Saturday, September 29, 2012

Launcing Rumah Baca Komunitas, Wujud Pemberdayaan Intelektual Untuk Masyarakat


(RBK News, 29/09/2012)-Bantul – Tradisi membaca masih menjadi fenomena yang asing bagi masyarakat Indonesia. Minat baca yang rendah dirasa menjadi momok yang menakutkan bagi generasi bangsa Indonesia. Maka, membaca idealnya menjadi gerakan yang membudaya mulai sekarang hingga kelak.

Gerakan membaca mulai digerakkan melalui komunitas aktivis membaca di berbagai nusantara. Begitupun dengan komunitas yang menamakan diri Rumah Baca Komunitas (RBK) ini secara resmi mulailauncing pada tanggal 25 September 2012 di Onggobayan, Ngestiharjo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Launcing RBK ditandai dengan penyerahan hibah buku dari BEM Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta sebanyak 1950 buku, acara dongeng, dan penyematan pin untuk anggota belajar Komunitas Rumah Baca. 

Acara ini dihadiri oleh puluhan anak usia dini, remaja, hingga orang tua terutama warga Ngestiharjo dan sekitarnya. Harapannya, setelah diadakan launcing ini dapat dilanjutkan dengan penyebaran rumah baca-rumah baca di berbagai daerah lainnya. Selain itu, ini merupakan wujud dari sosialisasi RBK sebagai basis komunitas membaca walaupun sejatinya RBK telah bergerak dan menjalankan aktivitasnya sejak bulan Februari lalu.

RBK merupakan wujud dari pemberdayaan masyarakat terutama untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya membaca. Komunitas ini terdiri dari mahasiswa UIN, UAD, UMY, UGM, dan berbagai Universitas di Yogyakarta. Menurut direktur RBK, David Efendi, “Membaca sudah harus tertradisikan mulai usia dini jika bangsa ini mau berubah menjadi lebih maju”. Virus membaca harus disebarkan ke khalayak luas agar membaca segera membudaya di tanah air tercinta.

Rencanany, RBK akan hadir di tiap provinsi di seluruh Indonesia. Kini, selain di Yogyakarta, RBK sudah mulai merintis membuka rumah baca serupa di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Antusias masyarakat dengan adanya rumah baca menjadi semangat tersendiri untuk konsisten terhadap gerakan membaca dan pencerahan bagi generasi muda. “Saya sangat senang dengan adanya rumah baca, sepulang sekolah saya bisa menambah wawasan saya dengan membaca. Semenjak rumah baca ini ada di dekat rumah, saya sudah membaca tiga novel dan berbagai buku lainnya”, tegas Ari, salah satu anggota belajar rumah baca. (dha)

Tuesday, September 25, 2012

Pendidikan Berbasis Masyarakat


Resensi
Oleh : Fida Afif
Pegiat Rumah Baca Komunitas

Judul : Pendidikan Berbasis Masyarakat, Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial.
Penulis : Dr. Zubaedi M.Ag., M.Pd.
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tebal : xiii + 215 halaman
ISBN : 979 – 3721 – 71 – 5

Permasalahan sosial di Indonesia yang tak kunjung habis terlebih masalah dalam garis kemiskinan dan kemerosotan moral, mengetuk jiwa para intelektual untuk tergugah bagaimana semestinya agar kondisi seperti itu dapat segera diselesaikan.

Masyarakat idaman, yaitu Indonesia yang terbebas dari krisis moral dan peradaban menjadikan tanggungjawab bagi para intelektualnya terutama pelajar dan mahasiswa.Akan tetapi budaya leluhur Bangsa Indonesia yang identik dengan keramahan, tenggangrasa, kesopanan, rendah hati, suka menolong dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi seakan mulai terkikis.

Karakter seperti itulah yang menjadi idaman bangsa.Harapan masyarakat tentunya berada di pundak para manusia Indonesia sendiri, terlebih bagi pemudanya, para pelajar dan mahasiswa. Ungkapan sekolah adalah cermin masyarakat seyogyanya benar-benar mewarnai proses pendidikan yang sedang berlangsung.

Sebagai bentuk konsekuennya lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi mampu berperan aktif memecahkan problem sosial yang ada.Ironisnya, pelajar dan mahasiswa yang seharusnya menjadi tumpuan perubahan sosial jurtru terjerumus dalam bagian dari permasalahan sosial. Kita tidak asing dengan istilah pengguna narkoba dari kalangan pelajar, tawuran pelajar, seks bebas dan sebagainya.

Pelajar dan mahasiswa harus segera keluar dari lingkaran problem sosial seperti itu, dalam arti bukan menjadi bagian dari problem tapi bagian dari penyelesai problem.Dalam buku ini Pak Zubaedi menawarkan solusi dari berbagai problem sosial yang terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Ia juga mengimplementasikan konsep pendidikan berbasis masyarakat dengan wujud model ala pesantren dan pendidikan kader sebagai salah satu model pendidikan kemasyarakatan.

Pelajar dan mahasiswa adalah orang yang paling bertanggungjawab mengatasi probem sosial bangsa sebab melalui tangan merekalah – orang-orang terdidik – bangsa ini memiliki impian besar menjadi bangsa yang lebih beradab tanpa menghilangkan warisan budaya Tanah Air.

Monday, September 24, 2012

Untukmu Pahlawan Panganku


Oleh : Fida Afif
Pegiat Rumah Baca Komunitas


Aku tidak pernah merasakan betapa susahnya merawat padi. Dari mengolah tanah agar siap untuk ditanami, memilih benih yang layak, menanam, menjaga dari serangan hama, hingga tugas akhir memanen padi sampai memisahkan bulir-bulir padi dengan kulitnya. Semenjak kecil, aku sering sekali melihat aktivitas itu, aktivitas yang sangat luar biasa yang dilakukan oleh pahlawan sepanjang hidup, “petani”.

Aku juga tidak pernah ribet dengan bagaimana aku bisa makan nasi dengan enaknya. Asal aku punya uang, aku beli saja di warung kelontong atau di toko-toko penjual beras. Lebih sederhana lagi, aku hanya membeli nasi jadi di warung makan atau rumah makan.

Aku merasa malu pada anda sekalian, orang yang sangat berjasa pada duniaku, pada kehidupanku, dan pada keberlangsungan hidup masyarakat di Tanah Air tencinta ini. Maka, maafkanlah aku yang lebih sering tidak peduli akan keberadaanmu wahai pahlawan pangan nusantara.

Petani, biar pria, wanita, tua, maupun muda, berkatmu perutku ini bisa terisi oleh karya-karyamu yang tidak pernah tertulis dalam piagam-piagam penghargaan atau tercatat dalam anugerah terbaik apalagi award. Padahal jasamu itu lebih dahsyat dari jasa para pembuat piagam-piagam itu sendiri, karena mereka juga hidup berkat karyamu.

Wahai para petani Indonesia, aku juga ingin sekali menjabat tanganmu, memeluk tubuhmu, dan aku haturkan seluruh hormatku atasmu. Jangan pernah menyerah untuk terus menggapai karya-karyamu. Bagiku engkau lebih tinggi derajatnya dari pada Anggota Dewan, presiden, atau pejabat-pejabat di kelas manapun. Engkau lebih mulia dari orang-orang yang berdasi, dan engkau lebih tangguh dari orang-orang yang mentereng menggunakan kendaraan-kendaraan beroda empat dengan bodymengkilat.

Aku sangat salut kepadamu ketika harga bibit menjulang tinggi, tapi kamu masih rela menanam. Aku salut padamu ketika harga panen turun, tapi tidak bosan untuk terus berkarya. Aku salut padamu ketika di pagi hari orang-orang sibuk untuk mendapatkan sarapan, kau datang lebih awal ke sawah-sawah untuk membuat bahan sarapan. Tentunya aku sangat salut padamu, biar yang lain berbondong-bondong mencari tempat yang teduh dari terik matahari, justru engkau merelakan tubuhmu dipanggang oleh panasnya surya demi terus berkarya. Dan yang membuat kamu lebih istimewa dari kebanyakan orang adalah, saat yang lain beranjak untuk tidur, kamu malah menuju sawah untuk memastikan air malam ini membasahi sawah-sawah.

Wahai para penguasa Nusantara, masih pedulikah engkau dengan nasib para pahlawan panganku? Mengapa engkau biarkan pangan-pangan import membanjiri bumiku, sedangkan pahlawanku harus merasakan harga jual yang tidak sesuai dengan jerih payahnya. Wahai para penguasa Nusantara, mengapa kau ciptakan sistem yang mendukung keberadaan dan keberlangsungan hidup para pahlawan panganku. Wahai para penguasa Nusantara, dalam perutmu juga terisi hasil karya para pahlawan pangan. Maka, kumohon dengan ketulusan, segera jawab pertanyaanku itu dengan realisasi penguasa untuk kesejahteraan para petani.

Anugerah tertinggi pantas untuk kau dapatkan. Selamat Hari Tani 24 September 2012, teruslah berkarya, semoga apa yang menjadi mimpi-mimpimu kelak akan terwujud. Kuucapkan terimakasih tiada terkira untuk pahlawan panganku, petani.


Saturday, September 22, 2012

Nasionalisme dan Buta Huruf

Oleh : Muhidin M. Dahlan
Penulis


Buta huruf itu aib. Ibu Negara Perancis Carla Bruni-Sarkozy juga sadar betul dengan itu. Dalam wawancara dengan harian La Tribune pada 2009 silam Bruni pernah meradang dengan rilis data terbaru yang menyebutkan tiga juta warga Perancis buta huruf.
Pada saat yang sama Direktorat Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional (sekarang: Depdikbud) mengeluarkan data total jumlah warga buta aksara 9,7 juta atau 5,97 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Carla berang. Ia pun mendirikan yayasan untuk menggalang dana, terutama sekali gelandangan, napi, dan kelompok masyarakat buta huruf. Istri Presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengistilahkan tindakannya sebagai perang melawan buta huruf Jauh sebelum Carla marah-marah, kamus nasionalisme sudah menegaskan bahwa bagi negara berstatus merdeka buta huruf adalah aib.

A Surjadi dalam buku Pembangunan Masyarakat Desa (1969) membuat pola pemberantasan buta huruf dari beberapa negara yang baru saja umumkan maklumat kemerdekaan.

Simaklah kaum Komunis di Rusia sewaktu menumbangkan rezim Tsar pada 1917. Dalam dua tahun Lenin bikin perintah untuk menghilangkan kebutahurufan. Turki memulai kampanye pemberantasan butahuruf segera setelah Kemal Attaturk menjadi presiden.
Perkembangan yang cepat dalam kerja pemberantasan buta huruf di India merupakan akibat langsung daripada pembentukan kekuasaan Kongres.

Di Indonesia dan Ghana demikian juga. Pemberantasan buta huruf dilakukan setelah kemerdekaan nasional dimaklumatkan. Bagi pemerintah yang dipimpin kalangan nasionalis terpelajar dan revolusioner, buta huruf adalah aral yang merintangi kemajuan. Kata Lenin, “Seorang manusia buta huruf adalah di luar dunia politik.” Dan ajaran minimum adalah mengetahui abjad alfabet.

Pemerintah nasionalis beranggapan orang-orang yang melek huruf hanyalah satu-satunya dasar yang sehat untuk membangun masa depan bangsanya.

Sikap kaum nasionalis pada masalah buta huruf dimiliki pula ratusan orang-orang di pelbagai negara yang baru merdeka. Dengan usahanya jumlah orang-orang buta huruf yang berduyun-duyun untuk belajar makin bertambah, dan banyak orang-orang yang pandai baca tulis dikerahkan untuk mengajar sukarela.

Semangat yang tumbuh dari gerakan kemerdekaan nasional berbarengan dengan gerakan pemberantasan buta huruf. Tanpa itu diragukan apakah kampanye pemberantasan buta huruf akan berhasil cepat.

Dengan rangsangan-rangsangan usaha tersebut banyak juga yang tak mempergunakan kesempatan tersebut untuk belajar. Sebagian menganggap tak ada kegunaan belajar membaca. Yang lainnya lagi karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan sehari-harinya.

Hukuman Penyandang Buta Huruf

Sadar bahwa buta huruf menghambat kemajuan, maka disiapkan serangkaian hukuman bagi warga yang buta huruf atau tak mampu memperbaiki kualitas keberaksaraannya.

Di Rusia, penolakan untuk ikut kursus pemberantasan buta huruf diancam hukum denda, kerja paksa, kehilangan kartu makanan, atau dikeluarkan dari persatuan dagang.

Hukuman Tiongkok yang menolak program berantas buta huruf dikenai pajak yang diatur oleh Undang-Undang. Di Turki pemerintah mengumumkan bahwa lapangan kerja di pemerintah hanya tersedia bagi orang-orang yang dapat membaca dan menulis. Tidak bagi yang buta huruf.

Sementara untuk kasus Indonesia bisa kita kutipkan Mass Education Handbook, “Pada kenyataannya kepentingan negara menuntut setiap warga negara memiliki kemampuan membaca dan menulis.”

Karena itu dicoba jalan memaksa orang menjadi melek huruf dengan jalan perintah-perintah atau pengumuman. Bahwa setiap formulir diisi langsung oleh orang yang bersangkutan, dan memerintahkan setiap rumah dan tempat memakai papan nama.

Dalam satu kecamatan di Jawa, misalnya, lulus dari ujian pemberantasan buta huruf merupakan salah satu syarat untuk memperoleh izin nikah.

Pada masa pemerintahan Sukarno yg masih labil, penanggulangan tuna pendidikan waktu itu dikenal dgn pemberantasan buta huruf (PBH) atau kursus ABC. Bagian yang menangani buta huruf adalah Bagian Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK).

Pada 1951, misalnya, disusun program Sepuluh Tahun Pemberantasan Buta Huruf dengan harapan semua penduduk Indonesia akan melek huruf dalam jangka waktu sepuluh tahun berikutnya.

Namun, pada 1960, masih terdapat sekitar 40% orang dewasa yang buta huruf. Tahun 1960 dikeluarkan Komando Presiden Sukarno untuk tuntaskan buta huruf sampai tahun 1964. Hasilnya, 31 Desember 1964 penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf.  (Ali, 2007)

Di masa awal Orde Baru, Pembangunan Jangka Panjang Panjang Tahap I (PJP I) tahun 1969, buta huruf sudah menjadi titik sorot. Program seperti Program Paket ABC distimulasi untuk melawan aib buta huruf.

Rupanya, usaha semesta itu tak pernah berakhir, sebagaimana di Perancis. Aib itu di tahun 2011 masih bertengger di angka 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen dari jumlah penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun.

*Dipublikasikan pertama kali Koran Tempo, 12 September 2012, “Pendapat”, hlm A

Gerakan Membaca, Demokrasi dan Counter Hegemoni “Barat”

Oleh : David Effendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Sangat jarang kita temui dalam bacaan bahwa minat baca dihubungkan dengan pembangunan demokrasi dan politik di tanah air. Kedewasaan berpolitik dalam kultur demokrasi di negeri Indonesia seolah tidak ada titik temu dengan budaya membaca masyarakat. Hal ini bisa saja disebabkan bahwa kualitas manusia Indonesia atau indeks pembangunan manusia tidak dianggap mempunyai korelasi positif dengan tradisi membaca warganya.  Belum lama ini, Koran Tempo mempublikasikan data bahwa di tahun 2011 masih bertengger di angka 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen dari jumlah penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun (Koran Tempo, 12 September 2012). Artinya, kekhawatiran kita masih berada di titik dasar yaitu baru persoalan kemampuan membaca-menulis (literacy).

Saya setuju dengan pendapat bahwa buta huruf itu ‘AIB’ bangsa. Namun, bisa jadi angka buta huruf di Indonesia turun tetapi buta baca (bisa membaca, ada buku tersedia tetapi tidak mau membaca) inilah tragedi anak bangsa (‘buta huruf’ jilid 2) yang akan segera menyusul dan meruntuhkan bangsa. Situasi ini dibenarkan dengan temuan riset Taufik ismail (2003) yang kemudian popular dengan istilah ‘tragedi nol baca’ di Indonesia karena ternyata pelajar SMA di Indonesia tidak membaca karya sastra walau satu buah buku padahal karya sastra adalah sumber filosofi dan pengetahuan tentang nilai-niali agung budaya bangsa sendiri. Namun perlu diketahui juga bahwa membaca dalam konteks tulisan ini tidak hanya diartikan sebagai aktifitas membaca namun juga meliputi memahami, meneliti serta kemampuan menaganalisa bukan hanya dari texts tetapi juga dari realitas kehidupan sosial-budaya.

Situasi ini juga memperpuruk daya saing bangsa-bangsa sedang membangun seperti sebagian besar bangsa di kawasan Asia Tenggara sekaligus menjadi ‘mangsa’ empuk bagi Negara-negara imperealisme yang lebih awal mengalami proses kapitalisme seperti pada umumnya negara-negara liberal Barat (Eropa dan Amerika). Berbagai dampak ikutan dari rendahnya minat baca/tradisi membaca senantiasa menghantui kita diantaranya adalah efeknya terhadap pelaksanaan demokrasi semu, kekerasan, dan perasaan inferior anak bangsa berhadapan dengan dominasi dan hegemoni kebudayaan asing (barat, sekuler). Ketiga persoalan serius tersbeut akan dibahas sepanjang tulisan ini.

Budaya Baca dan “Demokrasi”

Kata Demokrasi yang berasal dari Yunani itu tidak bisa kita artikan sebagai 100% impor dari ‘budaya barat’ karena pada prinsipnya nilai-nilai demokrasi itu sudah melekat dalam tengah masyarakat yaitu adanya tradisi kekeluargaan, ramah tamah, gotong royong (partisipasi), tenggang rasa, dan menghargai perbedaan dalam berpendapat. Nilai toleransi yang seiring dan sebangun dengan nilai-nilai barat ini sudah dipercaya sebagai kebudayaan bangsa Indonesia. demokrasi yang mengajarkan permusyawaratan itu sudahtercantum dalam konstitusi negara yang tentu akan menjadi ‘kompas’ bagi perjalanan dan interaksi dengan bangsa lainnya.

Fakta membuktikan bahwa negara-negara yang lebih dewasa dalam berdemokrasi (toleran atas perbedaan, penghargaan atas hak-hak orang lain, dan partisipasi) mempunyai peringkat buta huruf lebih kecil dan minat baca jauh lebih tinggi. Artinya, tradisi membaca dan partisipasi politik mempunyai korelasi positif. 

Jika kita tengok para pendiri bangsa (founding fathers) dan pemikir kebangsaan republik ini, seperti Sukarno, Bung Hatta, Tan Malaka, Shahrir dan seterusnya mereka mempunyai karakteristik dan tradisi membaca sangat kuat bahkan banyak sumber mengatakan bahwa mereka ketika dikirim ke pembuangan dan selama di pembuangan dibekali dengan berpeti-peti buku serta menghasilkan berbagai jenis buku pemikiran yang sangat bermanfaat. Karakter dan kepribadian mereka jelas sangat ‘demokratis’ dan mampu mengejatahkan dalam kehidupan berbangsa sebagai pemimpin (negarawan).   Selain itu, karya pemikiran Sukarno yang dikenal sebagai Trisakti sangat relevan sampai hari ini untuk meneguhkan jati diri bangsa yaitu berdaulat dalam pemerintahan, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Budaya Baca dan Kekerasan

Akhir-akhir ini, setidaknya 10 tahun terakhir, kita sering kali dikagetkan oleh merebaknya berbagai peristiwa kekerasan baik atas nama alasan agama, ras/ethnis, dan alasan lainnya. Taruhlah contoh, di Ambon, Maluku, Palangkaraya, Jakarta, Jawa Barat, dan Madura. Kekerasan tersebut  seolah menjadi ekpresi kekecawaan baik karena negara maupun karena ekpresi anti-budaya Barat yang sekuler. Hal ini juga disebabkan kompleksitas hegemoni negara ‘super power’ seperti Amerika dan Inggris atas ‘negara-negara Islam’ seperti Palestina, Irak, dan Indonesia. Kecenderungan ekspansi kekeuasaan militer dan budaya menjadikan kelompok tertentu marah.

Kemarahan dan ekpresi kekerasan itu dalam batas tertentu dapat ditolerir namun apabila mengakibatkan situasi lebih kacau dan kerugian bagi masyarakat sendiri tentu ini akan patut diantisipasi. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru dan pola ini akan terus berlangsung dan berlanjut tanpa akhir sehingga peradaban manusia menjadi terancam. Kehidupan bersama sebagai desa global (globalized village) yang damai menjadi sulit tercapai seperti ungkapan jauh panggang dari api.

Keyakinan atas imajinai bahwa kita adalah satu entitas dalam satu planet bernama bumi dan dapat hidup berdampingan haruslah ditopang dengan pngetahuan yang cukup untuk memahami situasi multikulturalisme dan berbagai perbedaan karakter sosial-budaya di bumi. Salah satu cara memberadabkan pikiran kita adalah dengan sikap open minded, terbuka atas kebenaran lain dan hasrat ingin belajar sebagai proses tanpa akhir (unfinished processes). Karakter tersebut adalah karakter masyarakat pecinta buku yaitu masyarakat pembelajar yang bersikap moderat, inklusif melalui bacaan-bacaan dan pengetahuan yang didapatkannya.

Dalam hal budaya, mereka menganut kepercayaan bahwa mengetahui budaya lain dan menghargainya tidak berarti kita larut dan kehilangan karakter kebudayaan asli bangsanya. Dengan demikian, sikap eklusif yang mengantarkan kepada kekerasan itu sering diakibatkan oleh tertutupnya jalan pikiran atas kebenaran lain yang sebenarnya dapat didapatkan dari berbagai sumber informasi (buku). Tentu saja ini paradok, sebagai maysrakat yang menurut August Comte (year) sudah bergeser dari masyarakat mitos menuju masyarakat ilmu tetapi kita tidak terbuka atas khasanah pengetahuan yang telah disediakan/diwarsikan oleh para penulis, sastrawan, dan ‘ilmuwan’ dalam berbagai literature.

Budaya Baca dan Counter Hegemoni ‘Barat’

Ada banyak komunitas yang melakukan kerja-kerja panjang dan melalahkan untuk mencoba meningkatkan daya saing budaya bangsa menghadapi kebudayaan negative dari bangsa lain yang super power. Komunitas yang kecil dan massif itu sedang menghadapi banyak persoalan sinisme public dan Negara atas kerja-kerja sosial yang dilakoninya setiap hari. Taruhlah contoh, Rumah Baca Komunitas di Yogyakarta yang penulis juga aktif di dalamnya sangat gencar mengkampanyakan gerakan membaca dengan berbagai kegiatan di dalamnya. Termasuk kampanye melawan hegemoni industri televisi yang menyesatkan publik.

Pada suatu kesempatan diskusi di rumah baca yang bertajuk “tadarus gerakan Iqro (membaca) dianggap perlu melakukan proses  yang disebut "ideologisasi Gerakan Iqro". Inti dari diskusi adalah pentingnya nilai-nilai keislaman, keagamaan diinfeksikan ke dalam strategi gerakan membaca sehingga membaca tidak lagi sebagai kegiatan yang terpisah dari praktek ibadah seseorang. "Membaca adalah manifestasi keimanan," merupakan kata-kata yang cukup bertenaga muncul dari diskusi kali ini. Karena membaca merupakan implementasi keberaagamaan kita tentu kemudian nilai-anilai yang dihasilkan adalah nilai-nilai penghargaan atas manusia, keadilan, dan budaya luhur yang bersumber pada nilai-nilai dan tardisi lokal.


Selain itu, dirumuskan setidaknya ada 5 pilar untuk sukses gerakan Iqro, yaitu antara lain; Ideologi, Pelopor penggerak/komunitas, Perpustakaan/rumah baca, “Industri” Perbukuan yang ramah, dan terakhir adalah peran “Negara” (pemerintah). Menurutnya, kelima pilar itu harus berkolaborasi stau sama lain dan menjadi suatu kekuatan tempur untuk melawan pembodohan masyarakat (TV, hedonisme, kapitalisme, budaya negative lainnya).

Catatan Akhir

Dengan upaya revitalisasi gerakan membaca atau gerakan literacy di Indonesia kita ibarat sebuah ungkapan yaitu sekali dayung tiga atau empat tantangan dapat kita lewati. Peningkatan kualitas dan minat baca mampu membangun tradisi berdemokrasi lebih dewasa karena masyarakat mempunyai informasi lengkap dari berbagai bacaan. Selain itu hal ini mampu meminimalisir kekerasan akibat kesalahpahaman dalam mengakses informasi. Terakhir, gerakan membaca, apabila termanifestasikan dalam masyarakat secara integral (negara-civil society) tentu akan menjadikan anak bangsa tidak merasa inlander atau inferior menghadapai kompetisi global atau setidaknya kita percaya diri untuk mengembangkan budaya khas dan asli yang ada di Nusantara dan tidak silau dengan kebudayaan ‘asing’ yang hanya baik di kemasan dan miskin nilai folosofis.

Kriteria Kerja Manusia

Oleh : Fida Afif
Pegiat Rumah Baca Komunitas


Ada sesuatu yang menarik dengan kinerja manusia. Ada kalanya seorang manusia sangat semangat untuk melakukan sesuatu. Namun adakalanya juga sangat enggan untuk bergerak dan teramat malas. Semua itu bukan karena tidak disengaja atau tanpa ada penyebabnya. Semangat manusia ada kalanya naik, adakalanya juga menurun.

Hati adalah kunci dari perilaku manusia. Jika hati sedang bersemangat dan senang untuk melakukan suatu kegiatan, maka akan berdampak semangat juga bagi seluruh anggota tubuh yang lain. Akan tetapi jika hati sedang gundah dan tidak senang untuk beraktifitas, tentu semangat juga tidak muncul di anggota tubuh yang lain. Nah, hati manusia perlu untuk diatur agar dapat ditempatkan sesuai dengan kondisi yang semestinya.
Selain hati, fikiran juga mendapatkan posisi yang penting dalam menentukan semangat seseorang. Paradigma berfikir yang rasional dan sinergis akan mempertajam kinerja seseorang agar sesuai dengan nalar yang logis. Setiap perbuatan yang dilakukan didasarkan atas sederetan alur yang runtut. Antara sebab dan akibat dapat ditaksir dengan jelas. Dengan dilandasi berfikir yang logis tindakan yang dilakukan seseorang pun akan lebih jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk mengatur hati agar senantiasa stabil semangatnya untk melakukan suatu tindakan, ada beberapa hal yang sekiranya menarik untuk disimak. Pertama, suatu tindakan yang didasari rasa takut. Perbuatan atau tindakan yang didasari dengan rasa takut memang bisa dikatakan efektif untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, terutama bentuk kerja yang bersifat dari atasan ke bawahan. Bawahan yang takut dengan atasannya akan bekerja dengan cepat dan sungguh-sungguh, hanya saja hal tersebut berlaku tatkala sang atasan berada di hadapan bawahan. Dengan pengawasan dari atasan tersebut pekerjaan yang ditargetkan dapat selesai. Akan tetapi, pekerjaan akan menjadi terbengkalai jika sang atasan tidak berada di antara bawahan. Bawahan akan merasa tidak terawasi sehingga pekerjaanpun tidak terselesaikan.

Kedua, suatu tindakan yang didasari rasa senang. Perbuatan atau tindakan yang didasari dengan rasa senang akan terasa menyenangkan. Setiap moment dari pekerjaan yang dilakukan akan terasa gembira. Hasil dari pekerjaan yang dilakukan pun akan menjadi buah tangan yang penuh dengan kesenanga. Akan tetapi jika suatu tindakan hanya didasari rasa senang saja, tatkala kondisi hati sedang tidak senang maka pekerjaan yang dilakukan akan berkebalikan dengan yang dilakukan ketika senang. Bahkan hasil pekerjaannya bisa lebih jelek dari rasa ketidaksenangannya tersebut.

Ketiga, suatu tindakan yang didasari rasa ikhlas. Rasa ikhlas akan membawa setiap pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang lebih dinikmati. Setiap tindakan yang dilakukan dari tangan-tangannya tidak akan membutuhkan perintah ataupun dorongan dari luar. Terlebih lagi, pekerjaan yang dilakukan ketika tidak mendapatkan suatu imbalan pun masih akan tetap konsisten melakukan pekerjaan yang dilakukan. Memang hampir dikatakan sempurna suatu tindakan yang dilandasi rasa ikhlas, akan tetapi rasa ikhlas saja dirasa belum cukup tanpa rasa cinta.

Keempat, suatu tindakan yang didasari rasa cinta. Jika setiap pekerjaan yang dijalani seorang manusia dengan penuh cinta, maka sebenarnya ia sedang melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati. Semua curahan rasa dan karsa akan tertuangkan dengan terciptanya suatu karya yang penuh cinta. Biarpun tidak diawasi, tidak dibayar, bahkan tidak disuruh untuk melakukan tindakan ia akan tetap bekerja dengan sepenuh hati.

Tuesday, September 18, 2012

Journalist On Duty : All The President's Men


Resensi Buku All The President's Men

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Watergate mungkin hanyalah sebuah nama kompleks hotel, kantor di Washington DC, tapi nama ini merupakan saksi bisu dari kisah pengunduran diri pertama dalam sejarah kepresidenan Amerika Serikat. BBC bahkan membuka redaksi beritanya dengan mengatakan bahwa ini seperti sebuah pencurian, sabotase, penyusupan, pembobolan, penyadapan yang tidak berbahaya pada tahun 1972[1]. Richard Milhous Nixon, presiden Amerika Serikat yang ke-37 merupakan tokoh besar dibalik skandal Watergate.

skandal watergate bercerita tentang aktifitas penyadapan, pencurian dan sabotase di kantor komite nasional partai demokrat yang berada dalam kompleks watergate. Saat itu tepat pada 7 juni 1972, lima orang pria yang mencoba merengsek kedalam kantor komite partai demokrat berhasil ditangkap. Banyak yang tidak sadar akan betapa pentingnya kejadian ini dikala itu apalagi kelima penyusup tersebut adalah pendukung Nixon.  Carl Bernstein dan Bob Woodward, dua jurnalis muda berhasil menyeret skandal ini ke hadapan publik dan The Washington Post menjadi media pertama yang membahasnya.

Bernstein dan Woodward adalah dua jurnalis dari The Washington Post. Bernstein lahir pada 14 Februari 1944, dan Woodward pada 26 Maret 1943. Bernstein dan woodward bekerjasama mengusut skandal watergate dengan bantuan Deep Throat sebagai narasumber dan Alfred E. Lewis sebagai pelapor pertama detail skandal watergate. Skandal ini juga melibatkan cek senilai $ 25.000 untuk pemenangan Nixon sebagai presiden.

Buku All The President’s Men yang diterbitkan pada 1987 menjadi best seller yang memaparkan sepak terjang Bernstein dan Woodward. Kisah ini dimulai dari telepon seorang editor The Washington Post kepada Woodward. Woodward yang kala itu berharap mendapatkan tugas peliputan berkualitas, merasa berita penangkapan lima pria penyusup di watergate tidak masuk dalam kriteria demikian. apalagi Woodward sedikit tidak suka dengan bernstein yang dipergoknya sedang menangani kasus penyusupan tersebut. Namun kepiawaian keduanya berhasil disatukan, Bernstein yang diakui Woodward sebagai jurnalis dengan kemampuan pengambilan berita yang baik.

Buku ini banyak menyimpan pertanyaan menarik seperti ; apa sebenarnya bahaya penyusupan? Bukankah Woodward pada awalnya menganggap penyusupan ini hanya sebagai aktifitas kotor kecil saja?, kemudian bagaimana bisa cek senilai $ 25.000 untuk pemenangan Nixon bisa berada di rekening penyusup? Mengapa juga tiba-tiba tugas peliputan ini mampu menarik perhatian woodward?.

Semua pertanyaan menarik ini akan memuaskan para pecinta kisah misteri para pengungkap informasi. Dalam teks Jurnalis investigasi kisah Bernstein dan Woodward masuk kedalam contoh terpopuler. Kemampuan dan analisa yang tajam serta cermat telah membuka mata publik akan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Tugas jurnalis investigasi dalam mengungkap skandal yang menyangkut kepentingan hidup masyarakat begitu penting dan memerlukan keberanian. Salah-satu tulisan yang sempat mengulas mengenai skandal watergate bahkan mengatakan bahwa Bernstein dan Woodward telah membuka jalan keberanian jurnalis untuk berbicara sesuai dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK