Friday, December 25, 2015

Review Novel INFERNO

Oleh Lutfi Zahwar 

Dan Brown dalam novel terbarunya, Inferno, menggambarkan bahwa pokok pangkal permasalahan di bumi adalah jumlah populasi, manusia. Sepanjang kehidupannya di bumi manusia membutuhkan makanan, pakaian, papan, dan tak jarang hiburan. Bertambahnya populasi membuat bumi semakin sesak, tanah tak mungkin bertambah luas. Sedangkan kebutuhan pangan dan tempat tinggal tak pernah tak meningkat. 
Peperangan yang selama ini sering kita lihat di televisi atau kita baca lewat surat kabar, dan dikemas dengan alasan agama, perbedaan ideologi, ataupun perbedaan ras tak selamanya tepat. Barangkali di baliknya selalu ada perebutan kekuasaan, perebutan sumber daya untuk melanjutkan hidup. 
Melalui tokoh antagonis, ilmuwan kesehatan Bertrand Zobrist, manusia dianggap sebagai neraka bagi sesamanya. Ledakan populasi menyebabkan dunia menjadi neraka dan mempercepat datangnya kiamat. "Di bawah tekanan overpopulasi, mereka yang tidak pernah berpikir untuk mencuri, akan menjadi pencuri untuk memberi makan keluarga mereka. Mereka yang tidak pernah berpikir untuk membunuh, akan menjadi pembunuh untuk mempertahankan anak-anak mereka, dan seterusnya."
Keyakinan bahwa manusia adalah neraka bagi yang lainnya membuat Zobrist memiliki ide yang tak masuk akal. Ilmuwan itu ingin mengurangi setengah populasi dengan menyebarkan virus berbahaya. Menurutnya hanya dengan mengurangi setengah populasi maka neraka dunia dapat dihindarkan. Perkembangan teknologi, rekayasa genetik untuk tanaman pangan, penemuan energi alternatif atau terbarukan tak akan terlalu ada gunanya. Sebab ujung pangkal segala permasalahan adalah jumlah populasi, manusia. 
Zobrist tak sepenuhnya benar. Tokoh antagonis itu memang hanyalah karangan. Tapi mungkin saja tak sedikit manusia lain yang mempunyai keyakinan semacam Zobrist. Barangkali mereka selama hidup tak pernah merasakan kehangatan, kedekatan, dan keakraban hubungan manusiawi. Manusia tak selamanya menjadi neraka. Sebab tanpa keberadaan manusia lain kita juga tak dapat bertahan hidup.
Mengenalmu dari dekat, menjadi kakakmu selama 26 tahun, aku semakin tak percaya, sanksi pada keyakinan Zobrist. Walaupun sebagai adik kau terkadang menjengkelkan, tapi aku yakin barangkali juga orang lain yang mengenalmu juga yakin bahwa kelahiranmu ke dunia ini bukan jadi neraka bagi yang lain. Selamat ulang tahun adikku Desilia Lusiana, semoga keluarga yang sedang kau bangun selalu dirahmati Gusti Allah. Sampai kapanpun jangan pernah jadi neraka untuk yang lain.

Apresiasi Kerja Butet Manurung

Oleh Lutfi Zahwar

                                                        "Apa artinya manusia tanpa refleksi? Pasti serba teknis. Robotik. Mekanis. Kering.   Klise. Miskin budaya. Tidak bahagia.

                                                      Refleksi pintu bagi manusia untuk keluar sekaligus melampaui realitas formal yang beku, lalu menemukan dunia nilai alternatif. Di situ, daya cipta terpompa dan melahirkan kreativitas. Manusia pun menemukan kebahagiaan kultural yang jauh lebih bernilai daripada kesenangan material."

Seorang teman dalam catatan facebooknya menuliskan, "meninggalkan respon setelah membaca tukisan bagus adalah adil. Bagi diri sendiri, bagi si penulis sebagai bentuk penghargaan, dan bagi maksud-maksud kemanusiaan yang ditujunya." Teman saya itu, Fauzan Anwar Sandiahmemilih menulis untuk meninggalkan kesannya yang mendalam ketika membaca tulisan Butet Manurung, Apa Yang Salah Dengan Volunter? Ia menangkap apa yang ditulis Butet setidaknya tiga mantra yang menguatkan. Ia mempunyai alasan tersendiri kenapa menyebutnya dengan mantra, barangkali dipengaruhi pengalaman personalnya terlibat di komunitas. "Kenapa saya sebut mantra? Alasannya sederhana, karena diperlukan ritual khusus antara praktik dan refleksi untuk memahaminya. Hanya bisa diresapi lewat dua hal itu." Fauzan benar, tak sebatas untuk menghargai penulis, respon itu menguatkan diri-sendiri.
Membaca ulang tulisan Butet Manurung di Harian Kompas itu memberi kita kekuatan untuk tak gampang patah. Khususnya mereka yang selama ini terlibat, membenamkan dirinya di kerja-kerja kerelawanan. Bagi siapapun tulisan itu membuka mata siapa saja bahwa hidup itu tak selalu berarti mengejar kepentingan diri. Kisah Butet Manurung, lulusan Australia yang memilih masuk hutan untuk mengajar anak-anak Rimba di sana adalah kisah pengorbanan yang radikal. Tentu saja ia bisa memilih posisi yang lebih "nyaman" untuk dirinya. Tapi Butet mengartikan kenyamanan itu lain, berbeda dari kebanyakan orang. 
Dalam kisah pewayangan, kita banyak disuguhkan epos tentang pengorbanan. Tokoh Bhisma dalam Mahabharata juga sebuah tauladan pengorbanan. Sebagai putra mahkota ia berjanji tak akan naik takhta, juga tak akan kawin dan punya anak, demi kebaikan ayahnya. Kita segera tahu Bhisma mengorbankan dirinya, masa depannya untuk seorang yang sedarah, orang tuanya. Butet Manurung lain, ia berikan hidupnya, pengetahuannya, cinta kasihnya untuk keselamatan dan kebahagiaan makhluk lain yang tak ia kenal. 
Apa yang dilakukan oleh Butet Manurung memasuki hutan, mendirikan sekolah untuk anak-anak rimba membuat rasa kemanusiaan kita tersentuh. Bukan karena apa yang dilakukan Butet itu sama sekali baru. Di dunia ini banyak kisah lain yang juga menyentuh. Kisah-kisah itu menjadi menyentuh karena apa yang Butet dan relawan-relawan lain lakukan tak dianjurkan dalam materi pendidikan di bangku sekolah atau kuliah, dan tak diatur hukum. Justru ia melampaui hukum, melebihi moralitas, dan teori-teori di sekolahan. Butet mampu mencapai apa yang disebut Goenawan Mohamad sebagai dasar yang etikal, yakni semacam kebaikan budi atau cinta kasih, yang memberikan segalanya, menanggungkan segalanya demi liyan: bagi yang bukan bagian diriku, bukan kaumku, melainkan ia yang terpuruk di luar pintuku, yang tak kukenal, yang tak akan memberikan apapun kepadaku, tapi terancam ketakutan, tertindas, dan menderita. 
Barangkali tak terlalu tepat jika laku Butet itu disebut laku pengorbanan. Baginya itu adalah sebuah laku kemerdekaan. "Sulit digambarkan perasaan saya ketika mendengar kata pertama yang berhasil dibaca oleh murid saya, lalu di lain waktu melihatnya membantu orangtuanya di pasar menghitung hasil penjualan produk hutannya. Bantuan kecil kita bisa jadi besar maknanya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Saya merasa dibutuhkan. Butuh dan dibutuhkan menghasilkan perasaan yang berbeda. Letaknya jauh di kedalaman hati, membuat kita merasa berharga, menghargai hidup dan akhirnya bersyukur. Bekerja, apa pun itu, termasuk pekerjaan sukarela, menurut saya selalu dimulai dari menghargai diri sendiri, menghormati hidup kita sendiri. Bahwa kita begitu berharga, bermanfaat, dan berarti, sehingga kita ingin membagikan anugerah yang kita punya kepada orang lain melalui segala daya dan kreativitas. Melalui penghargaan kepada diri sendiri, kita akan menemukan banyak hal menarik dan berguna yang bisa dilakukan. Ini memang terlihat seperti pengabdian terhadap orang lain. Tapi tidak, karena sebenarnya kita mengabdi kepada kemanusiaan yang sejati."
Butet tak bertolak sebagai "aku" yang merumuskan solusi dan tahu segalanya, bagaimana menyelesaikan persoalan di sana. "Kita hanya perlu lebih banyak melihat dan mendengar langsung. Langsung itu artinya dari luar layar monitor HP, tablet, atau laptop-mu! Ada banyak hal yang tak berada di tempatnya. Datang ke sana, diam, dan amati dengan rendah hati. Rendah hati artinya kita datang dengan pertanyaan, bukan jawaban. Sekalipun ada perasaan dibutuhkan, kita datang bukan untuk jadi pahlawan, bukan untuk menggurui, tapi mempelajari, mengenali, sambil mencari apa yang bisa kita bantu. Lalu biarkan hatimu mengatakan apa yang harus kamu lakukan."
Melalui tulisan Butet kita menjadi tahu bahwa lakunya tak digerakkan kalkulasi pahala dan dosa seperti yang sering difatwakan orang yang mengaku taat beragama. "Bayangkan jika suatu hari, di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan baru tersadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita."

Refleksi Limolasan (2 habis)

Oleh : Lutfi Zahwar Lupet

Kedua, malam itu muncul kegelisahan bahwa pemerintah Kota maupun Kabupaten Kediri selama ini dirasa kurang memberikan dukungan dan kurang menyediakan ruang dalam kerja-kerja kebudayaan. Pemerintah melalui dinas-dinas terkait kurang memberi perhatian pada keberadaan komunitas-komunitas yang aktif bergiat di kerja-kerja kebudayaan. Mereka jarang sekali melibatkan komunitas-komunitas di acara-acara kebudayaan yang diadakan pemerintah. Tidak menjadi tuan rumah di rumah sendiri. 
Dalam pertemuan kedua Sekolah Literasi Podjok Batja, Fauzan Anwar Sandiah secara garis besar membagi gerakan literasi menjadi tiga model: model literasi-preneurship, model literasi formal (state minded), dan model literasi organik. Saya hanya akan menyinggung dua model terakhir yang cukup relevan dalam percakapan sarasehan malam itu. Melalui peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 23 tahun 2015 tentang budi pekerti menjadi afirmasi baru dalam soal definisi dan praktik formal gerakan literasi. Melalui kepala Badan Bahasa Kemendikbud istilah gerakan literasi berarti, ”kegiatan membaca buku selama 15 menit sebelum belajar…[serta] kegiatan menulis. Dalam arti ini, gerakan literasi merupakan aktivitas membaca dan menulis di lembaga pendidikan.
Model gerakan literasi formal atau ala negara ini merupakan salah satu wujud dari pemaknaan umum mengenai literasi sebagai aktivitas membaca dan menulis. Narasi soal gerakan literasi juga dekat dengan proyek pemberantasan buta huruf, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta konsekuensi lanjut dari proyek pembangunanisme global yang dianut PBB. Tampaknya gerakan literasi bagi negara adalah bagian tanggung-jawab atas tuntutan eksternal dalam isu-isu pembangunan global yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Proyek-proyek semacam Literacy Initiative for Empowerment, Education for Sustainable Development, atau 21st Century Skill. 
Segera terlihat bahwa negara yang diwakili oleh pemerintah atau birokrasi memiliki kepentingan-kepentingan atau agenda-agenda yang sangat mungkin berlainan dengan idealisme komunitas-komunitas akar rumput. Tidak terlibatnya negara di satu sisi memberikan keuntungan bagi komunitas akar rumput untuk memperjuangkan agenda sesuai dengan idealismenya. Mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh negara. Memunculkan wacana tandingan negara yang begitu dominan berkiblat pada idealisme pasar, pembangunanisme. Ruang-ruang kosong ini, yang tidak digarap negara yang seharusnya digarap oleh komunitas-komunitas akar rumput. Agenda-agenda tentang lokalitas, agenda pro lingkungan, dan pendidikan kritis, menjadi sedikit dari banyak hal yang bisa dikerjakan komunitas-komunitas akar rumput. Tidak menutup kemungkinan dukungan dari negara disertai dengan beberapa syarat yang mengharuskan komunitas-komunitas akar rumput menyesuaikan agenda mereka dengan agenda negara.
Tidak bisa dipungkiri di satu sisi bantuan dari negara memunculkan relasi problematis antara negara dengan komunitas-komunitas akar rumput. Negara memang tidak secara langsung ikut mengendalikan, menguasai, atau menjadi memiliki komunitas yang didukungnya. Meskipun harus dicatat bahwa pemilikan atau penguasaan tidak selalu ditandai dengan kepemilikan dan penguasaan secara administratif struktural. Namun mempengaruhi model berpikir dan cara kerja komunitas akar rumput. Pengaruh itu bisa saja menjadikan komunitas akar rumput bersifat atomistik, administratif, dan birokratis. Bahwa dalam mengadakan kegiatan yang terpenting dan paling utama adalah laporan pertanggung-jawaban. Sehingga ruang gerak komunitas akar rumput menjadi relatif tidak sebebas sebelumnya. 
Menurut Jauhari atau yang biasa dikenal dengan sebutan Penthul, “mengadakan kegiatan bersama itu bukan sekedar pentas kemudian selesai kita pulang. Tetapi bersama-sama mempersiapkan dari awal. Bareng-bareng mempersiapkan dekor, pencahayaan, panggung, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Menggodog ide bersama-sama, tidak datang hanya ketika semuanya sudah siap. Kerja bersama itu mengandaikan semuanya terlibat.” Ditambahkan oleh Hanif, “saya membayangkan acara Limolasan bukan hanya menjadi milik Mahanani, tetapi menjadi milik banyak orang, banyak komunitas.”
Apa yang disampaikan oleh Jauharun atau Penthul dan Ha Nifmerepresentasikan kesadaran model organik. Menurut Fauzan, “kesadaran organik dapat digambarkan sebagai rasionalitas yang melekat atau sejalan dengan proses tumbuh kembang antara pegiatnya dengan komunitas. Komunitas yang menganut model ini pada umumnya dicirikan atas apresiasi yang besar terhadap proses pencarian makna dalam aktivitas manusia-manusianya.” Kesadaran organik berangkat dari kebebasan orang-orang di dalam komunitas dalam mencipta gerak, pola pikir, dan orientasinya menurut apa yang dianggapnya sebagai sesuatu yang baik. Dalam model organik perumusan gerak dan orientasinya tidak sedang diintervensi maupun didikte oleh pihak yang memiliki kekuasaan atau kekuatan yang lebih tinggi. Model ini mengandaikan relasi setara, egaliter antar orang-orang yang terlibat. Keputusan ditentukan bersama melalui wicara.
Tentang ruang-ruang pementasan yang terbatas, barangkali impian Jauharun untuk membawa Limolasan dan acara-acara semacamnya ke ruang-ruang publik patut dan perlu dicoba.

Refleksi Sarasehan Limolasan (1)

Oleh Lutfi Zahwar

Selalu saja ada cerita menarik di balik gelaran Limolasan yang penting dan perlu untuk dijadikan refleksi.
Malam itu, 23 Desember, di Taman Baca Mahanani digelar Limolasan yang kedua. Sebelumnya diadakan dua bulan lalu dengan nama Padhang Mbulan. Pergantian nama Padhang Mbulan menjadi Limolasan tentu saja bukan tanpa alasan. Padhang Mbulan selama ini sudah terlalu lekat dengan Jamaah Maiyah dan Cak Nun. Pergantian nama itu dipilih untuk membedakan supaya tak rancu dan membingungkan. Banyak orang mengira gelaran Padhang Mbulan di Mahanani ada kaitannya dengan agenda kegiatan Jamaah Maiyah, padahal tidak. Kemudian dipilihlah nama Limolasan, sesuai tanggal pelaksanaan. Tanggal lima belas bulan Qomariyah.

Sebagai ruang berkesenian yang baru, sejak mula Limolasan diniatkan menjadi ruang bagi siapa saja untuk mengapresiasi seni dan sastra. Mengingat di Kediri apresiasi seni dan sastra semacam ini masih jadi sesuatu yang langka dan pinggiran. Di Limolasan mereka yang dapat tempat tak harus sastrawan, penyair, seniman yang "sudah jadi", siapapun dapat tempat. Limolasan mengusung semangat bahwa setiap orang adalah seniman dengan ekspresinya masing-masing. Keyakinan bahwa seni dan sastra sebenarnya menjadi bagian penting hidup keseharian yang kemudian melahirkan Limolasan. Bayangkan betapa kering kerontangnya jiwa manusia yang hidup tanpa seni dan sastra. Hidup menjadi sangat mekanis, robotik, serba kalkulatif. Berkesenian dan berkesusastraan dalam bentuk dan eskpresinya masing-masing menjadi pintu bagi manusia untuk keluar sekaligus melampaui realitas formal yang beku, lalu menemukan dunia nilai alternatif. Di situ, daya cipta terpompa dan melahirkan kreativitas. Manusia pun menemukan kebahagiaan kultural yang jauh lebih bernilai daripada kesenangan material.

Di Limolasan, setiap kali pertunjukkan panggung selesai, mereka yang tak buru-buru beranjak dipersilakan untuk mengikuti sarasehan. Siapapun mendapat kesempatan untuk bicara apa saja, urun rembug. Pemain teater, pembaca puisi, pegiat literasi, seniman gravity jalanan, wartawan, guru, mahasiswa yang tak kunjung lulus, mahasiswa DO duduk bersama meriung melingkar di atas karpet mendiskusikan perihal kurangnya ruang-ruang untuk mengekspresikan kesenian di Kediri.

"Tak banyak ruang-ruang bagi kita-kita untuk menampilkan dan menyuguhkan seni khususnya teater kepada masyarakat. Masyarakat belum terlibat dan masih berjarak pada kesenian-kesenian semacam ini. Begitu juga halnya pemerintah, perhatian mereka pada para pekerja seni masih sangat kurang. Untungnya ada Mahanani yang menyediakan ruang itu. Tapi sampai kapan kita harus bergantung terus pada Mahanani? Sampai kapan Mahanani akan menjadi satu-satunya alternatif tempat untuk kita berkarya bersama? Kita tentu saja tidak menginginkan itu, kita harus perbanyak, gandakan ruang-ruang itu." Pada saat itu saya tak sedang memegang pena untuk mencatat apa yang ia sampaikan, kira-kira itu tadi uneg-uneg yang terlontar dari pemain Teater All-Size yang saya lupa namanya.

Pembukaan itu kemudian disambut dengan berbagai komentar dari peserta sarasehan yang lain. Bahwa memang penting diadakannya rembug-rembug semacam ini yang tidak hanya berhenti malam itu saja. Harus ada pertemuan lanjutan. Pertemuan perwakilan beberapa komunitas di Kediri untuk membahas dengan lebih detail poin-poin yang telah disampaikan malam itu. "Saya sudah bosan dengan acara yang diadakan pemerintah, yang ditampilkan itu-itu saja. Selama ini kita tak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah yang difasilitasi itu-itu lagi, itu-itu lagi. Kita harus merebut itu, mengisinya dengan sesuatu yang baru," kata salah satu peserta sarasehan.

Masih banyak hal-hal yang disampaikan oleh teman-teman. Saya tidak mengingat semuanya. Namun ada beberapa poin yang ingin saya refleksikan melalui tulisan ini. Pertama, Pekerjaan kebudayaan tak bisa dilepaskan dari kerja-kerja aksi dan refleksi (diskusi, tukar pikiran, membaca, dan menulis). Pekerjaan kebudayaan selalu membutuhkan aksi dan refleksi. Yang satu tidak bisa meniadakan yang lain. Mengatakan bahwa banyak bicara, banyak membaca, banyak menulis itu tidak penting dalam kerja-kerja kebudayaan, yang penting adalah aksi, saya pikir terlalu berlebihan.

Saya merasa kita sedikit trauma dan antipati dengan kegiatan-kegiatan membaca, berdiskusi, dan menulis. Toh itu tak menyelesaikan permasalahan apapun. Permasalahan yang mendesak diselesaikan dengan aksi bukan dengan membaca dan berdiskusi. Diskusi terus kapan aksinya? Kapan masalah selesai? Sudah seperti politikus saja. Trauma atau antipati itu menjadi beralasan ketika yang mereka lihat adalah politikus-politikus yang suka mengobral janji atau pengamat-pengamat yang sering tampil di televisi.

Kerja-kerja kebudayaan adalah kerja-kerja jangka panjang yang seharusnya dibarengi dengan konsep yang matang. Mengebawahkan refleksi (kerja-kerja membaca, diskusi, dan menulis) atau sebaliknya mengebawahkan aksi tentu saja menjadi kontraproduktif. Aksi tanpa refleksi hanya akan membuahkan sesuatu yang dangkal, riuh, nyaring, ramai tapi kosong. Refleksi tanpa aksi juga tak akan menghasilkan apapun selain angan-angan melayang yang tak menjejak tanah. "Teralienasi dari masyarakat," ungkap salah satu peserta.

Malam itu kita tidak sedang merumuskan model kebudayaan kelontong. Istilah “kebudayaan kelontong” ini saya sitir dari Muhidin M Dahlan yang ia tulis dalam esainya yang berjudul, Jokowi dan Kebudayaan Kelontong. Kelontong merujuk pada warung yang menjual apa saja yang sedang laku, sedang dicari, dan dibeli banyak orang.

Model berpikir kelontong adalah berpikir praktis dan pragmatis. Kedalaman menjadi sesuatu yang asing dan tak lalu. Apapun asal laku, apa yang sedang digemari masyarakat banyak, itu yang kemudian disuguhkan. Kerangka berpikir kelontong jelas, yang tak membawa nilai ekonomi kini dan di sini pasti diabaikan. Dalam kebudayaan kelontong, siapa saja yang tak praktis, tak segera menghasilkan yang kongkrit, segera bisa diaplikasikan pasti terbuang dan tak penting. Dalam kebudayaan kelontong, mereka yang melakukan kerja-kerja reflektif harus siap-siap gigit jari.

Pada awalnya, permasalahan apapun diselesaikan melalui wicara, komunikasi. Banyak orang menyebutnya diskusi, ngobrol, koyah, dan mungkin disebut maido. Wicara adalah sesuatu yang elementer, sesuatu yang mendasar yang dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi masalah bersama untuk menciptakan tata hidup lebih baik yang dikehendaki. Dalam kebebasan berekspresi setiap orang sangat mungkin memiliki preferensi yang baik dan yang buruk berbeda-beda. A untuk kelompok ini baik, sedangkan menurut kelompok itu buruk. Hanya melalui wicara, beragam kepentingan tadi dapat dipertemukan untuk menjalin konsensus/kesepakatan preferensi bersama. Tanpa itu tentu saja kepentingan-kepentingan beragam tadi amat sulit dipertemukan. Maka tidak bisa tidak dalam merumuskan kerja-kerja kebudayaan di Kediri dibutuhkan kerja keras bersama melalui dialektika ganda, aksi dan refleksi yang tak pernah selesai.

Pidato Malala Yousafzai di Penghargaan Nobel Peace Prize

 Rumah Baca Komunitas
Bismillah hir rahman ir rahim.
In the name of God, the most merciful, the most beneficent
.
Your Majesties, Your royal highnesses, distinguished members of the Norweigan Nobel Committee,
Dear sisters and brothers, today is a day of great happiness for me. I am humbled that the Nobel Committee has selected me for this precious award.
Thank you to everyone for your continued support and love. Thank you for the letters and cards that I still receive from all around the world. Your kind and encouraging words strengthens and inspires me.
I would like to thank my parents for their unconditional love. Thank you to my father for not clipping my wings and for letting me fly. Thank you to my mother for inspiring me to be patient and to always speak the truth- which we strongly believe is the true message of Islam.  And also thank you to all my wonderful teachers, who inspired me to believe in myself and be brave.

I am proud, well in fact, I am very proud to be the first Pashtun, the first Pakistani, and the youngest person to receive this award.  Along with that, along with that, I am pretty certain that I am also the first recipient of the Nobel Peace Prize who still fights with her younger brothers. I want there to be peace everywhere, but my brothers and I are still working on that.

I am also honoured to receive this award together with Kailash Satyarthi, who has been a champion for children's rights for a long time. Twice as long, in fact, than I have been alive. I am proud that we can work together, we can work together and show the world that an Indian and a Pakistani, they can work together and achieve their goals of children's rights.
Dear brothers and sisters, I was named after the inspirational Malalai of Maiwand who is the Pashtun Joan of Arc. The word Malala means grief stricken", sad", but in order to lend some happiness to it, my grandfather would always call me Malala – The happiest girl in the world" and today I am very happy that we are together fighting for an important cause.
This award is not just for me. It is for those forgotten children who want education. It is for those frightened children who want peace. It is for those voiceless children who want change.
I am here to stand up for their rights, to raise their voice… it is not time to pity them. It is not time to pity them. It is time to take action so it becomes the last time, the last time, so it becomes the last time that we see a child deprived of education.

I have found that people describe me in many different ways.
Some people call me the girl who was shot by the Taliban.
And some, the girl who fought for her rights.
 Rumah Baca Komunitas
Some people, call me a "Nobel Laureate" now.
However, my brothers still call me that annoying bossy sister. As far as I know, I am just a committed and even stubborn person who wants to see every child getting quality education, who wants to see women having equal rights and who wants peace in every corner of the world.
Education is one of the blessings of life—and one of its necessities. That has been my experience during the 17 years of my life. In my paradise home, Swat, I always loved learning and discovering new things. I remember when my friends and I would decorate our hands with henna on special occasions. And instead of drawing flowers and patterns we would paint our hands with mathematical formulas and equations.
We had a thirst for education, we had a thirst for education because our future was right there in that classroom. We would sit and learn and read together. We loved to wear neat and tidy school uniforms and we would sit there with big dreams in our eyes. We wanted to make our parents proud and prove that we could also excel in our studies and achieve those goals, which some people think only boys can.

But things did not remain the same. When I was in Swat, which was a place of tourism and beauty, suddenly changed into a place of terrorism. I was just ten that more than 400 schools were destroyed. Women were flogged. People were killed. And our beautiful dreams turned into nightmares.
Education went from being a right to being a crime.
Girls were stopped from going to school.

When my world suddenly changed, my priorities changed too.
I had two options. One was to remain silent and wait to be killed. And the second was to speak up and then be killed.

I chose the second one. I decided to speak up.
We could not just stand by and see those injustices of the terrorists denying our rights, ruthlessly killing people and misusing the name of Islam. We decided to raise our voice and tell them: Have you not learnt, have you not learnt that in the Holy Quran Allah says: if you kill one person it is as if you kill the whole humanity?

Do you not know that Mohammad, peace be upon him, the prophet of mercy, he says, do not harm yourself or others".  
And do you not know that the very first word of the Holy Quran is the word Iqra", which means read"?

The terrorists tried to stop us and attacked me and my friends who are here today, on our school bus in 2012, but neither their ideas nor their bullets could win.
We survived. And since that day, our voices have grown louder and louder.
I tell my story, not because it is unique, but because it is not.
It is the story of many girls.


Today, I tell their stories too. I have brought with me some of my sisters from Pakistan, from Nigeria and from Syria, who share this story. My brave sisters Shazia and Kainat who were also shot that day on our school bus. But they have not stopped learning. And my brave sister Kainat Soomro who went through severe abuse and extreme violence, even her brother was killed, but she did not succumb.
Also my sisters here, whom I have met during my Malala Fund campaign. My 16-year-old courageous sister, Mezon from Syria, who now lives in Jordan as refugee and goes from tent to tent encouraging girls and boys to learn. And my sister Amina, from the North of Nigeria, where Boko Haram threatens, and stops girls and even kidnaps girls, just for wanting to go to school.
Though I appear as one girl, though I appear as one girl, one person, who is 5 foot 2 inches tall, if you include my high heels. (It means I am 5 foot only) I am not a lone voice, I am not a lone voice, I am many.

I am Malala. But I am also Shazia.
I am Kainat.
I am Kainat Soomro.
I am Mezon.
I am Amina. I am those 66 million girls who are deprived of education. And today I am not raising my voice, it is the voice of those 66 million girls.
 Sharing is Power
Sometimes people like to ask me why should girls go to school, why is it important for them. But I think the more important question is why shouldn't they, why shouldn't they have this right to go to school.
Dear sisters and brothers, today, in half of the world, we see rapid progress and development. However, there are many countries where millions still suffer from the very old problems of war, poverty, and injustice.

We still see conflicts in which innocent people lose their lives and children become orphans. We see many people becoming refugees in Syria, Gaza and Iraq. In Afghanistan, we see families being killed in suicide attacks and bomb blasts.
Many children in Africa do not have access to education because of poverty.  And as I said, we still see, we still see girls who have no freedom to go to school in the north of Nigeria.
Many children in countries like Pakistan and India, as Kailash Satyarthi mentioned, many children, especially in India and Pakistan are deprived of their right to education because of social taboos, or they have been forced into child marriage or into child labour.

One of my very good school friends, the same age as me, who had always been a bold and confident girl, dreamed of becoming a doctor. But her dream remained a dream. At the age of 12, she was forced to get married. And then soon she had a son, she had a child when she herself was still a child – only 14. I know that she could have been a very good doctor.
But she couldn't ... because she was a girl.

Her story is why I dedicate the Nobel Peace Prize money to the Malala Fund, to help give girls quality education, everywhere, anywhere in the world and to raise their voices. The first place this funding will go to is where my heart is, to build schools in Pakistan—especially in my home of Swat and Shangla.

In my own village, there is still no secondary school for girls. And it is my wish and my commitment, and now my challenge to build one so that my friends and my sisters can go there to school and get quality education and to get this opportunity to fulfil their dreams.
This is where I will begin, but it is not where I will stop. I will continue this fight until I see every child, every child in school.

Dear brothers and sisters, great people, who brought change, like Martin Luther King and Nelson MandelaMother Teresa and Aung San Suu Kyi, once stood here on this stage. I hope the steps that Kailash Satyarthi and I have taken so far and will take on this journey will also bring change – lasting change.

My great hope is that this will be the last time, this will be the last time we must fight for education. Let's solve this once and for all.
We have already taken many steps. Now it is time to take a leap.
It is not time to tell the world leaders to realise how important education is - they already know it - their own children are in good schools. Now it is time to call them to take action for the rest of the world's children.

We ask the world leaders to unite and make education their top priority.
Fifteen years ago, the world leaders decided on a set of global goals, the Millennium Development Goals.  In the years that have followed, we have seen some progress. The number of children out of school has been halved, as Kailash Satyarthi said. However, the world focused only on primary education, and progress did not reach everyone.
In year 2015, representatives from all around the world will meet in the United Nations to set the next set of goals, the Sustainable Development Goals. This will set the world's ambition for the next generations.

The world can no longer accept, the world can no longer accept that basic education is enough.  Why do leaders accept that for children in developing countries, only basic literacy is sufficient, when their own children do homework in Algebra, Mathematics, Science and Physics?
Leaders must seize this opportunity to guarantee a free, quality, primary andsecondary education for every child.

Some will say this is impractical, or too expensive, or too hard.  Or maybe even impossible.  But it is time the world thinks bigger.

Dear sisters and brothers, the so-called world of adults may understand it, but we children don't. Why is it that countries which we call strong" are so powerful in creating wars but are so weak in bringing peace? Why is it that giving guns is so easy but giving books is so hard? Why is it, why is it that making tanks is so easy, but building schools is so hard?
We are living in the modern age and we believe that nothing is impossible. We have reached the moon 45 years ago and maybe will soon land on Mars. Then, in this 21st century, we must be able to give every child quality education.

Dear sisters and brothers, dear fellow children, we must work… not wait. Not just the politicians and the world leaders, we all need to contribute.  Me. You. We. It is our duty.
Let us become the first generation to decide to be the last , let us become the first generation that decides to be the last that sees empty classrooms, lost childhoods, and wasted potentials.
Let this be the last time that a girl or a boy spends their childhood in a factory.
Let this be the last time that a girl is forced into early child marriage.
Let this be the last time that a child loses life in war.
Let this be the last time that we see a child out of school.
Let this end with us.
Let's begin this ending ... together ... today ... right here, right now. Let's begin this ending now.

Thank you so much.

Inaki Azkuna: Walikota Dunia

Literapedia RBK Edisi Des 2015

oleh Tim Literapedia

Terpicu oleh ‘buruknya’ tata kelola pemerintahan kota Yogyakarta yang akhir-akhir ini santer
dibincangkan baik di dunia nyata maupun social media, literapedia edisi ini terpicu untuk memberikan pandanan alternative bagaimana pengelolaan kota berbasis kebudayaan dan inklusifisme dapat bekerja baik di belakan bumi lain. Kali ini, salah satu kota di Spanyol menjadi contoh yaitu kota Bilbao yang dikepalai oleh Inaki Azkuna. Ia terpilih menjadi walikota terbaik nomor wahid versi The World Mayor Project 2012.

Sebelum menjadi walikota Basque sejak 1999, Azkuna berpengalaman sebagai pejabat dinas kesehatan provinsi otonomi khusus Basque. Dia turut berperan mewujudkan transformasi di kotanya, yang mengalami penurunan industri, menjadi pusat seni dan wisata yang patut dibanggakan.

Walikota Azkuna telah diakui sebagai pemimpin pemerintahan kota paling transparan di Spanyol. Walikota menekankan pentingnya melibatkan warga dalam proses pembangunan proyek kota baru dari tahap perencanaan dan desain dan evaluasi kebijakan kota. Ia berhasil mentransformasikan dari kota yang berorientasi industry menjadi pusat destinasi wisata kebudayaan yaitu dengan melalukan revitalisasi museum Guggenheim tahun 1997.

Mengomentari keinginan dari beberapa wilayah Spanyol untuk kemerdekaan yang lebih luas, Walikota Azkuna, yang merupakan anggota Partai Nasional Basque (Partido Nacionalista Vasco) mengatakan dalam sebuah sesi tanya-jawab dengan warga Bilbao bahwa ia disukai saling ketergantungan—ia sangat percaya bahwa manusia di kota semakin membutuhkan orang lain.

Bilbao di bawah pimpinan Azkuna tetap meneruskan proyek pembangunan museum yang telah habiskan anggaran publik sebesar US$230 juta tahun 1990an, bahkan ia mengembangkannya menjadi museum yang megah. Banyak kritik bertumbangan beberapa saat setelah Museum Guggenheim dibuka.

Kini, setiap tahun jumlah pengunjung ke Kota Bilbao naik dari 100.000 menjadi lebih dari 700.000 orang sejak 2011. Museum Guggenheim diperkirakan telah menyumbang pemasukan sebesar US$3,1 miliar kepada Pemerintah Provinsi Basque sejak dibuka pada Oktober 1997.
Sejak terpilih menjadi walikota, Azkuna memanfaatkan daya tarik Museum Guggenheim – yang didesain oleh arsitek Frank Gehry – untuk membangun kembali Kota Bilbao. Museum itu kini menjadi lambang kebanggaan yang tak kalah prestisius dengan gedung Sydney Opera House di Australia.

Penilaian atas Azkuna sebagai walikota terbaik tidak hanya dari pemanfaatan museum saja. The World Mayors Foundation mencatat bahwa, tidak seperti kota-kota besar di Spanyol dan juga Eropa, Bilbao pimpinan Azkuna kini adalah kota bebas utang lama pada tahun 2011. Hal ini dicapaianya dengan kerja keras bersama warganya untuk mengembangkan pariwisata. Selain keluar dari krisis ekonomi, Azkuna juga membebaskan kota ini dari banjir tahunan.


Salah satu kerja kerasnya adalah ditujukan untuk membangun tata pemerintahan kota yang jujur, transparan, dan non-diskrimantif. Suatu nilai yang sangat dekat dengan kebudayaan yang diyakini oleh bangsa Indonesia, wabilkhusus warga Yogyakarta.

Thursday, December 24, 2015

Nasionalisme hari ini dan masa depan

Penulis       : Benedict Anderson
Judul asli    : “Nationalism Today and in the Future” yang dimuat dalam New Left Review I/235 May-                     June 1999.
Penerjemah : Bramantya Basuki - Penerbitan Anjing Galak. 


Dalam pengalaman saya, nasionalisme seringkali disalah mengertikan. Untuk itu, saya akan memulai tulisan saya dengan membahas dua jenis kesalahpahaman yang sering terjadi, menggunakan Indonesia sebagai contoh dari fenomena yang terjadi hampir sama di seluruh dunia dalam sebuah abad yang hampir berakhir saat ini.[1] Yang pertama, nasionalisme merupakan sesuatu yang sudah sangat tua dan diwariskan tentu saja oleh “kejayaan nenek moyang yang begitu agung“ (“absolutely splendid ancestors“). Bagaimanapun nasionalisme merupakan sesuatu yang tumbuh secara alamiah dalam darah dan daging tiap-tiap dari kita. Namun faktanya, nasionalisme merupakan sesuatu yang masih anyar, dan sampai saat ini “baru“ berusia dua abad. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, yang diproklamirkan di Philadelphia pada 1776, tidak menyebut sedikitpun tentang “nenek moyang“, termasuk tidak juga menyebut tentang orang Amerika. Deklarasi Kemerdekaan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, juga tampak mirip. Namun kebalikannya, mereka yang mengusung “kejayaan nenek moyang yang begitu agung“ biasanya hanya memunculkan omong kosong belaka, dan seringnya sebentuk omong kosong yang sangat berbahaya.

Contoh dari sejarah setempat yang paling bagus adalah Pangeran Diponegoro (1787-1855), yang pada tahun 1950 diangkat sebagai Pahlawan Nasional, selayaknya Diponegoro telah memimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia keluar dari jerat kolonialisme Belanda. Namun, jika kita perhatikan lagi apa yang Diponegoro tulis dalam memoarnya, kata yang ia gunakan untuk menggambarkan tujuan politiknya adalah ia berniat untuk “menaklukkan“ (Subjugate) –ya, “menaklukan“- Jawa. Konsep mengenai “Indonesia“ masih sangatlah asing bagi dirinya –begitu juga dengan gagasan mengenai “kebebasan“. Memang, sejauh yang kita ketahui neologisme asing dari Yunani-Romawi ini masih sangatlah anyar: baru mulai jadi terkenal semenjak 80 tahun yang lalu.Organisasi pertama yang menggunakan kata ini adalah Partai Komunis Indonesia –pada tahun 1920 (ketika ibu saya masih seorang gadis berumur 15 tahun).
Kesalahpahaman kedua adalah tentang “bangsa“ (nation) dan “negara“ (state), jika dianggap tidak mirip, paling tidak hubungan mereka layaknya suami dan istri yang berbahagia. Namun dalam kenyataan sejarah yang terjadi justru berlawanan. Mungkin 85% dari gerakan nasionalis memulai perjuangannya sebagai sebuah gerakan anti-negara (anti-state) melawan struktur negara-dinasti yang kolonialistik dan absolutistik. Negara dan bangsa baru “menikah“ akhir-akhir ini, dan pernikahan tersebut seringnya jauh dari bahagia. Pemahaman yang umumnya muncul muncul adalah bahwa negara –atau apa yang oleh saya dan beberapa kawan sering kami sebut sebagai Buto[2] (Ogre)- jauh lebih tua daripada bangsa itu sendiri.

Dari Batavia menjadi Indonesia

Indonesia sekali lagi, menyajikan sebuah contoh yang bagus. Genealogi perihal negara di Indonesia dimulai di Batavia pada awal abad ke-17. Runutan perkembangannya terlihat sangatlah jelas, meskipun perluasan wilayahnya semakin lama semakin lebar. Luas wilayah di Indonesia saat ini –dengan pengecualian Timor-Timur- merupakan wilayah jajahan Belanda di Hindia Timur saat mereka merampungkan penaklukan terakhir mereka di Aceh, Bali Selatan dan Irian (Papua sekarang –Penj) di awal abad ini. Selanjutnya, kita harus selalu ingat bahwa di akhir masa kejayaan Belanda di Indonesia, sekitar tahun 1930-an, 90 persen –saya ulangi, 90 persen- dari pegawai pemerintahannya merupakan “pribumi“. Tentu saja ada beberapa pergantian -tekanan dan penambahan- selama masa revolusi, namun, sebagian besar personil dari negara republik muda ini merupakan kelanjutan dari negara kolonial yang ada sebelumnya. Parlemen pertama sesudah tahun 1950 juga penuh dengan para mantan kolaborator kolonialisme, dan tentara republik yang baru ini juga terdiri dari banyak prajurit dan pegawai negara yang melawan keberadaan Republik selama masa Revolusi.[3]

Sejauh pemahaman mengenai wilayah nasional yang ada, terdapat sebuah ironi yang pertama kali disebutkan salah satunya oleh Jenderal Sayidiman. Karena rezim Suharto membuat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi sesuatu yang sakral –walaupun pada kenyataannya, Undang-Undang itu dibuat dengan ketergesaan yang sangat tinggi di bulan Agustus 1945 dalam situasi yang darurat dan penuh kebingungan- penentuan batas wilayah Indonesia tidak dapat dirubah (dengan ketakutan akan mengurangi kesakralannya). Ini berarti bahwa pencaplokan Timor-Timur, yang berada di luar batas yang ditentukan tadi, sedari awal sangatlah tidak konstitusional. Untungnya, Sayidiman merupakan seorang Jenderal, jadi tak terlalu berbahaya baginya untuk mengucapkan itu. 

Singkatnya: apa yang baru saja saya tuturkan merupakan sebuah peringatan. Waspadalah kepada siapapun yang membuat negara menjadi sesuatu yang sakral dan senantiasa dipuja, dan waspadalah kepada siapa saja yang selalu membanggakan “kejayaan nenek moyang yang begitu agung“. Milikmu akan segera dicurinya.

Lalu apa sebenarnya nasionalisme itu? Jika kita mempelajari tentang sejarah dunia, maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan dari masa lampau, namun lebih kepada sebuah “proyek bersama“ (common project) untuk kini dan di masa depan. Dan proyek ini lebih membutuhkan pengorbanan pribadi, bukannya malah mengorbankan orang lain. Inilah mengapa tidak pernah terjadi pada para pejuang kemerdekaan bahwa seolah-olah mereka memiliki hak untuk membunuh sesama bangsa Indonesia; sebaliknya mereka merasa harus memiliki keberanian jika nanti mereka akan dipenjara, dianiaya, dan diasingkan demi kebebasan dan kebahagiaan di masa depan para sesamanya.

Perihal Pemuda dan Pertaruhan Mereka

Nasionalisme muncul di dalam suatu wilayah tertentu ketika para penduduknya mulai merasa mereka memiliki sebuah tujuan bersama, juga masa depan bersama. Atau seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, mereka diikat oleh rasa persaudaraan yang dalam. Biasanya, perasaan itu muncul secara cepat dan begitu saja pada sebuah generasi, sebagai suatu penanda bagi kebaruanya. Kita dapat melihat betapa nasionalisme dapat begitu lekat dengan harapan untuk masa depan, jika kita perhatikan nama-nama dari organisasi awal yang bergabung dengan gerakan kemerdekaan pada awal abad-20: Jong Java, Indonesia Muda, Jong Islamietenbond (Liga Muslim Muda), Jong Minahasa, dan sebagainya. Tak ada satupun organisasi yang menamai diri mereka Jawa Tua, Bali Abadi, atau sejenisnya. Orientasi mereka adalah menuju masa depan dan basis sosialnya adalah para pemuda (Bahkan hingga saat ini, kekuatan politik istimewa yang dimiliki mahasiswa terletak pada posisi sosial mereka sebagai simbol masa depan bangsa). Lebih jauh lagi, para pemuda pada masa itu menggunakan identitas kedaerahan mereka bukan atas nama nasionalisme lokal yang separatis, namun sebagai penanda akan komitmen kedaerahan mereka terhadap kebersamaan sesama koloni dan proyek bersama untuk pembebasan. Mereka tak terlalu lagi mempedulikan bahwa dulu raja Aceh pernah “menjajah“ wilayah pesisir Minangkabau, bahwa raja orang Bugis pernah memperbudak orang-orang di perbukitan Toraja, bahwa bangsawan-bangsawan Jawa pernah mencoba untuk menaklukan dataran tinggi Sunda, atau maharaja Bali yang pernah dengan sukses menundukan Pulau Sasak.

Jika kita dapat kembali ke tahun 1945-1949 dan bercengkrama dengan para pejuang kemerdekaan pada masa itu, bisa dipastikan bahwa mereka akan sulit mempercayai bahwa lima puluh tahun kemudian fungsi dari angkatan bersenjata Republik ini tidak lagi untuk melindungi negara dari musuh eksternal, namun justru malah menindas rakyat sendiri, yang dengan ini berarti juga mengadopsi tradisi militer pada masa kolonial. Namun inilah yang selalu sering terjadi. Mungkin orang-orang pada masa lalu itu tak begitu waspada pada konsekuensi yang mungkin terjadi pada perkawinan antara negara dan bangsa. 
Jika nasionalisme merupakan sebuah proyek bersama untuk kini dan masa depan, maka ia tak akan pernah mengenal garis final. Nasionalisme memang harus diperjuangkan dalam setiap generasi. Di dalam pandangan orang tuanya, dan juga negara, seorang bayi uang lahir di Madura, katakanlah, sudah menjadi seorang “warga Indonesia“, namun si bayi belum tentu juga berpikir demikian. Proses untuk si Bayi menjadikan dirinya seorang warga Indonesia, dengan jiwa seorang Indonesia, dengan komitmen untuk Indonesia, dan dengan budaya Indonesia, merupakan sebuah jalan yang panjang, tanpa ada jaminan pasti akan adanya keberhasilan. Dengan kata lain, kita dapat juga melihat bahwa “kelanjutan“ dari sebuah bangsa pada dasarnya tidak pernah memiliki sebuah jawaban pasti, dan juga layaknya sebuah pertaruhan.

Pertaruhannya apakah gagasan mengenai “masa depan Indonesia“ akan cukup mengakar pada jiwa semua warga negara, yang jika perlu, tiap calon warga Indonesia yang baru selalu seiap menyingkirkan ambisi personal dan mendedikasikan kesetiaannya pada gagasan besar tersebut. Taruhan ini dapat dimenangkan dalam jangka waktu yang panjang, hanya jika bangsa Indonesia cukup terbuka pikirannya dan berhati besar untuk menerima keberagaman dan kompleksitas dari masyarakatnya –dimana dalam kasus Indonesia terdapat 200 juta jiwa. Dunia modern saat ini telah memberikan kita bukti yang cukup mengenai sebuah bangsa yang terpecah-pecah karena banyak dari warga negaranya yang berhati kerdil dan berpikiran sempit –belum termasuk keinginan yang berlebih untuk berkuasa atas sesamanya.

Warisan Bersama atau Proyek Bersama

Ketika saya masih kanak-kanak, ibu membelikan sebuah buku bekas berjudul History of English Literature (Sejarah Kesusastraan Inggris). Saya mengingat dengan jelas bahwa bagian pertama dari buku ini ditujukan bagi cerita Cuchulain and the Brown Cow yang ditulis pada abad ke-12 di Irlandia Kuno –yaitu, sebelum bahasa Inggris pun ada. Lalu apa yang membuat ini aneh? Karena edisi buku yang ibu saya belikan adalah terbitan tahun 1900-an, saat Irlandia masih dijajah oleh Inggris, yang berusaha dengan susah payah untuk “mengintegrasikan“ penduduk lokal, seperti halnya cara rezim Soeharto mencoba untuk “mengintegrasikan“ penduduk Timor-Timur. Beberapa tahun kemudian, saya menemukan sebuah edisi baru dari buku tersebut, diterbitkan sekitan 1930-an, dan saya kagum mendapati bagian pertama dari buku tersebut telah hilang, karena, pada waktu itu Republik Irlandia (dimana saya menjadi warga negaranya) telah mendapatkan kemerdekaannya –kurang lebih 22 tahun sebelum Indonesia. Dari cerita sederhana ini, kita dapat melihat betapa mudahnya membuat dan membinasakan “nenek moyang yang agung“ tergantung pada situasi politik. Sejujurnya saat ini tak ada seorang orang Inggris pun yang merindukan The Brown Cow. Di lain sisi, kebanyakan orang Irlandia berbicara dengan bahasa Inggris daripada bahasa Irlandia sendiri, jadi banyak dari mereka hanya dapat membaca cerita The Brown Cow tadi dalam terjemahan bahasa Inggris. Dan hubungan antara Irlandia yang merdeka dan Inggris sekarang ini jauh lebih baik daripada seratus atau lima puluh tahun yang lalu, ketika puluhan ribu petani Irlandia dipaksa oleh kelaparan akibat penjajahan untuk kabur ke Amerika. Ada sebuah perlajaran menarik di sini untuk Indonesia dan hubungannya dengan Timor-Timur.

Saya memberikan kilasan singkat ini karena saya masih melihat banyak sekali warga Indonesia masih cenderung berpikir Indonesia sebagai sebuah “warisan“ semata, bukan sebagai sebuah tantangan atau sebuah proyek bersama. Dimana seseorang memiliki warisan, lalu seseorang itu memiliki pewaris, dan, seringnya, terjadi perselisihan pahit diantara mereka sebagai siapa yang lebih berhak untuk mewarisinya. Seseorang yang masih memandang bahwa “perasan“ dari Indonesia merupakan sebuah “warisan“ yang harus dijaga dengan segala cara dapat berujung pada perlakuan kekerasan kepada warga yang hidup dalam ruang geografis yang abstrak tersebut.

Mari kita ambil dua contoh paling jelas yang sedang banyak diberitakan: Aceh dan Irian.[4]Sepanjang sejarah pergerakan kemerdekaan saat masa penjajahan, tak ada satu pun orang Aceh yang saya ketahui pernah mengungkapkan ide mengenai “Aceh Merdeka“. Selama masa Revolusi, Aceh adalah satu-satunya provinsi dimana Belanda tidak lagi berani untuk kembali ke sana. Namun, bukannya mengambil kesempatan itu untuk memerdekakan diri, orang Aceh memberikan, dengan dasar sukarela –saya hendak menekankan kata “sukarela“ di sini- kontribusi yang sangat besar kepada perkara revolusi tersebut baik dalam hal tenaga manusia maupun sumber daya ekonomi dan keuangan. Mereka melakukan hal ini dikarenakan, di masa-masa itu, Jogjakarta[5]sama sekali tidak memiliki niatan ataupun tujuan untuk bertindak seperti Diponegoro, yaitu mencoba menaklukan Aceh.

Memang benar bahwa, di bahwa pimpinan Daud Beureueh,[6] beberapa orang Aceh memutuskan untuk memberontak kepada Jakarta pada awal 1950-an, karena mereka telah dikecewakan oleh beberapa kebijakan yang diterapkan oleh pusat; namun pemberontakan ini pertama-tama ditujukan untuk merubah kebijakan ini, bukan untuk memisahkan diri dari Indonesia. Pada tahun 1970-an, Aceh begitu damai dan makmur di bawah pemerintahan sispil, dan tak ada seorang pun yang percaya bahwa, pada akhir dekade berikutnya, provinsi tersebut akan menjadi sebuah Daerah Operasi Militer (DOM) yang penuh kengerian. Pada saat itu, Hasan di Tiro[7]  tidak terlalu diangap penting oleh siapa saja, dikarenakan dia telah cukup lama meninggalkan Indonesia dan koneksinya kepada CIA (Central Intelligence Agency) di masa lalu. Bahwa “Aceh Merdeka“ menjadi begitu populer pada akhir 1980-an dikarenakan semakin banyaknya orang Aceh yang kehilangan harapan dan kepercayaan bahwa mereka sedang berbagi dalam sebuah proyek bersama dengan manusia Indonesia lainnya. Kerakusan yang begitu hebat dari Jakarta, dan kaki tangan serta anak buah mereka di pemerintahan provinsi, begitu juga penggantian pemimpin sipil putra daerah dengan mereka yang dari militer, yang kebanyakan berasal dari Jawa, sepertinya hendak berujar pada para penduduk Aceh: “Kita sama sekali tidak membutuhkanmu; yang kita butuhkan adalah sumber daya alam milikmu. Alangkah bagusnya jika Aceh dikosongkan dari orang Aceh sendiri“. Inilah muasal dari rangkaian kekejian yang media massa seringkali luput untuk diliput.

Akar dari Separatisme

Cerita Irian dalam banyak hal sangat bisa dibandingkan. Kemunculan OPM (Organisasi Papua Merdeka) bukan sebelum Orde Baru –dimana mulai sekarang akan saya sebut sebagai Orde Keropos- berkuasa, namun sesudahnya. Dan bahasa yang mereka gunakan masih bahasa Indonesia. Namun berbagai macam ancaman dan manipulasi yang diarsiteki oleh Ali Murtopo[8] dan antek-anteknya, memberi sebuah gambaran seolah-olah semua orang Irian merupakan pelayan yang patuh kepada Orde Keropos tersebut. Bagi orang Irian sendiri, hal ini jelas-jelas menunjukan bahwa di mata orang-orang di pusat, yang paling penting itu adalah Iriannya, bukan manusia yang hidup di sana. Dalam segala macam keberagaman yang dimiliki, mereka justru dicap sebagai populasi primitif yang diberi sebutan mengacu pada nama provinsi mereka. Sekali lagi, yang hanya akan dipahami dari tindakan Jakarta ini adalah perkataan: “Sayang ya, ada orang Irian yang tinggal Irian“. Rakyat di Irian tak pernah secara serius diajak bergabung pada sebuah proyek bersama, jadi wajar saja kalau mereka mulai merasa bahwa mereka sedang dijajah. (Sambil lalu, saya mencatat bahwa masih saja ada warga Indonesia yang berpikir bahwa penjajahan hanya dapat dilakukan oleh orang Barat kepada orang non-Barat. Ini sangatlah berbahaya dan secara historis merupakan sebuah ilusi ketidakacuhan.) 

Dari perilaku kolonial Orde Keropos tersebut, munculah karakteristik yang begitu keji. Institut Bantuan Hukum cabang setempat mencatat, sebagai contoh, dibawah kepemimpinan biadab Jenderal Abinowo, ada sebuah kasus dimana sebuah desa disangka menampung geriliyawan OPM lalu setengah penduduk yang tinggal disana dibakar hidup-hidup bersama dengan rumah mereka oleh pihak militer, sedangkan setengah penduduk yang lain dipaksa oleh oknum militer yang sama untuk memakan daging para keluarga dan tetangga mereka yang telah gosong terpanggang. Kekejian terencana seperti ini sama sekali tak dapat dibayangkan selama masa revolusi, dan bahkan pada era PRRI dan DI.[9]  Mereka jelas-jelas menunjukan bahwa, pada bagian angkatan bersenjata di bawah Orde Keropos, orang Irian bukan saja tidak termasuk dalam sesama bangsa Indonesia, namun juga sekedar “barang milik“ dari si Buto.

Kita dapat menyimpulkan dengan demikian bahwa, Gerakan Aceh Merdeka dan OPM muncul kepermukaan sebagai reaksi atas sebuah mentalitas, kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dari Orde Keropos, dengan sikap dasar: “Sayang ya, ada orang Aceh yang tinggal Aceh dan orang Irian yang tinggal di Irian“, dan pandangan terhadap warga yang terkucilkan ini bukan sebagai manusia Indonesia, namun lebih sebagai “objek“, “barang milik“, “pembantu“, dan “halangan“ bagi si Buto. Situasi saat ini sangatlah serius dan hanya perubahan radikal pada pola pikir para pemimpin politik di Jakarta. Sangatlah penting bahwa Aceh dan Irian diakui keasliannya dan diberi otonomi penuh sehingga mereka, sekali lagi, dapat merasakan diri sebagai tuan di rumah sendiri. Proses ini akan memerlukan hadirnya pemilihan daerah yang bebas dan reguler, serta pemerintah provinsi dan kabupaten yang dipilih secara langsung –bukan ditunjuk lagi oleh menteri dalam negeri. Otonomi ini juga akan memerlukan adanya Dewan Perwakilalan Rakyat Daerah dimana “fraksi militer“ -mereka yang tidak melalui pemilihan umum, namun ditunjuk, dan kebanyakan berasal dari bagian barat Indonesia- tidak termasuk di dalamnya. Saya tidak ragu lagi bahwa, jika perubahan ini diwujudkan dalam waktu dekat dan dengan benar, maka gerakan separatis akan kehilangan gaungnya.

Saya juga yakin bahwa nanti akan ada rintangan kedepan: sengketa di daerah, korupsi, dan bahkan kekerasan, sebagai bagian dari sisa-sisa tiga puluh tiga tahun kekejaman dan korupnya kekuasaan Orde Keropos tadi. Namun kondisi tersebut hanyalah sementara, dan dalam berbagai hal, kondisi-kondisi tadi masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan eksploitasi dan kekejian saat era Orde Keropos. Dengan cara ini, warga Aceh dan Irian sekali lagi akan diundang kembali secara lebih serius dalam sebuah proyek bersama dan akan memunculkan perasaan persaudaraan yang mendalam dimana daripadanya mereka tak akan pernah dikucilkan lagi.

Untuk sebuah Indonesia yang Federal

Kita juga harus menjadi lebih realistik dan menyadari bahwa otonomi yang asli, bukan “otonomi palsu“ yang ditunjukan saat ini dengan status Daerah Istimewa, juga berarti federalisasi Indonesia. Hal ini sepenuhnya normal. Bahkan hampir semua negara berwilayah luas di dunia mempunyai institusi federal dalam berbagai macam jenis: Kanada, Brasil, Amerika Serikat, India, Nigeria, Jerman, Rusia, dan lain sebagainya. Cina merupakan salah satu pengecualiannya, dan saya agak ragu jika ada banyak warga Indonesia yang merasa sistem seperti di Cina merupakan salah satu yang ingin mereka jadikan model. Saya yakin bahwa ada orang-orang di Jakarta yang akan berteriak, dengan gaya yang sudah dapat ditebak, bahwa Indonesia yang federal merupakan proyek peninggalan kolonial Belanda –tanpa menghiraukan fakta bahwa Belanda telah tidak mempunyai peranan penting lagi di Indonesia selama hampir setengah abad. Yang lain akan mencibir bahwa federalisme merupakan sebuah rencana yang dikompori oleh pihak “asing“ untuk memecah-mecah Negara Kesatuan. Orang asing mana yang masih memiliki minat dalam urusan pemecah-belahan ini di masa sesudah Perang Dingin usai? Saya pikir tak ada lagi. Kejadian di Yugoslavia telah cukup membuat semua negara-negara di dunia paham untuk mencegah tragedi yang serupa berulang. Sedangkan orang lain yang masih saja tertambat pada mentalitas Orde Keropos, akan menentang dengan mengatakan bahwa federalisme bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun Undang-Undang itu pun buatan anak manusia, bukan buatan Tuhan, dan untuk dapat bertahan di keadaan yang serba berubah, Undang-Undang harus senantiasa disesuaikan. Jika para Founding Fathers Amerika dapat dibangkitkan kembali saat ini, mereka akan begitu terkejut mengetahui bahwa naskah yang telah mereka susun bersama dua abad yang lalu telah begitu berubah, baik dalam isi maupun semangatnya. Undang-Undang Dasar 1945 sudah begitu usang. Lebih tepatnya, sudah usang semenjak tahun 1950, dan seharusnya tak akan pernah digunakan lagi jika pada tahun 1959 tidak muncul aliansi oportunis antara militer yang haus kekuasaan dan Presiden Soekarno yang mulai bertindak otoriter. Undang-Undang tersebut sangat memerlukan, jika bukan pembongkaran total, paling tidak sebuah perbaikan yang menyeluruh.

Menghadapi Masa Lalu

Jika “proyek bersama“ dihidupkan kembali dan menjadi semakin nyata, maka yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah mengakhiri berbagai macam praktek kekerasan dan kekejian yang sudah begitu mengakar. Jika kita membaca memoir para aktivis yang ditangkap oleh rezim kolonial, jarang kita temukan adanya penganiayaan dan penyiksaan, kemaluan yang dibiarkan menempel pada alat sengat listrik, dan semacamnya. Namun, selama tiga puluh dua tahun yang lalu, hal ini menjadi aktivitas “normal“ dari polisi dan personil militer pada tingkat bawah. Hari-hari ini, sangatlah “normal“ untuk memukul seseorang yang ditangkap bahkan sebelum dia diintrogasi; begitu juga saat “mengeksekusi“ tahanan, dengan dalih mereka “mencoba untuk melarikan diri“.

Beberapa hal ini juga terjadi antara tahun 1950-an dan 1960-an, namun saat itu belum bisa disebut “rutin“. Kejadian tersebut telah menjadi rutinitas juga berarti bahwa hal tersebut telah dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan yang seharusnya berdasarkan atas hukum, namun pada kenyataannya justru mengingkari hukum tersebut dengan adanya impunitas (kekebalan hukum –penj) total. Situasi ini tidak hanya merusak moral dari para penegak hukum, namun juga cenderung merusak mental para korbannya juga. Banyak dari tahanan yang melihat aparat yang menahan mereka menjadi para penyiksa yang keji, bahkan juga seorang tukang jagal, cenderung akan mengikuti contoh tersebut. Inilah sumber utama dari menjamurnya, dalam lima belas tahun terakhir, kelompok yang sering mengutamakan kekerasan yang disebut sebagai preman, yang kerapkali malah menjadi “tangan kiri“ dari si Buto. Kita semua paham mengenai sejauh mana proses “premanisasi“ dan “gangsterisasi“ telah terjadi dalam wilayah politik di Indonesia. Partai politik mempunyai premannya sendiri, begitu juga para pengusaha dan instansi pemerintah. Dan media massa memainkan perannya sendiri, dengan sedikit banyak “mengagung-agungkan“ para preman kondang seperti Yorries Raweyai, Sumargono, Anton Medan, Yapto, Hercules dan yang lain-lain.

Namun sebenarnya proses kekejaman ini telah dimulai jauh sebelum tahun 1980-an. Selama masa gerakan kemerdekaan, cukup sering terjadi pertikaian yang sengit antara berbagai kelompok yang ada waktu itu. Namun saya tidak yakin bahwa kondisi tersebut akan membuat mereka melakukan penganiayaan atau pembunuhan kepada kelompok lain yang berlawanan dengan mereka. Lawan adalah lawan, bukan “binatang“. Masih ada unsur saling menghormati dalam konflik diantara mereka. Sesudah itu, timbul kemerosotan yang perlahan namun pasti. Kekejaman yang begitu parah dilakukan oleh kedua belah pihak dalam perkara Madiun 1948,[10] dalam situasi nasional yang kondisinya serba darurat dan ketegangan sosial dan ekonomi yang begitu tinggi. Orang mulai melihat para lawan politiknya, bukan sebagai sesama bangsa Indonesia, namun sebagai pion dari kekuatan asing -NICA,[11] CIA, NKVD (Narodnyy Komissariat Vnutrennikh Del/Komisariat Rakyat untuk Urusan Dalam Negeri, organisasi polisi rahasia pada masa Uni Soviet –Penj), dan lain sebagainya. Namun, dua tahun setelah peristiwa Madiun, partai yang kalah, pihak Komunis, kembali sebagai anggota parlemen, yang dengan kata lain, sebagai sesama bangsa Indonesia sekali lagi.

Perubahan yang cukup besar muncul pada tahun 1965-1966. Dan selama peristiwa”65-66” tidak dihadapi, secara jujur dan terbuka, oleh manusia Indonesia, proses pengeroposan dan kekejaman akan terus terjadi. Di sini, saya tidak berniat untuk membahas peristiwa ”65-66” secara mendetail. Saya hanya ingin menggaris bawahi dua poin penting:

(i)      Pada 4 Oktober 1965, Soeharto dan kelompoknya menerima hasil autopsi resmi yang dikeluarkan oleh pihak militer dan ahli forensik sipil pada tubuh dari para Jenderal yang terbunuh pada 1 Oktober. Jelas disebutkan dalam laporan tersebut bahwa para Jenderal ditembak hingga mati, dan mayat mereka rusak karena jatuh ke sumur yang sangat dalam di Lubang Buaya. Namun pada 6 Oktober, media massa, yang sepenuhnya dikontrol oleh kekuasaan Soeharto melancarkan pemberitaan bahwa yang terjadi kepada para Jenderal adalah mata mereka dicongkel keluar dan kemaluan mereka dikebiri dengan sadis oleh para anggota Gerwani.[12]  Kampanye penuh kebohongan ini dilakukan dengan berdarah dingin oleh mereka yang sadar betul apa yang sedang mereka lakukan. Jika kita hendak membaca gambaran fiksional akan betapa luar biasanya kesadisan ini, tidak ada yang jauh lebih bagus penggambarannya selain novel karya Putu Wijaya berjudul Nyali. Yang paling menegerikan dari Kampanye propaganda ini adalah munculnya atmosfir mencekam diseluruh Indonesia yang nantinya mengakibatkan, selama beberapa bulan berikutnya, lebih dari setengah juta dari mereka yang seharusnya ikut serta dalam proyek bersama dibunuh dengan cara yang paling mengerikan, sama sekali tidak mengindahkan hukum yang berlaku, dan tidak satu orang pun yang membunuh dihadapkan pada pengadilan. Secara kasar dapat kita katakan demikian: bahwa dasar sebenarnya dari apa yang disebut sebagai Orde Baru merupakan gunungan tulang-belulang.

(ii)    Akibatnya terasa hingga saat ini. Kita kesampingkan dulu para inisiator dari kekejian ini –dengan kata lain, Soeharto dan lingkaran dalamnya- kita dapat bertanya pada yang sekarang: Pernahkah Abdulrahman Wahid,[13]  terkenal dengan pidatonya yang mendukung Hak Asasi Manusia dan toleransi beragama, meminta maaf untuk NU untuk sepuluh ribu orang yang terbunuh oleh Ansor pada 1965-1966? Saya percaya jawabannya ialah tidak. Pernahkah Megawati,[14] yang menganggap dirinya sebagai korban dari rezim Soeharto, pernah meminta pengampunan untuk PNI-PDI akan puluhan ribu –termasuk anggota sayap kiri dari PNI sendiri- dibunuh oleh komplotan pemuda PNI, terutama di Bali? Sekali lagi, saya pikir jawabannya adalah tidak. Pernahkan tokoh Katolik terkemuka pada masa Orde Baru seperti Benny Murdani, Frans Seda, Liem Bian-kie dan Harry Tjan Silalahi[15]   pernah meminta maaf atas keterlibatan pemuda Katolik dalam aksi pembantaian? Lagi-lagi tidak. Kaum Protestan? Para mantan PSI?[16]  Kaum Intelektual? Para Akademisi? Hampir tak ada satu kata pun. Saya ingat hanya seorang kolega muda yang begitu saya rindukan Soe Hok-Gie memiliki keberanian itu, sejak tahun 1967, untuk menyuarakan fakta yang terjadi. Dari sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa hampir semua ”oposisi” saat ini tidaklah, secara mendasar, merupakan oposisi sesungguhnya bagi Orde Keropos, dan Indonesia yang akan mereka bangun kembali, akibatnya, akan tetap menyimpan gunungan tulang-belulang terkubur di dalam gudang bawah tanahnya. Semuanya terus saja menghindari fakta yang terjadi pada masa lalu politik mereka, meminta maaf, berjanji pada diri mereka sendiri tak akan pernah membiarkan segala hal seperti tahun 1965-66 terjadi lagi, dan menyambut kembali kedalam sebuah proyek bersama sekali lagi mereka yang masih tertinggal dan keturunan dari para korban periode tersebut. Dan, di sekolah-sekolah, anak-anak masih saja disuapi dengan wacana sejarah yang semu mengenai ”trauma bangsa” atau ”tragedi bangsa” –Hentikan sekarang juga!

Pendangkalan Kekejian

Kengerian akan 1965-66, ketika jutaan manusia Indonesia dianggap oleh manusia Indonesia yang lain sebagai binatang atau setan, yang karenanya dapat dan harus diperlakukan dengan kejam dan tidak memperdulikan segala hukum yang berlaku, mempunyai banyak konsekuensi berat pada saat ini. Sebuah kebiasaan telah terbangun di kalangan militer dimana jika menyangkut persoalan ”keamanan”, setiap aspek kesusilaan dari manusia dapat disingkirkan dan mereka dibekali dengan impunitas yang mutlak –disediakan oleh “atasan” yang memberi mereka perintah. Konsekuensi politiknya menjadi semakin jelas melihat  pada peristiwa “aneksasi”[17] Timor-Timur sesudah 1975. Sudah menjadi rahasia umum bahwa antara tahun 1977 dan 1980, sekitar sepertiga dari populasi daerah bekas koloni Portugis mati dengan cara yang tidak wajar –ditembak senjata api, dibakar dengan napalm,[18] dibiarkan mati kelaparan di ‘kamp pengungsian”, atau korban dari penyakit menular yang menyebar cepat akibat kondisi pemukiman yang tidak manusiawi. Penyiksaan menjadi standar prosedur kerja (SOP –Standard Operating Procedure), belum lagi berbagai macam pemerkosaan dan pembunuhan. Jika kita menggunakan presentase diatas untuk pulau Jawa, maka ini berarti kematian tak wajar paling tidak 25 juta jiwa dalam waktu tiga tahun. Menakutkan? Jelas! Kejahatan tingkat tinggi? Apakah masih ada yang meragukannya?

Kenapa itu semua harus terjadi? Seharusnya tak ada lagi ada orang yang ditipu mengenai retorika “Selamat datang kawanku, ke dalam haribaan Ibu Pertiwi” atau warga Timor Timur dengan sukarela bergabung dalam proyek bersama ini. Operasi di Timor Timur, yang sebagian besar (faktanya -penj) ditutup-tutupi dari bangsa Indonesia sendiri, merupakan proyek “penaklukan” dari si Buto, yang masih satu garis turunan langsung sejak van Heutsz, Diponegoro, dan pendahulunya yang jauh lebih brutal: Sultan Agung.[19]  Sudah tidak jarang lagi kita dengar dari seorang pejabat tinggi mengatakan tentang betapa “tidak tahu terima kasihnya” orang Timor Timur untuk segala hal baik yang Jakarta telah berikan untuk mereka. Saya yakin benar bahwa tidak ada satupun dari mereka sadar, bahwa yang dilakukan sama saja dengan mendengungkan lagi sikap “nenek moyang penjajah Belanda yang agung” dahulu kala, yang saat itu juga mengeluh tentang betapa “tidak tahu terima kasihnya” para pribumi (Indonesia) atas segala kebaikan dari kolonial Belanda atas rust en orde dan juga opbow (pembangunan!!)[20]   yang telah diberikan untuk mereka. (Untuk merasakan betapa tidak adilnya pernyataan ini, kita boleh membayangkan apakah mungkin akan ada pejabat tinggi yang mengeluh di depan publik perihal tak tahu terima kasihnya orang Jawa atau Sunda terhadap segala kebaikan yang telah dibawakan Orde Baru untuk mereka.) Di timor Timur juga, pikiran orang-orang dipenuhi dengan kesan yang ditangkap dari sikap si Buto: “Ah sayang ya, ada orang Timor Timur yang tinggal di Timor Timur”.

Dari akhir 1970-an hingga akhir 1980-an, Timor Timur merupakan sebuah wilayah yang tertutup tidak hanya untuk orang asing, tapi juga untuk kebanyakan orang Indonesia sendiri –yang harus memiliki izin khusus untuk bisa pergi ke sana. Lalu menjadi wilayah yang “semua boleh masuk”. Kopassus[21]  menjadi garda depan dan pemberi contoh yang pertama dalam segala macam kekejaman tersebut. Pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan menjadi hal yang “normal”. Dan para “Ninja” juga muncul pertama kali di tempat ini –para preman yang memakai penutup wajah yang bekerja sebagai tangan kiri dari si Buto. Dari waktu ke waktu, “budaya penaklukan” menyebar dan mengakar ke seluruh bagian Indonesia. Kita dapat melihatnya dalam pembunuhan massal yang diarsiteki oleh Soeharto, Murdani, dan Kopassus dalam aksi Petrus pada 1983.[22]  Dari sana, “aksi” tersebut menyebar ke Aceh, Lampung, Irian, dan yang lainnya. Ketika sebuah wilayah yang damai menjadi “bermasalah”, bukan atas kehendak mereka sendiri, namun karena mereka “dibuat jadi masalah” oleh para agen dari si Buto. Mari kita coba pikirkan lebih dalam: Jika kita coba reka jumlah keseluruhan dari orang yang meninggal dengan tidak wajar dalam era Orde Baru –dan kita kesampingkan dulu mereka yang terluka, secara psikologis terguncang, yang jadi yatim piatu, serta yang lainnya,  maka dapat kita buat daftar sebagai berikut: 1965-66, setidaknya 500.000, Timor Timur 200.000; Petrus 7.000; Aceh, mungkin 3.000; Irian, mungkin 7.000. Mendekati seperempat juta orang, yang disangka sebagai bagian dari proyek bersama semua orang. Jika anda benar-benar memikirkan hal ini, maka anda akan paham kenapa saya hanya dapat menggelengkan kepala, tidak percaya dengan tuntutan para “oposisi” dimana Soeharto dan keluarganya di panggil pengadilan atas penilapan begitu banyak uang –mungkin mereka pikir itu sebagai uang “kita”? –dan sebagian besar menutup mata untuk segala kejahatan yang seribu kali jauh lebih buruk: Pembunuhan secara sistematik dan terencana pada skala yang tak pernah dapat dibandingkan lagi dalam sejarah nusantara.

Hak Asasi Manusia Indonesia

Dan sekarang kita menghadapi sebuah fakta yang ironis. Presiden Habibie yang telah dicerca dan disalahkan sebagai penerus dan pion dari Soeharto, Namun justru, disamping memberi kebebasan kepada pers, dan melepaskan sebagian besar tahanan politik, dia memiliki keberanian untuk memutuskan akhir dari proyek “penaklukan” dari mantan atasannya di Timor Timur. Disamping itu, pemimpin “oposisi” yang lain telah cukup menunjukan bahwa, dalam mentalitasnya, mereka masih hidup dalam kegelapan moral dari era Orde  Keropos. Hal yang paling memalukan adalah anak perempuan dari Soekarno –yang telah dikucilkan, dihina, dan secara tidak langsung dipenjara seumur hidup oleh Soeharto, dan nota bene, tak pernah menyatakan bahwa Timor Timur merupakan bagian dari Indonesia –telah secara publik membela proyek “penaklukan” oleh Soeharto. Suatu hal yang sangat disayangkan.Yang dirasakan adalah, mengacu pada ucapanya, yang berbicara bukan lagi Megawati, namun Miniwati. Di bawah sulur-sulur yang rimbun dari pohon beringin hanya tanaman kerdil nan buluk yang dapat tumbuh.[23]

Lalu apa yang harus dilakukan? Kita lihat sekarang bahwa banyak organisasi dan institusi, baik yang lokal maupun asing, maupun yang campuran keduanya, yang mendedikasikan kerjanya untuk “Hak Asasi Manusia” di Indonesia. Memang sudah seharusnya demikian adanya. Namun yang tak kita saksikan adalah mereka yang bekerja untuk Hak Asasi, bukan sebagai manusia pada umumnya, namun  sebagai Manusia Indonesia. Apa yang saya maksudkan di sini adalah hak bagi orang-orang Indonesia, yang ditakdirkan untuk lahir di tanah Indonesia sewaktu menjadi Republik, untuk berpartisipasi secara sukarela, semangat, setara, dan tanpa ketakutan ikut serta dalam proyek bersama Nasionalisme Indonesia. Dengan kata lain, hak mereka untuk tidak diperlakukan sebagai binatang, setan, pelayan, atau hak milik bagi manusia Indonesia yang lainnya. “Hak Asasi Manusia Inonesia” ini hanya dapat diperjuangkan dan disadari oleh manusia Indonesia sendiri.

Jika perjuangan ini tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dalam skala yang luas, maka masa depan dari usaha bersama ini sangatlah gelap. Jika ada yang memulai dengan “Sayang ya, ada orang Aceh yang tinggal di Aceh”, maka dengan mudah akan beralih pada, “Sayang ya, ada orang Katolik di Flores”, “Sayang ya, ada warga Tionghoa yang tinggal di Semarang”, “Sayang ya, ada orang Dayak yang tinggal di Kalimantan”. Secara logis ini akan merambat juga ke: “Sayang ya, ada orang Jawa yang tinggal di Jawa”. Dan yang paling sulit dibayangkan: “Sayang ya, ada orang Jakarta yang tinggal di Jakarta”. Karena di Jakarta itu sendiri, dalam masyarakat kelas menengah dan atas yang banyak berpengaruh, mentalitas “Sayang ya…” ini sangatlah mengakar dalam.

Dalam media massa dan di Internet dapat kita baca mengenai kesepakatan akan adanya reformasi dan sewaktu-waktu bahkan “revolusi”. Hal ini bisa diterima sepanjang istilah ini dimaknai secara sungguh-sungguh dan tidak ada “udang dibalik batu”. Namun sebagai tambahan, saya percaya (dan berharap) akan kebangkitan kembali dari proyek bersama yang telah dicetuskan hampir seratus tahun yang lalu. Usaha yang hebat seperti ini cenderung menghasilkan manusia-manusia yang hebat pula. Dr. Soetomo, Natsir, Tan Malaka, Sjahrir, Yap Thiam Hing, Kartini, Haji Misbach, Sukarno, Sjauw Giok Tjan, Chairil Anwar, Suwarsih Djojopoespito, Sudirman, Roem, Pramoedya Ananta Toer, Hatta, Mas Marco, Hasjim Ansjari, Sudisman, Armijn Pane. Haji Dahlan,[24]  dan masih banyak lagi yang datang pada zaman tersebut. Betapa sedih jika saya bandingkan dengan masa sekarang. Sudah hampir lebih dari sepuluh tahun, saya biasa bertanya kepada pemuda dari Indonesia yang mengunjungi Cornell, atau yang datang belajar ke sini, dengan pertanyaan sederhana: Siapa di Indonesia yang begitu anda kagumi dan hormati sekarang? Reaksi yang lazim terjadi adalah, bingung dengan pertanyaan tersebut, lalu mengaruk-garuk kepala dan akhirnya, baru secara lugas menjawab…. Iwan Fals.[25]  Bukankah ini mengerikan? Saya tak bermaksud bahwa setiap orang harus atau dapat menjadi manusia hebat  tadi. Namun sebaliknya, saya pikir setiap orang dapat memutuskan sendiri untuk menolak menjadi kerdil.

Hidup Rasa Malu!

Bangkitnya kembali kehidupan nasional yang sebenarnya akan membutuhkan perombakan total sistem pemerintahan, terutama ke arah otonomi daerah –bukan etnik-. Hal ini membutuhkan pertumbuhan budaya politik yang sehat dan berlapang dada, dan penghapusan politik yang penuh sadisme dan premanisme. Yang juga dibutuhkan adalah rasa sayang, yang sebenarnya, untuk institusi nasional. Saya berikan satu contoh, yang paling dekat dengan kehendak saya sebagai seorang guru. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kualitas universitas di Indonesia sudah begitu menurun, paling tidak semenjak kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus oleh Daud Yusuf yang menggelikan pada akhir 1970. Kita tahu seperti apa lingkaran setannya: Profesor yang terlalu sibuk dengan kerja yang memberikan tambahan penghasilan, proyek-proyek pemerintah, konsultansi-konsultansi, dan sedikit kemungkinan untuk mengajar mahasiswanya secara serius; mahasiswa yang tumbuh bersama dengan budaya mencontek; perpustakaan yang menyedihkan; birokrasi kampus yang korup dan otoriter –dan lain sebagainya. Salah satu alasan yang jarang sekali disebutkan untuk segala macam kemunduran ini adalah kebiasaan antipati untuk segala macam yang berbau dalam negeri dari kaum kelas atas maupun sebagian kelas menengahnya, yang lebih memilih untuk mengirimkan anak mereka ke sekolah-sekolah internasional di Indonesia, atau universitas mahal di luar negeri. Kebiasaan ini membuktikan bahwa, di mata orang-orang ini, universitas-universitas di Indonesia diperuntukan untuk warga “kelas dua”, yang tak memiliki rekening bank yang banyak dan koneksi yang luas. Seperti berujar, siapa yang akan peduli jika mereka hancur? Saya seringkali berharap dapat melarang seluruh akses studi ke luar negeri, kecuali untuk tingkatan MA dan PhD, untuk semua warga Indonesia dalam masa “penyembuhan” untuk sepuluh tahun. Jika para kaum kelas atas harus mengirimkan nak-anaknya ke universitas-universitas di Indonesia, mungkin kondisi universitas-universitas itu akan membaik. Namun, tentu saja, ini hanyalah mimpi di siang bolong.

Di sebuah buku yang baru saja diterbitkan, setengah bercanda saya menyertakan slogan “Hidup Rasa Malu!”. Mengapa? Karena saya pikir bahwa tak ada seorangpun yang mengaku menjadi nasionalis yang utuh jika tidak merasa “malu” jika negaranya atau pemerintahnya sendiri melakukan tindak kejahatan, apalagi jika kejahatan itu dilakukan kepada warganya sendiri. Meskipun secara individu ia tidak melakukan suatu kejahatan, namun sebagai bagian dari proyek bersama, secara moralitas seharusnya ia merasa terlibat pada segala sesuatu yang mengikutsertakan nama dari proyek bersama itu. Selama Perang Vietnam berkecamuk, sebagian besar orang yang menentangnya memulai aksi mereka dari sebuah perasaan malu sebagai seorang warga negara Amerika bahwa “pemerintah mereka” bertanggung jawab untuk pembunuhan keji tiga juta jiwa di Indochina, termasuk wanita dan anak-anak yang tak terhitung jumlahnya. Mereka merasa malu bahwa presiden “mereka” Johnson dan Nixon mengatakan berbagai macam kebohongan kepada dunia dan sesama warga Amerika sendiri. Mereka merasa malu bahwa sejarah negara “mereka” dinodai dengan kekejaman, kebohongan dan pengkhianatan. Jadi mereka melakukan protes, bukan hanya untuk membela Hak Asasi Manusia yang universal, namun juga sebagai warga Amerika yang juga mencintai proyek bersama warga Amerika. Rasa malu secara politik seperti ini sangatlah bagus dan selalu diperlukan.

Jika rasa malu ini dapat ditumbuhkan secara sehat di Indonesia, warga Indonesia akan memiliki keberanian untuk menghadapi ketakutan dari zaman Orde Keropos, bukan sebagai sesuatu yang telah dilakukan oleh orang lain (jadi aku tak perlu peduli-Penj), namun sebagai beban bersama. Ini berarti akhir dari mentalitas yang telah dipupuk selama ini: (pura-pura) Tidak Mendengar Segala yang Jahat, (pura-pura) Tidak Melihat Segala yang Busuk, Tidak Berbicara Buruk mengenai Semuanya (See No Evil, Hear No Evil, Speak No Evil).[26]      




Endnote:
[1] Naskah ini dipresentasikan dalam sebuah kuliah umum di Jakarta, 4 Maret 1999, sesaat sesudah saya diperbolehkan lagi memasuki Indonesia
[2] Mahluk raksasa menyeramkan yang muncul dalam cerita pewayangan –Penj.
[3] Baik Jenderal Nasution, perancang kemiliteran pasca masa Revolusi, dan Jenderal Suharto memulai karir militer mereka di KNIL (het Koninklijke Nederlands-Indische Leger / Tentara Kerajaan Hindia-Belanda –Penj.), tentara perang bentukan Belanda, musuh besar dari gerakan nasionalis. Suharto lalu hengkang bergabung dengan PETA (kyōdo bōei giyûgun –Penj.) tentara pembantu bentukan otoritas Jepang yang beranggotakan masyarakat “pribumi” pada tahun 1943.
[4] Yang lebih terkenal sebagai provinsi Muslim Aceh, terletak di ujung barat-laut dari Sumatra, menandai batas paling barat dari Indonesia. Irian, bagian barat dari Papua Nugini, menandai batas paling timur dari Indonesia. (Saat ini nama Irian Jaya telah diganti menjadi Papua. (Nama Papua digunakan resmi semenjak masa kepresidenan Gus Dur pada 2002. Sebelumnya nama Irian Barat digunakan untuk menandai rezim Soekarno pada 1969, dan Irian Jaya untuk menandai masa rezim Soeharto pada 1973, bertepatan ketika Soeharto meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport-Penj).
[5] Ketika rezim kolonial Belanda kembali menguasai Batavia/Jakarta pada Januari 1946, ibu kota Indonesia pada masa revolusi dipindahkan ke kota kerajaan tua Jogjakarta yang terletak di Jawa Tengah.
[6] Daud Beureueh, seorang ulama modernis terkenal pada tahun 1930-an, dulunya seorang gubernur militer Aceh semasa Revolusi, dan juga tokoh kunci dalam pergerakan lokal demi kemerdekaan Indonesia.
[7] Bergelar pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dia memiliki keuntungan sebagai keturunan langsung dari salah satu pahlawan utama dari perjuangan yang begitu pahit nan panjang sejak 1783-1908 melawan serangan militer kerajaan Belanda.
[8] Jendral Ali Murtopo merupakan kepala intelejen politik Soeharto pada masa awal kekuasaan Orde Baru yang terkenal sangat Machiavellian. Aparatur negara inilah yang pada tahun 1963 “menetapkan” PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian agar seolah-olah memperlihatkan suara yang bulat untuk berintegrasi dengan Indonesia. Selama masa-masa perundingan akhir untuk pemindahan kedaulatan di akhir 1949, pihak Belanda menolak untuk menyerahkan Irian kepada negara Indonesia yang baru Merdeka. Pada 1962, dengan militer Indonesia dan usaha diplomasi Amerika, memberikan tekanan kepada Den Haag (dimana pusat kekuasaan kerajaan Belanda waktu itu berada –Penj) untuk sementara menempatkan wilayah tersebut dibawah naungan PBB guna menunda finalisasi pengemukaan pendapat penduduk lokal.
[9] PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) merupakan pemerintahan pemberontakan dibentuk pada awal 1958 dengan dukungan kuat dari CIA. Kelompok ini unjuk kekuatan di sebagian Sumatera dan Sulawesi, bertujuan untuk menurunkan sekaligus menggantikan pemerintah yang ada di Jakarta, namun dikalahkan pada tahun 1960. DI (Darul Islam) merupakan kelompok ekstrimis Islam yang mempersenjatai diri mereka, berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1949, dan selanjutnya menyebar ke sebagian Sumatera dan Sulawesi. Gerakan ini belum sempat ditaklukan hingga tahun 1964.
[10] Semenjak akhir 1945 hingga Januari 1948, Kabinet Republik Indonesia didominasi oleh kaum sosialis dan komunis, yang dengan demikian harus mengemban tugas dalam situasi semakin kurang baiknya ”kesepakatan” dengan rezim kolonial Belanda. Dalam bulan tersebut, cabinet yang baru, dipimpin oleh wakil Presiden Hatta, yang tidak mengikutsertakan pihak kiri, mengampu kekuasaan. Tegangan politik antara kaum Konservatif dan kiri semakin cepat meningkat dan memperburuk atmosfir mendung Perang Dingin. Pada September 1948 kondisi ini berujung pada konflik berdarah yang dimulai di kota Madiun, dan selanjutnya memukul habis pihak kiri.
[11] Ketika angkatan bersenjata milik Sekutu, di bawah Louis Mountbatten, mengambil alih kekuasaan Jepang di Indonesia pada September 1945, Belanda, yang baru saja dibebaskan dari kekuasaan Nazi, tidak memiliki kekuatan militer yang memadahi. Den Haag diwalikan untuk lebih dari satu tahun oleh Netherland Indies Civil Administration (NICA) di bawah lindungan militer Inggris.
[12] Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) merupakan organisasi wanita sayap kiri yang perlahan-lahan menjadi bagian dari infrastruktur Partai Komunis.
[13] NU – Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi para ulama tradisionalis berdiri sejak pertengahan 1920-an. Abdulrahman Wahid, adalah pemimpin mereka dalam jangka waktu yang cukup lama, merupakan cucu darui pendirinya. Ansor merupakan angkatan muda dari NU yang cukup ditakuti, terutama kuat di daerah pedesaan Jawa Timur.
[14] Megawati, anak perempuan dari Presiden pertama Indonesia Soekarno, merupakan Ketua Umum PDI-Perjuangan. Pada awal 1970-an, Soeharto memaksa seluruh partai non-islam untuk bergabung kedalam Partai Demokrasi Indonesia yang terbelah dari dalam dan korup. Unsur pembentuknya kebanyakan dari PNI (Partai Nasionalis Indonesia) –yang secara berdarah dipisahkan dari anggota sayap kirinya yang begitu banyak- dimana, diketahui sebagai yang paling dekat dengan pandangan politik dari bapaknya.
[15] Jenderal Benny Murdani, tzar intelejen untuk waktu yang lama, dan orang yang paling bertanggungjawab atas peran kejam Indonesia di Timor Timur. Frans Seda, menteri Perkebunan dalam kabinet Soekarno yang terakhir, yang juga merupakan ahli keuangan pada awal rezim Soeharto. Liem Bian-kie dan Harry Tjan Silalahi, dua operator terkemuka pada jaringan intelejen Operasi Khusus (Opsus-penj) Ali Murtopo, memainkan peranan tidak langsung pada matanza (pembunuhan/pembantian-Penj) oleh kaum anti komunis pada 1965-1966.
[16] PSI –Partai Sosialis Indonesia. Partai kecil terdiri dari para intelektual yang berorientasi ke Barat, yang pada pertenganhan 1950-an menyebut dirinya sosialis hanya pada namanya. Sangat berpengaruh dalam tubuh militer dan lingkaran kekuasaan yang lain, dijadikan partai terlarang oleh Soekarno pada awal 1960-an.
[17] Merupakan tindakan pencaplokan wilayah yang lebih kecil oleh sebuah entitas yang jauh lebih besar darinya (negara, korporasi). Dimana tindakan ini sifatnya unilateral/ dilakukan secara sepihak oleh entitas yang lebih besar untuk memperoleh pengakuan internasional. –Penj.
[18] Napalm (naphthenic and palmitic acids) adalah semacam bahan kimia yang biasanya digunakan untuk membuat bom untuk membumihanguskan sebuah teritori tertentu. Karena tujuan utama dari bom napalm adalah untuk membakar maka biasa digunakan militer untuk perang-perang di hutan rimba seperti di Vietnam –Penj.
[19] Jenderal Joannes van Heutsz, salah satu komandan Belanda yang paling sukses dalam Perang Aceh, menjadi Gubernur-Jenderal dari 1904-1909, dan menjaga keutuhan wilayah Hindia Belanda hingga akhir. Sultan Agung (r.1613-1645) hampir sukses meletakkan seluruh pulau Jawa dalam kuasanya, dengan menggunakan cara yang paling zalim sekalipun. Namun akhirnya ia kalah telak oleh United East India Company (EIC –Kongsi dagang Inggris di India dan wilayah sekitarnya –Penj.)
[20] Dua slogan yang tak habis-habisnya didengungkan pada masa kolonial adalah rust en orde (kedamaian dan tatanan) dan opbouw (pembangunan). Secara mirip, rezim Soeharto hanya mengindonesiakan slogan ini menjadi Orde Baru dan pembangunan.
[21] Kopassus (Komando Pasukan Khusus), yang sebagian mengacu model dari Green Berets (Sebutan untuk Pasukan Khusus Amerika Serikat –Penj), merupakan Pasukan elit Indonesia, yang juga sangat terkenal akan kekejamannya.
[22] Pada 1983, ribuan “penjahat kelas teri” dibunuh (kadang dengan cara penyiksaan) oleh personil Kopassus yang memakai pakaian preman. Pasukan pembawa kematian ini, lebih terkenal dengan nama petrus (penembak misterius), akhirnya diakui dengan bangga oleh Soeharto sebagai hasil perintahnya. Kepala operasi mereka adalah seorang Katolik Jenderal Murdani.
[23] Partai Golkar yang bisa dibilang merupakan partai negara pada waktu rezim Soeharto, karena “memenangkan” tiap pemilu yang mempertahankan kekuasaan Soeharto, menggunakan pohon beringin keramat sebagai logonya, mengacu pada kepercayaan orang Jawa akan kekuatan magis yang dimiliki sebagai tempat tinggal bagi roh-roh pelindung. Namun seperti yang oleh para aktivis anti-rezim ketahui, sulur-sulur yang begitu rimbun menggantung membuat segala macam tetumbuhan sangat susah tumbuh dibawahnya –selain lumut (politik), parasit (politik), jamur (politik) dan lain sebagainya.
[24] Daftar ini termasuk komunis, sosialis, Muslim, kelas menengah nasionalis sekuler, Tionghoa, perempuan, penyair dan penulis novel, pengacara Hak Asasi Manusia, dan pekerja Sosial.
[25] Iwan Fals merupakan nama panggung dari penyanyi folk-rock terkenal di kalangan pemuda dan pelajar. Tema-tema yang dibawakannya seputar kritik-kritik sosial.
[26] Ungkapan ini mengacu pada sikap yang dilakukan oleh tiga kera bijak yang terdapat patungnya di kuil Nikko Toshogo di Jepang sejak abad ke-17. Adapun ketiga kera itu digambarkan satu menutup matanya, satu menutup telinganya dan yang terakhir menutup mulutnya. Banyak intepretasi mengenai ajaran yang dibawa dari China dan menjadi salah satu ajaran aliran Zen di Jepang ini. Ada yang menganggap bahwa ini sebagai sembol penarikan diri dari urusan duniawi oleh para biksu yang menganut ajaran Budha, namun juga dapat diartikan sebagai sikap tidak peduli dengan situasi yang ada di sekitar –Penj.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK