengisi acara-acara pameran buku. Ada keinginan yang lebih besar dibandingkan sebatas pengisi slot acara sepekan dari tanggal 1-7 Mei 2015 (Kumpul pegiat literasi Jumat, 1 Mei 2015 Jam 18.30 Wib). Komunitas-komunitas yang hadir dalam Persamuhan Komunitas Literasi bukan makmum dari perniagaan besar bernama Pesta Buku. Bukan untuk datang meramaikan cuap-cuap sebentar saja di panggung, turun kemudian pulang, tanpa ada inisiasi apapun.

Sebagai sesama pegiat literasi tentu saja kita menginginkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih daripada sekedar bertemu. Kesempatan persamuhan seperti ini sebenarnya bisa kita gagas sendiri tanpa harus tergantung pada perniagaan yang terkadang hanya memikirkan keuntungan, bukan berpikiran bagaimana memuliakan buku. Tidak harus dalam skala yang besar, misalkan beberapa kurun waktu sekali komunitas-komunitas literasi mengadakan kegiatan bersama yang tujuannya benar-benar memuliakan buku: festival, apresiasi seni dan sastra, dll.

Kegiatan bersama itu kiranya menjadi sangat penting sebagai wadah bersama untuk bertukar isu dan gagasan, memperkuat gerakan, tanpa kita tergantung dengan pameran-pameran buku. Kemudian yang lebih penting adalah menjadikan gerakan literasi menjadi gerakan semesta. Barangkali kedengarannya utopia, namun semasa Victor Hugo pun pernah mengatakan bahwa utopia adalah kebenaran di masa depan.



Dari Azan sampai Merdeka : Tiga Puisi Ahmad Rizky Umar

AZAN

Dari kejauhan
 kudengar suara dauh bertalu
 beriring suara azan
Memanggil jiwa yang gelisah
 yang terasing di antara serpihan dunia
 rebah
 ingin rasanya sujud dan pasrah
 di hadapan yang maha indah
Berlagu muazin menyeru panggilan
 Bergegas pak tua datang ke sana
 dari kejauhan
Sementara aku
 yang kuat lagi mampu
 diikat waktu
 tak kuasa bersuci
 larut dalam tipu daya
Apalah artinya nama
 jika kata ditarik dari dunia
 dan kita bukanlah siapa-siapa?
Apalah artinya dunia
 jika tak ada cinta
 ketika hati gundah dan gulana?
Apalah artinya diriku
 Jika di mata-Mu
 berlumur hina dan dosa
Maafkan
 aku


WARNA

Mulailah berpikir tentang warna,
 bukan sebagai hitam atau putih.
Tetapi bagaimana ia bisa menjadi hitam,
 dan bagaimana ia menjadi putih.

Apa yang putih mungkin bukan putih,
 mungkin ia diputihkan oleh waktu-
 atau oleh air yang menghapus jejak gores dan noda

Dan yang hitam mungkin bukan hitam.
 mungkin ia dihitamkan oleh masa.
 atau oleh bercak tinta yang tercecer dari wadahnya

Bukankah di antara putih dan hitam,
 ada biru, ungu, jingga, kuning, dan bermacam-macam warna
 yang tak bisa digambarkan dengan kata dan mata

Bukankah di antara putih dan hitam,
 ada pelukis yang ingin mengurai seratus ribu makna?

Dan bukankah di antara putih dan hitam,
 adalah semua Tuhan yang mencipta?


MERDEKA

Kakanda,

Aku ingin
berpikir merdeka
Tetapi kekuasaanmu
merancang segalanya

Aku ingin
berkehendak merdeka
Tetapi kemauanmu
mengatur segalanya

Aku ingin
bicara merdeka
Tetapi mulutmu
membungkam segalanya

Aku ingin
bertindak merdeka
Tetapi tanganmu
Melarang segalanya

Aku ingin
menulis merdeka
Tetapi pensilmu
menghapus segalanya

Aku ingin
hidup merdeka
Tetapi uangmu
membeli segalanya

Benarkah ada kemerdekaan
Jika di sana-sini
Ada penindasan?

Di manakah kemerdekaan
Jika orang-orang desa
Hilang tanah untuk ditanam?

Sudah lupakah engkau, kanda
dengan ikrar kita
di suatu senja
Bahwa kita
akan sentiasa
berpikir dan berkehendak merdeka?

*) Ahmad Rizky MU sehari-hari menjadi pekerja riset

di Universitas Gadjah Mada

Diskusi & Bedah Film Kala Benoa di RBK

Oleh: Hafiz Atsari

Film ini menceritakan tentang reklamasi yang akan dilakukan di Teluk Benoa di Provinsi Bali. Film ini sebenarnya merupakan salah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi penduduk local yang menolak daerahnya direvitalisasi karena berbagai alasan seperti reklamasi pulau Serangan pada 1994 yang akhirnya terbegkalai dan tidak ada manfaatnya sama sekali, kerusakan lingkungan, menghilangkan mata pencaharian dan sebagainya dengan para pengusaha yang ingin mengeruk keuntungan dengan mengatasnamakan kesejahteraan tanpa memerhatikan dampak yang akan terjadi kedepannya. Sekitar 700 ha akan direklamasi dari luas total 1400 ha. Namun, ketika masyarakat local menyatakan sikap bahwa mereka menolak Reklamasi Teluk Benoa di lain pihak Pemerintah Provinsi Bali khususnya Gubernur Bali mendukung reklamasi Teluk Benoa karena faktor ekonomi yang katanya akan menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Bukan hanya pemerintah daerah yang mendukung reklamasi ini. Pemerintah pusat juga turut andil dalam dengan mengubah status Telok Benoa menjadi kawasan “Budi Daya” pada Mei 2014 yang pada awalnya merupakan kawasan “Konservasi” pada 2011. Ini merupakan pintu masuk bagi para investor property untuk menjalankan proyek mereka.

                Diskusi yang berlang di RBK menjadi menarik ketika ada salah satu audience menyatakan mendukung reklamasi Telok Benoa namun dengan catatan bahwa pemerintah harus memberikan control ketat terhadap proyek pembangunan tersebut dan memberikan pekerjaan pengganti bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Namun, di sisi lain audience menolak reklamasi karena hanya akan merugikan warga sekitar yang mata pencahariannya sebagai nelayan mungkin akan hilang, lingkungan akan rusak, ekosistem sekitar Teluk Benoa juga akan rusak.

RBK mengadakan screening dan bedah film "Kala Benoa" pada 24 April 2015.


                

Monday, April 27, 2015

Suatu Latar Belakang untuk Konsep LiteraPreneurship (Bag1)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Secara historis, budaya literasi berarti suatu model transformasi sosial. Hal ini tentu saja paradoksal dengan amatan satir Benedict Anderson mengenai tidak berjumpanya hasil-hasil kerja literasi seperti karya-karya sastra antara negara-negara di ASEAN (Ronny Agustinus, 2014). Padahal hasil kerja literasi dapat menjadi jembatan perjumpaan emansipatif antara tiap kelompok dalam membangun kekuatan massa. Temuan satir Anderson itu memberikan informasi tentang bagaimana kerja literasi kita selama ini seakan tidak berikat pada satu perjuangan berbasis geografis dan narasi-narasi kemanusiaan kita sebagai subjek sosiologis. Meskipun demikian, dalam konteks lokal, hasil-hasil kerja literasi berupa pembentukan komunitas literasi seperti rumah baca, taman baca, gubug baca, dan lain sebagainya merupakan contoh dari literasi sebagai model transformasi sosial. Dengan demikian, literasi bukan sekedar kemampuan membaca dan menulis, atau sekedar menjadikan hasil kerja literasi sebagai komoditas, melainkan juga harus menjadi kemampuan untuk memulai transformasi sosial melalui aktivitas membaca dan menulis.

Literasi-preneurship adalah model untuk membentuk gerakan transformasi sosial melalui aktivitas literasi. Literasi-preneurship sama seperti konsep entrepreneurship, berangkat dari dua aspek sebagaimana yang diungkapkan oleh Gartner (1985) ataupun Kirzner (2009); pertama, berkaitan dengan what we like atau what we want. Kedua, berkaitan dengan what we do atau what we act. Aspek yang pertama berkaitan dengan keminatan terhadap aktivitas literasi—yang mendorong munculnya aspek kedua, yakni; kemampuan realisasi menuju sekuensi perilaku atau aksi.

Membaca dan menulis sebagai aktivitas literasi memiliki daya pengubah sosial. Komunitas membaca, penulis buku, ataupun pegiat rumah baca, juga merupakan bagian penting dalam pembentukan, penemuan, dan penentu masa depan bangsa. Literasi-preneurship sebagai model transformasi sosial mengimajinasikan bahwa aktivitas literasi dapat bergeser dari kebutuhan individual menjadi daya gerak yang berimplikasi bagi perubahan sosial. Jika aktivitasi literasi selama ini bertumpu atas motif kebutuhan pribadi, maka sudah saatnya untuk menggerakkannya menuju ranah sosial, itulah yang dimaksud dengan literasi-preneurship.

Maka literasi-preneurship mendekonstruksi konsep literasi sebagai kebutuhan individual menjadi perekat sosial yang berfungsi untuk mengemansipasi dan mengadvokasi kepentingan semua klas sosial. Literasi-preneurship melihat bahwa kemampuan membaca dan menulis adalah hak yang harus diperoleh oleh setiap orang. Kemampuan tersebut sebagai hak dasar, berarti membutuhkan dukungan. Dalam model literasi-preneurship, keberadaan komunitas literasi membantu terlaksananya misi tersebut. komunitas literasi merupakan bagian dari aspek literasi-preneurship yang diungkap oleh Gartner ataupun Kirtzner dengan what we do.

Model literasi-preneurship menggeser (shifting) membaca dan menulis sebagai “produk” bagi diri sendiri menjadi “produk” bagi kepentingan sosial. Literasi-preneurship mendorong tindakan membaca dan menulis menjadi cara untuk membangun relasi kemanusiaan. Proses literasi-preneurship seperti demikian terjadi misalnya dengan membentuk komunitas epistemik, menggagas gerakan sosial seperti komunitas literasi, atau menulis buku, artikel, opini di koran sebagai cara untuk memberi warna pada upaya pembentukan realitas yang emansipatif bagi siapa saja.

Literasi-preneurship berkaitan dengan cara mengolah minat literasi dalam ranah sosial, dan membaginya menjadi tindakan yang dapat membantu terbentuknya nilai-nilai hidup yang emansipatif, dan adil bagi siapa saja. Dengan demikian, literasi-preneurship secara historis muncul sebagai keniscayaan sejarah karena kebudayaan dan peradaban dibentuk berdasarkan pada cara mengelola minat individu agar berfungsi sebagai daya bagi kekuatan sosial.

Kekuatan sosial yang dihasilkan melalui literasi-preneurship adalah kesadaran mengenai realitas yang terjadi dalam pergolakan sejarah pada abad 21. Dalam hal pembentukan diskursus, literasi-preneurship merupakan cara untuk menyusun kembali gerakan sosial menjadi ranah pergerakan sosial yang berbasiskan pada ilmu pengetahuan melalui aktivitas literasi. Literasi-preneurship memfasilitasi ilmu pengetahuan sebagai disposisi wajib dalam tindakan-tindakan sosial. Hal ini misalnya terjadi dalam banyak kasus-kasus gerakan sosial anti rekayasa genetika, misalnya di India, Afrika Selatan, dan Brazil. Suatu kasus lain misalnya, gerakan pendidikan politik ala Freirian yang memanfaatkan pendekatan literasi melalui model pendidikan kritis sebagai cara untuk membentuk program-program gerakan sosial, atau model naturalisasi perjuangan revolusioner ala Marxian.

Di Indonesia, gerakan-gerakan sosial, termasuk gerakan sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, meletakkan basis perjuangan kemampuan literasi untuk bersikap menghadapi kolonialisme, korporatisme, dan libertaniamisme. Begitu pula dengan gerakan-gerakan sosial yang dalam istilah Benedict Anderson menggunakan jalur print-capitalism untuk membangun imajinasi perjuangan identitas bangsa, meskipun dalam pengertian yang digunakan bertumpu pada pemanfaatan medium tulisan untuk membentuk wacana dan diskursus khas. Dalam konteks demikian, aktivitas literasi kelompok kapitalis menghasilkan pertukaran gagasan melalui medium koran, atau pamflet-pamflet.

Salah-satu tantangan sosiologis Indonesia yang berkaitan dengan literas-preneurship adalah apa yang disebut embourgoisement oleh Veblen (1934), yakni satu kecenderungan kondisi social envy dalam masyararakat yang mewujud dari sikap imitasi klas bawah terhadap aspek sosial klas di atasnya. Hal ini memperlihat wujudnya dalam dimensi prestise, privilese, dan kekuasaan. Dalam kondisi tersebut, kehidupan sosial terstratifikasi secara rumit, dan memperlihatkan semakin jauhnya model komunalisme dalam masyarakat. Fenomena tersebut, tentu saja tidak hanya terlihat dalam masyarakat dengan basis budaya urban saja, melainkan juga masyarakat dengan sistem agraria namun dekat dengan imbas dari kebijakan developmentalisme.

Peran Engels dan Agenda Rekonstruksi Marxisme Kontemporer (Resensi)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator Rumah Baca Komunitas

Pertama-tama, tulisan ini hendak membahas bagaimana buku Di Balik Marx; Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels (2015)—selanjutnya disingkat DBM—mengemukakan peranan Engels dalam pengembangan Marxisme dan kontribusinya bagi ilmu pengetahuan. Tulisan ini akan fokus pada dua aras peran Engels yang dibahas dalam DBM menyangkut; pertama, apa sumbangsih filosofis Engels dalam Marxisme dan filsafat secara umum?. Kedua, bagaimana sumbangsih filosofis tersebut memberikan implikasi dalam cara memandang manusia, dan masyarakat terutama dalam disiplin ilmu-ilmu sosial?.

Secara umum, pengaruh Marx dan Engels dalam disiplin ekonomi politik yang tentu saja berkaitan dengan sosiologi, adalah pada bagaimana menerapkan materialisme dalam proses dialektika sejarah manusia. Tentu saja, materialisme yang dipahami Marx dan Engels bukan merupakan materialisme klasik ala Feurbach yang menyatakan bahwa realitas, semata-mata merupakan hal ikhwal yang muncul dari objek. Bagi Marx maupun Engels, objek dalam materialisme dapat dipahami juga sebagai aktivitas subjektif. Materialisme demikian disebut ‘materialisme subjektif’[1] yakni bahwa realitas adalah hal-ikhwal yang berasal dari keberadaan objek sekaligus aktivitas subjektif. Dengan demikian, secara ontologis, materialisme ala Marx dan Engels berarti segala yang semesta fisik sekaligus bertopang pada semesta fisik.

Dalam kerangka materialisme baru tersebut, peran Engels sangat besar, terutama dalam membantu melengkapi proyek-proyek intelektual Marx untuk mengembangkan analisa materialisme mutakhir. Berkaitan dengan hal itu, Marx dan Engels memang bukan pencipta istilah dialektika materialisme, istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan pandangan dunia ala Marxis oleh Menshevik Georgy Plekanov tahun 1891. Sedangkan Engels sendiri juga tidak mengacu pada istilah materialisme historis, melainkan “pandangan materialis terhadap sejarah” (the materialist view of history). Kerjasama intelektual yang begitu penting tersebut diakui oleh Marx dalam surat yang ditulisnya untuk Engels yakni, “without you, I would never had been able to bring the work to a conclusion...”.  Peran Engels menurut Hollander, misalnya berkaitan kritik ekonomi politik, nilai dan distribusi, ketidakstabilan makroekonomi, proses industrialisasi, kondisi klas pekerja di Inggris (menyangkut pendapatan, pekerjaan, dan perkembangan populasi), dan lain sebagainya.

Peran-peran Engels tentu saja sangat luas bagi Marxisme. Kontributor-kontributor buku DBM mencoba mengetengahkan jawabannya melalui topik-topik seperti; Rekonstruksi Filsafat Engelsian, Historiografi Popular, Teori Negara, dan lain sebagainya. Pemilihan topik-topik ini dalam beberapa hal hendak membuka kemungkinan kembali bagaimana cara membahas Marxisme yang taat dengan refleksi dan konteks kontemporer perkembangan diskursus realitas sosial dalam ilmu pengetahuan. Dan yang paling penting bagaimana mengemukakan kembali Marxisme sebagai yang benar-benar berbeda dalam perihal kajian-kajian sosial berbasis analisis Marxian.

Upaya dan usaha yang dilakukan atau sedang dirintis oleh misalnya kelompok Marxisme ala Indoprogress dalam buku DBM ini, atau dalam istilah Surjaya dengan ‘mahzab’ Marxisme Kontemporer adalah melakukan pengkajian yang kontributif bagi persoalan-persoalan masyarakat kontemporer. Upaya kontributif yang dimaksud tentu saja adalah bagaimana memanfaatkan materialisme dialektika dan materialisme historis sebagai metode ilmiah.
Secara umum, sebenarnya pemanfaatan cara pandang Marxisme, dalam kajian-kajian ilmu pengetahuan sosial di Indonesia sedang dirintis, misalnya Eric Hiariej (2006) yang mengkaji kejatuhan rezim Soeharto dengan kerangka Materialisme Historis. Dalam bidang filsafat oleh Martin Suryajaya (2012), serta karangannya yang membahas asal usul kekayaan (2013). Sedangkan dalam percobaan teoritis dalam bidang antropologi misalnya Dede Mulyanto (2011). Di luar pekerjaan-pekerjaan akademisi Indonesia tersebut, pemanfaatan materialisme dialektika dan materialisme historis sebagai metode ilmiah sudah ramai dilakukan di ruang-ruang akademisi Amerika atau Eropa hingga Asia, misalnya dalam bidang hubungan luarnegeri oleh Rupert dan Smith tahun 2002 yang mencoba menganalisis globalisasi dengan konsepsi materialisme historis.[2] Kemudian mengenai internal dinamis dari mode produksi dalam bidang ekonomi politik oleh Jairus Banadi melalui kumpulan esainya.[3]

Dalam beberapa hal, pembaca yang kenal dengan kajian-kajian dalam literatur-literatur yang ditulis oleh akademisi Amerika, Australia, atau Eropa tentu akan melihat kembali secara afirmatif beberapa topik di dalam buku DBM seperti bentuk formal kajian akademik Marxian, namun dengan konteks upaya akademisi Indonesia untuk memanfaatkan materialisme dialektika dan materialisme historis sebagai metode ilmiah. Dan dalam beberapa tingkatan tertentu, ada dua upaya yang cukup meyakinkan ditampilkan oleh Dede Mulyanto melalui tulisan Prakondisi Anatomis kerja, serta Martin Suryajaya dengan Naturalisme Ontologis yang patut diapresiasi. Upaya Mulyanto secara umum adalah memperkenalkan penggunaan materialisme dialektika dan materialisme historis dalam kajian-kajian kontemporer. Sedangkan Suryajaya merintis berbagai teks yang diperlukan bagi pembentukan pemahaman-pemahaman Marxisme.

Terbitnya DBM, yang khusus mengkaji pemikiran Engels dalam Marxisme tentu merupakan suatu fase penting untuk meluruskan bagaimana dilema-dilema berpikir ilmiah, atau berpikir objektif setelah argumen-argumen post-modernisme yang menyatakan proses berpikir objektif dan evolutif sebagai sesuatu yang telah menegasikan keberadaan manusia. Kritik-kritik terhadap objektivitas dan penjelasan evolutif dalam ilmu pengetahuan sosial secara tidak langsung telah menyerang naturalisasi ilmu sosial. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan Mulyanto tentang Prakondisi Anatomis Kerja dan Suryajaya tentang Naturalisme Ontologis menjadi penting untuk diperhatikan.

Berakhirnya Otonomi Filsafat

Dalam Ideologi Jerman, Marx dan Engels menyatakan bahwa “ketika spekulasi berakhir...ilmu yang (akan mengambil bagian untuk) menguraikan aktivitas praktis, proses praktis dari kehidupan manusia. Frase-frase kosong tentang kesadaran kemudian berahir...”.  Filsafat yang berkisah tentang spekulasi mengenai kesadaran manusia harusnya mengakui keterbatasannya. Engels maupun Marx, dalam hal ini menunjukkan bahwa lambat laun, penggambaran mengenai manusia harus melalui penyelidikan yang ilmiah. Melalui ilmu pengetahuan, rahasia di balik aktivitas manusia dapat diungkap. Sedangkan filsafat yang berpegang pada analisa spekulatif tidak akan bertahan. Yang dimaksud oleh Engels maupun Marx adalah perihal filsafat yang ‘memadai diri’ sebagai penjelas realitas. Filsafat yang memadai dirinya sebagai alat untuk mengungkap realitas berarti filsafat yang secara semena-mena mengambil otoritas dan otonomi dalam bidang penyelidikan tertentu. Dengan demikian, berdasarkan otoritas dan otonomi tersebut, filsafat seakan tidak ingin diganggu oleh temuan ilmu pengetahuan.  Padahal, otonomi itu sudah seharusnya diperiksa lagi.

Berkaitan dengan berakhirnya otonomi filsafat, salah-satu tulisan dalam DBM oleh Suryajaya hendak membahas naturalisasi ontologis. Tulisan Suryajaya mengungkapkan suatu proses rekonstruksi naturalisme ontologis melalui penyusunan kembali relasi antara Tesis Naturalisme Ontologis (TNO), Teorema Fundamental Dialektika (TFD) dan materialisme historis. Proyek penyusunan filsafat alam tersebut dilakukan melalui rekonstruksi naturalisme ontologis adalah dengan merumuskan definisi tentang “Ada”, “Asas Penjelasan”, “Parafrase disposisional”, dan “Tiga Hukum Dialektika”. Proses rekonstruksi yang dilakukan oleh Suryajaya berkaitan dengan proses pembuktian Tesis Materialisme Historis.

Materialisme historis berasal dari penerimaan Engels terhadap “Tiga Hukum Dialektika” Hegel dengan syarat rejeksi esensialisme dan fisikalime-Cartesian Hegel.[4] Tiga hukum dialektika Hegel direvisi tentu saja dengan beberapa catatan, merupakan bagian dari pengaruh Origin karya Darwin bagi Engels dan Marx. Menurut Marx, ketika mengomentari Origin karya Darwin kepada Engels sebagai “berisi keterangan mengenai basis sejarah alam” (natual history). Origin karya Darwin, membawa Engels pada kesimpulan bahwa Hegel telah berbohong dengan menyelipkan pembahasan alam dan sejarah, meskipun yang dilakukan Hegel sebenarnya adalah penyeledikan mengenai sejarah hukum pemikiran. Menurut Engels, Hegel hanya membahas mengenai sejarah dan ide, dan bukan eksplanasi tentang derivasinya dari sejarah alam itu sendiri.

Meskipun demikian, di Indonesia, rekonstruksi filsafat Marxisme, atau dalam hal ini Engelsian adalah soal bagaimana memecahkan persoalan klasik yang muncul dari dikotomi antara semesta fisik dan semesta mental. Persoalan klasik tersebut adalah seputar mana yang independen, mendeterminasi, atau pola relasional antara keduanya. Berkaitan dengan berakhirnya otonomi filsafat sebagai pembahasan umum, sebenarnya yang hendak dilakukan secara spesifik adalah bagaimana menunjukkan persoalan ini dalam perdebatan antara fisikalisme dan dualisme. Berhubungan dengan hal itu, buku DBM memaparkan kembali beberapa persoalan penting soal memecahkan persengketaan filosofis antara fisikalisme dan dualisme. Suryajaya misalnya menunjukkan pemecahan ini dengan memperlihatkan rekonstruksi filsafat alam Engelsian melalui model analitik terhadap tiga hukum dialektika.

Sebenarnya, Suryajaya dalam salah-satu artikelnya tentang Intensionalitas Fisik[5] membahas suatu cara pembuktian bahwa intensionalitas terdapat dalam semesta mental karena intensionalitas terdapat semesta fisik melalui rekonstruksi Tesis Umum Intensionalitas yang dibangunnya dari Martin Molnar. Sedangkan model pemecahannya dalam konteks ilmu sosial secara implisit muncul dari tulisan Iqra Anugrah dalam DBM yang membahas tentang historiografi Engelsian dengan menyatakan bahwa Engels sepenuhnya dalam kajian Perang Tani di Jerman tidak mereduksi aspek-aspek ideasional sebagai bagian dari kajian semesta mental yang seringkali dianggap abstraksi belaka sebagai bentuk kritik terhadap kajian Perang Tani Zimmermann.

Materialisme dan Ilmu Pengetahuan

Apa yang masih tersisa dari analisis Marxian atau Engelsian bagi perkembangan ilmu pengetahuan?. Pertanyaan ini menjadi salah-satu pembahasan yang menarik. Berkenaan dengan hal tersebut, dua pandangan umum mengemuka, pertama analisa Marxian masih dapat diterima sejauh analisa tersebut diletakkan untuk menjelaskan proses proses-proses perlawanan kelas,[6] emansipasi buruh[7], dialektika globalisasi, Nasionalisme, atau rekonstruski teori Negara. Kedua, adalah pendapat yang mempertanyakan analisa Marxian untuk menganalisis ekonomi, di mana, kenyataan bahwa kapitalisme merupakan dilema baru yang telah mewujud ke dalam perkembangan mutakhir.

Banyak kajian berkembang berkaitan dengan sejauh mana relevansi analisa Materialisme Historis pasca Perang Dingin. Komentator yang bergelut dalam ilmu-ilmu sosial beranggapan bahwa kejatuhan Soviet dan proyek politik tahun 1989 merupakan awal dari kejatuhan analisis Materialisme Marxis yang menyebabkan intelektual mulai tidak tertarik lagi untuk menggunakannya. Intelektual yang menganalisis proses-proses globalisasi dan privatisasi misalnya menganggap bahwa Materialisme Historis sebagai alat analisis tidak cukup baik untuk mengkaji persoalan senjata nuklir, kontrol militer, atau tentang bagaimana kekuatan finansial memainkan peranan besar pada masa sekarang.[8] Tentu saja, perkembangan mutakhir yang mewujud dalam problem-problem tersebut merupakan tantangan bagi penulisan-penulisan lanjut pasca buku DBM.

Kejatuhan peristiwa politik komunisme tidak serta merta membuktikan dua hal; pertama, bahwa materialisme dialektika-historis tidak dapat dicapai sebagai keniscayaan yang-ada. Sehingga dengan demikian merupakan suatu yang utopis dan tak relevan lagi dengan narasi-narasi emansipatif apapun. Kedua, karena relevansi materialisme dialektika-historis tidak dapat dicapai melalui manifestasi politik-ekonomi, maka materialisme dialektika-historis sepenuhnya utopis. Dua kritik tersebut pada aras yang pertama masih dapat diperdebatkan. Sedangkan untuk aras yang kedua, tidak dapat disangkal bahwa suatu penjelasan fundamental materialisme bahwa matter sebagai pembentuk esensi, atau bahwa dalam kasus pikiran sebagai yang diturunkan dari otak, masih terus dikaji dalam lapangan sains hingga hari ini.

Khusus dalam kajian perilaku, otak dan evolusi[9], hingga hari ini menunjukkan bahwa satu dari dua bagian isi dialektika materialisme yakni; entitas immaterial diturunkan secara niscaya melalui segala yang material berada dalam kajian serius sains. Perdebatan dalam lapangan sains yang menyangkut manusia dan alam semesta terus terjadi, yang pada satu sisi menunjukkan dasar asumsi dari pendapat Engels bahwa penjelasan-penjelasan (filosofis) yang tercerabut dari temuan ilmu pengetahuan berarti hendak membangun orientasi-orientasi utopis.

Salah-satu sumbangan besar Engels terhadap marxisme dan filsafat pada umumnya adalah program naturalisasi filsafat yang berkaitan dengan bagaimana aras kesadaran dan semesta fisik berkelindan. Lebih daripada itu, sumbangan naturalisasi filsafat memberikan kejelasan tentang posisi pemikiran ilmiah yang dilekatkan dengan sosialisme dan implikasinya terhadap perjuangan-perjuangan emansipatif. Melalui naturalisasi filsafat, perspektif Engels dapat digunakan untuk memberikan semacam panduan untuk menghindari terjebaknya perjuangan-perjuangan emansipatif ke dalam fiksi-fiksi kesetaraan. Artinya, alih-alih membebaskan manusia dan ekspersi-eksperisinya, yang terjadi justru terjebaknya gerakan-gerakan tersebut ke dalam agenda-agenda kapitalisme. Dan tentu saja yang lebih memalukan lagi, munculnya sikap anti ilmu pengetahuan sebagai basis dari perjuangan emansipatif. 

Dengan demikian, sumbangan penting Engels bagi ilmu pengetahuan dapat dilihat dengan dua cara. Pertama, berkaitan dengan peran Engels, misalnya dalam temuan-temuan filsafat alam tentang kosmogoni, fisika, kimia, dunia organik, dialektika dan lain sebagainya. Topik-topik tersebut dapat kita baca dalam salah-satu karya penting Engels, Anti-Duhring. Ulasan-ulasan Engels tentang sejarah alam semesta dalam Anti-Duhring paling tidak memperlihatkan kapasitas intelektual yang tidak main-main, yang pada beberapa sisi (dalam salah-satu pembahasan Anti-Duhring) mengingatkan kita pada kajian alam semesta Stephen Hawking dalam The Theory of Everything. Sumbangan pertama meniscayakan sumbangan kedua, yakni mengenai penjelasan-penjelasan mutakhir tentang ekonomi dan politik serta masyarakat, hingga manusia itu sendiri. Sumbangan-sumbangan Engels tersebut, beberapa telah disinggung dalam buku DBM, yang oleh karena itu, sumbangan kompleks Engels dalam satu sisi yang paling menarik adalah, bagaimana ia akan membantu rekonstruksi Marxisme kontemporer di Indonesia, karena melalui buku DBM ini kita diajak untuk memikirkan kembali segala cara pandangan teoritikal tentang manusia, masyarakat, dan alam semesta.

*tulisan ini dibahas dalam agenda DeJure Rumah Baca Komunitas, 10 April 2015

[1] Soal ‘materialisme subjektif’ lih, Martin Suryajaya, “Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis”,  

[2] Mark Rupert, dan Hazel Smith, Historical Materialism and Globalization, (London: Routledge, 2002).

[3] Jairus Banaji, Theory as History; Essays on Modes of Production and Exploitation, (Leiden: Brill, 2010).

[4] Ernst Mayr, “Roots of Dialectical Materialism”, http://www.ihst.ru/projects/sohist/books/naperelome/1/12-18.pdf diakses 12 April 2015.

[5] Martin Suryajaya, “Intensionalitas Fisik: Argumen Untuk Fisikalisme Non-Reduktif”, Jurnal Indoprogress, Vol. II, Agustus 2014.

[6] Misalnya, Peter Burnham, “Class, states and global circuits of capital” dalam Mark Rupert and Hazel Smith (eds), Historical Materialism and International Relations (London; Routledge, 2002).

[7] Kees Van Der Pijl, “Nomads, Empires and State” dalam Mark Rupert and Hazel Smith (eds), Historical Materialism and International Relations (London; Routledge, 2002)

[8] Michael Cox, “The Search for Relevance: Historical Materialism After Cold War”, dalam Mark Rupert and Hazel Smith (eds), Historical Materialism and International Relations, (London; Routledge, 2002)

[9] Misalnya, Gerarld E. Schneider, Brain Structure and Its Origin: in Development and in Evolution of Behavior and the Mind, (The MIT Press, 2014).

______________________________________________________________________________
Keterangan Buku

Judul Buku      : Di Balik Marx; Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels
Pengarang        : Dede Mulyanto (ed), Martin Suryajaya, Iqra Anugrah, Coen H. Pontoh, Mohammad Z Hussein, Stanley Khu.
Penerbit           : Marjin Kiri dan Indoprogress, 2015
Kota Terbit      : Serpong, Tangerang Selatan
Tebal               : 186 hlm. 

Penjelasan Sederhana Tentang Gerakan Literasi

Fauzan A Sandiah, Kurator RBK

Jangan heran mengapa hasil survei PISA mengenai tingkat literasi anak di Indonesia pada tahun 2009 berada pada urutan ke 62 dari 72 negara. Dan pada tahun 2012, Indonesia urutan 64 dari 65 negara yang diteliti.[1] Hasil survei tersebut, memang tidak merefleksikan perkembangan kualitas, tetapi cukup untuk membuat kita berpikir tentang paradigma dan berbagai hal yang dianggap sepele selama ini seperti implikasi dari gerakan literasi. Tidak heran juga ketika beberapa anak muda di Yogyakarta yang fokus pada gerakan literasi dicap kurang transformatif hanya karena mereka mengonsolidasi gerakan melalui membaca, menulis, dan berdiskusi. Apalagi kalau gerakan literasi tersebut bergerak pada varian usia anak-anak atau remaja. Soal lainnya tidak perlu diungkapkan secara serius, tetapi bisa diungkap secara intuitif.

Seorang kenalan pernah berkata “gerakan literasi saja tidak cukup!”. Kami yang biasa hidup dalam gerakan literasi sebenarnya tidak kaget ketika mendengar perkataan itu. Daripada kaget dengan komentar itu, yang lebih menarik adalah kami menangkap suatu informasi penting tentang sejauhmana orang memahami gerakan literasi. Apakah gerakan literasi selalu identik dengan TBM?, apakah gerakan literasi identik dengan membaca buku?. Apalagi jika gerakan literasi dikait-kaitkan dengan urgensi transformasi sosial. Masalah itu menjadi pelik karena proses transformasi sosial erat dengan tindakan-aksi bukan komentar anarkis. Jadi ketika orang menuntut lebih kepada gerakan literasi, pernahkah mereka sendiri mencoba memainkan peran lain?. Jawabannya tentu saja relatif. Model gerakan yang menuntut transformasi sosial pada masa dewasa ini tidak bergerak dengan cara mengkonsolidasi elit-cendekiawan, atau aktivis-mahasiswa melainkan berbasis pada “siapa-saja”, seperti sebuah mantra dari seorang pegiat literasi Yogyakarta Alm. Dauzan Farok “siapa saja bisa menjadi penggerak literasi”. Kesadaran bahwa “diri-politis” dalam konteks gerakan transformatif dewasa ini di Indonesia sangat penting. Artinya pencapaian transformatif hanya terjadi jika masing-masing orang memulai peran-perannya dalam lingkup paling kecil. Tidak ada cara lain.  Begitu juga dengan gerakan literasi.

Tulisan ini akan memberikan beberapa komentar terkait dengan gerakan literasi dan relasi fungsionalnya dalam transformasi sosial.  

Portofolio Subjek yang Berubah

Tidak hanya bagi gerakan literasi, untuk gerakan sosial pada umumnya, satu pertanyaan yang cukup menantang adalah apakah ada alternatif lain untuk membentuk transformasi sosial tanpa berangkat dari pemahaman bahwa kondisi masyarakat yang kian kompleks—maksudnya, berkenaan dengan kapitalisme yang telah memperumit gerakan emansipasi?. Pertanyaan itu, tidak hanya ditutup dengan jawaban melainkan pertanyaan berikutnya yakni, dari mana proses transformasi akan dimulai?, dan bagaimana memformulasikannya?. Berkaitan dengan gerakan literasi, sudah pasti muncul tantangan yang berasal dari sub-eksplanasi berbau genealogis yang menyangsikan posisi strategis gerakan literasi dalam membentuk proses transformasi sosial. Tidak berhenti dalam aras demikian, kesangsian itu juga berasal dari argumen aneh bahwa gerakan literasi, merupakan sub-agenda dari sistem kapitalisme, dan politik hegemonial. Untuk yang terakhir, jawaban historis lebih tepat daripada membawanya ke dalam perdebatan substansial dan a priori.

Bisa jadi, kebanyakan perspektif tersebut melihat gerakan literasi sebagai gerakan pemberantasan buta huruf yang identik dengan agenda membentuk spesifikasi pekerjaan dan membentuk formasi sosial kapitalistik. Argumen tersebut terkesan kritikal, tetapi sangat minim dalam kajian-kajian kontemporer mengenai gerakan literasi. Tentu saja, tidak dapat disebut juga bahwa gerakan literasi diidentikkan dengan model taman baca masyarakat, perpustakaan, atau jenis institusi literasi konvensional lainnya sebagai tidak benar. Hanya saja jangan sampai kenyataan itu mereduksi pekerjaan-pekerjaan literasi yang dilakukan oleh pegiat-pegiat literasi berbasis paradigma yang matang untuk menentukan corak emansipatif dalam gerakan literasinya masing-masing. Dalam tataran itu banyak yang lalai melihat penyebab-penyebab baru dari terbentuknya gerakan-gerakan literasi.
Hal tersebut berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai variasi portofolio subjek-subjek gerakan sosial (Situmorang, 2007). Dalam konteks gerakan literasi, hal yang sama juga terjadi. Variasi portofolio subjek-subjek gerakan literasi tidak hanya terbatas pada aparat-aparat negara (misalnya perpustakaan daerah), atau dari kalangan swasta (kios sewa buku), melainkan juga merambah hingga ke aktivis yang tinggal di desa, akademisi, guru, mahasiswa, “ibu rumah tangga”, dan lain sebagainya. Penting untuk melihat variasi portofolio subjek-subjek gerakan literasi kontemporer di Indonesia sebagai cara untuk memahami betapa kompleksnya implikasi paradigma, model kerja, strategi, dan tujuan yang dikehendaki oleh masing-masing gerakan literasi. Melupakan variasi portofolio subjek gerakan literasi berarti nyaris menegasikan keadaan terkini dari gerakan-gerakan sosial. Belum lagi diperkaya oleh kenyataan bahwa topik-topik diskursus seperti demokratisasi, ekologi, politik, HAM, kesetaraan jender menjadi konsumsi sebagai akibat dari keterbukaan akses masyarakat terhadap informasi.      

Tentu saja ketika membahas persoalan portofolio subjek gerakan sosial pada umumnya, kebanyakan dari komentator menjelaskan partisipasi individu dalam gerakan sosial menggunakan teori deprivasi (theory of deprivation).[2] Paling tidak sejak tahun 1960-an, deprivasi fraternalistik telah memberikan penjelasan umum mengenai partisipasi subjek-subjek gerakan literasi. Kerangka tersebut juga telah memberikan jawaban yang berkaitan dengan kemunculan aksi-aksi kolektif. Berkaitan dengan perkembangan teori deprivasi, muncul apa yang disebut oleh Foster dan Matheson sebagaigroup consciousness raising, yang menyatakan kebangkitan kesadaran aksi kolektif sebagai bagian dari kesadaran “the personal is political”. Dengan demikian, penjelasan mengenai variasi portofolio subjek gerakan sosial dapat ditinjau berdasarkan dakuan bahwa individu (personal) dan kelompok (political) adalah kesatuan formasi sosial aksi kolektif.

Kembali menyoal tentang gerakan literasi, dan berbagai kecenderungan pesimistik terhadapnya. Gerakan literasi seringkali dilekatkan dengan suatu strategi untuk berinteraksi dengan negara. Dalam konteks ini, gerakan literasi konvensional membangun interaksi melalui timbali-balik peran. Negara menyediakan fasilitas (uang bantuan, program sosialisasi), dan masyarakat mengambil peran sebagai pelaksana dengan misalnya mendirikan TBM, atau perpustakaan desa. Dengan melihat gerakan literasi melalui operasi tersebut akan memberikan kesimpulan-kesimpulan yang menjebak. Konsep gerakan sosial sebagai cara berinteraksi dengan negara tidak dapat digunakan serta-merta untuk melihat perkembangan gerakan literasi di Indonesia. Di Yogyakarta misalnya, berdiri beberapa komunitas literasi yang tidak bergerak dengan mekanisme tersebut. Komunitas-komunitas literasi tersebut tidak bermaksud membangun gerakan literasi sebagai cara berinteraksi dengan negara. Lebih daripada itu, komunitas-komunitas itu dibangun atas perjuangan kultural yang tidak menegasikan peran formal temporal negara sebagai sistem —yang dengan demikian cukup rumit menjelaskan posisi diametralnya dengan negara—tetapi mempertimbangkan aspek ketersediaan basis sosiologis sebagai cara untuk menentukan peran literasinya. 

Manusia-Literasi (literacy-man) sebagai hasil Evolusi Kognitif

Diringer misalnya melihat salah-satu keuntungan dari kehadiran revolusi industri, kolonialisme, ekspansi ekonomi, atau segala pandangan yang dihasilkan berdasarkan europe-centris yang menyatakan alpabet sebagai kunci dari peradaban manusia telah memberikan dampak bagi karya tulis sebagai suatu penemuan manusia (human being).[3] Dalam cara pandang demikian, karya tulis, buku, pamflet, poster, merupakan sesuatu yang ditemukan—tetapi bukan penemuan eksis, melainkan eksistensial yang mewujud dan menemukan pemaknaan kontekstual. Dibedakan dari penemuan historis yang sebenarnya justru telah mengemuka ketika sistem tulisan China, alphabet Platonian, dan empirisme Barat hadir.

Gerakan literasi dengan demikian bisa saja berkaitan secara genealogis-historis dengan perkembangan industri, tetapi itu sepenuhnya tidak sama, dan bahkan gerakan literasi telah bergeser menjadi sesuatu yang berbeda. Kecuali kalau kita memandang bahwa minat literasi itu sendiri merupakan sebuah “temuan” dan bukan merupakan keniscayaan evolutif manusia sendiri. Artinya, dengan menggunakan cara pandang minat literasi sebagai temuan, maka kecurigaan dibalik agenda-agenda peminatan literasi merupakan selubung genealogis-historis dari kategori kemajuan ala europe-centris. Sedangkan dengan menggunakan cara pandang kedua, berarti minat literasi berasal dari disposisi neural. Artinya, minat literasi muncul sebagai kebutuhan dari perkembangan evolutif-kognitif manusia. Sehingga dengan demikian tanpa menyepelekan aspek historis, minat literasi sepenuhnya adalah bukti evolusi kognitif manusia itu sendiri. Argumen ini terlihat pada manusia awal yang menggunakan benda-benda eksternal (batu, kayu, tanah) pada awalnya untuk sesuatu yang berbeda pada 10-7 Juta silam dengan yang terjadi pada manusia sekarang. Akhirnya, kepemilikan tanah sebagai simbol kekuasaan, eksploitasi batu-batuan sebagai simbol pembangunan, dan penggunaan kayu sebagai simbol penguasaan alam. Kertas atau media tulis-baca lainnya seperti tembok-goa, pelepah daun, kertas-papirus juga demikian, pada awalnya merupakan alat mencatat atau kertas yang berfungsi sebagai pamflet propagandis. Sekarang diafirmasi menjadi medium ilmu pengetahuan.

Kalau kita ingat dengan penjelasan pergerakan sejarah manusia yang bergerak menuju rasionalitas atau kemajuan teknologi dan yang oleh karena itu mengubah secara total letak persoalan mendasar masa ini dan masa-masa sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa komentar sosiolog pasca-era perang dingin seperti Giddens yang misalnya mengamati bahwa masalah manusia kontemporer bertambah rumit dengan kehadiran teknologi. Teknologi telah membawa manusia pada satu kondisi yang disebut Giddens sebagai manufactured uncertainty. Berkaitan dengan hal itu, maka secara niscaya manusia membentuk paling tidak empat topik gerakan sosial; gerakan kebebasan berbicara, gerakan buruh, gerakan perdamaian, dan gerakan ekologi. Formasi dari masing-masing topik gerakan sosial itu bisa mewujud dalam berbagai bentuk, dan disublimasi dalam motif yang berbeda-beda. Gerakan literasi termasuk salah-satu dari formasi topik-topik tersebut. Dan dengan demikian, sublimasi motifnya ditentukan oleh pegiatnya (literacy-man).

Apa Yang Kita Tangkap?

Bagaimana kita mempersepsikan gerakan literasi kontemporer?. Persepsi tersebut berpotensi menghasilkan berbagai spektrum yang berbeda tentang fungsi transformatif gerakan literasi. Pertama, kita harus menyadari bahwa gerakan literasi sudah berkembang jauh jika dilakukan penyelidikan kasuistik pasca era reformasi. Dalam konteksnya yang tidak terlalu jauh misalnya masyarakat tidak lagi sekedar melihat perannya melalui pengembangan kegiatan di sektor ekonomi, melainkan juga pendidikan. Meningkatnya jumlah institusi pendidikan yang dikelola oleh swasta (termasuk masyarakat) dapat menjadi cermin yang cukup baik untuk melihat konteks gerakan sosial kontemporer di Indonesia. Paling tidak berdasarkan aras partisipatif masyarakat dalam mengembangkan pendidikan, meskipun tentu saja kita bisa mempertimbangkan itu sebagai produk umum gejala masyarakat urban dan peningkatan kelas menengah. Tetapi yang lebih penting adalah kesadaran untuk mempertimbangkan kembali alat analisa baru untuk melihat bentuk-bentuk partisipatif dalam setiap perilaku masyarakat.

Kedua, paradigma sebagai rule of game memainkan peran penting dalam cara kita menilai dan mengevaluasi gerakan literasi. Karena paradigma yang menentukan apa yang boleh dianggap penting, apa yang dianggap relevan, dan menentukan “sebagai siapa” orang memandang sesuatu, serta “sebagai apa sesuatu itu hadir”. Fungsi paradigma yang terakhir, contohnya adalah “sebagai apakah gerakan literasi muncul?” atau “gerakan literasi sebagai bentuk dari perlawanan keseharian”, atau “sebagai kumpulan peminat buku?”. Cara kita merefleksikan realitas memperlihatkan paradigma. Jadi tantangan gerakan literasi dan relevansinya dalam konteks transformasi sosial bisa saja sangat bergantung dari kemampuan reflektif kita mengenai gerakan literasi, dan basis data untuk menyimpulkannya. Jadi kalau ada yang berkata bahwa “gerakan literasi saja tidak cukup!?” darimana basis kesimpulannya?.


_________________________________________________________________ 
baca juga hasil penelitian Suhendra Yusuf, “Perbedaan Gender dalam Prestasi Literasi Siswa di Indonesia”,

[2] Lih, Jacquelien van Stekelenburg, dan Bert Klandermans, “Individual in Movements; A Social Psychology of Contention”, dalam Conny Roggeband, dan Bert Klandermans, Handbook of Social Movements Accross Discplines, (New York: Springer, 2010), hlm. 157. 

[3] Albertine Gaur, Literacy and Politic of Writings, (UK: Intellect Books, 2000), hlm. 3.

*53% Naskah ini ditulis di tempat Semedi Sunan Kalibedog. :P

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK