Showing posts with label Ekoliterasi. Show all posts
Showing posts with label Ekoliterasi. Show all posts

Saturday, June 11, 2016

Maklumat Masyarakat Literasi Bergerak atas ART|JOG 2016



Ada Apa dengan Art Jog 2016? Berikut maklumat kami sebagai masyarakat literasi bergerak yang terus menyuarakan kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, pro ekologi dan anti kekerasan, melihat kegiatan ART |JOG tahun 2016 ini dalam beberapa butir maklumat.

📋Menjaga medan seni rupa bersih dari lalu lintas kapital korporasi predator adalah satu-satunya cara mempertahankan otonomi seni. Keterlibatan Freeport Indonesia (PT. FI) sebagai partner medan seni rupa Art Jog 2016 patut dipandang sebagai ketakberhasilan refleksi dunia seni Indonesia menjaga otonominya. Kasus pelangggaran HAM, kasus pengrusakan lingkungan, serta eksploitasi alam yang dilakukan PT. FI harusnya menjadi pertimbangan penting mengapa seni tak boleh berintim dengan salah-satu wujud kapitalisme predator ini.

📋Praktik seni, adalah praktik menjaga harmonisasi antara manusia, alam, dan sesuatu yang disebut sebagai higher-being. Relasi dalam seni memang tak bisa dipungkiri melibatkan kelindan antara meta-kriya (rohani), energi, dan Industri. Seni yang digadai akan menjadi bukti bahwa seni tak punya raison d'etre. Maka seni yang diintimkan pada industri predator akan melegitimasi penumpahan darah manusia, dan pembunuhan alam.

📋ART|JOG 2016 yang disebut-sebut sebagai medan seni rupa terbesar di Asia Tenggara seharusnya menjadi cara memperlihatkan wajah seni Indonesia yang berdaulat. Sejak pertama kali diadakan pada tahun 2008 dengan inisiasi Heri Pemad yang dikenal sebagai "pengendus bakat seniman". Tampaknya, ART|JOG 2016 memaknai "Infinity in Flux" (tema Art| Jog pada tahun 2015) yang merayakan "peleburan" dalam internal karya seni, menjadi peleburan interaktif antara karya seni dan kapitalisme. IIF harusnya menjadi momen peleburan seni dan rakyat; melalui interaksi antara bahan, tema, dan indera. Bukan dengan sesuatu yang eksternal semacam korporasi. Pernyataan Bambang Witjaksono bahwa Art Jog 2016 "membicarakan kondisi dunia hari ini", maka mungkin saja maksudnya adalah kondisi tak terelakkan lagi masyarakat seni dan korporasi predator.

 ðŸ“‹hilangnya rasa malu bersanding antara seni dan korporasi jahat memperlihatkan wujud sebenarnya Art Jog 2016 yang kontradiktif;  pembebasan (perlu diketahui, Art Jog 2016 juga menyajikan lukisan realisme-sosialis Djoko Pekik) yang didukung oleh agen kekerasan (PT. FI). Ini kontradiksi yang mengacaukan akal sehat.

📋 Pelaksanaan pameran tentu membutuhkan dana itu jelas, namun yang pertama-tama tidak boleh dilupakan adalah keberpihakan seni terhadap hidup yang adil, hidup yang baik. Bukankah seni itu wujud dari keindahan hidup. Bagaimana mungkin keindahan hidup akan terwujud ketika ketidakadilan sedang terjadi.

📋seniman-seniman di dalam pameran tersebut mengungkapkan kritik atas persoalan hidup melalui seni. Ketidakadilan, krisis lingkungan, krisis kemanusiaan. Lalu pelaksanaan pemeran justru menggunakan alasan yang sangat pragmatis, dengan menerima kucuran dana dari perusahaan yang selama ini telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat Papua. (Silakan dibaca di website Kontras)

📋 Ada problem lebih mendasar daripada pendanaan yaitu warna seni itu sendiri, keberpihakan para pekerja seni itu sendiri. Jika pekerja seni itu sensitif terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat secara nyata tentu mereka sejak mula akan memiliki sikap terhadap keterlibatan PT. Freeport Indonesia. Seni harus dipertahankan agar tidak menjadi elitis dan tercerabut dari akar kebudayaan rakyat.

📋 ada tersedia sumber Dana dari Dana Keistimewaan di DIY yang melimpah seharusnya dapat menyelamatkan marwah serta martabat seni dari banalitas korporasi yang terus melakukan pencitraan dengan halalkan segala cara.

Demikian maklumat ini, semoga bisa menjadi tolak balak atas kerusakan iman kita pada kesenian dan kebudayaan.

Salam Literasi untuk semesta alam.

Yogyakarta, 11 Juni 2016 bertepatan dengan 6 RAMADHAN 1437H

Saturday, January 23, 2016

Matinya Kota



#urbanliteracycampaign I David Efendi


di Indonesia, rata-rata umur kota antara 200 sampai 400 tahun dengan segala warisan masa lalu, kisah kekerasan, dan juga pengalaman mengalami kebudayaan. Kebudayaan kota ditentukan oleh bagaimana kota tersebut mampu memberikan kedamaian, ketentraman, dan kesejaheteraan warga kota. Ibnu khaldun mendefinisikan kota sebagai tempat tinggal yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa begitu puncak kemewahan yang diinginkan tercapai. Jadi, hanya orang ‘kaya’ yang bisa bertahan di Kota. Seiring dinamika politik dan ekonomi, muncul juga hasrat kompetisi yang menyebabkan kota dirundung konflik dan perang. Nafsu akumulasi kapital merasuk ke dalam pikiran banyak orang kota sehingga terjadilah apa yang disebut Garreth Hardin (1965) sebagai tragedy of the common.

Kota secara alamiah semakin menua dan rapuh akibat gelombang zaman. Dr. David Kilcullen, a Non-Resident Senior Fellow di lembaga Pusat Keamanan Amerika Baru menuliskan:
“Rapid urbanization creates economic, social and governance chal- lenges while simultaneously straining city infrastructure, making the most vulnerable cities less able to meet these challenges. The implications for future conflict are profound, with more people fighting over scarcer resources in crowded, under-serviced and under-governed urban areas.”
Di Indonesia, fenomena hijrah dari desa ke kota, desa yang menjadi kota menjadikan persoalan sosial ekonomi tak tertanggulangi. Kota menanggung beban besar sementara desa yang seharunya memperkuat sektor agararis banyak ditinggalkan. Perkembangan ekonomi di desa terlalu lamban dan tidak sanggup memenuhi hasrat berkonsumsi manusianya. Kota menjadi pilihan. Peperangan pun dimulai: gelandangan, premanisme, pengangguran, dan buruknya sanitasi. Apakah masih ada masa depan untuk kota manusia? Pertama kita bicarakan paradigma yang mempengaruhi sistem kota dan kekacauan-kekacauan yang membutuhkan solusi nyata dan tepat.

Konstelasi peradigma

Banyak sumber tulisan mengarahkan pada kesimpulan bahwa di dalam kota itu embedded konflik di dalamnya. Hal ini mendapatkan pijakan faktanya bahwa di kota lebih dipahami sebagai arena pertempuran kapital atau sumber kesejahteraan. Pertempuran ini seperti perang, ada pertempuran semut melawan semut, gajah melawan gajah, ada juga peperangan menjadi asimteris bahkan ada jenis pertempuran yang tidak diketahui siapa yang sedang dilawan. Mekanisme pasar itu adalah setan yang tak kelihatan  (invisible devil). Hal ini menjadikan situasi perang semua melawan semua yang pernah dituliskan oleh Thomas Hobbes menjadi kenyataan pahit kehidupan manusia kota kontemporer—homo homini lupus. Kota-kota di indonesia sedang panen persoalan ini sebagai konsekuensi dari status ‘the emerging city’.

Untuk menjelaskan hal ini, bisa kita tengok dua paradigma pembangunan yang diyakini para penyelenggara pemerintahan khususnya pembangunan perkotaan. Kedua cara pandang tersebut adalah paradigma ekologi dan paradigma ekonomi-politik.

Tulisan ini akan mendiskusikan satu persatu bagaimana kedua paradigma ini diyakini, dipekerjakan, dan dihibridasi sedmeikian rupa dalam kehidupan kekinian. Pertama, adalah paradigma ekologi. Paradigma ekologi bertolak dari kacaunya antroposentrisme yang menjadikan pembangunan itu mengancam ekosistem yang ada. Paradigma ini memberikan aturan main bahwa pembangunan harus mengakomodir beragam kebutuhan lingkungan untuk sama-sama berdampingan dengan aktifitas manusia modern. Kedua adalah paradigma ekonomi-politik. Paradigma ini sangat dominan sejak dulu dimana beragam proyek tekhnokratis dihasratkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Hal ini kerap kali menggelincirkan situasi tata kelola kota sebagai politics as bussiness as usual—yang menerabas beragam etika dan kedaulatan ekologis. Dari posisi ini sebenarnya, muncul beragam kritik atas hukum besi perencanaan pembangunan tekhnokratik. Hukum besi yang tidak ramah kepada manusia—terutama kelompok rentan: kaum miskin kota, perempuan, dan anak-anak.

Matinya kota?

Kota yang oleh Khaldun disebut sebagai “locus of civilization” artinya kota hari ini bukanlah gejala modernitas. Peradaban selalu melahirkan kota dari ribuan tahun silam. Kota yang beradab akan memungkinkan penduduknya memperoleh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan. Ketiga hal ini semakin sulit digapai dalam kota yang padat, panas, kemacetan, ruang publik yang sempit, banyak kemiskinan di berbagaisudut kota dan pendidikan yang tak mengembangkan kebudayaan. Kota seperti mengalami involusi. Hal-hal yang ideal mengenai ‘tomorrow of city’ atau the city of hope sebagiamana yang dibayangkan warganya tak gampang ditemui. Justru stress dan frustasi yang melanda.
Dalam sejarah manusia, ada beberapa contoh kota yang punah yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun seperti kota yang airnya membusuk/tidak mengalir yang kemudian bertransformasi menjadi wabah penyakit di Maroko, juga ada beberapa kota yang musnah karena perang sipil tak berkesudahan. Air, terutama dan paling utama, adalah harta paling berharga yang menjadikan kota akan tetap hidup dan tumbuh. Jika salah urus air, misalnya dengan privatisasi membabi buta, maka ada ancaman serius kota ini akan punah—setidaknya punah manusianya dan hanya kelas tertentu yang memenangkan pertempuran kota. Yugoslavia dan bosnia adalah contoh kota yang hilang, bagdad menyusul. Dalam konteks yang lebih spesifik, ada juga kota yang mulai ditinggalkan manusia seperti Jakarta. Ke jakarta hanya mencari uang, hidup lebih menjanjikan ditempat lain.

Untuk mencegah kota mati terlalu cepat dibutuhkan kerjasama yang sangat erat antara kelompok pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku dunia bisnis. Di sektor pemerintah diperlukan pemerintahan yang inklusif, membuka ruang partisipasi, mewujudkan nilai-nilai keadilan, menyediakan pelayanan publik yang bagus, mengimplementasikan model-model smart city yang relevan seperti connectifity, tekhnologi infrormasi, dan di saat yang sama tetap mengapresiasi beragam nilai-nilai kebudayaan yang selama ini masih dirawat dan dihargai oleh masyarakat kota. Menjadi modern dan smart, tak selalu identik dengan proses negasi terhadap keberadaan infrastruktur kebudayaan dan kearifan lokal.

Ambisi modernitas tak boleh melanggar nilai-nilai yang menjadi keyakinan dasar manusia yang menghuninya. Di jawa, misalnya, ada nilai-nilai keguyuban, nilai-nilai tepo seliro (toleran), simbol-simbol arsitek dan sebagainya. Ini tak bisa dilanggar sebagai konsekuensi dari kebudayaan. Kecuali memang seluruh isi kota bersepakat untuk meninggalkan kebudayaan lamanya.


David Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.




Saturday, November 14, 2015

Mengenal Bapak Ekoliterasi

admin

Who is Fritjof Capra? Fritjof Capra, Ph.D., is a scientist, educator, activist, and author of many international bestsellers that connect conceptual changes in science with broader changes in worldview and values in society.
A Vienna-born physicist and systems theorist, Capra first became popularly known for his book, The Tao of Physics, which explored the ways in which modern physics was changing our worldview from a mechanistic to a
holistic and ecological one. Published in 1975, it is still in print in more than 40 editions worldwide and is referenced with the statue of Shiva in the courtyard of one of the world’s largest and most respected centers for scientific research: CERN, the Center for Research in Particle Physics in Geneva.
Over the past 30 years, Capra has been engaged in a systematic exploration of how other sciences and society are ushering in a similar shift in worldview, or paradigms, leading to a new vision of reality and a new understanding of the social implications of this cultural transformation.
His most recent book, The Systems View of Life (Cambridge University Press, 2014), presents a grand new synthesis of this work—integrating the biological, cognitive, social, and ecological dimensions of life into one unified vision. Several critics have suggested that The Systems View of Life, which Capra coauthored with Pier Luigi Luisi, Professor of Biology at the University of Rome, is destined to become another classic.
Capra is a founding director of the Berkeley-based Center for Ecoliteracy, which is dedicated to advancing ecology and systems thinking in primary and secondary education, and serves on the faculty of the Amana-Key executive education program in São Paulo, Brazil. He is a Fellow of Schumacher College, an international center for ecological studies in the UK, and serves on the Council of the Earth Charter Initiative.
He is the author of The Turning Point (1982), The Web of Life (1996), The Hidden Connections (2002), The Science of Leonardo (2007), and Learning from Leonardo (2013). He coauthored Green Politics (1984), Belonging to the Universe (1991), and EcoManagement (1993), and coedited Steering Business Toward Sustainability (1995). He also cowrote the screenplay for Mindwalk (1990), a film starring Liv Ullmann, Sam Waterston, and John Heard, created and directed by Bernt Capra.
The main focus of Capra’s environmental education and activism has been to help build and nurture sustainable communities. He believes that to do so, we can learn valuable lessons from the study of ecosystems, which are sustainable communities of plants, animals, and microorganisms.
He received his Ph.D. in theoretical physics from the University of Vienna in 1966 and spent 20 years doing research in theoretical high-energy physics, including at the University of Paris, the University of California at Santa Cruz, the Stanford Linear Accelerator Center, Imperial College, University of London, and the Lawrence Berkeley Laboratory at the University of California. He also taught at the University of California, Santa Cruz; the University of California, Berkeley; and San Francisco State University.
Capra has been the focus of more than 60 television interviews, documentaries, and talk shows in Europe, the United States, Brazil, Argentina, and Japan, and has been featured in major newspapers and magazines internationally. He was the first subject of the BBC’s documentary series, Beautiful Minds.
He holds an Honorary Doctor of Science degree from the University of Plymouth and is the recipient of many other awards, including the Gold Medal of the UK Systems Society, the Neil Postman Award for Career Achievement in Public Intellectual Activity from the Media Ecology Association, the Medal of the President of the Italian Republic, the Leonardo da Vinci Medallion of Honor from the University of Advancing Technology in Tempe, Arizona, the Bioneers Award, the New Dimensions Broadcaster Award, the American Book Award, and the Gold IndieFab Award from Foreword Reviews.
Fritjof Capra lives in Berkeley with his wife and daughter.

Wednesday, October 28, 2015

Kesalehan Ekologi

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

al-Insan ibn bi’atihi (Manusia itu anak lingkungannya). Pepatah Arab ini mengandung arti kita memiliki hubungan simbiosis-mutualisme dengan lingkungan hidup kita.

Di satu pihak kita dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan kita, dan di sisi lain kita juga berperan besar dalam merawat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan demikian, kita harus bersikap harmoni terhadap lingkungan kita, dengan tidak mengeksploitasi dan merusaknya.

Dalam banyak hal, manusia cenderung lebih gampang memanfaatkan dan merusak lingkungan hidup, daripada menanam dan menjaga kelestariannya.

Karena membendung nafsu serakah untuk mengeksploitasi alam itu jauh lebih sulit daripada menumbuhkan kesadaran dan kesalehan ekologis.

Kecerdasan lingkungan (environmental quotion) bangsa kita idealnya terus meningkat, karena hampir setiap saat kita dihadapkan kepada aneka bencana alam.

Kita akan semakin cerdas lingkungan jika selalu mengambil pelajaran dan hikmah dari banjir bandang, banjir rob, tanah longsor, tsunami, kekeringan berkepanjangan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kesadaran untuk merawat dan tidak menebang pohon sembarangan juga perlu dikampanyekan dan disosialisasikan.

Sebaliknya, gerakan menanam pohon dan menghijaukan lingkungan (reboisasi) harus mendapat respon positif dari semua pihak.

Dalam hal ini, Nabi SAW pernah melarang umatnya melakukan penebangan pohon, lebih-lebih pohon itu berfungsi sebagai tempat berteduh manusia atau hewan.

Rasulullah SAW pernah melarang menebang pohon di tanah gurun yang menjadi tempat berteduh manusia atau hewan, dan menganggapnya sebagai arogansi dan aniaya.” (HR. Abu Dawud).   

Sejalan dengan itu, pemanfaatan lahan produktif untuk bercocok tanam, bertani, dan peningkatan produksi bahan pangan merupakan perintah agama.

Artinya, dalam rangka pemeliharaan lingkungan, kita dilarang untuk menelantarkan lahan produktif agar memberi nilai manfaat bagi umat manusia.

Jabir ibn Abdullah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu ada beberapa orang memiliki tanah lebih, lalu mereka berkata: “Lebih baik kami sewakan dengan hasilnya sepertiga, seperempat atau separuh. Tiba-tiba Nabi Saw bersabda: Siapa yang memiliki tanah, maka hendaknya ditanami atau diberikan kepada saudaranya, jika tidak diberikan, maka hendaklah ditahan saja.”  (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, menanam pohon, tanaman, atau tumbuhan yang memberi nilai manfaat sangatlah  penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain.
Bahkan, jika tanaman itu dimakan burung,  binatang, atau manusia, maka yang dimakan itu dinilai sebagai sedekah; dan sang pemilik tanaman itu mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Hadis berikut juga menunjukkan pentingnya gerakan pemanfaatan lahan tidur (yang tidak ditanami) menjadi lahan produktif.

Dengan memanfaatkan lahan menjadi produktif, kelestarian lingkungan menjadi terjaga dan memberi nilai tambah bagi semua.

Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang Muslim yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah. (HR. al-Bukhari Muslim)

Dengan demikian, penelantaran lahan atau tanah yang produktif sama artinya tidak memedulikan kelestarian lingkungan.

Dalam pelestarian lingkungan, prinsip utama yang harus dipedomani Muslim adalah prinsip kemanfaatan, sesuai dengan hadits Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.” (HR al-Thabarani).

Selain itu, prinsip keberkahan, kasih sayang, dan ampunan dari Allah SWT juga merupakan prinsip sosial yang perlu diyakini dan diaplikasikan dalam pemeliharaan lingkungan.

Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: “Ada golongan hamba yang pahalanya terus mengalir, sementara ia telah berada dalam kubur setelah kematiannya, yaitu: orang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam pohon, membangun masjid, mewariskan mushhaf, dan meninggalkan anak yang selalu memintakan ampun orang tuanya setelah kematiannya.” (HR. al-Baihaqi, Ibn Abi Dawud, al-Bazzar, dan ad-Dailami).

Dalam hadits lain, Nabi SAW pernah berpesan kepada para pasukannya ketika hendak pergi menuju medan perang untuk tidak: pertama, membuang kotoran (sampah) di tempat aliran sungai, kedua, menebang pohon tanpa alasan, dan ketiga buang air kecil atau air besar (BAB) di bawah pohon yang biasa dilewati atau digunakan manusia berteduh.

Jadi, pelesatarian lingkungan itu sangat tergantung pada faktor manusianya. Reboisasi tidak akan berhasil jika hutan atau tanaman selalu digunduli secara ilegal.

Optimalisasi fungsi lingkungan alam, lingkungan hidup menjadi sangat penting karena ekosistem ini dapat menentukan kualitas hidup kita.

Jika lingkungan kita rusak (tidak sehat, tidak bersih, tidak indah, tidak nyaman), maka kualitas hidup  menjadi terganggu dan tidak nyaman.

Dengan demikian, pendidikan lingkungan merupakan bagian dari pendidikan Islam yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, mulai dari diri sendiri hingga para petinggi negeri ini agar berbagai bencana dan musibah dapat dicegah dan dihindari.

Esensi kesalehan ekologis adalah menjaga, melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan mendayagunakan lingkungan demi kesejahteraan hidup manusia sekaligus memberikan kenyamanan untuk beribadah dan mewujudkan masa depan yang lebih baik.


Dengan memiliki kesalehan ekologis,  kita hendaknya semakin ramah dan harmoni terhadap lingkungan sekitar kita, karena kita juga yang akan merasakan akibatnya jika kita tidak bersikap saleh terhadapnya.

sumber: 
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/03/07/n211zv-kesalehan-ekologi

Tuesday, October 27, 2015

10 Kecerdasan Ekologis dalam Al-Qur'an, Penuntun Kebahagiaan

oleh Admin

kampanye green deen ‪#‎ekoliterasiRBK‬ Rumah Baca Komunitas
Jum'at mubarak.

Kecerdasan Islam ekologis (ecology Islam Quotient) pada dasarnya adalah sebuah panduan yang mengajak manusia untuk sadar bahwa syarat awal untuk menjadi “orang-orang yang beriman” (mu’min) adalah pengakuan bahwa Allah Swt merupakan Tuhan ekosistem lingkungan yang harmonis. Allah Swt merupakan pencipta langit dan bumi, serta pengatur ekosistem yang menyerahkan amanah pengelolaan bumi kepada manusia.

Syarat pertama manusia dilepas ke muka bumi adalah perintah untuk mempelajari nama benda-benda. Nabi Adam dituntun oleh Allah untuk mengucapkan benda-benda. Perintah qalam untuk Nabi Adam, juga dilakukan kepada Nabi Muhammad dengan perintah Iqra. Perintah Qalam sebab manusia harus memulai kesadaran baru, sedangkan perintah Iqra agar manusia mulai berbenah diri atas kebahagian yang hendak dicapainya.

1. Surat al-Mu’min ayat 64: “Allah-lah yang menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu lalu memperindah rupamu serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah Allah, Tuhanmu, Mahasuci Allah Tuhan seluruh alam.”

2. Surat al-An'am ayat 99 : "Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dari dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serua dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh pada demikian itu ada tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”

3. Surat al-An'am ayat 165: "Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.

4. Surat al-An’am ayat 38: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami lupakan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.”

5. Surat al-Qasas ayat 77: "...berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan."

6. Surat al-Baqarah ayat 60: "...makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berbuat kerusakan.

7. Surat ar-Rum ayat 41: "telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.."

8. Surat al-Azhab ayat 72: "sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."

9. Surat an-Nahl ayat 65: "Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang demikian tu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)"

10. Surat Qaf ayat 9: "Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen."

Wednesday, October 14, 2015

7 Rukun Islam Ekologis; Cara Hidup Bahagia Ekologis dan Islami

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Islam pada dasarnya merupakan ajaran yang menawarkan konsep peningkatan kualitas hidup yang bertopang pada ajaran untuk mengikuti kebenaran. Termasuk di dalamnya adalah pengakuan bahwa Allah maha benar dan maha mulia sebab telah menciptkan alam semesta menurut aturannya tertentu.

Aturan itu telah menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, dan lingkungan hidup sebagai bagian dari ekosistem alam semesta. Oleh karena itu, Allah memerintahkan manusia menjadi khalifah fi al-ardh sebab fungsi manusia di alam semesta adalah menjaga, dan merawat lingkungan.

Setiap nabi, selalu punya tugas dan fungsi ekologis. Nabi Nuh, diperintahkan untuk menyelamatkan hewan, tumbuhan, dan manusia yang berbakti untuk Allah dari kekecauan yang ditimbulkan oleh sikap eksploitatif sekelompok manusia di zaman itu seperti mencemari air, membabat hutan karena keserakahan, dan memperbudak manusia.

Nabi Sulaiman, yang mampu berinteraksi dengan lingkungan, termasuk hewan-hewan. Nabi Sulaiman memperoleh informasi dari lingkungan tentang kejahatan-kejahatan manusia. Nabi Muhammad adalah seorang pengembala yang berkasih terhadap gembalaannya serta memerintahkan pengikutnya untuk menjaga perempuan, anak-anak, dan lingkungan sekalipun dalam masa perang.

Merawat dan menjaga lingkungan berfungsi bagi peningkatan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Berbanding dengan sikap eksploitatif manusia terhadap lingkungan dapat memicu kerugian bagi kehidupan manusia itu sendiri. Meretakkan alam berarti meretakkan manusia.

Tujuh rukun ekologis Islam ala Rumah Baca Komunitas di bawah ini disusun dalam rangka kampanye ekoliterasi.

  1. Merawat alam adalah tugas manusia sebagai khalifah fi al-ardh
  2. Amal jariyah ekologis adalah aktivitas perawatan ekologi yang punya daya replikasi karena manfaat dan kegunaannya bagi alam semesta yang tak putus.
  3. Seorang hamba Allah yang baik adalah yang mampu menjaga alam sebagaimana dia menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia.
  4. Prinsip agama Islam menjelaskan tiga hal yang tak boleh dirusak; Perempuan, anak-anak, dan lingkungan.
  5. Memanfaatan air sisa wudhu untuk keperluan menjaga unsur hara tanah. caranya ialah dengan menampungnya untuk keperluan membasahi tanah kering atau tandus. di beberapa Masjid model seperti ini sudah dilakukan dalam rangka mengurangi dampak tanah kering akibat kemarau.
  6. Menjaga kualitas kristal air dengan pemanfaatan yang beradab, artinya digunakan untuk perihal yang bermanfaat, tak mubazir, dan digunakan untuk kepentingan banyak orang.
  7. Islam mengajarkan bahwa air, udara, dan tanah adalah wujud kasih sayang Allah terhadap manusia. Air, udara, dan tanah digunakan bebas oleh manusia untuk menopang kehidupannya. merawat air, udara, dan tanah berarti merawat kasih sayang Tuhan terhadap manusia, termasuk menjaganya dari proses eksploitasi dan komodifikasi.

Friday, October 9, 2015

Kecerdasan Ekologis

David Efendi, Pegiat Literasi di RBK

Menurut hemat penulis, kecerdasan kewargaan ( Yudi Latif, 2015) harus dilengkapi dengan kecerdasan ekologis di dalamnya yaitu level kepiawaian manusia menyikapi perubahan lingkungan (changing ecology lanscap) sehingga ditemukan formula interaksi manusia dengan alam yang ramah, damai, sustainable. Asap yang menjadikan duka nasional itu adalah ekspresi alam yang sedang papa tanpa orang tua asuh. Hidup dikelilingi mafia dan pemburu rente.
Dalam obrolan ringan ini penulis membedakan tipologi manusia yang mempunyai kecerdasan ekologis ke dalam empat jenis kategori: eksploitors, emansipators, transformer, reformer, dan firefighter. Tentu ini hanyalah suatu cara memahami manusia berdasarkan subyektifitas penulis.
Pertama adalah tipe Exploitors. Kelompok ini hobinya mengambil dari alam tak mau memberi jadi hanya berhasrat dan melakukan pemerkosaan terhadap alam untuk mencukupi nafsu kepuasan dan dalam rangkah akumulasi kapital.
Kedua adalah tipologi yang disebut Emansipator. Salah satu agenda aksinya adalah kampanye untuk pelestarian alam hutan baik secara individu maupun kolektif, dengan atau tanpa dana pemerintahan, funding asing.
Ketiga merupakan Transformer yang hobinya ingin mengubah fungsi lingkungan dan sumberdaya alam atas nama pembangunan dan digunakan untuk pelayanan terhadap pasar baik dalam maupun luar negeri (global). Salah satu latar belakangnya adalah paradigma perdagangan internasional yang menempatkan indonesia sebagai negara penyangga atau wilayah desa atau sub urban bagi dunia untuk memenuhi keserakahan bagi kebutuhan primer dunia
Keempat, manusia dengan tipe keerdasan "reformer" yang berusaha dan melakukan pembaharuan tata kelola lingkungan yang inovatif tanpa merusak siklus dan karakteristik lingkungan alami. Misalnya, bagaimana manusia kota bersepakat untuk membuka ruang terbuka hijau, mengelola sampah, memastikan cadangan air tanah dan antisipasi terhadap beragam kerusakan sungai dan struktur ekologis lainnya. Sebuah koran berbasis di jakarta melaporkan adanya bahaya defisit air baku di jakarta yang disebabkan pencemaran sungai (harian nasional, 9 okt 2015). Walhi mensinyalir pada tahun 2023 jakarta defisit air bersih lebih dari 13 ribu liter per detik. Ini juga akan terjadi di kota lain atau daerah lain yang terdapat pabrik tambang. Situasi dramatik sebagai tragedi publik akan semakin gampang ditemui.
Terakhir, tipe Fire fighter. kalau alam dah rusak baru mencoba memperbaiki persis seperti petugas pemadan kebakaran. Tentu mencegah kerusakan jauh lebih gampang dari pada mengobati alam dan ekosistem yang sudah porak poranda dan hancur lebur.
Mengingat urgensi kesadaran ramah lingkungan dan praktik praktik pro-green sangat mendesak untuk diakselerasikan sikap care terhadap lingkungan sejak dini. Perlu juga sekolah dipraktikkan bentuk praktik yang sustanable menyikapi degredasi kedaulatan ekologis dalam lingkup komunitas dan dalam urusan sehari hari warga. Tanpa upaya sistemik dan massif, tentu kerusakan jauh lebih cepat menyebar karena di dalam tata kelola lingkungan juga berlaku hukum deret hitung Keyness. "Kerusakan alam berjalan cepat seperti deret ukur (2,4,8,16, dst) sementara perbaikan itu lambat seperti deret hitung (1,2,3 dst). Karenanya orang baik tak boleh menyerah dan pensiun berbuat baik. Sekian semoga berguna.

Thursday, October 8, 2015

Masjid Organik

David Efendi
Pegiat literasi di Rumah Baca Komunitas

“...banyak komunitas agama yang ragu dalam memasang sumber-sumber energi terbarukan di tempat ibadah, atau mengambil sikap kuat terkait perubahan iklim.”


Penggalan kalimat di atas merupakan artikel yang dirilis oleh VoA Indonesia sebulan lalu. Ulasan yang berdimensi multi-negara ini hendak mengirimkan pesan bahwa masih lemahnya kontribusi agamawan dan lembaga agama dalam upaya mencari solusi terhadap persoalan-persoalan lingkungan global. Salah satu yang paling krusial hari ini adalah mengenai perubahan iklim dan pemasnasan global yang ditandai dengan hadirnya bencana ekologis yang beruntun mulai banjir, gempa bumi, kebakaran hutan, dan kegagalan teknologi nuklir. Di dalam artikel tersebut, ada apresiasi positif mengenai semakin responsifnya kelompok agama dalam memberikan reaksi terhadap persoalan ekologis walau masih terkesan lamban. Banyak harapan dari masyarakat, kaum agamawan memperkuat peran emansipatif dan preventifnya dalam mengurangi persoalan-persoalan degradasi lingkungan hidup.

Dalam artikel ini, penulis hendak mendiskusikan gagasan dan praktik ideal bagaimana masjid sebagai institusi agama Islam yang mempunyai infrastruktur dan fasilitas memadai untuk melakukan langkah nyata menghadang bencana ekologis. Gerakan islam yang memberikan kontributif terhadap pencegahan bencana lingkungan merupakan gerakan islam progresif yang perlu ditumbuhkembangkan di Indonesia. Hal ini sangat penting karena ‘pra-kondisi’ lingkungan sudah menunggu respon tepat oleh kaum agamawan dan aktifis gerakan islam. Taruhlah misal, persoalan sampah di kota, pendangkalan sungai, pencemaran air, pemborosan air tanah, kerusakan hutan, hilangnya beragam spisies tumbuhan dan binatang yang berdampak pada ekosistem secara keseluruhan. Keadaan ini merupakan input yang akan memantik untuk menemukan cara-cara cerdas keluar dari lingkaran setan bencana ekologi.

Memposisikan peran organisasi lembaga keagamaan  menjadi suatu keniscayaan hari ini. Sebagai gagasan tertulis misalnya kita dapat melihat subyek organisasi bernama masjid. Masjid merupakan institusi agama islam sebagai tempat ibadah yang juga mempunyai peran sosial-budaya dan dalam banyak aspek juga menjadi sarana pendidikan politik bagi jamaahnya. Peran-peran sosial keagamaan masjid merupakan peran yang sudah dapat dikategorikan sebagai fungsi konvensional masjid. Sementara fungsi ekologis dari masjid merupakan fungsi yang sifatnya kebaruan yang perlu diperkuat dengan reformasi paradigmatik atau filosofis, preventif dan pembangunan praktik-praktik kegiatan yang berdimensi pro-lingkungan atau istilahnya eco-friendly.

Salah satu komunitas muslim di Amerika telah memberikan ilustrasi menarik bagaimana islam menjadi agama hijau (Abdul-Matin, 2008). Dalam level filosofi misalnya dijelaskan bahwa banyak sekali ayat-ayat dalam al-quran yang mengajarkan ummatnya untuk menjaga kelestarian alam dan juga tidak berbuat kerusakan. Banyaknya human error atau human-made disaster yang ada hari ini juga sudah lebih dari seribu tahun lalu diingatkan dalam al-quran. Jumlah “ayat-ayat ekologis’ cukup banyak jika dibaca di sana sehingga islam sendiri sebenarnya adalah agama yang tidak ramah terhadap kejahatan kapitalis dan korporasi perusak lingkungan. Hal ini memperlihatkan bahwa peran preventif ummat islam dalam urusan ekologi telah diperintahkan sebagai kewajiban. 

Kedua, mencegah kerusakan itu jauh lebih baik dari pada mengembalikan atau memperbaiki kerusakan sehingga kesadaran akan kewajiban pencegahan ini mutlak harus menjadi program atau kegiatan lembaga keagamaan islam. Pengetahuan akan memudarnya ‘martabat alam’ harus pula menjadi penggetahuan jamaah islam untuk menjadi common sense sekaligus mengidentifikasi langkah-langka strategis yang perlu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan fiqh atau ibadah tidak boleh dipisahkan dalam realitas hidup jamaah sehingga jamaah merasa dekat dengan alam dan lingkungan serta memberikan kontribusi bagi kelestariannya.

Terakhir, salah satu inspirasi dari praktik ramah lingkungan di sana adalah bagaimana masjid melakukan penghematan dan pemanfaatan air dengan maksimalisasi kegunaan air bekas air wudhu serta penghematan listrik. Eksistensi masjid di Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu baik yang berada di kota besar sampai pelosok desa pasti tterdapat komunitas yang mengelola keberadaannya. Adanya persoalan lingkungan seperti banjir sampah, banjir, debu, musnahnya spesies tumbuhan dan ketersediaan tanaman sayuran dan obat yang semakin tergantung pada impor adalah sedikit persoalan yang sebenarnya kelompok islam atau jamaah masjid dapat memberikan kontribusi. Hampir semua masjid mempunyai halaman, mempunyai sumberdaya manusia yang dpaat dikelola secara sinergis untuk menghasilkan beragam produk yang dapat memenuhi kebutuhan jamaahnyya atau pasar lokal.
Masjid dengan pembaharuan peran non-konvensional ini juga jika dilakukan massif maka masjid sebagai institusi agama secara pelan tapi pasti telah memberikan kontribusi bagi pencegahan pemanasan global dan pengurangan resiko perubahan iklim dengan pendekatan 3R: reduce, Reuse, dan rescyle. Selain itu juga dilengkapi dengan produksi tanaman yang menghasilkan sumber kehidupan berkelanjutan ( sustainable).


Dengan demikian, ribuan Masjid kemudian mempunyai fungsi pemberdayaan ekonomi, menghasilkan uang, sekaligus mempunyai peran penyelamatan ekologis. Masyarakat juga akan berintrekasi ke masjid bukan hanya untuk kepentingan ibadah tetapi juga untuk menjawab kebutuhan bibit tanaman tertentu, belajar skill daur ulang, skill pertanian vertikultur atau hidrorganik, produksi energi listrik terbarukan, atau pembuatan pupuk organik, dan kegiatan edukasi lainnya. Fungsi ekologi sekaligus penggerak roda ekonomi ini merupakan terobosan penting zamana ini karena memang kelompok agamawan tidak boleh mengalinisasikan dirinya dari persoalan-persoalan lingkungan karena memang di dalam diri pemeluk agama islam, khususnya, melekat kewajiban ekologis sebagai bagian dari manifestasi ke-iman-annya. Dengan peran-peran ekologis sebagaiamana disebut diatas, tempat ibadah ummat islam ini dapat disematkan gelar padanya sebagai “Masjid organik.”

Sunday, August 9, 2015

Hijau yang Dirindukan

Belakangan ini suhu udara di wilayah yogyakarta khususnya pinggiran sleman berubah terasa dingin dan kering. Hal ini tentunya wajar mengingat sekarang wilayah Indonesia sedang dilanda musim kemarau. Namun kondisi ini tidak seperti yang saya rasakan pada musim-musim kemarau sebelumnya. Udara menjadi semakin dingin dan kering pada tahun ini serta periode kemarau yang lebih panjang dari sebelumnya walapun menurut pemerintah dalam hal ini BMKG kondisi ini terjadi karena pengaruh dari El - Nino sehingga mengakibatnya terjadinya anomali cuaca. Dampak lain yang terjadi karena fenomena ini adalah sulitnya mendapatkan air untuk mencukupi kebutuhan hari - hari yang terjadi karena sumber air seperti mata air, sungai dan sumur yang mengurangi jumlah pengeluaran airnya. 

Sebelum tinggal di kabupaten Sleman, wilayah di pinggiran D.I. Yogyakarta. Saya lama menetap di pedalaman Kalimantan Timur, tepatnya disebuah kota kecil bernama Bontang. Saya sebut pedalaman karena butuh waktu 8 jam perjalanan darat. Dahulu bahwa orang tua saya butuh waktu 2 hari menyusuri sungai untuk mencapainya. Saya lahir dan besar di kota tersebut sebelum akhirnya pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi. Orang tua saya terkadang tentang bagaimana kondisi alam daerah ini di tahun 80'an yang benar benar dikelilingi oleh hutan perawan yang lebat dan tinggi. Jenis Pohon - pohon besar seperti ulin, bengkirai, meranti masih mudah ditemui di sekitaran daerah kami tinggal.
Banyak pula binatang seperti babi, monyet, orangutan, ular dan jenis binatang liar lain yang mudah ditemui berkeliaran atau sekedar melintas di sekitaran pemukiman masyarakat. Hal ini tentu saja menggambarkan ekosistem yang masih sangat baik di kalimantan ketika itu. Hujan yang terjadi sepanjang tahun yang jika pada puncak musim penghujan menjadi begitu deras namun tidak sampai mengakibatkan kebanjiran. air tanah yang melimpah sehingga sumur digali tidak terlalu dalam, sungai - sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan warna coklat lumpur khas sungai - sungai di kalimantan. Kondisi ini tentulah telah berubah dewasa ini. Tidak hanya di Bontang saja namun daerah lain di pulau Kalimantan tentulah telah mengalami pembangunan yang pesat.
Pemukiman, area perdagangan, perkantoran, industri, dan sarana publik lainnya yang tentu saja memerlukan pemanfaatan lahan yang tidak sedikit. Hal ini tentu saja mengakibatkan banyak terjadi perubahan fungsi lahan dan sekaligus merubah ekologi lingkungan yang ada disekitarnya. Kondisi alami kalimantan yang berbukit bukit dengan tumbuh banyak pohon dengan karakter kayu yang keras dan akar yang mengujam jauh kedalam tanah berfungsi tidak hanya sebagai produsen oksigen semata namun juga dapat menyerap air hujan kedalam tanah sehingga mencegah terjadinya banjir dan tanah longsor serta menjaga kondisi tanah agar tetap hidup dan produktif karena banyaknya unsur hara yang disuplai oleh pohon - pohon sehingga adalah konsekuensi yang logis bila kemudian terjadi banjir, sumber air tanah yang berkurang, kadar unsur hata tanah yang berkurang sebagai akibat hilangnya pohon berserta fungsinya tersebut. Dan hal itulah yang kerap terjadi di beberapa wilayah di kalimantan sebagai akibat dari perubahan fungsi lahan. Belum lagi kondisi lingkungan yang rusak akibat dari aktivitas pertambangan batu bara yang banyak dilakukan tanpa adanya usaha mengembalikan kembali fungsi lahan seperti sedia kala. 

Masalah perubahan fungsi hutan ini juga tentunya berperan signifikan terhadap anomali cuaca yang terjadi di indonesia saat ini. Belum lagi akibat yang ditimbulkan oleh pembakaran lahan hutan yang terjadi di pulau sumatra mengakibatkan polusi udara yang begitu parah sehingga berbahaya bagi kesehatan masyarakat serta ekosistem pada wilayah tersebut. Lain lagi dengan yang terjadi di pulau jawa dengan adanya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk yang masif membuat produksi bahan makanan khususnya beras menjadi menyusut tiap tahunnya.
Dampak negatif lingkungan yang kita rasakan semakin lama semakin banyak ini tentulah tidak terjadi tanpa ada pelaku dan sebab yang jelas. Manusia sebagai makhluk yang di bekali akal dan perasaan sudah saatnya untuk mulai berintrospeksi diri terhadap tindakan yang dilakukan terhadap alam hidup. Sudahkan manusia bersahabat baik dengan alam dengan menjaga dan merawatnya? yang jawabanya dapatlah di lihat dari fenomena alam yang terjadi saat ini.
Sudah tentu ukuran baik buruk seorang manusia tidak hanya diukur terhadap hubungan sesama manusia saja tetapi juga secara simultan bagaimana ia dapat bersahabat baik dengan tanah air tempat dimana manusia itu hidup dan berkembang. Karena sejatinya apa yang ada di alam ini tidak hanya di berikan kepada individu - individu semata namun menjadi hak manusia dan makhluk hidup lain untuk turut serta merasakan manfaatnya pada saat ini dan masa yang akan datang. Sehingga menjadi sebuah kesalahan bagi umat manusia itu sendiri bilamana pemanfaatan lingkungan hidup tidak dikelola secara arif dan bijaksana karea sesungguhnya hal tersebut justru menjadikan umat manusia bakal menuai kerugian dimasa mendatang yang sudah tentu kepastiannya jika tindakan manusia yang terus merusak alam tanpa ada usaha untuk menjaga dan memperbaikinya.
Selamat siang kawan. Semoga tetap semangat dalam beraktivitas. Sedikit refleksi dari saya sebelum menunaikan sholat Jumat. Inilah Sedikit refleksi dari tulisan cak david beberapa saat lalu tentang Green Deen

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK