Showing posts with label pojok kliping. Show all posts
Showing posts with label pojok kliping. Show all posts

Friday, November 27, 2015

Berbohong (Cerita Pendek)

Oleh Haruki Murakami
Diterjemahkan oleh : Jafar Suromenggolo (羅向茂)

Aku tidak pandai berbohong. Tapi, berbohong itu sendiri bukanlah suatu perbuatan jang aku bentji. Mungkin ini terdengar tjukup aneh, bolehlah aku ungkapkan bahwa meski aku ndak pandai berbohong, terutama berbohong besar, tapi aku senang berbohong ketjil2an, jang tidak berbahaja namun absurd.

Pernah suatu ketika, aku diminta oleh sebuah madjalah untuk menulis satu ulasan buku. Sebagai penulis buku, aku sebenarnja kurang suka menulis ulasan buku en kalau bisa, malah tidak mau menulis ulasan. Namun pada saat itu, entah mengapa, aku djawab, “Baiklah, akan kukerdjakan.”

Menulis ulasan jang biasa2 aza, tentu ndak menarik. Oleh karena itu, aku putusken untuk menulis suatu ulasan serius atas sebuah buku fiktif jang sesungguhnja tidak pernah ada. Djadilah sebuah ulasan atas satu karya biografi tentang seseorang jang sesungguhnja tidak pernah ada.

Ini lumajan mengasjikkan ketika aku memulainja. Memang, membutuhken kerdja otak untuk mengarang-ngarang suatu buku, tapi tentu aku ndak perlu membuang2 waktu untuk membaca buku.

Dan keuntungan lainnja, aku ndak perlu menghadapi ketjaman seperti “Si Anu jang menulis ulasan brengsek itu atas bukuku,” jang dilontarken si penulis jang bukunja aku ulas.

Ketika ulasan buku fiktif itu terbit, aku telah mempersiapken sedjumlah djawaban seandainja ada jang menulis surat pengaduan seperti “Djangan menulis kebohongan matjam ini!” atau pertanjaan seperti “Di mana dapat aku beli buku tersebut?”.

Sajangnja, tidak ada surat sematjam itu dari pembaca. Ini tjukup mengetjewaken namun djuga pada achirnja, melegaken hati. Mungkin memang tidak ada orang jang benar2 membatja ulasan buku itu jang terbit di madjalah bulanan, tapi tentu aku djuga tidak bisa benar2 memastiken hal ini.

Demikianlah, djika achir2 ini di saat wawantjara aku mendjawab pertanjaan2 jang ada dengan bersungguh2 tapi di masa muda, aku sering mendjawab dengan asal2an. Pernah aku ditanja buku matjam apa jang sedang aku batja, aku djawab aza, “Ja, belakangan ini aku sedang membatja sedjumlah novel dari zaman Meidji (1868-1912). Aku menjukai para penulis jang kurang begitu dikenal, jang sebenarnja ikut dalam gerakan menjumbang khazanah penulisan, seperti misalnja karja2 Mudaguchi Shogo atau Osaka Gohei, jang djuga masih tetap relevan dibatja di masa sekarang ini.”

Tentu djuga, kedua penulis itu tidak pernah ada. Mereka itu sepenuhnja hanjalah isapan djempol belaka. Namun tak ada seorangpun jang benar2 memperhatiken hal tersebut. Nampaknja lumajan djuga lontaran2 jang keluar dari mulutku itu, dan setidaknya, aku tidak sampai bersusah-pajah melakuken hal demikian.

Di dalam bahasa Djepun, ada kita kenal ungkapan ‘berbohong semerah2nja.’ Namun apakah saudara paham mengapa disebut demikian? Di masa lalu di zaman Nara (710-784), ada hukuman mengeriken terhadap mereka jang tertangkap melakukan kebohongan jang kedji dan merusak sendi kehidupan masjarakat. Jaitu, dipaksa menelan 12 buah kue mochi besar jang berwarna merah setjara bersamaan sehingga tersedak mati. Tapi tentu, ini hanjalah satu tjontoh kebohonganku djuga.

Ini karena sudah sedjak lama aku bertanja2 mengapa kita mewarnai kebohongan dengan warna merah. Aku sudah merentjanaken untuk menjelidiki hal ini lebih djauh, tetapi selama beberapa dekade terachir ini aku benar2 sibuk tidak memiliki tjukup waktu (bohong lagi!) dan akibatnja, hal ini masih terbelengkalai.

Sementara itu, di dalam bahasa Inggris dikenal ungkapan ‘white lies’. Ini merudjuk pada kebohongan jang tidak berbahaja (kali ini aku sungguh tidak berbohong!) dan karena itu pula, punja warna putih. Ini mirip dengan kebohongan2 jang aku lontarkan sebab aku pertjaja mereka tidak berbahaja, tidak merugikan siapapun. Sebab bagaimanapun djuga, aku tidak akan sanggup bila dipaksa menelan 12 buah kue mochi besar jang berwarna merah setjara bersamaan.

*Diterdjemahken dari “Masshiro no uso” (真っ白の嘘) karja Haruki Murakami (2001)

sumber: https://www.facebook.com/notes/%E7%BE%85%E5%90%91%E8%8C%82/berbohong/10153461006613153, (8 November 2015)

Thursday, September 3, 2015

Podjok Literasi

Lutfi Z Kurniawan, Pegiat RBK

Dulu, setiap kali membuat acara senang sekali rasanya kalau diliput media. Merasa bangga, keren, gaul, maqamnya naik karena acara yang dikerjakan mendapat perhatian dari media mainstream. Diliput media mainstream berarti bisa dibaca dan diketahui oleh banyak orang. Harapannya sih bisa menginspirasi banyak orang kemudian ditiru di berbagai tempat.
Kurang afdol rasanya kalau membuat acara tapi tidak masuk media mainstream. Sehingga panitia bekerja keras menyusun acara yang punya nilai berita walaupun terkadang tak terlalu substantif acaranya. Asal rame, meriah, dan gemerlap menyedot perhatian khalayak. Bahkan kalau diingat-ingat keinginan diliput dalam media mainstream itu membuat panitia harus berkompromi diantara mereka sendiri untuk membuat acara yang "jangan berat-berat" karena potensinya untuk mencuri perhatian khalayak itu kecil, sehingga kecil pula kemungkinannya untuk diliput media.
Tentu baik dan tak salah acara itu diliput media. Apalagi penyebaran informasi dari media mainstream menjangkau lebih banyak kalangan. Syukur-syukur kalau liputan yang diturunkan turut menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan atau kegiatan-kegiatan serupa. Menjadikan wacana yang diangkat menyebar lebih masif sehingga diketahui lebih banyak orang. Namun ada jebakan yang dulu tidak saya sadari. Keasyikan memburu supaya acara diliput media membuat saya lupa untuk menuliskan refleksi dengan bahasa dan perspektif saya sendiri tentang kegiatan yang saya terlibat di dalamnya.
Padahal kita sama-sama tahu bahwa ruang yang ada di media mainstream begitu terbatas. Liputan yang dituliskan di sana tentu saja tidak bisa sepanjang refleksi yang kita buat sendiri dengan bahasa dan perspektif kita. Apalagi informasi yang kebanyakan diproduksi oleh media mainstream bukan diproyeksikan untuk memberdayakan, melainkan memperdaya warga supaya giat mengkonsumsi dan menaruh perhatian pada isu-isu yang diagendakan media, yang seringkali menggeser fokus substansinya ke remeh-temeh di seputarannya. Kalau 50 tahun yang lalu sumber persoalan kebudayaan kita adalah ignorance (ketidaktahuan), barangkali sekarang sumber persoalan itu adalah banalitas (kedangkalan/remeh-temeh).
Menuliskan refleksi menggunakan bahasa, perspektif, dan pemaknaan kita sendiri tentu menjadi begitu penting untuk memperkaya makna pada setiap kegiatan yang kita lakukan atau jalani. Menulis refleksi menjadikan kita produsen yang tak sekedar mengkonsumsi informasi. Tapi sekaligus memberikan pemaknaan sesuai konteks kebutuhan kita sendiri.
Menuliskan refleksi membawa kita masuk ke sebuah dunia yang terlihat lain, terdengar lain daripada isi media-media yang setiap hari mengepung kita. Lebih jauh individu atau komunitas atau warga yang menulis refleksi sesungguhnya sedang melawan untuk dikuasai. Karena mereka mampu menciptakan wacana dan membentuk dunia dengan bahasa khas mereka sendiri.

Monday, February 16, 2015

Joshua Oppenheimer: "Babak Penutup Bagi Indonesia"

(Oppenheimer: Wawancara Kompas dengan Myrna Ratna
"Babak Penutup bagi Indonesia", Kompas, 8 Februari 2015)*


Udara dingin yang disertai hujan salju di akhir Januari tidak menyurutkan semangat peserta menghadiri kelas master bersama Joshua Oppenheimer, sutradara film ”The Look of Silence” (”Senyap”), pada Festival Film Internasional Goteborg, yang berakhir 2 Februari lalu.

Sekitar 200 kursi yang disediakan penuh terisi. Tanya jawab yang berlangsung selama 1,5 jam memenuhi keingintahuan peserta seputar pembuatan film Senyap.

Pesan terpenting yang ingin disampaikan dalam film ini, kata Oppenheimer, adalah never again. ”Jangan sampai terjadi lagi di mana pun atau pada siapa pun. Jangan sampai lagi ada impunitas yang didukung sistem politik dan dirayakan,” ujarnya.

Nasib sang pemain, Adi Rukun, beserta keluarganya juga menjadi pertanyaan banyak hadirin. Apakah keselamatan mereka terjamin? ”Satu tahun sebelum film ini ditayangkan, keluarga itu telah dipindahkan ke tempat yang aman. Kami telah mempersiapkan segala kemungkinan,” kata Oppenheimer.

Film Senyap begitu menyedot perhatian penonton festival sehingga karcis sudah habis terjual sebelum jadwal penayangan. Tepuk tangan panjang mengiringi setiap akhir pertunjukan. Namun, itu bukan berarti pertanda gembira. Seorang pria yang duduk di kursi sebelah bahkan berkali-kali menyusut air matanya. Reaksi ”bagaimana mungkin kita sampai tidak mengetahuinya”, muncul di sana-sini,

Ketika Senyap kemudian dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik (Dragon Award Best Nordic Documentary), publik sudah menduga. Padahal, di ajang ini Oppenheimer harus berkompetisi dengan tujuh film yang tak kalah kuat, di antaranya Every Face Has a Name karya Magnus Gertten yang mengisahkan mereka yang lolos dari maut di kamp konsentrasi Nazi.

Dewan juri menilai Senyap berhasil memecah penghalang antara dokumenter dan fiksi dengan membuka ruang bagi kilas balik sejarah, dan menginspirasi rekonsiliasi.

Bagi pembaca yang belum sempat menonton Senyap, film ini merupakan sekuel dari film The Act of Killing (Jagal) yang menjadi nomine penghargaan Oscar tahun 2014. Jagal mendokumentasikan kesaksian para pembantai yang membunuh warga yang dituduh komunis di Deli Serdang pada periode 1965-1966. Dalam Senyap, adik seorang korban pembantaian, Adi Rukun, mencari kejelasan tentang kematian sang kakak, Ramli. Ia pun dipertemukan dengan para pembantai.

Oppenheimer yang mengaku kini sulit untuk bisa datang kembali ke Indonesia karena berbagai intimidasi yang dihadapi membutuhkan waktu 10 tahun untuk menyelesaikan Jagal dan Senyap. Pada 29 Desember 2014, Lembaga Sensor Film (LSF) dalam suratnya menolak seutuhnya film tersebut untuk dipertontonkan kepada khalayak umum atau bioskop.

Berikut perbincangan Kompas dengan Joshua Oppenheimer di Goteborg, Swedia.

Kedua film ini banyak memperoleh penghargaan internasional yang prestisius. Apa maknanya bagi Anda?

Setiap penghargaan menguatkan dampaknya bagi Indonesia. Asvi Warman Adam dalam artikelnya menyebutkan, perhatian internasional setidaknya memaksa diskursus di Indonesia karena untuk pertama kali dunia luar menyadari hal itu. Dengan demikian, perdebatan tidak bisa lagi sepenuhnya diset oleh pemerintah. Ini berarti harapan.

Sewaktu The Act of Killing menjadi nomine penghargaan Oscar, Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan, ini pertama kali setelah film itu diputar 1 tahun 4 bulan. Bagi saya pernyataan itu sangat positif karena pemerintah mengakui ada pelanggaran kemanusiaan dan mengatakan perlu rekonsiliasi. Satu hal yang baru dinyatakan kembali sejak pertama kali dilontarkan oleh pemerintahan Gus Dur. Tapi, kalau menyebut ini sebagai film buatan asing, tunggu dulu. Kalau kita melihat credit title di akhir film Jagal, ada 60 orang Indonesia yang terlibat di situ, termasuk ko-sutradara yang semuanya disebut anonim. Jelas ini bukan film buatan asing.

Apakah pesan never again dari film tersebut sudah tersampaikan?

Ini baru permulaan. Dari sejumlah penayangan dilaporkan sudah 53.000 orang yang menonton. Ruang yang sudah dibuka ini menunjukkan betapa terbelahnya masyarakat yang satu dengan yang lain. Lalu bagaimana kita menjembatani itu? Melalui kerendahhatian seperti yang ditunjukkan Adi, juga yang dicontohkan oleh putri dari seorang pembantai yang meminta maaf. Sungguh indah. Ia menemukan martabat kemanusiaannya dengan memohon maaf atas nama sang ayah. Ini menunjukkan bahwa proses penyembuhan itu mungkin terjadi. Kita butuh proses dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berupa sejumlah pengakuan kolektif bahwa ini adalah salah, bahwa perilaku premanisme, intimidasi yang sudah selama beberapa dekade didiamkan, dinyatakan terlarang. Dan ini memang harus diperjuangkan.

Apakah ini dimaksudkan sebagai sebuah film politik?

Anda tidak bisa memisahkan individu dari masyarakatnya. Terkait pembantaian massal, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah individu atau sistem politik? Individu tidak akan eksis tanpa masyarakat, begitu juga sebaliknya. Kita adalah satu entitas kolektif. Film apa pun yang mengangkat cermin kemanusiaan secara inheren adalah politik, tapi juga sekaligus manusiawi dan universal.

Bagaimana Anda melihat reaksi pro dan kontra di Indonesia. Apakah ini sudah diperkirakan?

Sepertinya begitu. Ketika Komisi Nasional HAM dan Dewan Kesenian Jakarta memutar film ini dan dihadiri sekitar 2.000 orang, juga ketika Adi dikenalkan di panggung dan memperoleh 10 menit standing ovation, itu membuat 500 penayangan lainnya juga dihadiri banyak orang. Dan itu semua membuat Anda penuh harap. Tapi, apa yang terjadi belakangan (penghentian penayangan) sudah diperkirakan. Komnas HAM sudah men-submit film itu kepada LSF, tak ada respons. Mereka baru merespons ketika polisi dari Malang men-submit film itu ke LSF, dan kemudian LSF melarang penayangan film itu.

Menyakitkan

Anda mengatakan telah melewati pergulatan yang sangat menyakitkan ketika membuat film ini. Itu dikarenakan materinya atau karena telah ”memunculkan” situasi yang menyakitkan?

Keduanya. Saya rasa pembuatan The Act of Killing (Jagal) memang menyakitkan, sedangkan The Look of Silence lebih mengkhawatirkan karena saya khawatir dengan keselamatan kami semua, khususnya para kru. Tapi, proses dalam The Look of Silence merupakan proses penyembuhan (healing). Itu sebuah cara untuk mengucapkan selamat tinggal. Sebuah cara untuk membuat babak penutup, babak 10 tahun terakhir dalam kehidupan saya. Mereka adalah keluarga dan kru yang sangat saya cintai. Itu seperti sebuah perpisahan panjang.

Materi The Act of Killing memang menyakitkan, tapi saya dipaksa untuk tidak tergetar dan tetap membuka hati, khususnya untuk Anwar Congo (salah satu pembantai). Persoalannya, tak ada yang selama ini pernah mendengarkan Anwar. Cara dia membual (boasting) ketika melakukan pembantaian adalah cara untuk meyakinkan dirinya bahwa dia adalah pahlawan sehingga ia bisa lari dari rasa salah. Tidak ada yang pernah mendengarkan apa makna hal itu bagi dirinya. Berkali-kali ia mengatakan sering mimpi buruk. Tapi, tak ada yang pernah bertanya, apa mimpinya, apa yang membuatnya takut, apakah ia merasa bersalah?

Jadi, upaya boasting yang dilakukan selama bertahun-tahun merupakan upaya untuk meyakinkan dirinya, untuk menutupi jeritan hatinya. Dan ketika saya datang dan mendengarkan, Anwar mulai berbicara lebih jujur, dan muncullah rasa sakit itu. Saya ikut merasakan rasa sakit Anwar itu, tapi Anwar tetap ingin melanjutkan. Tentu saja saya bergulat dengan situasi seperti itu. Dan kadang saya juga merasa bersalah dengan situasi semacam itu.

Bagaimana Anda mengatasinya?

Saya mendapat dukungan dari para kru yang luar biasa, para kru Indonesia adalah orang-orang yang menakjubkan. Ko-sutradara saya adalah orang yang sangat mencintai pepohonan. Dia membawa saya jalan-jalan dan mengajari saya tentang pepohonan. Dia berbicara tentang pohon dengan penuh rasa kasih, dan hal itu sangat menenangkan dan menghibur. Mengingatkan mengapa kemanusiaan itu begitu berarti. Karena film bukan untuk menyalahkan, film ini berbicara tentang kita semua.

Puitik

Setelah menyaksikan film ini, penonton umumnya merasa sedih yang sangat sakit. Namun, Anda menyebutnya puitik?

Banyak puisi yang menyedihkan. Saya rasa puisi yang terindah selalu tentang kesedihan. Salah satu satu favorit saya adalah puisi The Waste Land karya TS Eliot. Salah satu puisi yang sangat menyedihkan tapi visioner. Membuat kita melihat tentang kebenaran fundamental di dunia. Salah satu yang menginspirasi The Act of Killing adalah karya Dante, Inferno, sebuah puisi panjang. Salah satu alasan mengapa film ini puitik karena dalam hampir semua dokumenter saya tentang HAM selalu diakhiri dengan sebuah harapan. Setidaknya penonton yang keluar dari ruangan merenung bahwa sesuatu sudah dilakukan.

Saya akan membuat puisi itu sebagai in memoriam terhadap kesenyapan yang menghancurkan. Saya ingin menghormatinya melalui sinema puisi, mengingat tak ada lagi yang bisa kita tegakkan untuk semua yang telah dihancurkan, tak ada yang bisa mengembalikan dekade-dekade yang hilang pada keluarga Rukun. Karena itu, film ini adalah sebuah puisi, melihat pada jurang kesenyapan. Meminta kita untuk berupaya mendengarkan suara-suara lirih yang mungkin datang dari kesenyapan itu. Seperti juga adegan ketika ibu Adi melihat kacang yang bergerak di telapak tangannya. Itu merupakan metafora tentang harapan, tentang sesuatu yang akan muncul. Saya berharap itu adalah rekonsiliasi yang kita tunggu-tunggu.

Bagaimana reaksi publik di Amerika Serikat (AS)?

Film ini baru diputar di festival-festival. Sejauh ini, reaksinya sangat baik. Sangat kuat. Ketika saya hadir bersama Adi di AS, orang-orang begitu antusias menyambut Adi. Setiap kali dia hadir dalam penayangan film, Adi selalu memperoleh standing ovation. Hal itu sedikit atau banyak merupakan penyembuhan untuk Adi atas penderitaan yang dialami dia dan keluarga selama 50 tahun, bagaimana ia dan keluarga distigmatisasi tidak bersih lingkungan.

Apakah publik AS menyadari pemerintah mereka secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam tragedi itu?

Rakyat AS memiliki kenangan terbatas atas apa yang terjadi di Indonesia. Tapi, kami mengerti bahwa AS terlibat dan pemerintah kita terlibat dalam menggerakkan kekerasan atas nama korporasi multinasional di sejumlah negara di dunia. Kami (AS) punya sejarah di Amerika Latin, di Vietnam, di Filipina, dan cukup banyak yang berpendapat bahwa AS berperang di Irak karena minyak. Saya pikir masyarakat di sini menyadari itu. Di film ini pun kita lihat bagaimana perusahaan Goodyear memperbudak pekerja dan membiarkan pekerjanya dibunuh, seperti juga perusahaan Jerman menggunakan pekerja dari Auschwitz. Kenyataan ini sangat memukul penonton AS. Pada pemutaran ketiga The Look of Silence di AS, seorang putri dari eksekutif Goodyear menangis tersedu-sedu setelah melihat film ini. Dia sangat terpukul.

Sejauh mana Anda melakukan intervensi dalam pembuatan film ini? Sejauh mana sutradara dibenarkan melakukan intervensi dalam film dokumenter?

Tidak ada batasnya. Pembuat film memiliki tanggung jawab untuk bertindak sejauh yang dibutuhkan untuk mengungkapkan kebenaran terpenting, untuk mengeksplorasi pertanyaan terpenting. Kami juga bertanggung jawab untuk tidak mencederai siapa pun, untuk menjaga keselamatan siapa pun.

Sebagai contoh dalam adegan The Act of Killing, sewaktu Herman memeras orang di pasar, saya berpikir bagaimana saya harus memfilmkan ini, dengan juga mempertimbangkan rasa takut yang dialami pemilik toko setiap hari. Setelah pengambilan gambar selesai, kami sampaikan kepada pemilik toko bahwa kami akan membayar berapa pun yang diambil oleh Herman. Langkah ini diambil untuk mencegah pencederaan apa pun bentuknya. Anda selalu bertanggung jawab untuk melakukan intervensi. Adalah bohong jika Anda mendokumentasikan realitas yang preexisting. Di dalam film Anda selalu menciptakan realitas. Anda juga bertanggung jawab bertindak sejauh yang dibutuhkan untuk mengekspresikannya sekuat mungkin.

Jika melihat kembali perjalanan 10 tahun terakhir Anda, apa yang Anda lihat? Apa yang Anda rasakan?

Saya dihadapkan pada sejumlah aspek menyakitkan yang membuat kita menjadi manusiawi. Juga pada sejumlah kebenaran fundamental, bukan tentang Indonesia, melainkan tentang masyarakat. Saya juga dihadapkan pada hal-hal yang menakutkan, keterbukaan, kejujuran, dan cinta yang mungkin dilakukan. Dan itu membuat Anda tidak takut untuk terus bergerak maju karena Anda telah berhasil mengalahkan rasa takut yang membuat Anda tidak mau melihatnya. Setidaknya Anda kini bisa menatapnya langsung. Saya harap film ini bisa berdampak sama terhadap para penonton Indonesia. Saya juga ingin berbagi rasa hormat dengan para kru, saya merasa istimewa memperoleh kepercayaan mereka. Saya rasa, sangat jarang seni bisa membuat perbedaan.
Film ini juga mengubah cara pandang saya. Saya lebih mudah untuk memaafkan, seperti simpati saya yang dalam untuk Anwar meskipun bukan simpati terhadap apa yang dia lakukan.

Kuatkah dampaknya terhadap kehidupan pribadi Anda?

Sangat menguras, sampai saya harus pindah ke Denmark untuk mengedit film ini karena Denmark yang membiayainya. Saya juga terus bermimpi buruk selama hampir satu tahun. Sangat berat. Tapi, saya tidak pernah menyesal. Saya juga perlihatkan film ini kepada orangtua saya. Saya ingin mereka melihat sesuatu yang dalam tentang diri saya yang mungkin tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Mereka sangat menyukainya, dan itu sangat berarti bagi saya. Saya juga memiliki keluarga kedua di Indonesia yang sangat saya cintai. Sungguh sedih bahwa situasi ini membuat saya tidak bisa datang dan mengunjungi mereka.

Film berikutnya akan seperti apa?

Akan bercerita tentang ketakutan, kerakusan, penipuan diri. Tidak akan dibuat di Indonesia dan tidak terkait Indonesia. Banyak yang bertanya, mengapa saya tidak membuat sekuel ketiga. Di luar kesulitan teknis pembuatannya, saya berpikir bahwa apa yang selanjutnya terjadi di Indonesia adalah milik masyarakat Indonesia. Film pertama sudah membuka ruang. Film kedua menunjukkan sejumlah kemungkinan untuk rekonsiliasi. Babak ketiga adalah milik masyarakat Indonesia.


*sumber:https://www.facebook.com/TheLookofSilence/posts/609996925767630?fref=nf

Sunday, November 9, 2014

Belajar, Belajar, Belajar

Oleh: Windu W. Jusuf

KONON kabarnya, tidak ada orang kiri di daftar calon menteri ekonomi sebelum diumumkan beberapa minggu lalu. Alasannya bukan karena desakan oligarki—ingat, ini baru draft awal—tapi karena memang sedikit sekali ‘calon ahli’ dari golongan kiri.

Ada satu pendapat menarik dari nabi pasar bebas Milton Friedman seperti yang dikutip oleh Naomi Klein dalam bukunya, Shock Doctrine (2007). Di buku itu, Klein panjang lebar menceritakan bagaimana kebijakan pasar bebas diberlakukan di banyak negara melalui kekerasan dan proyek-proyek rekonstruksi pasca-perang/bencana. Yang kita lupa, pada dasarnya Shock Doctrine mengisahkan perjalanan panjang gagasan Milton Friedman hingga menjadi kenyataan. Kata-kata Friedman saya kutip agak panjang:

“Hanya krisislah—sungguhan atau dibayangkan—yang menciptakan perubahan nyata. Ketika krisis terjadi, tindakan-tindakan yang diambil akan bergantung pada ide-ide yang bersliweran di sekitarnya. Saya percaya di situlah kerja kita yang sesungguhnya: mengembangkan alternatif untuk kebijakan-kebijakan yang ada, menjaganya tetap hidup dan siap pakai sampai kondisi yang mustahil secara politis berubah menjadi kondisi yang tidak terhindarkan secara politis.”

Alkisah, dari paguyuban Mont Pellerin Society, sejak akhir 1940an, Friedman mempopulerkan gagasannya ke kampus-kampus di seluruh dunia, dengan sokongan lembaga-lembaga akademik dan korporasi-korporasi raksasa dari Paman Sam. Selanjutnya, setahap demi setahap kita menyaksikan perubahan besar, khususnya mulai di Chile sejak Allende dikudeta: orang-orang yang memegang pos-pos penting perekonomian dan keuangan adalah Los Chicago Boys, anak-anak ideologis Friedman, Mafia Berkeley-nya Chile. (Hei, kapan kita bisa menciptakan ‘Mafia Caracas?’).

Sampai di sini Anda mungkin akan bertanya: bukankah gagasan Friedman bisa mapan karena ditopang teror, penghilangan massal, dan pembungkaman gerakan rakyat?

Tidak ada keraguan sedikitpun tentang mesranya Friedman dan Pinochet. Tapi bukan di situ poinnya—dan kalaupun faktor koersi (termasuk di dalamnya kekerasan fisik) jadi pemakluman untuk tidak menganggap Friedman secara serius, sekarang keputusan politik mana di dunia ini yang tidak mengandaikan paksaan, entah itu bersumber dari tentara maupun dari … kekuatan massa-rakyat?

Pokoknya adalah, Bung dan Nona, Friedman tekun memproduksi sebanyak-banyaknya ‘kader pengetahuan’ yang berdedikasi, di saat politik sayap kanan tak laku di massa-rakyat. Pilihannya tepat: organisir kampus, ambil-alih administrasinya, rebut posisi di editorial jurnal-jurnal akademik, jangan malu-malu masuk ke pos-pos penting di pemerintahan, tunggu saat yang tepat untuk bertindak besar.
Pelajaran dari Friedman ini menjadi penting ketika gerakan progresif gagal, meminjam ucapan Sakirman, orang Politbiro PKI, ‘menggunakan setjara maksimal “djalan dari atas”,’ supaya anasir-anasir ‘anti-Rakjat dalam negara dapat disingkirkan atau se-kurang2nja digerogoti, dan dipereteli sehingga mendjadi lumpuh samasekali.’

Tentu ada banyak faktor eksternal yang menentukan apakah seseorang bisa menempati posisi strategis dan bertaktik dari dalam. Namun pada kasus daftar calon menteri itu, sedikitnya pilihan nama menunjukkan problem yang gawat: orang kiri yang sungguh-sungguh mendalami ‘ekonomi-politik borjuis’ adalah endangered species. Nyaris punah. Segala obrolan serius tentang ekonomi di kalangan kiri umumnya baru lebih marak ketika pemerintah mengumumkan akan menaikkan harga BBM, ketika tuntutan kenaikan UMR ditolak, atau belakangan, ketika penduduk dusun A terusir dari kampungnya lantaran perusahaan B ingin membangun pabrik. Biasanya kita langsung teriak: ‘Ini gara-gara kapital!’, ‘Modal asing!’, ‘Nasionalisasi industri minyak!’ serta serapah khas kiri lainnya.

Advokasi memang mahapenting. Tapi di luar itu, sebuah proposal kebijakan yang solid pastinya tidak akan lahir dari umpatan-umpatan berbumbu teori siap-pakai—apalagi sambil marah-marah. Maka, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ketika kader-kader Friedman sukses menurunkan filsafat sang guru ke dalam kebijakan yang konkret, banyak kelompok kiri nusantara malah merasa puas diri sudah bisa marah-marah dengan meniru gaya memaki ala Lenin, Trotsky, anarkis Eropa abad 19—well, the usual gang.

Belajar dari Friedman pula, gerakan kiri nampaknya harus mengikis kebiasaan buruk lainnya, yakni menjadikan perjuangan akar rumput sebagai fetish, jimat, mantra, seakan-akan semua persoalan akan rampung dengan mengorganisir (pengetahuan) di basis buruh dan tani. Jeleknya, kebiasaan ini tak jarang beriringan dengan melabeli lembaga-lembaga mapan seperti kampus sebagai najis, borjuis, elit, kelas menengah, apolitis, wadah kariris—tak usah heran kalau banyak kampus hari ini administrasinya dikuasai PKS.

Bahwa buruh dan tani adalah soko-guru perjuangan, itu benar. Bahwa kampus semakin lama semakin dihuni orang-orang brengsek, itu juga benar. Namun, fakta keras bicara lain: kampus masih dipercaya memberikan jasa konsultasi kebijakan publik yang akan berdampak pada jutaan orang. Fetisisme terhadap akar rumput ini sebetulnya berkebalikan namun senada dengan fetisisme liberal, bahwa yang paling penting adalah berpolitik secara prosedural serta berpolitik lewat argumen moral ala cendekiawan Kompas dan Tempo.

Pendeknya—tentu tanpa menihilkan peran pengorganisiran massa—kita butuh ‘teknokrat kiri’, yang mungkin akan lebih sering bekerja secara tradisional di balik meja dengan ribuan data dan analisis, menggali sumber pengetahuan di tempat-tempat tak terduga, mempersiapkan planning jangka panjang. Kerja-kerja yang dapat dipastikan tidak seksi, tidak glamor, jauh dari kesan romantik, dan seringkali sunyi dari slogan-slogan sangar. Tanpa kerja-kerja ini, politik kiri akan sulit dibedakan dari keributan sia-sia di jalanan dan propaganda tanpa program.
Tapi kan itu ‘nggak ngorganik’?

Ah, ketika sekarang kita menyebut ‘(intelektual) organik’, seringkali yang kita maksud adalah ‘heroik’—barangkali juga nekat.

Tapi spesialisasi itu kan produk kapitalisme, orang kan mustinya bisa ‘berburu di pagi hari, memancing di siang hari, beternak selepas ashar, dan jadi kritikus sastra waktu dinner?’

Tolong diingat baik-baik, Bung dan Nona: itu baru bisa kejadian kalau masyarakatnya sudah mutlak kuminis.

Maka tantangan Friedman harus sungguh-sungguh diseriusi, apalagi ketika aktivitas yang konon paling intelektual di kiri adalah mempelajari dokumen dan keputusan politik partai-partai kiri antah berantah yang mayoritas sudah bubar, tanpa keakraban dengan luasnya kajian sejarah dan sosiologi masyarakat setempat.

Apa yang mau diharapkan dari diskusi yang membatasi diri dengan referensi-referensi antagonis seperti Revolusi 1917, Perang Sipil di Spanyol, atau peristiwa-peristiwa global kekinian yang sengaja ditarik-tarik, dipas-paskan dengan konteks politik lokal, dan akhirnya hanya minta ditertawakan? Tradisi macam apa yang ditawarkan dari kiri yang sibuk bertengkar tentang siapa jagoannya yang lebih superior secara moral (atau yang paling ‘anti-hirarki’): Marx atau Stirner, Lenin atau Stalin, Lenin atau pelaut-pelaut kronstadt, Stalin atau Trotsky—atau meributkan identitas kedirian yang sama sekali tidak relevan untuk dijawab: apakah Soekarno borjuis kecil atau bukan?

Siapapun yang sempat mengalami masa puber di era 1990an sangat paham dengan kebiasaan-kebiasaan macam itu. Ini tradisinya penggemar Nirvana dan Guns ‘N Roses di Indonesia yang saling bertengkar karena Kurt Cobain dan Axl Rose sempat baku-pukul di Amerika sana. Tentu tidak semua penggemar Nirvana dan GnR berperilaku buruk seperti di atas—itu namanya fans sontoloyo, yang secara kultural sebelas-duabelas dengan ‘kiri sontoloyo.’

Kalau Anda rajin main ke pasar loak, sampai saat ini buku-buku terbitan Soviet Uni masih sering ditemukan. Topiknya bukan cuma ajaran Marx, Lenin, dan the usual gang, tapi juga buku-buku pertanian, perbankan, permesinan, prinsip-prinsip alat bubut, kemiliteran, dan ketrampilan lain yang tidak wah dalam ukuran-ukuran pembicaraan ala kiri, tapi dipelajari di sekolah-sekolah yang didirikan PKI.

Maka, dibandingkan dengan besarnya minat belajar di tahun-tahun ketika PKI masih punya sekolah, nampaknya persoalan kita kini tidak sebatas minimnya spesialis di bidang ekonomi, tapi jauh lebih gawat lagi, minimnya pemikir-ahli dalam segala bidang termasuk, well, kebudayaan. Memang banyak orang kiri yang semangat bicara kebudayaan, tapi terlalu malas memelototi berkardus-kardus halaman legislasi di arsip kementrian kebudayaan, apalagi berurusan dengan birokrasi ngehek di sana.

Dijamin—baiklah, ini otokritik—saya pun malas.***

*) Kutipan Lenin yang dipajang di tiap ruang kelas sekolah-sekolah Rusia, sekurang-kurangnya sejak 1922.

sumber: indoprogress.com/2014/11/belajar-belajar-belajar/


Sunday, August 10, 2014

Kesadaran; "Proses Kreatif “Tanah Tabu”

berikut ini adalah catatan Anindita Siswanto Thayf, penulis Novel asal Jogjakarta, terhadap salah-satu karyanya "Tanah Tabu" yang memenangi sayembara menulis novel pada DKJ Tahun 2008.  
_______________________________________________________
Oleh: Anindita Siswanto Thayf

“Suatu hari saya membaca sebuah realitas, seketika hidup saya pun berubah…”

Dalam novelnya The New Life, Orhan Pamuk mengisahkan seorang pemuda bernama Osman yang begitu terpengaruh dan terobsesi dengan sebuah buku yang dibacanya. Tak hanya merampas hari-harinya, pemuda itu justru sengaja menjerumuskan diri ke dalam pencarian-pencarian makna rahasia dari buku tersebut, yang ternyata semakin menjauhkannya dari “kehidupan normal” sebagai seorang mahasiswa.

Hampir mirip kisah Osman, saya pun pernah merasakan hal sama. Bagaimana sebuah realitas yang saya temukan tanpa sengaja lewat sejumlah tulisan di internet—dari sumber berbeda tapi memaparkan kisah yang serupa—begitu memengaruhi saya. Membangkitkan sebentuk kesadaran yang selama ini, sepertinya, hanya tidur-tidur ayam dalam diri saya. Hingga terjagalah saya. Mulai kasak-kusuk sendiri karena merasa “cukup terganggu”; mengapa saya baru tahu sekarang? Kemarin-kemarin saya ke mana saja? Dulu-dulu mata saya hanya digunakan untuk “melihat” apa saja? Kok bisa-bisanya saya lupa bahwa hidup tak hanya melulu diisi warna cerah yang menyenangkan hati, tetapi warna suram yang menyimpan rahasia pun pasti ada. Sejak itu, niat saya yang semula ingin mengumpulkan bahan untuk menulis sebuah buku non fiksi untuk anak-anak tentang keindahan panorama alam di Pulau Kepala Burung, Papua, sontak berubah haluan.

Untuk apa menulis tentang keindahan jika di sebelahnya ada penderitaan yang lebih nyata dan sangat membutuhkan perhatian? Bukankah sudah banyak buku/artikel yang membahas tentang keindahan tersebut—bahkan telah diterjemahkan entah dalam berapa bahasa asing, pada buku panduan wisata atau katalog tempat wisata, lengkap dengan foto beresolusi tinggi dari seorang lelaki tua berkoteka—sebaliknya buku/tulisan yang menyinggung nasib rakyat di pulau itu yang begitu menderita dan tersisih di negara sendiri justru diwanti-wanti penerbitannya (padahal jumlahnya pun sedikit). Apa pula gunanya mengabadikan keindahan pulau itu dalam bentuk buku (tulisan)—yang jika kelak diterima penerbit dan diterbitkan, maka saya pun akan mendapat keuntungan materi dari hal tersebut—sementara mereka yang tinggal di tempat itu malah tidak bisa menikmati keindahan tanahnya sendiri karena terlalu diberati beban hidup yang tak habis-habis?

Sebenarnya, pada titik ini, semula saya ingin pura-pura “buta” saja. Pura-pura menyesal karena telah mendapat informasi yang bertentangan dari yang saya butuhkan. Pura-pura telah salah baca bahwa telah terjadi “ketidakadilan yang merata” di negara yang seharusnya “berkeadilan merata” ini. Tapi apa boleh buat, saya tidak bisa. Benar-benar tidak bisa! Realitas itu ada di mana-mana. Tertulis di buku, jurnal, koran, situs internet, bahkan blog pribadi. Semakin saya hindari, semakin menari-nari dalam kepala ini. Semakin tak digubris, semakin membuat diri serasa pengecut. Pemerkosa kebenaran karena lebih memilih diam. Benarkah saya seperti itu?

***
Butuh keberanian untuk meruntuhkan dogma “Diam adalah Emas”. Bohong jika saya berkata tidak ada palang rintang yang harus saya lewati sebelum kemudian memantapkan hati menulis tentang nasib rakyat tanah Papua dalam bentuk novel. Maksud saya, hey, bisakah novel serius model begituan diterima penerbit? Sebagai seseorang yang bernapas, makan, dan minum dari menjual tulisan (tidak ada pekerjaan lain, selain mengurus rumah tangga), bisakah saya menggantung harapan atas seikat sayur bayam dan sepotong tempe dari novel itu nantinya?—sungguh, waktu itu belum ada niat untuk mengikutkannya dalam lomba, apalagi Sayembara DKJ, karena berdasarkan hasil survey saya, novel pemenang DKJ selama beberapa tahun terakhir tidak ada yang seperti novel yang akan saya tulis (dan saya pernah memaksakan diri mengikutkan novel karya saya yang “lain sendiri” namun hasilnya: kalah!). Dan Papua, tahu apa saya tentang pulau yang belum pernah sekali pun saya kunjungi itu? Bagaimana dan dimana mencari bahan tulisan tentangnya?

Sungguh beruntung saya lahir di abad yang begitu modern sekarang ini. Kalau semisal saya lahir sezaman dengan Pramoedya Ananta Toer, tentu saya harus bolak-balik keperpustakaan untuk meminjam buku berbecak-becak, kemudian sampai di rumah diketik ulang buku-buku itu sebagai bahan tulisan—dan mungkin pula saya tidak mempunyai ketekunan seulet itu. Abad ini memudahkan saya melakukan ini-itu tanpa harus mengeluarkan biaya yang bisa membuat saya dan suami bangkrut mendadak. Melintasi sulitnya melakukan penelitian secara langsung, dari mulut orang pertama—karena saya terbentur besarnya biaya untuk melakukan perjalanan ke Papua—saya pun memilih melakukannya melalui tulisan.

Anak-anak pun tahu kalau buku adalah jendela dunia. Namun bagi saya, tak hanya sebatas buku, semua bentuk tulisan, apapun isi dan maksudnya, adalah jendela serba guna. Lewat jendela itu saya bisa mengintip kehidupan di sebuah tanah yang belum pernah saya jejaki, mencoba merasakan penderitaan penghuninya, dan menguping keinginan terpendam mereka—dalam hal ini, saya pikir menguping adalah kegiatan positif. Lewat jendela yang sama pula saya tersadarkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi mereka: membuat satu jendela baru yang semoga berguna bagi siapapun yang membacanya. Hingga terbangkitkanlah sadar mereka, seperti sadar saya dahulu. Sebuah kesadaran yang sangat penting, saya rasa, mengingat masih adanya pandangan negatif dari segelintir orang yang menganggap mereka berbeda (secara fisik, budaya, dan gaya hidup).

Satu kenyataan pahit yang sempat membuat saya tersentak kaget dan miris, ketika menemukan betapa tidak mudahnya orang Papua mencari rumah kontrakan atau kos di Jogja, yang sesuai keinginan mereka, karena para pemilik kontrak dan kos-kosan (juga sebagian besar tetangga) merasa mereka adalah sejenis tetangga yang suka bikin ribut (baca: suka memasang musik keras-keras, berbicara keras-keras, dan bertengkar keras-keras). Sebuah sikap yang membuat saya semakin bersemangat mengais-ngais kisah tentang tanah leluhur mereka: Papua.
***
Tanah Tabu adalah judul yang saya pilih untuk novel saya karena beranggapan bahwa setiap tanah yang merupakan warisan leluhur pastilah ditabukan oleh turunannya yang berbakti. Ditabukan dalam arti dipergunakan sesuai manfaat dan kebutuhan, serta dijaga kelestariannya.

Dengan hanya berbekal riset pustaka[3] dari berbagai jenis tulisan, entah dalam bentuk buku dan jurnal di perpustakaan, atau artikel-artikel koran setempat, situs LSM lokal, bahkan blog komunitas dan pribadi selama dua tahun, saya pun mulai menyusun informasi. Dengan teliti, saya mencoba mengenali sumber permasalahan rakyat tanah Papua dan menyusun kembali adegan kehidupan imajinatif yang harus mereka jalani dalam kepala saya berdasarkan semua sumber pustaka itu. Dan untuk membantu visualisasi, saya mencari potongan film dokumenter yang menggambarkan keadaan masyarakat Papua di internet (biasanya milik sebuah LSM lokal atau yayasan sosial asing), dan semakin rajin mengamati berita di televisi. Beruntungnya, latar belakang saya yang lahir dan besar di Makassar, Sulawesi Selatan, dan berasal dari keluarga bermacam suku (salah satu saudara nenek saya menikah dengan orang Papua dan tinggal di sana) membuat saya dengan mudah memelajari dan memahami aksen/logat bahasa Indonesia-Papua, yang sedikit banyak telah dipengaruhi aksen/logat para pendatang dari Sulawesi, khususnya Bugis-Makassar. Hingga akhirnya tibalah waktu untuk menulis.

Ada begitu banyak penulis yang memengaruhi saya dalam berkarya. Saya telah membaca lebih dari satu kali Anna Karenina-nya Leo Tolstoi (novel ini bagi saya sangat luar biasa dalam pengarapan tokoh-tokohnya sehingga seolah-olah tokoh-tokoh itu punya daging dan nyawa seperti kita), Ibunda-nya Maxim Gorki (walaupun saya tidak begitu suka kalimat-kalimat Gorki yang mengiris ciri khas realisme sosialis, tapi saya memuji semangat dan kejujuran Gorki dalam berkisah), The Famished Road-nya Ben Okri ( ini novel favorit saya. Sudah saya membaca sebanyak enam kali novel ini dan tak pernah bosan), The Name Shake-nya Jhumpa Lahiri, dan My Name is Red-nya Orhan Pamuk (bagi saya Pamuk memang jago mendongeng tentang runtuh-bangunnya peradaban). Dengan penuh ketakjuban, saya juga membaca kisah Minke-nya Pramoedya Ananta Toer (dalam tetralogi Buru), kisah keturunan Jose Arcadio Buendia-nya Gabriel Garcia Marquez (dalam Seratus Tahun Kesunyian), dan keajaiban hidup Jean Valjean-nya Victor Hugo (dalam Les Miserables). Pun, saya tak pernah bosan mengikuti setiap petualangan kata Ernest Miller Hemingway dengan Lelaki Tua dan Laut, dan Salju Kilimanjaro-nya, Seno Gumira Adjidarma dengan tokoh Sukab-nya, dan Naguib Mahfouz dengan Kisah Seribu Satu Malam-nya (walaupun Mahfoudz lahir di Mesir, dalam karya-karyanya saya tak pernah mendapatkan dia berdakwah tentang agamanya). Guna memperkaya kosa kata saya juga membaca puluhan buku kumpulan puisi dan tentu saja kamus bahasa. Namun yang terjadi kemudian, ketika tiba saatnya jemari ini mulai mengetikkan huruf demi huruf, maka yang terjadi adalah saya menulis sesuai keinginan saya. Dengan gaya bahasa yang sesuai dengan irama yang dimainkan kepala saya. Menggunakan kosakata yang pernah saya dengar dan baca entah dimana. Mengeluarkan semua pengetahuan saya tentang pulau yang jauh di ujung timur itu: Papua. Dan hasilnya, setelah melewati enam bulan masa penulisan, novel tersebut rampunglah. Novel ala saya. Tanah Tabu. Bisa dibilang novel ini mengikuti irama realisme magis ala saya. Dan, nantinya kalau ada orang membaca novel ini dan ingin mencari-cari pahlawan di dalamnya, maka orang itu akan kecewa, karena tidak ada pahlawan dalam Tanah Tabu. Atau kalau ada yang ingin menemukan kisah percintaan, romantisme, perselingkuhan, seks dengan segala variasinya, ataupun kutipan-kutipan dari ayat-ayat suci, maka ia pun akan kecewa, karena di dalam Tanah Tabu hanya ada seorang bocah kecil, seekor anjing dan babi!

Novel Tanah Tabu adalah suara individu saya, sebagai penulis, yang merasa terpanggil untuk memotret sekeping kebenaran yang terjadi tak jauh dari kita, tapi tersamarkan. Terlepas dari kita yang terlalu acuh, atau realitas yang terlalu kejam, saya sangat berharap novel saya tersebut dapat menjadi sebuah jendela yang akan menghubungkan kita dengan kebenaran di luar sana, dengan manusia-manusia yang terpinggirkan, dengan masalah-masalah yang sengaja ingin dilupa.

Akhir kata, saya ingin mengutip kata Pramoedya Ananta Toer:

“Pengarang itu korps avant garde, bukan penghibur… tugasnya melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya.”

Sepenggal kalimat tersebut terasa sangat hebat bagi saya yang masih pemula ini. Karenanya, saya coba menjadikannya pedoman dan pemicu semangat. Mencoba menulis tanpa kenal takut. Mencoba menulis atas nama kebenaran. Mampukah saya? Entahlah. Semoga saja.


*Lereng Merapi, Jogjakarta, jelang 2009

tulisan bersumber dari salah-satu komentar yang Anindita tulis sendiri untuk merespon tulisan di : http://jalansetapak.wordpress.com/2008/12/15/hanya-satu-juara-tanah-tabu/ 

Tuesday, February 4, 2014

Renungan Pemikiran: Sebuah Pertanggungjawaban

Redaksi blog rumahbacakomunitas memandang penting bagi golongan intelektual pro-rakyat untuk membaca kembali ide-ide tentang manusia, ekonomi, sosial dan etika yang selama ini menjadi wilayah wawasan manusia Indonesia. Maka pada berbagai kesempatan, redaksi akan menerbitkan, atau mempublikasikan kembali tulisan-tulisan dari kalangan intelektual Indonesia, atau siapa saja untuk memberikan kontribusi bagi keseimbangan wawasan intelektual. 

________________________________________________________________________


Oleh : M. Dawam Rahardjo

Dalam kata pengantar untuk buku saya, "Nalar Ekonomi-Politik Indonesia" (IPB Press, 2011), Prof. Didin S. Damanhuri menarik kesimpulan bahwa ia tidak menemukan satu aliran pemikiran yang saya ikuti secara konsisten. Tapi menurut pembacaannya, saya mengambil dan mengkombinasikan berbagai teori untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah ekonomi-politik, misalnya masalah ekonomi kerakyatan yang menjadi benang merah buku kumpulan karangan itu. 

Dengan kata lain, saya, menurut penilaian Didin, mengikuti metode eklektika, suatu kesimpulan yang di masa lalu juga pernah dilontarkan orang mengenai metode pemikiran Soedjatmoko, namun dengan nada yang merendahkannya. Memang, dalam karangan-karangannya Soedjatmoko membahas berbagai masalah pembangunan dan perkembangan masyarakat. Ia sendiri dikenal sebagai seorang yang berfaham sosialis dan menulis buku mengenai kebudayaan sosialis. Tapi sebagaimana nampak pada Sjahrir, Soedjatmoko tidak nampak sebagai seorang penganut sosialisme ortodoks tertentu. Benang-merah yang dapat ditemukan orang adalah bahwa ia adalah seorang penganut paham humanisme universal, yang sesungguhnya dekat dengan faham Liberalisme, padahal faham ini dilawankan dengan sosialisme. Bahkan Herbert Feith menggolongkan aliran pemikirannya, bersama-sama dengan Arief Budiman yang menyatakan diri sebagai seorang Sosialis itu, dalam aliran yang disebut critical-pluralism.

Terus terang saya agak kaget dengan kesan Didin S. Damanhuri itu, karena dia memang sangat mengenal pemikiran-pemikiran saya. Saya berpendapat bahwa kesan itu tidak adalah sebuah kesalah-pengertian. Tapi munculnya kesimpulan semacam itu atas pemikiran saya, sepenuhnya dapat saya mengerti. Saya sendiri ingin menjelaskan kepadanya, bahwa aliran epistemologi yang saya ikuti dalam membahas masalah-masalah ekonomi-politik adalah “ekonomi-kelembagaan” (institutional economics), yang memandang ekonomi sebagai gejala yang kompleks dan selalu berubah, dan oleh karena itu perlu didekati dari berbagai sudut dan perspektif. Saya sendiri pernah menulis bahwa saya mengikuti metode berpikir “historis struktural”, yang dapat ditelisik dalam buku kumpulan artikel saya di Majalah Prisma. Benang merah itu dapat ditemukan oleh cendekiawan muda, Tarli Nugroho, sebagaimana dapat dibaca dalam kata pengantar panjangnya terhadap buku tersebut, yang berjudul Ekonomi Politik Pembangunan (2012). Metode itu pernah saya terapkan terhadap gejala ketergantungan perekonomian Sumatera Utara, sebagai suatu gambaran mengenai perekonomian Indonesia di tingkat regional.

Kesan lain yang juga saya nilai sebagai “stigmatik” terhadap pemikiran saya adalah apa yang pernah dilontarkan oleh Hidayat Nataatmadja (1932-2009) pada tahun 1980-an, ketika ia mengatakan bahwa saya adalah seperti “perpustakaan berjalan”, karena ia melihat tulisan-tulisan saya di Prisma selalu mencantumkan banyak catatan kaki sebagai referensi. Saya tahu bahwa Hidayat waktu itu merasa tersinggung terhadap kritik yang pernah saya lontarkan pada suatu forum terhadap karangan-karangannya. Dalam sebuah seminar terbuka saya memang pernah melontarkan penilaian bahwa tulisan-tulisannya memang lancar bahasanya, tapi sulit dipahami, karena tidak jernih dan sederhana. Kesan njelimet itu pada akhirnya mengesankan ketidak-jernihan pemikirannya, meskipun sebenarnya tidak.

Penilaian Hidayat terhadap pemikiran saya dapat saya pahami, karena saya ketika itu memang masih mengikuti metode penulisan akademis yang harus mempertahankan kejujuran pemikiran. Hidayat sendiri saya akui tergolong sebagai seorang pemikir kritis-kreatif yang melampaui pemikiran akademis dan bidang-bidang keilmuan yang bersifat fakultatif, sehingga saya paham kenapa ia tidak merasa perlu mencantumkan catatan-catatan kaki pada karangan-karangannya. Sebagaimana halnya Soedjatmoko, Hidayat mampu menulis pemikiran tentang banyak hal melampaui suatu disiplin tertentu, karena ia memang memiliki bacaan luas yang diinternalisasikan ke dalam cara berpikirnya itu. Tapi ketika menulis artikel di Prisma, saya masih dan harus berpikir pada level akademis.

Saya memang memiliki minat terhadap berbagai bidang pemikiran, sejak ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, filsafat dan agama. Dan sejak muda, saya memang seorang pengumpul buku, sehingga sekarang bisa memiliki sebuah perpustakaan pribadi yang cukup lengkap. Saya juga membaca buku-kuku dan mempelajari berbagai aliran pemikiran dan epistemologi. Tapi dalam metode pemikiran, saya tertarik kepada Marxisme, terutama Neo-Marxisme atau Kiri-Baru, teori kritis Mazhab Frankfurt, dan nalar Islam Liberal atau “Kiri Islam”. Saya juga tertarik pada ajaran sosial gereja Katolik dan gagasan Teologi Pembebasan Amerika Latin.

 Namun saya tidak puas dengan semua aliran pemikiran dan epistemologi itu dalam berbagai aspek tertentu. Karena itu saya tidak menganggap diri saya ortodoks atau tidakkaffah, atau tidak konsisten mengikuti aliran pemikiran tertentu, termasuk dalam pemikiran keagamaan. Saya lebih mengikuti pemikiran kritis. Karena itu saya menjadikan Marxisme dan nalar Islam sebagai suatu kritik ideologi. Saya pernah menulis bahwa Marx saya temukan mengambil banyak pemikiran dari para pemikir sebelumnya yang lalu ia jungkir-balikkan pemikiran-pemikiran yang telah dipungutnya tersebut, tapi dari situ kita bisa melihat bahwa teori yang dihasilkan Marx adalah orisinil.

 Namun dalam pangalaman berpikir saya, aliran pemikiran kritis itu mengandung kelemahan yang tidak bisa saya terima, misalnya teori perjuangan kelas dengan cara kekerasan. Itu saya jumpai ketika saya terlibat dalam gerakan sosial. Dari pemikiran-pemikiran kritis itu tidak saya dapati konsep-konsep solusi. Dari situlah saya tertarik pada gagasan-gagasan pembangunan alternatif. Tapi titik tolaknya adalah teori modernisasi dan perubahan sosial yang konvensional. Ternyata kecenderungan ini juga melahirkan kritik dari Saiful Mujani. Ia mengatakan bahwa pemikiran saya tidak konsisten, karena di satu pihak saya mengikuti pemikiran kritis Marxis, tetapi ketika berpikir mengenai pembangunan dan gerakan sosial, saya kembali kepada teori modernisasi, yang juga dikritik oleh seorang Neo-Marxis, Andre Gunder Frank, itu. Namun dalam pembangunan alternatif, menurut saya, teori modernisasi itu dibangun berdasarkan temuan-temuan kajian kritis, sehingga sudah berbeda dengan teori modernisasi konvensional.

Di sini saya teringat pada perdebatan antara pandangan idealis-spiritualis Hegelian-Weberian dengan pandangan materialis Marx-Engel. Sebagai seorang yang beragama, tentu saya cenderung pada pandangan Hegelian-Weberian yang percaya bahwa ide dan spirit itu mampu membentuk dan mengubah dunia. Tapi saya juga tertarik pada pandangan materialis, bahwa kondisi itu sangat mempengaruhi ide dan semangat manusia. Di sisi lain, saya juga memperhatikan Karl Popper yang menentang pandangan historisis-deterministis yang menurutnya justru menimbulkan pandangan tentang kelemahan manusia yang dibelenggu oleh lingkungannya. Di sinilah saya menemkan makna ayat al Qur’an, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mengubah apa yang ada dalam diri (kepribadian) kaum itu sendiri. 

Sementara itu Gramsci mengeluarkan pandangan bahwa manusia itu memiliki kemampuan untuk menciptakan sejarah. Saya lalu teringat kepada kata-kata Marx sendiri bahwa hanya ide-ide revolusionerlah yang mampu mengubah sejarah. Jika ajaran agama itu dijelaskan dengan pandangan Hegelian-Weberian sebagai tesis di satu pihak, dan Marx-Engel sebagai anti-tesis di lain pihak, yang disintesiskan melalui pandangan Popper dan Gramsci, maka itu adalah adalah suatu jalan pemikiran ekletisisme juga. Itulah pula yang dikembangkan oleh Tan Malaka dalam bukunya, Madilog (1946), yang menggabungkan pandangan Marxis dengan teologi. Melalui proses materialisme, dialektika, dan logika itulah maka Tan Malaka membimbing bangsa Indonesia untuk menemukan teori dan kesadaran revolusioner guna mencapai Indonesia Merdeka. Proses pemikiran itu pulalah yang terkandung dalam pamflet Mencapai Indonesia Merdeka (1936) yang ditulis Bung Karno.

 Para perintis dan pejuang kemerdekaan pada umumnya adalah kaum terpelajar yang pemikirannya dibentuk oleh pendidikan modern Barat, tetapi tetap berjiwa religius dan memiliki kesadaran kebudayaan kebangsaan. Pemikiran dan pandangan mereka itu sangat beragam dan bahkan pula saling bertentangan. Namun pandangan antara lima tokoh utama, yaitu Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Soepomo dan Sjahrir, meskipun sangat berbeda, kesemuanya mengarah kepada pandangan tentang “Indonesia Merdeka”. Memang masing-masing tokoh itu memilih mengikuti seorang tokoh tertentu, khususnya Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Tetapi tentang demokrasi, muncul perbedaan diametris antara pandangan Soekarno yang mengarah kepada kolektivisme atau integralisme, dengan pandangan Sjahrir yang mengarah kepada demokrasi-liberal. Pengaruh perbedaan pandangan yang cukup mendasar antara dua tokoh itu masih nampak dalam perkembangan politik dewasa ini.

Di antara para pemikir Indonesia kontemporer telah timbul suatu gagasan untuk mengembangkan “Filsafat Nusantara”. Upaya untuk merumuskan Filsafat Nusantara itu nampak dalam buku Negara Paripurna (2011) yang ditulis Yudi Latif dalam usahanya untuk mengembangkan interpretasi terhadap Pancasila dengan menggali pemikiran para pendiri bangsa. Dalam pembahasan itu ia bertolak dari realitas pluralitas Nusantara, sehingga menimbulkan gagasan pluralisme. Dalam pemikiran itu maka metode yang digunakan adalah sintesa pemikiran, yang akan menimbulkan kesan eklektisisme.

 Itulah sedikit penjelasan saya terhadap “tuduhan” Didin. S. Damanhuri, Hidayat Nataatmaja, dan Saiful Mujani, sebagai pertanggungjawaban terhadap karier pemikiran saya dalam ilmu-ilmu sosial.
__________________________
Babarsari, Yogyakarta, 26 Juli 2012
sumber: 
https://www.facebook.com/notes/m-dawam-rahardjo/renungan-pemikiran-sebuah-pertanggungjawaban/451563354863711


Sunday, December 22, 2013

Pram : “Basa-Basi Tidak Menghibur Saya..”

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Apa yang menarik dari sejarah adalah realitas sejarah itu sendiri. Sebagai bagian dari realitas, sejarah adalah proses konstruksi yang rumit. Menawarkan kembali penjelasan atau analisa dalam sejarah adalah pekerjaan yang melelahkan atau bahkan menjemukan hati. Selalu ada pertentangan ketika mengisahkan sejarah. Baik karena pertentangan itu merupakan riwayat utama sejarah, atau karena pertentangan itu juga merupakan tema yang didiskusikan terkait presisi data sejarah. Namun melampaui itu semua, sejarah menawarkan sejumlah gagasan penting dalam proses pembentukan dialektika kekinian.

Karena pertanyaan hari ini adalah juga masalah di hari kemarin yang kita alpakan. Apa yang sudah kita lewatkan dari seorang Pram?. Kita yang terlalu muda dalam memahami Pram?.

Judul tulisan ini berasal dari kalimat penutup Pramoedya Ananta Toer yang menjawab surat terbuka Goenawan Mohamad dalam Tempo edisi 3-9 April tahun 2000 ; “Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya”. Goenawan Mohamad meminta Pram mempertimbangkan permintaan maaf Gus Dur pada tanggal 9 April tahun 2000 di Tempo. Pram Menolaknya mentah-mentah.

Melihat perbedaan horizon di antara keduanya tidak semudah melihat bahwa Pram merokok dengan garpit sedangkan Goenawan Mohamad setia dengan cerutu__Ini bukan soal, ‘murah’ dan ‘mahal’. Ini soal apa yang ‘tidak bisa dikembalikan’ dan soal ‘keadilan’.

Bagi Pram, Goenawan Mohamad juga hanya basa-basi dengan membawa kebijaksanaan dewa ala Nelson Mandela. “Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat”. Menurut Goenawan Mohamad, Pram bertindak naïf, dengan mengatakan ; “Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf”. Goenawan Mohamad menganggap Pram perlu mempertimbangkan posisi Gus Dur, sebagai ‘bukan-korban’ yang meminta maaf.

Tidak ada rekonsiliasi. Pram menganggap ide rekonsiliasi Gus Dur yang dibela oleh Goenawan Mohamad hanya basa-basi. Bagi Pram, keadilan tidak dibentuk dengan mudah melalui pernyataan seorang besar dengan anonimitas posisi. Pram mempertanyakan posisi Gus Dur ketika meminta maaf. “Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa”.

Goenawan Mohamad mengenal Pram dengan kondisi yang terlambat. Setidaknya begitu yang dia tampakkan dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2004), “Saya tak tahu bahwa sebuah buku dilarang dan seorang pengarang terkenal dipenjarakan”. Buku yang dimaksud adalah “Hoakiau di Indonesia”. Dalam beberapa Catatan Pinggir (Caping), Goenawan Mohamad pernah membawa nama Pram.  Pram dipuji oleh Goenawan Mohamad, “Ia mengguncang asumsi yang umum berlaku”. Goenawan Mohamad memberikan kata pengantar untuk buku Pram yang berjudul Tales From Djakarta : Caricatures of Circumtances and Their Human Beings (1999).

Caping 6 Oktober 1984, dengan Judul Yang Keras, Goenawan Mohamad menulis, “Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan babat…(kata ‘babat’ yang diperkenalkan Pram) menyarankan satu hantaman dengan parang, untuk merobohkan lalang dan belukar. Seperti yang kita tahu, Goenawan Mohamad akan begitu kenal dengan Pram. Dan kita sudah mencatat dengan baik bahwa Goenawan Mohamad juga adalah seorang yang pernah mendukung pemberian Magsaysay tahun 1995 kepada Pram. Dalam surat terbuka tersebut, Goenawan Mohamad tahu dengan jelas apa makna rekonsiliasi, karena pada tahun 1990-an dia sendiri sudah menggagas rekonsiliasi antara mantan tahanan politik dan seniman kiri. Menurut Goenawan Mohamad, Pram adalah seorang “penantang abadi”, dan representasi geraman eksistensial.


Apa yang kita sebut Adil?

Penolakan Pram terhadap permintaan maaf Gus Dur tidak dapat dilihat sebagai sikap akhir. Kita diberi pilihan untuk menilai seseorang melebihi apa yang ditampakkannya dalam masa-masa tertentu. pernyataan ‘tidak memaafkan’ bukan penegasian terhadap nilai ‘memaafkan’ itu sendiri. Pram mengetahui betul apa arti keadilan dan kekerasan. Yang dengan begitu, sudah pasti memahami apa arti ‘maaf’. Kata-kata tidak selamanya mewakili entitas sebuah kebenaran. Kadang-kadang kebenaran sulit diterima ketika disimbolkan dalam sebuah diksi, karena kebenaran kemudian malah membingungkan. Mungkin demikian kebenaran yang tidak dapat dikenali dengan mudah dalam diri Pram. Dengan kata lain, entitas kebenaran memaksa kita untuk terlebih dahulu menarik secara mendalam pengalaman dan gesekan batin subjek yang tertindas.

Kita bisa bertindak toleran karena pernah merasakan toleransi. Dan kita sulit memahami mengapa orang bisa sangat sentimentil karena tidak pernah merasa ‘kehidupan’ sentimentil. Tapi kita bisa melakukannya karena kita bisa membayangkan jadi mereka. Pram menyaksikan akhir dari kehidupan orang-orang terdekatnya, disiksa, dipukul, dan dibunuh. Tapi seperti tidak ada waktu luang untuk memikirkan sebuah cara untuk menikmati sisi kebajikan orang-orang keji tersebut. Pram merasa semua itu tidak mudah dan berujar “Saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia (Mandela)”. Pram tidak ingin jadi Mandela yang dapat ‘memaafkan’.


Basa-basi dan Agresi

Sebagaimana lelucon, basa-basi pun bisa berubah menjadi agresi. Si Jenakawan bisa jadi aggressor, dan si tukang basa-basi bisa jadi aggressor pula. ‘Meminta maaf’ adalah basa-basi yang berangkat dari tindakan eufisme untuk  menyamarkan atau menghapuskan kenyataan pahit sejarah. Kenyataan bahwa perlakuan sosial yang tidak mengenakkan terhadap Pram adalah kesimpulan yang adil untuk menilai bahwa basa-basi ‘meminta maaf’ sebagai agresi terselubung__bahwa maaf masih tetap melukai. Permintaan maaf dari sebuah rezim tidak otomatis menghapuskan persangkaan yang buruk terhadap diri Pram. Setelah upaya meminta maaf tersebut, masih jarang kita temui nama Pram dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Ini hanya main-main.

Pram mengatakan dalam sebuah wawancara bersama Kees Snoek (1991) ; “Dan sekarang ini, saya hidup di dalam hari depan saya. Hari depan saya adalah hari sekarang”. Pram selalu mengeluh tentang karya-karyanya yang dicekal di negeri sendiri, “seperti menulis di pasir” ungkapnya. Pram adalah persona non grata di negara tempat dia dilahirkan.


Pandangan Pram tentang ‘Baik’

Beberapa pihak menyayangkan sikap menolak Pram. Sikap keliru telah ditunjukkan oleh seorang Pram. Apakah Pram tidak merasa perbuatannya telah melangkahi keadilan?. Jadi apakah yang dipandang sebagai ‘baik’ menurut Pram?.

Pram menekankan dengan tegas bahwa harus ada sebuah keadilan. Pram mendapatkan kewarganegaraannya dengan ‘perkelahian’ dan resiko. Pram mendaulat dirinya sebagai anak renaisans. Jadi kalau demikian apakah sebuah ‘baik’ menurutnya?.

Pram dididik oleh seorang Ibu yang berumur tidak panjang. Walau begitu Pram selalu mengenang dengan penuh rasa hormat terhadap Ibunya. Pram diajarkan tentang arti kemuliaan, keadilan dan sebuah kepantasan menjadi manusia yang bermoral. “Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri” tiru Pram saat mengisahkan tentang petuah Ibunya. Saat Ibunya wafat karena TBC, Pram memeluk dan mencium jenazah Ibunya tanpa peduli dengan resiko. Pram berada dalam kesetiaan dan kesendirian untuk merawat jenazah Ibunya sampai proses pemakaman, “…tidak ada seorangpun yang datang menolong”.

Pram sebenarnya peka terhadap penderitaan orang, tapi kepekaannya berubah menjadi rasa hormat yang dituliskannya untuk membangun kesadaran orang lain juga. Setiap penderitaan dianggapnya sebagai tindakan mandiri dan berkesadaran penuh atas resiko-resiko. Kita melihat munculnya sosok perempuan mandiri dalam karya-karya Pram seperti Nyai Ontosoroh membawa optimisme yang bagus. Perempuan yang ditampilkan oleh Pram kadang-kadang menjadi simbol keberanian untuk membela diri sendiri dan menghindari bergantung pada orang lain.

Pernah tersiar kabar bahwa Pram adalah tipe orang yang tidak sabaran, suka meledak-ledak dan sombong. Tapi begitu mengenal Pram, menurut Andre Vltchek dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian: Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan (2006), “tidak terlihat kesombongan di raut mukanya. Dia malah  begitu hangat, sarkastik, dan banyak tertawa serta bercanda”. Saat itu Vltchek bersama rekan-rekan sedang menggarap proyek film Terlena: Breaking of Nation pada tahun 2003.

Pram mengatakan bahwa ideologi yang dia anut adalah cinta akan keadilan.
"Ideologi ditanamkan di dalam diri saya oleh keluarga saya, yaitu cinta akan keadilan" (Kees Snoek, 1991).

Kadang-kadang Saya merasa sangat terisolasi. Saya hidup di dunia saya sendiri, dan hal ini seperti berada di pengasingan. Saya tidak tahu apakah orang masih ingin tahu apa yang sebenarnya saya pikirkan…” (Saya Terbakar Amarah, 2006).

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK