Showing posts with label Ekoliterasi. Show all posts
Showing posts with label Ekoliterasi. Show all posts
Saturday, June 11, 2016
Maklumat Masyarakat Literasi Bergerak atas ART|JOG 2016
Ada Apa dengan Art Jog 2016? Berikut maklumat kami sebagai masyarakat literasi bergerak yang terus menyuarakan kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan, pro ekologi dan anti kekerasan, melihat kegiatan ART |JOG tahun 2016 ini dalam beberapa butir maklumat.
📋Menjaga medan seni rupa bersih dari lalu lintas kapital korporasi predator adalah satu-satunya cara mempertahankan otonomi seni. Keterlibatan Freeport Indonesia (PT. FI) sebagai partner medan seni rupa Art Jog 2016 patut dipandang sebagai ketakberhasilan refleksi dunia seni Indonesia menjaga otonominya. Kasus pelangggaran HAM, kasus pengrusakan lingkungan, serta eksploitasi alam yang dilakukan PT. FI harusnya menjadi pertimbangan penting mengapa seni tak boleh berintim dengan salah-satu wujud kapitalisme predator ini.
📋Praktik seni, adalah praktik menjaga harmonisasi antara manusia, alam, dan sesuatu yang disebut sebagai higher-being. Relasi dalam seni memang tak bisa dipungkiri melibatkan kelindan antara meta-kriya (rohani), energi, dan Industri. Seni yang digadai akan menjadi bukti bahwa seni tak punya raison d'etre. Maka seni yang diintimkan pada industri predator akan melegitimasi penumpahan darah manusia, dan pembunuhan alam.
📋ART|JOG 2016 yang disebut-sebut sebagai medan seni rupa terbesar di Asia Tenggara seharusnya menjadi cara memperlihatkan wajah seni Indonesia yang berdaulat. Sejak pertama kali diadakan pada tahun 2008 dengan inisiasi Heri Pemad yang dikenal sebagai "pengendus bakat seniman". Tampaknya, ART|JOG 2016 memaknai "Infinity in Flux" (tema Art| Jog pada tahun 2015) yang merayakan "peleburan" dalam internal karya seni, menjadi peleburan interaktif antara karya seni dan kapitalisme. IIF harusnya menjadi momen peleburan seni dan rakyat; melalui interaksi antara bahan, tema, dan indera. Bukan dengan sesuatu yang eksternal semacam korporasi. Pernyataan Bambang Witjaksono bahwa Art Jog 2016 "membicarakan kondisi dunia hari ini", maka mungkin saja maksudnya adalah kondisi tak terelakkan lagi masyarakat seni dan korporasi predator.
📋hilangnya rasa malu bersanding antara seni dan korporasi jahat memperlihatkan wujud sebenarnya Art Jog 2016 yang kontradiktif; pembebasan (perlu diketahui, Art Jog 2016 juga menyajikan lukisan realisme-sosialis Djoko Pekik) yang didukung oleh agen kekerasan (PT. FI). Ini kontradiksi yang mengacaukan akal sehat.
📋 Pelaksanaan pameran tentu membutuhkan dana itu jelas, namun yang pertama-tama tidak boleh dilupakan adalah keberpihakan seni terhadap hidup yang adil, hidup yang baik. Bukankah seni itu wujud dari keindahan hidup. Bagaimana mungkin keindahan hidup akan terwujud ketika ketidakadilan sedang terjadi.
📋seniman-seniman di dalam pameran tersebut mengungkapkan kritik atas persoalan hidup melalui seni. Ketidakadilan, krisis lingkungan, krisis kemanusiaan. Lalu pelaksanaan pemeran justru menggunakan alasan yang sangat pragmatis, dengan menerima kucuran dana dari perusahaan yang selama ini telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat Papua. (Silakan dibaca di website Kontras)
📋 Ada problem lebih mendasar daripada pendanaan yaitu warna seni itu sendiri, keberpihakan para pekerja seni itu sendiri. Jika pekerja seni itu sensitif terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat secara nyata tentu mereka sejak mula akan memiliki sikap terhadap keterlibatan PT. Freeport Indonesia. Seni harus dipertahankan agar tidak menjadi elitis dan tercerabut dari akar kebudayaan rakyat.
📋 ada tersedia sumber Dana dari Dana Keistimewaan di DIY yang melimpah seharusnya dapat menyelamatkan marwah serta martabat seni dari banalitas korporasi yang terus melakukan pencitraan dengan halalkan segala cara.
Demikian maklumat ini, semoga bisa menjadi tolak balak atas kerusakan iman kita pada kesenian dan kebudayaan.
Salam Literasi untuk semesta alam.
Yogyakarta, 11 Juni 2016 bertepatan dengan 6 RAMADHAN 1437H
Saturday, January 23, 2016
Matinya Kota
#urbanliteracycampaign
I David Efendi
di Indonesia,
rata-rata umur kota antara 200 sampai 400 tahun dengan segala warisan masa
lalu, kisah kekerasan, dan juga pengalaman mengalami kebudayaan. Kebudayaan
kota ditentukan oleh bagaimana kota tersebut mampu memberikan kedamaian,
ketentraman, dan kesejaheteraan warga kota. Ibnu khaldun mendefinisikan kota
sebagai tempat tinggal yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa begitu puncak
kemewahan yang diinginkan tercapai. Jadi, hanya orang ‘kaya’ yang bisa bertahan
di Kota. Seiring dinamika politik dan ekonomi, muncul juga hasrat kompetisi
yang menyebabkan kota dirundung konflik dan perang. Nafsu akumulasi kapital
merasuk ke dalam pikiran banyak orang kota sehingga terjadilah apa yang disebut
Garreth Hardin (1965) sebagai tragedy of
the common.
Kota secara alamiah
semakin menua dan rapuh akibat gelombang zaman. Dr. David Kilcullen, a
Non-Resident Senior Fellow di lembaga Pusat Keamanan Amerika Baru menuliskan:
“Rapid urbanization creates economic, social and governance chal-
lenges while simultaneously straining city infrastructure, making the most
vulnerable cities less able to meet these challenges. The implications for
future conflict are profound, with more people fighting over scarcer resources in crowded, under-serviced and
under-governed urban areas.”
Di Indonesia, fenomena
hijrah dari desa ke kota, desa yang menjadi kota menjadikan persoalan sosial
ekonomi tak tertanggulangi. Kota menanggung beban besar sementara desa yang
seharunya memperkuat sektor agararis banyak ditinggalkan. Perkembangan ekonomi
di desa terlalu lamban dan tidak sanggup memenuhi hasrat berkonsumsi
manusianya. Kota menjadi pilihan. Peperangan pun dimulai: gelandangan,
premanisme, pengangguran, dan buruknya sanitasi. Apakah masih ada masa depan
untuk kota manusia? Pertama kita bicarakan paradigma yang mempengaruhi sistem
kota dan kekacauan-kekacauan yang membutuhkan solusi nyata dan tepat.
Konstelasi peradigma
Banyak sumber tulisan
mengarahkan pada kesimpulan bahwa di dalam kota itu embedded konflik di
dalamnya. Hal ini mendapatkan pijakan faktanya bahwa di kota lebih dipahami
sebagai arena pertempuran kapital atau sumber kesejahteraan. Pertempuran ini
seperti perang, ada pertempuran semut melawan semut, gajah melawan gajah, ada
juga peperangan menjadi asimteris bahkan ada jenis pertempuran yang tidak
diketahui siapa yang sedang dilawan. Mekanisme pasar itu adalah setan yang tak
kelihatan (invisible devil). Hal ini
menjadikan situasi perang semua melawan semua yang pernah dituliskan oleh
Thomas Hobbes menjadi kenyataan pahit kehidupan manusia kota kontemporer—homo
homini lupus. Kota-kota di indonesia sedang panen persoalan ini sebagai
konsekuensi dari status ‘the emerging city’.
Untuk menjelaskan hal
ini, bisa kita tengok dua paradigma pembangunan yang diyakini para
penyelenggara pemerintahan khususnya pembangunan perkotaan. Kedua cara pandang
tersebut adalah paradigma ekologi dan paradigma ekonomi-politik.
Tulisan ini akan mendiskusikan
satu persatu bagaimana kedua paradigma ini diyakini, dipekerjakan, dan
dihibridasi sedmeikian rupa dalam kehidupan kekinian. Pertama, adalah paradigma
ekologi. Paradigma ekologi bertolak dari kacaunya antroposentrisme yang
menjadikan pembangunan itu mengancam ekosistem yang ada. Paradigma ini
memberikan aturan main bahwa pembangunan harus mengakomodir beragam kebutuhan
lingkungan untuk sama-sama berdampingan dengan aktifitas manusia modern. Kedua
adalah paradigma ekonomi-politik. Paradigma ini sangat dominan sejak dulu
dimana beragam proyek tekhnokratis dihasratkan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas politik. Hal ini kerap kali menggelincirkan situasi tata
kelola kota sebagai politics as bussiness as usual—yang menerabas beragam etika
dan kedaulatan ekologis. Dari posisi ini sebenarnya, muncul beragam kritik atas
hukum besi perencanaan pembangunan tekhnokratik. Hukum besi yang tidak ramah
kepada manusia—terutama kelompok rentan: kaum miskin kota, perempuan, dan
anak-anak.
Matinya kota?
Kota yang oleh Khaldun
disebut sebagai “locus of civilization” artinya kota hari ini bukanlah gejala
modernitas. Peradaban selalu melahirkan kota dari ribuan tahun silam. Kota yang
beradab akan memungkinkan penduduknya memperoleh keamanan, kedamaian, dan
kesejahteraan. Ketiga hal ini semakin sulit digapai dalam kota yang padat,
panas, kemacetan, ruang publik yang sempit, banyak kemiskinan di berbagaisudut
kota dan pendidikan yang tak mengembangkan kebudayaan. Kota seperti mengalami
involusi. Hal-hal yang ideal mengenai ‘tomorrow of city’ atau the city of hope
sebagiamana yang dibayangkan warganya tak gampang ditemui. Justru stress dan
frustasi yang melanda.
Dalam sejarah manusia,
ada beberapa contoh kota yang punah yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun seperti
kota yang airnya membusuk/tidak mengalir yang kemudian bertransformasi menjadi
wabah penyakit di Maroko, juga ada beberapa kota yang musnah karena perang
sipil tak berkesudahan. Air, terutama dan paling utama, adalah harta paling
berharga yang menjadikan kota akan tetap hidup dan tumbuh. Jika salah urus air,
misalnya dengan privatisasi membabi buta, maka ada ancaman serius kota ini akan
punah—setidaknya punah manusianya dan hanya kelas tertentu yang memenangkan
pertempuran kota. Yugoslavia dan bosnia adalah contoh kota yang hilang, bagdad
menyusul. Dalam konteks yang lebih spesifik, ada juga kota yang mulai ditinggalkan
manusia seperti Jakarta. Ke jakarta hanya mencari uang, hidup lebih menjanjikan
ditempat lain.
Untuk mencegah kota
mati terlalu cepat dibutuhkan kerjasama yang sangat erat antara kelompok
pemerintah, masyarakat sipil, dan pelaku dunia bisnis. Di sektor pemerintah
diperlukan pemerintahan yang inklusif, membuka ruang partisipasi, mewujudkan
nilai-nilai keadilan, menyediakan pelayanan publik yang bagus,
mengimplementasikan model-model smart city yang relevan seperti connectifity,
tekhnologi infrormasi, dan di saat yang sama tetap mengapresiasi beragam
nilai-nilai kebudayaan yang selama ini masih dirawat dan dihargai oleh
masyarakat kota. Menjadi modern dan smart, tak selalu identik dengan proses
negasi terhadap keberadaan infrastruktur kebudayaan dan kearifan lokal.
Ambisi modernitas tak
boleh melanggar nilai-nilai yang menjadi keyakinan dasar manusia yang
menghuninya. Di jawa, misalnya, ada nilai-nilai keguyuban, nilai-nilai tepo
seliro (toleran), simbol-simbol arsitek dan sebagainya. Ini tak bisa dilanggar
sebagai konsekuensi dari kebudayaan. Kecuali memang seluruh isi kota bersepakat
untuk meninggalkan kebudayaan lamanya.
David
Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban
Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja
dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.
Saturday, November 14, 2015
Mengenal Bapak Ekoliterasi
admin
Who is Fritjof Capra? Fritjof Capra, Ph.D., is a scientist, educator, activist, and author of many international bestsellers that connect conceptual changes in science with broader changes in worldview and values in society.
A Vienna-born physicist and systems theorist, Capra first became popularly known for his book, The Tao of Physics, which explored the ways in which modern physics was changing our worldview from a mechanistic to a
holistic and ecological one. Published in 1975, it is still in print in more than 40 editions worldwide and is referenced with the statue of Shiva in the courtyard of one of the world’s largest and most respected centers for scientific research: CERN, the Center for Research in Particle Physics in Geneva.
Over the past 30 years, Capra has been engaged in a systematic exploration of how other sciences and society are ushering in a similar shift in worldview, or paradigms, leading to a new vision of reality and a new understanding of the social implications of this cultural transformation.
His most recent book, The Systems View of Life (Cambridge University Press, 2014), presents a grand new synthesis of this work—integrating the biological, cognitive, social, and ecological dimensions of life into one unified vision. Several critics have suggested that The Systems View of Life, which Capra coauthored with Pier Luigi Luisi, Professor of Biology at the University of Rome, is destined to become another classic.
Capra is a founding director of the Berkeley-based Center for Ecoliteracy, which is dedicated to advancing ecology and systems thinking in primary and secondary education, and serves on the faculty of the Amana-Key executive education program in São Paulo, Brazil. He is a Fellow of Schumacher College, an international center for ecological studies in the UK, and serves on the Council of the Earth Charter Initiative.
He is the author of The Turning Point (1982), The Web of Life (1996), The Hidden Connections (2002), The Science of Leonardo (2007), and Learning from Leonardo (2013). He coauthored Green Politics (1984), Belonging to the Universe (1991), and EcoManagement (1993), and coedited Steering Business Toward Sustainability (1995). He also cowrote the screenplay for Mindwalk (1990), a film starring Liv Ullmann, Sam Waterston, and John Heard, created and directed by Bernt Capra.
The main focus of Capra’s environmental education and activism has been to help build and nurture sustainable communities. He believes that to do so, we can learn valuable lessons from the study of ecosystems, which are sustainable communities of plants, animals, and microorganisms.
He received his Ph.D. in theoretical physics from the University of Vienna in 1966 and spent 20 years doing research in theoretical high-energy physics, including at the University of Paris, the University of California at Santa Cruz, the Stanford Linear Accelerator Center, Imperial College, University of London, and the Lawrence Berkeley Laboratory at the University of California. He also taught at the University of California, Santa Cruz; the University of California, Berkeley; and San Francisco State University.
Capra has been the focus of more than 60 television interviews, documentaries, and talk shows in Europe, the United States, Brazil, Argentina, and Japan, and has been featured in major newspapers and magazines internationally. He was the first subject of the BBC’s documentary series, Beautiful Minds.
He holds an Honorary Doctor of Science degree from the University of Plymouth and is the recipient of many other awards, including the Gold Medal of the UK Systems Society, the Neil Postman Award for Career Achievement in Public Intellectual Activity from the Media Ecology Association, the Medal of the President of the Italian Republic, the Leonardo da Vinci Medallion of Honor from the University of Advancing Technology in Tempe, Arizona, the Bioneers Award, the New Dimensions Broadcaster Award, the American Book Award, and the Gold IndieFab Award from Foreword Reviews.
Fritjof Capra lives in Berkeley with his wife and daughter.
Wednesday, October 28, 2015
Kesalehan Ekologi
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
al-Insan ibn bi’atihi (Manusia itu anak
lingkungannya). Pepatah Arab ini mengandung arti kita memiliki hubungan
simbiosis-mutualisme dengan lingkungan hidup kita.
Di satu pihak kita dibesarkan dan
dipengaruhi oleh lingkungan kita, dan di sisi lain kita juga berperan besar
dalam merawat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan demikian, kita harus bersikap
harmoni terhadap lingkungan kita, dengan tidak mengeksploitasi dan merusaknya.
Dalam banyak hal, manusia cenderung lebih
gampang memanfaatkan dan merusak lingkungan hidup, daripada menanam dan menjaga
kelestariannya.
Karena membendung nafsu serakah untuk
mengeksploitasi alam itu jauh lebih sulit daripada menumbuhkan kesadaran dan
kesalehan ekologis.
Kecerdasan lingkungan (environmental
quotion) bangsa kita idealnya terus meningkat, karena hampir setiap saat kita
dihadapkan kepada aneka bencana alam.
Kita akan semakin cerdas lingkungan jika
selalu mengambil pelajaran dan hikmah dari banjir bandang, banjir rob, tanah
longsor, tsunami, kekeringan berkepanjangan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, kesadaran untuk merawat
dan tidak menebang pohon sembarangan juga perlu dikampanyekan dan
disosialisasikan.
Sebaliknya, gerakan menanam pohon dan
menghijaukan lingkungan (reboisasi) harus mendapat respon positif dari semua
pihak.
Dalam hal ini, Nabi SAW pernah melarang
umatnya melakukan penebangan pohon, lebih-lebih pohon itu berfungsi sebagai
tempat berteduh manusia atau hewan.
Rasulullah SAW pernah melarang menebang
pohon di tanah gurun yang menjadi tempat berteduh manusia atau hewan, dan
menganggapnya sebagai arogansi dan aniaya.” (HR. Abu Dawud).
Sejalan dengan itu, pemanfaatan lahan
produktif untuk bercocok tanam, bertani, dan peningkatan produksi bahan pangan
merupakan perintah agama.
Artinya, dalam rangka pemeliharaan
lingkungan, kita dilarang untuk menelantarkan lahan produktif agar memberi nilai
manfaat bagi umat manusia.
Jabir ibn Abdullah ra. berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu ada beberapa orang memiliki tanah lebih, lalu
mereka berkata: “Lebih baik kami sewakan dengan hasilnya sepertiga, seperempat
atau separuh. Tiba-tiba Nabi Saw bersabda: Siapa yang memiliki tanah, maka
hendaknya ditanami atau diberikan kepada saudaranya, jika tidak diberikan, maka
hendaklah ditahan saja.” (HR. al-Bukhari
dan Muslim)
Oleh karena itu, menanam pohon, tanaman,
atau tumbuhan yang memberi nilai manfaat sangatlah penting bagi kelangsungan hidup manusia dan
makhluk lain.
Bahkan, jika tanaman itu dimakan
burung, binatang, atau manusia, maka
yang dimakan itu dinilai sebagai sedekah; dan sang pemilik tanaman itu
mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Hadis berikut juga menunjukkan pentingnya
gerakan pemanfaatan lahan tidur (yang tidak ditanami) menjadi lahan produktif.
Dengan memanfaatkan lahan menjadi
produktif, kelestarian lingkungan menjadi terjaga dan memberi nilai tambah bagi
semua.
Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang
Muslim yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau
binatang, melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah. (HR. al-Bukhari Muslim)
Dengan demikian, penelantaran lahan atau
tanah yang produktif sama artinya tidak memedulikan kelestarian lingkungan.
Dalam pelestarian lingkungan, prinsip
utama yang harus dipedomani Muslim adalah prinsip kemanfaatan, sesuai dengan
hadits Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat
bagi orang lain.” (HR al-Thabarani).
Selain itu, prinsip keberkahan, kasih
sayang, dan ampunan dari Allah SWT juga merupakan prinsip sosial yang perlu
diyakini dan diaplikasikan dalam pemeliharaan lingkungan.
Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: “Ada
golongan hamba yang pahalanya terus mengalir, sementara ia telah berada dalam
kubur setelah kematiannya, yaitu: orang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai,
menggali sumur, menanam pohon, membangun masjid, mewariskan mushhaf, dan
meninggalkan anak yang selalu memintakan ampun orang tuanya setelah
kematiannya.” (HR. al-Baihaqi, Ibn Abi Dawud, al-Bazzar, dan ad-Dailami).
Dalam hadits lain, Nabi SAW pernah
berpesan kepada para pasukannya ketika hendak pergi menuju medan perang untuk
tidak: pertama, membuang kotoran (sampah) di tempat aliran sungai, kedua,
menebang pohon tanpa alasan, dan ketiga buang air kecil atau air besar (BAB) di
bawah pohon yang biasa dilewati atau digunakan manusia berteduh.
Jadi, pelesatarian lingkungan itu sangat
tergantung pada faktor manusianya. Reboisasi tidak akan berhasil jika hutan
atau tanaman selalu digunduli secara ilegal.
Optimalisasi fungsi lingkungan alam,
lingkungan hidup menjadi sangat penting karena ekosistem ini dapat menentukan
kualitas hidup kita.
Jika lingkungan kita rusak (tidak sehat,
tidak bersih, tidak indah, tidak nyaman), maka kualitas hidup menjadi terganggu dan tidak nyaman.
Dengan demikian, pendidikan lingkungan
merupakan bagian dari pendidikan Islam yang perlu mendapat perhatian serius
dari semua pihak, mulai dari diri sendiri hingga para petinggi negeri ini agar
berbagai bencana dan musibah dapat dicegah dan dihindari.
Esensi kesalehan ekologis adalah menjaga,
melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan mendayagunakan lingkungan demi
kesejahteraan hidup manusia sekaligus memberikan kenyamanan untuk beribadah dan
mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Dengan memiliki kesalehan ekologis, kita hendaknya semakin ramah dan harmoni
terhadap lingkungan sekitar kita, karena kita juga yang akan merasakan
akibatnya jika kita tidak bersikap saleh terhadapnya.
sumber:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/03/07/n211zv-kesalehan-ekologi
Tuesday, October 27, 2015
10 Kecerdasan Ekologis dalam Al-Qur'an, Penuntun Kebahagiaan
oleh Admin
kampanye green deen #ekoliterasiRBK Rumah Baca Komunitas
Jum'at mubarak.
Kecerdasan Islam ekologis (ecology Islam Quotient) pada dasarnya adalah sebuah panduan yang mengajak manusia untuk sadar bahwa syarat awal untuk menjadi “orang-orang yang beriman” (mu’min) adalah pengakuan bahwa Allah Swt merupakan Tuhan ekosistem lingkungan yang harmonis. Allah Swt merupakan pencipta langit dan bumi, serta pengatur ekosistem yang menyerahkan amanah pengelolaan bumi kepada manusia.
Syarat pertama manusia dilepas ke muka bumi adalah perintah untuk mempelajari nama benda-benda. Nabi Adam dituntun oleh Allah untuk mengucapkan benda-benda. Perintah qalam untuk Nabi Adam, juga dilakukan kepada Nabi Muhammad dengan perintah Iqra. Perintah Qalam sebab manusia harus memulai kesadaran baru, sedangkan perintah Iqra agar manusia mulai berbenah diri atas kebahagian yang hendak dicapainya.
1. Surat al-Mu’min ayat 64: “Allah-lah yang menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu lalu memperindah rupamu serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah Allah, Tuhanmu, Mahasuci Allah Tuhan seluruh alam.”
2. Surat al-An'am ayat 99 : "Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dari dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serua dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh pada demikian itu ada tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
3. Surat al-An'am ayat 165: "Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.
4. Surat al-An’am ayat 38: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami lupakan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.”
5. Surat al-Qasas ayat 77: "...berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan."
6. Surat al-Baqarah ayat 60: "...makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berbuat kerusakan.
7. Surat ar-Rum ayat 41: "telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.."
8. Surat al-Azhab ayat 72: "sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."
9. Surat an-Nahl ayat 65: "Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang demikian tu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)"
10. Surat Qaf ayat 9: "Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen."
kampanye green deen #ekoliterasiRBK Rumah Baca Komunitas
Jum'at mubarak.
Kecerdasan Islam ekologis (ecology Islam Quotient) pada dasarnya adalah sebuah panduan yang mengajak manusia untuk sadar bahwa syarat awal untuk menjadi “orang-orang yang beriman” (mu’min) adalah pengakuan bahwa Allah Swt merupakan Tuhan ekosistem lingkungan yang harmonis. Allah Swt merupakan pencipta langit dan bumi, serta pengatur ekosistem yang menyerahkan amanah pengelolaan bumi kepada manusia.
Syarat pertama manusia dilepas ke muka bumi adalah perintah untuk mempelajari nama benda-benda. Nabi Adam dituntun oleh Allah untuk mengucapkan benda-benda. Perintah qalam untuk Nabi Adam, juga dilakukan kepada Nabi Muhammad dengan perintah Iqra. Perintah Qalam sebab manusia harus memulai kesadaran baru, sedangkan perintah Iqra agar manusia mulai berbenah diri atas kebahagian yang hendak dicapainya.
1. Surat al-Mu’min ayat 64: “Allah-lah yang menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu lalu memperindah rupamu serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah Allah, Tuhanmu, Mahasuci Allah Tuhan seluruh alam.”
2. Surat al-An'am ayat 99 : "Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dari dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serua dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh pada demikian itu ada tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
3. Surat al-An'am ayat 165: "Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.
4. Surat al-An’am ayat 38: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami lupakan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.”
5. Surat al-Qasas ayat 77: "...berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan."
6. Surat al-Baqarah ayat 60: "...makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berbuat kerusakan.
7. Surat ar-Rum ayat 41: "telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.."
8. Surat al-Azhab ayat 72: "sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."
9. Surat an-Nahl ayat 65: "Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang demikian tu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)"
10. Surat Qaf ayat 9: "Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen."
Wednesday, October 14, 2015
7 Rukun Islam Ekologis; Cara Hidup Bahagia Ekologis dan Islami
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Islam
pada dasarnya merupakan ajaran yang menawarkan konsep peningkatan kualitas
hidup yang bertopang pada ajaran untuk mengikuti kebenaran. Termasuk di
dalamnya adalah pengakuan bahwa Allah maha benar dan maha mulia sebab telah
menciptkan alam semesta menurut aturannya tertentu.
Aturan
itu telah menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, dan lingkungan
hidup sebagai bagian dari ekosistem alam semesta. Oleh karena itu, Allah
memerintahkan manusia menjadi khalifah fi
al-ardh sebab fungsi manusia di alam semesta adalah menjaga, dan merawat
lingkungan.
Setiap
nabi, selalu punya tugas dan fungsi ekologis. Nabi Nuh, diperintahkan untuk
menyelamatkan hewan, tumbuhan, dan manusia yang berbakti untuk Allah dari
kekecauan yang ditimbulkan oleh sikap eksploitatif sekelompok manusia di zaman
itu seperti mencemari air, membabat hutan karena keserakahan, dan memperbudak
manusia.
Nabi
Sulaiman, yang mampu berinteraksi dengan lingkungan, termasuk hewan-hewan. Nabi
Sulaiman memperoleh informasi dari lingkungan tentang kejahatan-kejahatan
manusia. Nabi Muhammad adalah seorang pengembala yang berkasih terhadap
gembalaannya serta memerintahkan pengikutnya untuk menjaga perempuan,
anak-anak, dan lingkungan sekalipun dalam masa perang.
Merawat
dan menjaga lingkungan berfungsi bagi peningkatan kebahagiaan dan kesejahteraan
manusia. Berbanding dengan sikap eksploitatif manusia terhadap lingkungan dapat
memicu kerugian bagi kehidupan manusia itu sendiri. Meretakkan alam berarti
meretakkan manusia.
Tujuh
rukun ekologis Islam ala Rumah Baca Komunitas di bawah ini disusun dalam rangka
kampanye ekoliterasi.
- Merawat alam adalah tugas manusia sebagai khalifah fi al-ardh
- Amal jariyah ekologis adalah aktivitas perawatan ekologi yang punya daya replikasi karena manfaat dan kegunaannya bagi alam semesta yang tak putus.
- Seorang hamba Allah yang baik adalah yang mampu menjaga alam sebagaimana dia menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia.
- Prinsip agama Islam menjelaskan tiga hal yang tak boleh dirusak; Perempuan, anak-anak, dan lingkungan.
- Memanfaatan air sisa wudhu untuk keperluan menjaga unsur hara tanah. caranya ialah dengan menampungnya untuk keperluan membasahi tanah kering atau tandus. di beberapa Masjid model seperti ini sudah dilakukan dalam rangka mengurangi dampak tanah kering akibat kemarau.
- Menjaga kualitas kristal air dengan pemanfaatan yang beradab, artinya digunakan untuk perihal yang bermanfaat, tak mubazir, dan digunakan untuk kepentingan banyak orang.
- Islam mengajarkan bahwa air, udara, dan tanah adalah wujud kasih sayang Allah terhadap manusia. Air, udara, dan tanah digunakan bebas oleh manusia untuk menopang kehidupannya. merawat air, udara, dan tanah berarti merawat kasih sayang Tuhan terhadap manusia, termasuk menjaganya dari proses eksploitasi dan komodifikasi.
Friday, October 9, 2015
Kecerdasan Ekologis
David Efendi, Pegiat Literasi di RBK
Menurut hemat penulis, kecerdasan kewargaan ( Yudi Latif, 2015) harus dilengkapi dengan kecerdasan ekologis di dalamnya yaitu level kepiawaian manusia menyikapi perubahan lingkungan (changing ecology lanscap) sehingga ditemukan formula interaksi manusia dengan alam yang ramah, damai, sustainable. Asap yang menjadikan duka nasional itu adalah ekspresi alam yang sedang papa tanpa orang tua asuh. Hidup dikelilingi mafia dan pemburu rente.
Dalam obrolan ringan ini penulis membedakan tipologi manusia yang mempunyai kecerdasan ekologis ke dalam empat jenis kategori: eksploitors, emansipators, transformer, reformer, dan firefighter. Tentu ini hanyalah suatu cara memahami manusia berdasarkan subyektifitas penulis.
Pertama adalah tipe Exploitors. Kelompok ini hobinya mengambil dari alam tak mau memberi jadi hanya berhasrat dan melakukan pemerkosaan terhadap alam untuk mencukupi nafsu kepuasan dan dalam rangkah akumulasi kapital.
Kedua adalah tipologi yang disebut Emansipator. Salah satu agenda aksinya adalah kampanye untuk pelestarian alam hutan baik secara individu maupun kolektif, dengan atau tanpa dana pemerintahan, funding asing.
Ketiga merupakan Transformer yang hobinya ingin mengubah fungsi lingkungan dan sumberdaya alam atas nama pembangunan dan digunakan untuk pelayanan terhadap pasar baik dalam maupun luar negeri (global). Salah satu latar belakangnya adalah paradigma perdagangan internasional yang menempatkan indonesia sebagai negara penyangga atau wilayah desa atau sub urban bagi dunia untuk memenuhi keserakahan bagi kebutuhan primer dunia
Keempat, manusia dengan tipe keerdasan "reformer" yang berusaha dan melakukan pembaharuan tata kelola lingkungan yang inovatif tanpa merusak siklus dan karakteristik lingkungan alami. Misalnya, bagaimana manusia kota bersepakat untuk membuka ruang terbuka hijau, mengelola sampah, memastikan cadangan air tanah dan antisipasi terhadap beragam kerusakan sungai dan struktur ekologis lainnya. Sebuah koran berbasis di jakarta melaporkan adanya bahaya defisit air baku di jakarta yang disebabkan pencemaran sungai (harian nasional, 9 okt 2015). Walhi mensinyalir pada tahun 2023 jakarta defisit air bersih lebih dari 13 ribu liter per detik. Ini juga akan terjadi di kota lain atau daerah lain yang terdapat pabrik tambang. Situasi dramatik sebagai tragedi publik akan semakin gampang ditemui.
Terakhir, tipe Fire fighter. kalau alam dah rusak baru mencoba memperbaiki persis seperti petugas pemadan kebakaran. Tentu mencegah kerusakan jauh lebih gampang dari pada mengobati alam dan ekosistem yang sudah porak poranda dan hancur lebur.
Mengingat urgensi kesadaran ramah lingkungan dan praktik praktik pro-green sangat mendesak untuk diakselerasikan sikap care terhadap lingkungan sejak dini. Perlu juga sekolah dipraktikkan bentuk praktik yang sustanable menyikapi degredasi kedaulatan ekologis dalam lingkup komunitas dan dalam urusan sehari hari warga. Tanpa upaya sistemik dan massif, tentu kerusakan jauh lebih cepat menyebar karena di dalam tata kelola lingkungan juga berlaku hukum deret hitung Keyness. "Kerusakan alam berjalan cepat seperti deret ukur (2,4,8,16, dst) sementara perbaikan itu lambat seperti deret hitung (1,2,3 dst). Karenanya orang baik tak boleh menyerah dan pensiun berbuat baik. Sekian semoga berguna.
Thursday, October 8, 2015
Masjid Organik
David Efendi
Pegiat literasi di Rumah
Baca Komunitas
“...banyak komunitas agama
yang ragu dalam memasang sumber-sumber energi terbarukan di tempat ibadah, atau
mengambil sikap kuat terkait perubahan iklim.”
Penggalan kalimat
di atas merupakan artikel yang dirilis oleh VoA Indonesia sebulan lalu. Ulasan
yang berdimensi multi-negara ini hendak mengirimkan pesan bahwa masih lemahnya
kontribusi agamawan dan lembaga agama dalam upaya mencari solusi terhadap
persoalan-persoalan lingkungan global. Salah satu yang paling krusial hari ini
adalah mengenai perubahan iklim dan pemasnasan global yang ditandai dengan
hadirnya bencana ekologis yang beruntun mulai banjir, gempa bumi, kebakaran
hutan, dan kegagalan teknologi nuklir. Di dalam artikel tersebut, ada apresiasi
positif mengenai semakin responsifnya kelompok agama dalam memberikan reaksi
terhadap persoalan ekologis walau masih terkesan lamban. Banyak harapan dari
masyarakat, kaum agamawan memperkuat peran emansipatif dan preventifnya dalam
mengurangi persoalan-persoalan degradasi lingkungan hidup.
Dalam artikel
ini, penulis hendak mendiskusikan gagasan dan praktik ideal bagaimana masjid
sebagai institusi agama Islam yang mempunyai infrastruktur dan fasilitas
memadai untuk melakukan langkah nyata menghadang bencana ekologis. Gerakan
islam yang memberikan kontributif terhadap pencegahan bencana lingkungan
merupakan gerakan islam progresif yang perlu ditumbuhkembangkan di Indonesia.
Hal ini sangat penting karena ‘pra-kondisi’ lingkungan sudah menunggu respon
tepat oleh kaum agamawan dan aktifis gerakan islam. Taruhlah misal, persoalan
sampah di kota, pendangkalan sungai, pencemaran air, pemborosan air tanah,
kerusakan hutan, hilangnya beragam spisies tumbuhan dan binatang yang berdampak
pada ekosistem secara keseluruhan. Keadaan ini merupakan input yang akan
memantik untuk menemukan cara-cara cerdas keluar dari lingkaran setan bencana
ekologi.
Memposisikan
peran organisasi lembaga keagamaan menjadi
suatu keniscayaan hari ini. Sebagai gagasan tertulis misalnya kita dapat
melihat subyek organisasi bernama masjid. Masjid merupakan institusi agama
islam sebagai tempat ibadah yang juga mempunyai peran sosial-budaya dan dalam
banyak aspek juga menjadi sarana pendidikan politik bagi jamaahnya. Peran-peran
sosial keagamaan masjid merupakan peran yang sudah dapat dikategorikan sebagai
fungsi konvensional masjid. Sementara fungsi ekologis dari masjid merupakan
fungsi yang sifatnya kebaruan yang perlu diperkuat dengan reformasi
paradigmatik atau filosofis, preventif dan pembangunan praktik-praktik kegiatan
yang berdimensi pro-lingkungan atau istilahnya eco-friendly.
Salah satu
komunitas muslim di Amerika telah memberikan ilustrasi menarik bagaimana islam
menjadi agama hijau (Abdul-Matin, 2008). Dalam level filosofi misalnya
dijelaskan bahwa banyak sekali ayat-ayat dalam al-quran yang mengajarkan
ummatnya untuk menjaga kelestarian alam dan juga tidak berbuat kerusakan.
Banyaknya human error atau human-made disaster yang ada hari ini
juga sudah lebih dari seribu tahun lalu diingatkan dalam al-quran. Jumlah
“ayat-ayat ekologis’ cukup banyak jika dibaca di sana sehingga islam sendiri
sebenarnya adalah agama yang tidak ramah terhadap kejahatan kapitalis dan
korporasi perusak lingkungan. Hal ini memperlihatkan bahwa peran preventif
ummat islam dalam urusan ekologi telah diperintahkan sebagai kewajiban.
Kedua, mencegah
kerusakan itu jauh lebih baik dari pada mengembalikan atau memperbaiki
kerusakan sehingga kesadaran akan kewajiban pencegahan ini mutlak harus menjadi
program atau kegiatan lembaga keagamaan islam. Pengetahuan akan memudarnya
‘martabat alam’ harus pula menjadi penggetahuan jamaah islam untuk menjadi
common sense sekaligus mengidentifikasi langkah-langka strategis yang perlu
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan fiqh atau ibadah tidak
boleh dipisahkan dalam realitas hidup jamaah sehingga jamaah merasa dekat
dengan alam dan lingkungan serta memberikan kontribusi bagi kelestariannya.
Terakhir, salah
satu inspirasi dari praktik ramah lingkungan di sana adalah bagaimana masjid
melakukan penghematan dan pemanfaatan air dengan maksimalisasi kegunaan air
bekas air wudhu serta penghematan listrik. Eksistensi masjid di Indonesia yang
jumlahnya ratusan ribu baik yang berada di kota besar sampai pelosok desa pasti
tterdapat komunitas yang mengelola keberadaannya. Adanya persoalan lingkungan
seperti banjir sampah, banjir, debu, musnahnya spesies tumbuhan dan
ketersediaan tanaman sayuran dan obat yang semakin tergantung pada impor adalah
sedikit persoalan yang sebenarnya kelompok islam atau jamaah masjid dapat
memberikan kontribusi. Hampir semua masjid mempunyai halaman, mempunyai
sumberdaya manusia yang dpaat dikelola secara sinergis untuk menghasilkan
beragam produk yang dapat memenuhi kebutuhan jamaahnyya atau pasar lokal.
Masjid dengan
pembaharuan peran non-konvensional ini juga jika dilakukan massif maka masjid
sebagai institusi agama secara pelan tapi pasti telah memberikan kontribusi
bagi pencegahan pemanasan global dan pengurangan resiko perubahan iklim dengan
pendekatan 3R: reduce, Reuse, dan rescyle. Selain itu juga dilengkapi dengan
produksi tanaman yang menghasilkan sumber kehidupan berkelanjutan ( sustainable).
Dengan demikian,
ribuan Masjid kemudian mempunyai fungsi pemberdayaan ekonomi, menghasilkan
uang, sekaligus mempunyai peran penyelamatan ekologis. Masyarakat juga akan
berintrekasi ke masjid bukan hanya untuk kepentingan ibadah tetapi juga untuk
menjawab kebutuhan bibit tanaman tertentu, belajar skill daur ulang, skill
pertanian vertikultur atau hidrorganik, produksi energi listrik terbarukan,
atau pembuatan pupuk organik, dan kegiatan edukasi lainnya. Fungsi ekologi
sekaligus penggerak roda ekonomi ini merupakan terobosan penting zamana ini
karena memang kelompok agamawan tidak boleh mengalinisasikan dirinya dari
persoalan-persoalan lingkungan karena memang di dalam diri pemeluk agama islam,
khususnya, melekat kewajiban ekologis sebagai bagian dari manifestasi
ke-iman-annya. Dengan peran-peran ekologis sebagaiamana disebut diatas, tempat
ibadah ummat islam ini dapat disematkan gelar padanya sebagai “Masjid organik.”
Sunday, August 9, 2015
Hijau yang Dirindukan
Belakangan ini suhu udara di wilayah yogyakarta khususnya pinggiran sleman berubah terasa dingin dan kering. Hal ini tentunya wajar mengingat sekarang wilayah Indonesia sedang dilanda musim kemarau. Namun kondisi ini tidak seperti yang saya rasakan pada musim-musim kemarau sebelumnya. Udara menjadi semakin dingin dan kering pada tahun ini serta periode kemarau yang lebih panjang dari sebelumnya walapun menurut pemerintah dalam hal ini BMKG kondisi ini terjadi karena pengaruh dari El - Nino sehingga mengakibatnya terjadinya anomali cuaca. Dampak lain yang terjadi karena fenomena ini adalah sulitnya mendapatkan air untuk mencukupi kebutuhan hari - hari yang terjadi karena sumber air seperti mata air, sungai dan sumur yang mengurangi jumlah pengeluaran airnya.
Sebelum tinggal di kabupaten Sleman, wilayah di pinggiran D.I. Yogyakarta. Saya lama menetap di pedalaman Kalimantan Timur, tepatnya disebuah kota kecil bernama Bontang. Saya sebut pedalaman karena butuh waktu 8 jam perjalanan darat. Dahulu bahwa orang tua saya butuh waktu 2 hari menyusuri sungai untuk mencapainya. Saya lahir dan besar di kota tersebut sebelum akhirnya pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi. Orang tua saya terkadang tentang bagaimana kondisi alam daerah ini di tahun 80'an yang benar benar dikelilingi oleh hutan perawan yang lebat dan tinggi. Jenis Pohon - pohon besar seperti ulin, bengkirai, meranti masih mudah ditemui di sekitaran daerah kami tinggal.
Banyak pula binatang seperti babi, monyet, orangutan, ular dan jenis binatang liar lain yang mudah ditemui berkeliaran atau sekedar melintas di sekitaran pemukiman masyarakat. Hal ini tentu saja menggambarkan ekosistem yang masih sangat baik di kalimantan ketika itu. Hujan yang terjadi sepanjang tahun yang jika pada puncak musim penghujan menjadi begitu deras namun tidak sampai mengakibatkan kebanjiran. air tanah yang melimpah sehingga sumur digali tidak terlalu dalam, sungai - sungai yang mengalir sepanjang tahun dengan warna coklat lumpur khas sungai - sungai di kalimantan. Kondisi ini tentulah telah berubah dewasa ini. Tidak hanya di Bontang saja namun daerah lain di pulau Kalimantan tentulah telah mengalami pembangunan yang pesat.
Pemukiman, area perdagangan, perkantoran, industri, dan sarana publik lainnya yang tentu saja memerlukan pemanfaatan lahan yang tidak sedikit. Hal ini tentu saja mengakibatkan banyak terjadi perubahan fungsi lahan dan sekaligus merubah ekologi lingkungan yang ada disekitarnya. Kondisi alami kalimantan yang berbukit bukit dengan tumbuh banyak pohon dengan karakter kayu yang keras dan akar yang mengujam jauh kedalam tanah berfungsi tidak hanya sebagai produsen oksigen semata namun juga dapat menyerap air hujan kedalam tanah sehingga mencegah terjadinya banjir dan tanah longsor serta menjaga kondisi tanah agar tetap hidup dan produktif karena banyaknya unsur hara yang disuplai oleh pohon - pohon sehingga adalah konsekuensi yang logis bila kemudian terjadi banjir, sumber air tanah yang berkurang, kadar unsur hata tanah yang berkurang sebagai akibat hilangnya pohon berserta fungsinya tersebut. Dan hal itulah yang kerap terjadi di beberapa wilayah di kalimantan sebagai akibat dari perubahan fungsi lahan. Belum lagi kondisi lingkungan yang rusak akibat dari aktivitas pertambangan batu bara yang banyak dilakukan tanpa adanya usaha mengembalikan kembali fungsi lahan seperti sedia kala.
Masalah perubahan fungsi hutan ini juga tentunya berperan signifikan terhadap anomali cuaca yang terjadi di indonesia saat ini. Belum lagi akibat yang ditimbulkan oleh pembakaran lahan hutan yang terjadi di pulau sumatra mengakibatkan polusi udara yang begitu parah sehingga berbahaya bagi kesehatan masyarakat serta ekosistem pada wilayah tersebut. Lain lagi dengan yang terjadi di pulau jawa dengan adanya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman penduduk yang masif membuat produksi bahan makanan khususnya beras menjadi menyusut tiap tahunnya.
Dampak negatif lingkungan yang kita rasakan semakin lama semakin banyak ini tentulah tidak terjadi tanpa ada pelaku dan sebab yang jelas. Manusia sebagai makhluk yang di bekali akal dan perasaan sudah saatnya untuk mulai berintrospeksi diri terhadap tindakan yang dilakukan terhadap alam hidup. Sudahkan manusia bersahabat baik dengan alam dengan menjaga dan merawatnya? yang jawabanya dapatlah di lihat dari fenomena alam yang terjadi saat ini.
Sudah tentu ukuran baik buruk seorang manusia tidak hanya diukur terhadap hubungan sesama manusia saja tetapi juga secara simultan bagaimana ia dapat bersahabat baik dengan tanah air tempat dimana manusia itu hidup dan berkembang. Karena sejatinya apa yang ada di alam ini tidak hanya di berikan kepada individu - individu semata namun menjadi hak manusia dan makhluk hidup lain untuk turut serta merasakan manfaatnya pada saat ini dan masa yang akan datang. Sehingga menjadi sebuah kesalahan bagi umat manusia itu sendiri bilamana pemanfaatan lingkungan hidup tidak dikelola secara arif dan bijaksana karea sesungguhnya hal tersebut justru menjadikan umat manusia bakal menuai kerugian dimasa mendatang yang sudah tentu kepastiannya jika tindakan manusia yang terus merusak alam tanpa ada usaha untuk menjaga dan memperbaikinya.
Selamat siang kawan. Semoga tetap semangat dalam beraktivitas. Sedikit refleksi dari saya sebelum menunaikan sholat Jumat. Inilah Sedikit refleksi dari tulisan cak david beberapa saat lalu tentang Green Deen
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tulisan Terbaru
Populer
-
”Gerakan Membaca” merupakan suatu gerakan yang harus dipelopori oleh siapa saja dan lebih dari itu, sebagai visi pencerdasan bangsa maka ...
-
Oleh : David Efendi Direktur Rumah Baca Komunitas Anak-anak adalah manusia masa depan, Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-...
-
Oleh : Iqra Garda Nusantara Sepanjang perjalanan Rumah Baca Komunitas yang belum genap satu tahun sudah banyak berinteraksi dengan b...
Hamka For RBK

Sjahrir For RBK
