Wednesday, July 29, 2015

Publikasi di Jurnal Internasional

Franz Magnis-Suseno
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta
KOMPAS, 09 Juli 2015

Sudah lama disadari bahwa Indonesia ketinggalan dalam output ilmiah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Maka, sekitar delapan tahun lalu, Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud mulai mengambil inisiatif untuk mengubah situasi itu.
Untuk menjadi guru besar, juga untuk bisa menerima ijazah doktor, dipersyaratkan harus ada publikasi di jurnal internasional! Bukan di sembarang jurnal internasional. Jurnal itu harus memenuhi "kaidah ilmiah dan etika keilmuan", terindeks di database internasional bereputasi, harus dalam bahasa resmi PBB (Arab, Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, Tiongkok, Jerman, Jepang bagaimana?), dewan redaksi harus pakar dari empat negara, harus memiliki versi online (supaya bisa diakses Dikti, tetapi apa semua jurnal ilmiah gengsi mau bisa dibaca online?), dan lain-lain.
Spesialis-generalis
Memang, di Jerman, misalnya, reputasi akademik calon guru besar diukur dari kualitas publikasinya. Untuk melamar menjadi guru besar di sebuah perguruan tinggi calon akan mengajukan publikasi-publikasinya, yang kemudian ditinjau oleh beberapa pakar dan akhirnya senat yang mengambil keputusan.
Namun, haruskah publikasi di jurnal internasional? Ambil kasus saya sendiri. Saya masih enak menjadi profesor: asal rajin mengumpulkan kum profesornya terjamin. Tahun 1994 kum saya melampaui 1.000, ya, jadi guru besar. Nah, di antara sekitar 65 publikasi saya segala macam di luar negeri (kebanyakan dalam bahasa Jerman, bahasa asli saya), yang saya temukan selama 46 tahun kegiatan akademis saya, hanya ada tiga (!) dalam majalah dengan standar ilmiah tertinggi. Dua dalam Zeitschrift fÜr philosophische Forschung, satu di Zeitschrift fÜr Missionswissenschaft und Religionswissenschaft.
Mengapa begitu sedikit? Bidang saya filsafat. Saya seorang generalis. Artinya, saya merasa cukup menguasai sejarah dan metode-metode pemikiran filosofis, dan di dua tiga bidang saya mampu menulis monografi. Namun, majalah filsafat berstandar prima di Jerman (sama di AS) tidak akan memuat tulisan tingkat generalis. Filsafat internasional adalah highly specialized. Orang, misalnya, tidak menulis tentang "filsafat moral Immanuel Kant", tetapi tentang "fungsi Zusatz tentang Faktum der Vernunft dalam deduksi Kant tentang imperatif kategoris".
Bagaimana mungkin kami yang jauh di Indonesia dan tidak terlibat dalam diskursus ekstrem spesialistik para filosof profesional di Eropa dan Amerika bisa menulis sesuatu yang mau diterima dalam jurnal-jurnal mereka? Lebih penting lagi, yang kita perlukan di Indonesia justru bukan spesialisme ekstrem itu.
Untuk mengembangkan filsafat akademik di Indonesia, kita justru memerlukan filosof generalis. Seorang filosof yang mampu mengantar para mahasiswa peminat filsafat ke dalam cara berpikir filosofis karena mempunyai wawasan yang menyangkut filsafat sebagai keseluruhan. Publikasi mereka harus generalistik! Mempersyaratkan publikasi di jurnal internasional tidak menaikkan mutu para akademisi kita, tetapi mencekiknya!
Ambil lagi filsafat. Sejauh saya tahu hanya ada dua universitas negeri besar (UI dan UGM) yang punya program studi (prodi) filsafat. Jadi, kalangan filosof Indonesia masih amat terbatas. Padahal, untuk mengembangkan filsafat bermutu, kita perlu profesor-profesor. Saya sedih dan, terus terang, marah melihat kolega-kolega muda yang bersemangat dan berbakat sudah sejak bertahun-tahun terhambat jadi guru besar. Situasi di banyak ilmu lain, terutama yang non-eksakta, kiranya tidak jauh berbeda.
Karena itu, penundaan keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) terdahulu-yang mewajibkan para calon doktor melakukan publikasi di jurnal internasional, dengan penambahan SKS di prodi magister dan doktor-oleh Menristek-Dikti baru adalah langkah bijaksana. Sebenarnya aneh juga kalau pemberian gelar doktor atau magister dibikin bergantung pada lembaga di luar perguruan tinggi yang bersangkutan, misalnya dari kesediaan redaksi suatu majalah.
Menilai kualitas akademis mahasiswa jelas tugas dan kompetensi perguruan tinggi di mana dia belajar. Buat apa perguruan tinggi diakreditasi kalau tak bisa meluluskan mahasiswanya?
Metode palu
Peningkatan produktivitas ilmiah staf akademis kita tak akan dicapai dengan metode palu. Untuk jadi guru besar cukup dipersyaratkan empat tulisan ilmiah state of the art yang dipublikasikan di Indonesia. Atau sebuah monografi yang betul-betul mengesankan (setingkat Habilitationsschrift di Jerman), yang kemudian dinilai, misalnya, oleh empat guru besar yang pakar, dua di antaranya dari luar universitas yang bersangkutan.
Hal yang memang perlu adalah agar di perguruan tinggi masing-masing diciptakan suasana, di mana para dosen dapat melakukan penelitian (pustaka): ada kantor pribadi, perpustakaan yang bagus, dan jumlah kuliah tidak berlebihan (studi penelitian apa yang mau diharapkan kalau dosen diandaikan mengajar 12 jam per minggu seperti sekarang?).
Dikti tidak salah kalau mau memotong kemungkinan penipuan, plagiat, dan korupsi dalam pemrosesan pelbagai kenaikan. Namun, apakah masuk akal menuntut bukan hanya semua ijazah, melainkan semua transkrip nilai juga harus diperlihatkan? Bagaimana kalau seorang doktor yang sudah mengajar 20 tahun, yang akhirnya bisa menjadi guru besar, sudah hilang beberapa transkrip masa S-1-nya dulu?
Apalagi tulisan! Tulisan bukti kegiatan ilmiah diharuskan diserahkan secara fisik ke Dikti (dan saya mendengar, tak pernah dikembalikan) dan kalau mau dipakai untuk kredit kenaikan pangkat malah masih harus juga diunggah: entah (dulu) langsung ke laman Dikti atau ke laman perguruan tinggi bersangkutan. Yang harus diunggah bukan hanya halaman depan, daftar isi, serta halaman pertama dan terakhir, melainkan fulltext, semua halaman, dengan pemborosan pekerjaan dan listrik (scanning!) luar biasa. Apakah Dikti menyadari bahwa proses pengunggahan itu dapat dituntut sebagai pelanggaran undang-undang hak cipta? Lucu lagi, surat-surat bukti itu harus diunggah berulang kali, ya, setiap kali dibutuhkan lagi. Bureaucracy in overkill mode?
Kiranya sudah waktunya Dikti, dalam rangka revolusi mental, melakukan konsultasi dengan dunia perguruan tinggi sendiri untuk mencari cara pembuktian prestasi ilmiah yang proporsional. Suatu peningkatan etika dosen ataupun nafsu penelitian dan publikasi lebih mudah akan tercapai dengan perbaikan kondisi-kondisi kerja serta dengan mengandalkan semangat para ilmuwan kita sendiri, terutama para ilmuwan muda. ●

Kilas Jejak Langkah RBK 2012-2015


2013: gerakan literasi emansipatif
1. Mendukung kberadaan bacaan di komunitas "merginal"
2. Membuka dan menawarkan akses buku bacaan bermutu untuk komunitas "rentan"
3. Mempromosikan ide ide emansipatif melalui wacana bagi pegiat literasi dan melalui website www.rumahbcakomunitas.org
4. Merumuskan pembelajaran anak melalui kegiatan RBK for Kidz untuk menanamkan nilai cinta damai, cinta keluarga, kampung, dan cinta bangsa
5. Bekerjasama dengan komunitas yang punya kesamaan visi misi
6. Mempelajari pendekatan apresiatif inquary dan mencoba mempraktikkan dalam komunitas
7. Kecil bergerak betul betul menjadi spirit komunitas. Diskusi tak harus massal dan banyak peserta.

2012: Learning community
Apa yang dilakukan adalah antara lain: 
1. Pembelajaran alternatif untuk menolak secara tidak langsung komodifikasi pendidikan/liberalisasi lembaga pendidikan
2. Menciptakan komunitas yang peduli pendidikan
3. Merintis perpustakaan milik komunitas yang inklusif
4. Menanamkan nilai rela berbagi buku dan pengetahuan
5. Sinergisitas dengan lembaga yang sudah ada di lokasi (TPA, masjid, sekolah, dll)
6. Membangun sinergisitas dengan komunitas yang punya kesamaan visi misi
7. Menanamkan minat baca anak dengan cara yang menyenangkan ( memberikan hadiah: nonton film inspiratif, game, dll)
8. Membangun basecamp komunitas sebagai pusat interaksi pegiatnya

Rumah Baca Komunitas : Mengubah Buku Pribadi Menjadi Buku Komunitas

25/07/2015 | Aktivitas Mitra
Dua anak sedang membaca buku di padepokan RBK. foto: dok. rbk
Berawal dari kegelisahan terhadap rendahnya minat baca di Indonesia, didirikanlah Rumah Baca Komunitas (RBK) pada tanggal 2 Mei 2012, bertempat di Kota Pelajar Yogyakarta. Inisiator utama adalah David Efendi, seorang dosen dari salah satu universitas di Yogyakarta. Saat ini sekretariat RBK berada di Sidorejo, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul.
RBK terinspirasi dari orang-orang terdahulu yang ‘gila’ baca, seperti Leon Trotzky, Sukarno, Hatta, dan Pramoedya A. T. Mereka dikabarkan membawa berpeti-peti buku saat pengasingannya. Hal ini sangat berbeda dari keadaan orang Indonesia saat ini yang dapat dikatakan telah mengalami tragedi nol baca.
Membaca harus menjadi semangat baru. Membaca adalah bagian dari iman dan sebagai manifestasi sosial harus ada terobosan baru untuk menyulap perpustakaan pribadi menjadi perpustakaan komunitas. Kehadiran rumah baca ini juga diharapkan mampu mempromosikan nilai-nilai perdamaian melalui ragam buku bacaan dan karya tulis lainnya.
Ada yang unik dari komunitas ini. Buku-buku perpustakaan RBK selain berasal dari hibah atau pemberian, juga berasal dari koleksi pribadi. Seseorang bisa berbagi dengan menitipkan bukunya di sana. Buku tersebut tetap milik personal, tapi bisa dipinjam dan dibaca oleh semua orang atau pengunjung. Sikap rela ini sangat vital dalam gerakan literasi termasuk trust di dalamnya.
Rumah Baca Komunitas telah memiliki lebih dari seribu judul buku, e-book, dan majalah. Buku-bukunya bertema psikologi, politik, sastra, kebudayaan, hukum, sosial, ekonomi, motivasi, seri remaja, anak-anak, life skill, dan beragam genre lainnya. Diperkirakan koleksi di RBK sebanyak 6 ribu dan juga tersebar di beberapa mitra rumah bacanya di Lamongan, Klaten, Bantul, Maluku, Garut, Kulonprogo, dan Magelang
Aktivitas RBK meliputi Kampanye Gerakan Literasi, Advokasi Kebudayaan, dan Pemberdayaan Umum. Kampanye terdiri dari Malam Budaya dan RBK On the Street (OtS). RBK OtS merupakan perpustakaan keliling deperti di taman kota, pinggir jalan, dan lokasi lainnya yang ditentukan secara tentatif setiap minggu pada pukul 05.30-10.00 WIB.
“(Kegiatan eksternal) Akan dimulai lagi selepas Ramadhan” kata Dullah, dari Divisi Pengembangan Manusia RBK, saat dikonfirmasi. (Nurfi)
sumber: http://edupost.id/aktivitas-mitra/read/rumah-baca-komunitas-mengubah-buku-pribadi-menjadi-buku-komunitas/

NgabubuREAD

NgabubuREAD
Pengalaman berburu buku hari ini. Kalendar dengan follower terbesar di jagad mencatat hari ini 12 juli 2015
Kalender yang penuh misteri sebetulnya tapi kita ikuti sahaja.

Perburuan sore hari ini sebenarnya adalah perburuan akhir pekan yang pahit. Beli buku artinya tak beli "simbol lebaran": baju dkk
Kawan baikku, belum dapat THR dan mungkin gak ada THR tapi ngebet ngajak berburu kambing. Aku gembira ternyata bukan hanya saya.
Aku tahu, kambing dan hujan yang menggoda mimpiku sejak pekan lalu
Siang tadi niat berburu kambing di sela sela kesibukan mengoreksi paper mahasiswa
Itikaf tadi siang terasa asik di dekat kost mas Kumis. Selalu asik kamar yang penuh dengan buku bukan baju. Ya. Seasik orang orang terbaik di dekatku yang gila buku. Siang malam berburu buku.
Dunia yang dilipat dalam buku buku. Profesor yang tersembunyi dalam serat2 halus. Ya. Gairah dunia perbukuan menyenangkan memang. Desain2 sampul menyapa mata dan pikiran kita. Dahsyat.
Novel berkemajuan dan berkeutamaan dari karya Andrea Hirata. Ayah dijudulinya. Novel Paulo Coelho yang bermacam warna, Simbol2 dalam judul karya Dee. Surga tak dirindukan dan sebagainya. Oh tak mungkin nafsu terobati hari ini. Mem-Foto sampulnya adalah obat penawar. Kebiasaanku sejak ada kamera di HP.
Kemarin di Social agency. Sore ini di toga mas. Amazing. Dunia yang sangat bergairah. Deretan buku buku laiknya di altar pengetahuan. Tak bisa dilewatkan.
Buku buku bentang, komunitas bambu, Yoi, gramedia, KPG, LP3ES, adalah sebagian kecil penerbit yang tak boleh dilewatkan. Berburu apa yang baru dan apa yang belum kita punya.
Sesekali foto bareng cover. Jepretan om Kumis yang kece itu ngangenin. Hati gembira di dalam showroom buku.
Saatnya berbuka. Sholat di toga mas dengan kamar pasnya. Asik dan lanjut membayar buku2 yang udah dititip di kasir.
Kambing dan hujan dah di dekapan, buku karya Peter Carey perihal Takdir diponegoro dan novel surga yang tak dirindukan dah dipeluk oleh om Kumis. Semoga lestari bahagia bersama buku. Mudik menjadi penuh makna.
Salam ngabubuREAD

Literapedia RBK edisi Juni 2015

Literapedia RBK edisi Juli 2015--rubrik khusus disiarkan dari kalibedog
Tahukah kamu dunia literasi di Indonesia?
Indeks reading per capita 0,36 % di bawah malaysia dan Vietnam. Jumlah penerbit buku 90% di Jawa. Toko buku hanya sebanyak 1500 artinya jarak antar toko buku sepanjang 1.281 km. 80 %toko buku ada di Jawa. Jumlah perpustakaan di Indonesia sebanyak 61.477 dan 60% di Jawa (36.929). Masih sangat banyak desa yang tak punya perpustakaan. Selamat berjuang kalau begitu dan jangan pernah puas dengan keadaan! @mabacaKomunitas

LiteraPedia edisi juli 2015

-------------------------------
LiteraPedia edisi juli 2015
-------------------------------
Peter Carey dan Diponegoro
Dua nama besar ini seolah telah menyatu sebagai peneliti berdedikasi dan pelaku sejarah penting. Peter Carey merupakan sejarawan Inggri yang menghabiskan lebih dari 30 tahun mencari pangeran dipenogoro terkait perang jawa atau perang diponegoro. Pernah mengajar di universitas Oxford dan menjadi profesor tamu di FiB UI, Jakarta.
Buku Takdir: riwayat pangeran diponegoro 1785-1855 merupakan karya dari disertasinya yg diterbitkan serentak dua bahasa di Indonesia dan Inggris. Karya Carey ini dianggap PM Laksono sebagai juru selamat terhdap "monumen kearifan budaya dunia yang nyaris remuk dimakan rayap dan lenyap oleh buta sejarah bangsanya." PangetHuan sejarah Carey thd pangeran diponegoro telah melampaui sejarawan di dunia (menurut Ricklefs). Diponegoro sendiri sebagai sultan Erucokro dinobatkan Ricklefs sebagai tokoh indonesia terbesar abad 19. Carey telah menemukan "takdir" dan apa yang dipahami diponegoro tentang apa itu "takdir" dan bagaimana melakoninya.
----Diolah dan diracik dari berbagai sumber oleh Tim literapedia RBK-----

Reuni dan penyegaran kebudayaan


David Efendi, pecinta etnografi

Wah lebaran dah habis rupanya. Saatnya berbagi kisah. Sedianya aku tulis dalam cerita panjang ini. Kira kira judul kerennya itu : reuni dan penyegaran kebudayaan. Setidaknya cerita ini mengingatkan pada spirit bersaudara, silaturrahmi dalam bentuk yang paling kontemporer: reuni. Juga bagian dari aktualisasi makna mudik dan hari raya di kalangan anak muda terdidik baik yang sekolah atau yang bekerja di luar negeri (bahasa asing bagus dan well informed).
Yup. Kampungku memang dari tahun 60an sudah mngalami islamisasi luar biasa dan sangat homogen afiliasi partai dan ormasnya. Antusias sekolah ke kota tinggi dan juga bekerja keluar negeri bagi lulusan SMA atau bahkan guru pun berangkat ke malaysia tuk bekerja lalu pulang dan kembali menjadi guru. Kebudayaan malaysia terasa dekat dengan kami semua sejak kecil. Ratusan orang mudik ke kampung jelang puasa sampai habis lebaran. Tercatat tahun 2013 warga desa saya di malaysia 600an. Perkiraan sekarang 800 penduduk. Wajar saja, rumah sangat bagus2 dan bisa membiayai sekolah anak anaknya sampai perguruan tinggi. Tahun 1960akhir 6 orang desa saya masuk malaysia lewat cara illegal keluar masuk hutan, laut, rawa, dan akhirnya berhasil menjadi warga sana. Lambat laun generasi berikutnya ikut mencari sukses di sana.
Sejarah singkat itu dikemukakan oleh pak Hazim, ketua ikatan perantaian warga godog yang ada di malaysia, dalam sambutan acara reuni 2 syawal 1436 yang dihadiri dua bupati sekaligus yaitu bupati lamongan dan Bojonegoro yang ditempatkan di lapangan perguruan Muhammadiyah Godog. Kurang lebih 1000an warga hadir dalam acara syawalan pekerja di malaysia ini.
Kontribusi pekerja malaysia ini sangat besar rupanya. Bangunan sekolah, jalan, masjid, musholah, gapura, cakruk, alat pertanian, dll didatangkan dari malaysia dan atas derma warga desa pekerja disana. Bahkan, kepala desa dua periode ini dipimpin mantan TKI yang 19 tahun bekerja di malaysia. Dalam sambutan pak bupati lamongan, kepala desa kampung saya menyabet penghargaan kepala desa terbaik di lamongan. Gaya merakyat dan ndeso-nya menjadikan banyak orang "akrab". Ke rumah kepala desa bisa bertelanjang dada, tanpa alas kaki sudah sngat oke.
Bupati Bojonegoro, kang yoto pun memuji kadahsyatan desa Godog dan juga peran pekerja malaysia dari Godog. Kang Yoto pernah diundang ke malaysia oleh teman2 teman Godog yang ada di malaysia dengan bendera PRIM Kampung Baru. Keakraban pun terjalin langgeng dan bahkan kang Yoto mau menghadiri syawalan H+1 di desa Godog padahal beliau pasti punya banyak tamu di bojonegoro.
Anak anak muda dan tua, termasuk saya, sudah sangat akrab dengan istilah reuni sejak saya kecil. Setiap ramadan dan syawal isinya reuni dan reuni. Kadang reuni itu berupa buka bersama, jalan jalan wisata, makan ketupat dan syukuran dari rumah ke rumah. Untuk yang teman seangkatan yang sukses juga sangat antusias berbagi. Reuni bisa berlapis lapis: teman madrasah, aliyah, pondok, teman smp dan sebagainya. Anak anak muda telah menyesuaikan istilah pluputan atau silaturahmi dengan padanan kata lain yaitu "reuni" ---bersatu kembali.
Situasi lain dapat dilaporkan dengan singkat. Bahwa sawah sawah makin memyempit itu fakta. Bahwa geliat pertanian makin surut, hasil tani tak menggembirakan memang iya. Jalanan desa mulus, rumah dan kendaraan bagus bagus, mobil mewah banyak, gadis gadis dan anak muda wajahnya sangat terawat juga fakta. Anak anak mengalami dewasa lebih cepat ini perlu penjelasan yang ilmiah. Tolo baju dan peralatan kecamtikan ada. Seorang guru smp memakai baju lebaran seharga 1 juta lebih tidak menjadi "aib". Kesederhanaan telah mengalami pergeseran makna.
Suara sapi dan kembing tak lagi akrab di telinga. Nampaknya makin jarang memelihara ternak dan lebih memilih memelihara TV,motor, kulkas, mesin cuci, mobil, dan gadget mutakhir tuk anak anak yang masih TK. Ayam masih sesekali terdengar teriakannya. Inilah desa yang hilang "kedesaannya". Suasana menjadi kayak di kota dalam fasilitas. Syukur pasar tradisional masih bertahan dan tak ada indomart atau alvamart. Di desa desa sebelah dan jl kecamatan udah menjamur rupanya.
Wah dah lumayan panjang ini. Perihal reuni yang makin bermakna dah dibahas, tinggal apa ada ihwal penyegaran kebudayaan? Masih sedikit kali dibahas. Tapi memang itulah "faktanya", kita butuh terobasan baru untuk mendapatkan bentuk bentuk praktik kebudayaan yang segar dan memajukan. Misal, jika reuni bagian dari kontekstualisasi makna silaturahmi oke!. Bagaikana dengan cakruk, pasar trdisional, kyai kampung, sungai, sawah, makna terdidik? Apakah semua ini ada yang mencoba untuk menyegarkan ingatan dan praktik merawat kebajikan? Tentu etalase dan artefak kebudayaan desa harus diejawantahkan dengan suatu yang lebih segar. Misalnya filosofi "ono rino ono upo" (ada siang ada nasi) adalah bagian dari trimo ing pandom dan syukur yang bisa mengilhami kekuatan berbagi jika punya lebih.
Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah tentu merupakan mantra yang telah populer diajarkan di sekolah madrasah ibtidaiyah yang tak akan terlupakan. Etos memberi kaum terpelajar telah menjadi bagian dari kehidupan sehari hari. Keluarga jawa juga demikian, punya rasa kepedulian dalam interaksi bahkan melalui pintu halaman rumah (Jan Newberry, 2013).
Dalam masyarakat yang mengais dan mendapatkan rizki dari negeri jiran nampak otonominya dalam urusan politik. Mereka sehari hari tidak terintegrasi langsung dari kebijakan ekonomi negeri sendiri tapi pleh negeri Malaysia. Walau hal ini tak sepenuhnya benar, tapi nyata krisis 1997-8 itu justru mnjadikan masyarakat Godog membelanjakan uang untuk membeli motor baru akibat ringgit menguat terhadap rupiah. Orang malaysia di godog ini tak kenal krisis 1997 yang ganas itu. Mereka juga tak was was rezim Suharto tumbang, lengser keprabon.
"Otonomi relatif" ini juga tak sepenuhnya punya kekuatan thd guncangan karena biar bagaimana pun perpolitikan dalam negeri telah melakukan exspansi di tengah masyarakat sehingga semua hal diharapkan terdampak dari centang perenang kebijakan negara (negaranisasi).
*Diketik di sela sela silaturrahmi lebaran 2015 di WA

Apa kata tentang RBK?

Cerita saja. Literasi itu menarik Perkenalan dengan Literasi


Hafidz Afandi
Dua atau tiga bulan, lalu saya bertemu dengan Cak David Efendi, salah satu mantan pentolan IPM yg kini jadi akademisi di UMY, beliau mengenalkan saya dengan gerakan literasi yang dirintisnya dan kawan-kawan, bernama Rumah Baca Komunitas
sebuah komunitas yang menarik, di dalam komunitas ini mereka mencintai buku dan ilmu di dalamnya dengan sangat mesra, di grup wa-nya hampir tak pernah absen setiap hari merekomendasikan bacaan-bacaan bermutu, Saya baru beberapa kali berkesempatan kesana, menarik semuanya serba sederhana tetapi penuh makna, obrolan-obrolan dalam setiap perjumpaan bukan sekedar beradu pengetahuan, melainkan hampir semua berusaha mengkontruksi dirinya masing-masing dengan buku,
ada keunikan-keunikan yang saya sendiri tak pahami dari kultur yang sedang dibangun komunitas ini, Dan, mungkin mudah untuk mereplikasi semangatnya tapi pasti berat mereplikasi prosesnya. Di mulai dari kecintaanya pada buku, teman-teman RBK beranjak untuk berbagi, bahkan berbagi harta yang paling dicintainya, yaitu "BUKU". Kutu buku, RBK lebih dari itu?
Saya, jadi ingat dulu sejak sma banyak kawan-kawan di PII yang gila buku, aku pun hampir sama, sejak sma dulu selalu bergelut dengan setumpuk buku-buku, di masa kuliah sama, rela, rela tak punya apa-apa asal masih sanggup beli buku, dengan perjuangan berat untuk dapat buku rasanya sayang kalau sampai hilang, ini bak harta terakhir saya, toch tetap saja dari berdus-dus kira2 hampir separonya melayang terutama saat di bawa ke acara basic training HMI, pasti melayang hampir separo.... tak ikhlas rasanya, tapi ya bagaimana lagi.
DI RBK, sebaliknya sejak awal si para empunya buku mewakafkan aset pribadinya untuk komunitas. ntah, jangan bayangkan sistemnya secanggih perpustakaan kampus. yang ada sistem demokrasi, pilih sendiri, catat sendiri bawa sendirim, kembalikan sendiri, aneh....! padahal di perpus betapa ribetnya pinjam buku belum denda yang membayangi kalau telat, saat pernah ku tanya, "kok bisa sebegitu mudahnya?", teman-teman menjawab, "kita belajar percaya dan melatih kejujuran saja, pembaca buku, penggila buku pasti orang pintar, seharusnya beretika", jadi malu dengan prinsip kami dulu yang niru-niru gus dur"orang bodo itu yang mau pinjemin buku, tapi lebih bodo lagi orang yang dipinjemi buku malah balikin,"
ada juga sharing bang dollah namanya, aktivis gerakan turun tangan ini berbagi via wa saat dia habis kumpul dengan anak-anak gerakan literasi lainya dia bilang (karena sudah ke hapus jd izin pake bahasa saya) "saya sebenarnya punya cita-cita merubah bangsa ini dengan dirikan partai yang revolusioner, ngapai hanya main-main dengan anak-anak yang sekedar pengen bagi-bagi buku.... tapi setelah bertemu dan sharing dengan penggiat literasi agaknya saya jadi berfikir, perubahan harus dimulai dari buku, biarkan anak-anak baca buku dari awal, hingga mereka lahir menjadi generasi yang sadar, tak mungkin cita-cita dirikan partai revolusioner tanpa generasi yang revolusioner, dan tak mungkin ada generasi revolusioner tanpa dimulai dari buku"
Nasib perpustakaan pertama ku Alangkah indahnya, saya jadi teringat pula dengan sosok pembimbing kami saat remaja di tegal, pak Ratmana Sutjiningrat yang saat itu selalu konsen dengan dunia buku, sastra dan pendidikan, beliaulah yang mendukung remaja masjid angkatan mas dan mbak ku dulu buat perpustakaan masjid yang menarik, isinya tak cuma quran dan fikih, tapi novel dan buku-buku pemikiran sampai komik, dari hasan al banna, sayyid qutub, yusuf qardhawi, ali syariati, ayatullah khomenei, iqbal, hingga marx, pram, anton chekov, sayang, seiring dengan semakin sepuhnya beliau saat aku beranjak remaja ia "lemari perpustakaan itu" sudah tinggal sisa-sisa, dan saat aku kuliah syukur ia masih digudang masjid, Tidak dibakar atau di loak.... semoga jd jariyah beliau yg terus mengalir di diri kami yang sempat menikmatinya, "alm. SN. Ratmana"
semoga gerakan literasi tumbuh berkembang dimana pun manusia indonesia ada, sehingga kelak kita bisa berharap punya satu generasi baru yang berkesadaran, #optimis...! #terima_kash_RBK yang Mengggugah kesadaran (entah kenapa tiba-tiba menulis ini panjang lebar daripada bebal edit proposal, itung-itung nebus dosa dan menghibur diri)

Wednesday, July 8, 2015

Belajar Pada Hamka dan Platon tentang Puasa

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Buya Hamka, seorang ‘Ulama besar penulis kitab Tafsir Al-Azhar juga berujar bahwa bulan ramadhan merupakan bulan istimewa. Hamka, kira-kira berujar begini, “Tidak ada waktu di mana orang-orang dapat ikhlas menjalankan perintah untuk menunda makan-minum, serta nafsu seperti saat bulan ramadhan”. Hamka melanjutkan pendapatnya seraya sedikit mengaku jenaka “saya saja kalau diminta menahan minum kopi susu di pagi hari terasa berat..Di tengah keinginan badaniah, aturan-aturan tertentu membuat manusia berkehendak sebaliknya. Dari kehendak yang seharusnya dia penuhi; jika lapar maka makan, jika haus maka minum, manusia melakukan yang sebaliknya yakni puasa. Dinamika internal demikian sangat dekat dengan deskripsi jiwa ala Platonian.
Dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat mengenai dinamika puasa menurut tinjauan jiwa ala Platon dan Hamka. Pertanyaan umum yang akan melandasi tulisan ini adalah bagaimana menjelaskan puasa menurut konsep jiwa Platon dan Hamka?. Bagaiamana puasa sebagai konsep “menahan kehendak nafsu-nafsu” dapat menjadi jalan untuk meneliti dinamika jiwa internal manusia ala tripartisi Platon dan konsep jiwa menurut Hamka?. Platon dan Hamka menekankan tentang kemampuan manusia melampaui apa-apa yang mengikat dirinya. Makan, minum, serta hasrat seksual adalah apa-apa yang mengikat manusia. Ketiga jenis aktivitas alamiah manusia tersebut integral dengan hasrat-hasrat dasariah, sehingga tidak jarang kita jumpai beberapa pemikiran menekankan pentingnya latihan untuk mengontrolnya. Platon misalnya mengatakan bahwa jiwa (psukhe) adalah gerakan, dan gerakan tersebut adalah tiga hal yakni, epithumia (nafsu-nafsu rendah)thumos (jiwa yang agresif), dan logistikon (jiwa rasional) (A. Setyo Wibowo, 2010: 36).

Sekilas Tentang Platon dan Hamka
Platon, seorang filsuf Yunani lahir di Athena tahun 428/427 SM dengan nama asliAristokles. Sedangkan nama Platon berasal dari guru olahraganya (A. Setyo Wibowo, 2010: 16). Sebagai salah-satu murid yang pernah belajar selama 8 tahun pada Sokrates, Platon dikenal sebagai filsuf yang menggambarkan figur Sokrates sebagai “tidak tahu apa-apa”. Dalam hal ini, Platon memegang peranan penting dalam proses penciptaan citra Sokrates yang demikian. Di Indonesia, nama Platon mungkin terdengar asing, karena lazimnya disebut Plato. Pada tahun 387 SM Platon merupakan mendirikan lembaga pendidikan yang bertahan hingga 9 abad lamanya, yakni Academia. Hingga hari ini, Plato dianggap sosok yang sangat penting dalam diskusi-diskusi seputar iman dan akal. Abad 12 misalnya, dianggap sebagai abad di mana gaya Platonian sangat kuat dalam diskursus tentang iman dan akal yang menyatu (Franz Magnis-Suseon, 2005:15).
Platon seorang filsuf yang menekankan pentingnya hidup berkeutamaan, yakni kemampuan mengontrol jiwa selaras dengan pencerahan rasio. Menurut Platon,manusia selalu terarah pada kebaikan, namun kebaikan itu sendiri memiliki nilai yang benar-benar baik. Misalnya manusia dengan alat dirinya selalu melakukan kebaikan yakni kapasitas untuk menggunakannya sebagai alat mendengar, alat melihat, alat merasa, alat berbicara. Tetapi kenyataannya, nafsu-nafsu rendah manusia selalu mengarahkan kemampuan inderawi tersebut kepada hal-hal yang tidak selalu benar-benar baik. Kadang-kadang mata sebagai alat melihat digunakan keutamaannya untuk membuat pertimbangan terhadap status seseorang melalui pakaian. Kadang kita melihat seseorang secara brutal melalui cara berpenampilannya, atau melalui atribusi fisik lainnya. Dalam hal demikian, Platon menyarankan manusia untuk “merawat jiwanya”. Karena, terdapat pra-eksistensi manusia berupa jiwa-murni di alam baka, jauh sebelum manusia lahir ke bumi. Pada saat itu manusia berupa jiwa-murni kemudian turun ke bumi, dan bersemayam di dalam daging yang fana.
Kata filsafat menurut Platon adalah “kebaikan yang datang dari para dewa”. Platon mengasumsikan manusia sebagai makhluk yang terdorong untuk menyerupai para dewa, atau juga yang-Ilahiah. Manusia adalah makhluk mortal dan penuh dengan rangkaian kehidupan yang tidak mudah. Sehingga, manusia mendamba kehidupan dewa yang abadi dan penuh kebahagiaan. Hasrat manusia tersebut membuat yang-Ilahi menghadiahkan rasio untuk manusia. Ketika manusia dianugerahi rasio, dia menjadi makhluk yang sepenuhnya paradoks. Pada satu sisi, dirinya tahu bahwa dirinya adalah makhluk yang tidak dapat sempurna berpengetahuan. Sedangkan pada sisinya yang lain, dia ingin mendekati keilahian dengan pencarian ilmu pengetahuan. Oleh karena itu filsafat bagi Platon adalah “bergerak menjadi”, dalam hal ini Setyo Wibowo (2010:27) menyebut definisi Platon sebagai “mengabaikan dirinya sendiri”. Dengan demikian menurut Platon hanya berfilsafatlah kegiatan yang sesuai dengan martabat manusia (Franz Magnis-Suseon, 2005:107).
Setyo Wibowo menggambarkan periode konteks di mana Platon lahir yakni sebagai “Athena yang demokratis pelan-pelan meredup”. Demokrasi Athena yang perlahan meredup itu juga pada akhirnya terkait dengan kenyataan pahit bagi Platon saat gurunya, Sokrates dihukum mati.
Hamka merupakan nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Hamka dikenal sebagai seorang ‘Ulama, Jurnalis, Sastrawan, Filsuf, Aktivis, Sejarahwanhingga Politisi. Berbagai macam atribusi tersebut melekat pada Hamka karena dua sebab. Pertama, Hamka pada dasarnya memang seorang yang memiliki perhatian luas terhadap berbagai hal. Oleh sebab perhatian yang luas tersebut, tidak jarang Hamka menulis dan mengkaji berbagai persoalan. Dari sisi publikasi karya, Hamka sudah menerbitkan sekitar 118 karangan dalam bentuk buku dan artikel. Atribusi sebagai seorang ‘Ulama melekat pada Hamka karena beragam sebab, karangan intelektualnya sebagai seorang ‘Ulama dikenal luas. Salah-satu yang dianggap paling monumental adalah Tafsir Al-Azhar. Kitab tafsir itu bahkan sedemikian populer hingga hari ini. Dan disebut-sebut sebagai kitab tafsir pribumi yang terbaik dan teliti (bebas) dari berbagai kontroversi historis.
Sebab kedua, atribusi atau gelar tersebut diperoleh melalui hasil kajian terhadap tulisan-tulisan Hamka. Ketika Hamka disebut sebagai “filsuf”, salah-satu karangan ilmiah yang menyebut itu ialah karya Abdul Haris dengan Etika Hamka(2010)Pembuktian terhadap pemikiran etika Hamka memberikan kita penjelasan mengenai posisi Hamka dalam berbagai tulisannya. Misalnya Tasawiuf Modern, Falsafah Hidup, Pandangan Hidup Muslim, dan beberapa karangan lainnya.
Hamka lahir di Maninjau Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908, dan wafat pada tahun 1981. Hamka hidup dalam tiga masa yang berbeda. Pertama, Hamka hidup pada masa kolonial. Hamka hidup pada momen kebangkitan gerakan Islam dan gerakan nasionalisme yang sedang menguat di Indonesia.Kedua, Hamka hidup pada masa transisi antara masa kolonial Belanda, Jepang, menuju ke masa proklamasi Indonesia. Ketiga, Hamka hidup dalam masa di mana pergolakan antara rezim Soekarno dan rezim Soeharto. Konteks historis antara ketiga waktu tersebut hanya cara sederhana untuk membagi situasi sosial-budaya hingga ekonomi-politik Indonesia saja. Lebih daripada itu, ada konteks tertentu yang dapat diperhatikan secara terperinci. Satu hal penting untuk memperhatikan konteks historis ini terletak pada kemungkinan kita untuk memahami pemikiran Hamka dalam bidang filsafat.

Titik Temu Platon dan Hamka
Antara Platon dan Hamka terdapat dua hal yang mirip. Pertama, Platon dan Hamka sama-sama memberikan penekanan pada aktivitas “merawat jiwa”. Platon digambarkan sebagai filsuf yang memberi penekanan penting terhadap aktivitas merawat jiwa sebagai konsekuensi logis dari nilai tinggi jiwa rasio manusia. Hamka, sebagaimana yang tampak paling tidak dalam tiga karangannya; Tasauf Modern, Falsafah Hidup, dan Lembaga Hidup juga menekankan pentingnya merawat jiwa.
Hamka dalam Pelajaran Agama Islam (1996:xi) menyatakan:
“Maka banyak soal-soal yang tidak dapat dicarikan jawabnya manusia dengan usahanya sendiri..karena perjalanan akal dan fikiran itu terbatas..alat-alat (akal dan fikiran, pen) yang ada pada manusia tidak cukup buat melampaui batas itu..sedang manusia masih tetap ingin hendak sampai ke sana.”
Kedua, Platon dan Hamka sama-sama memiliki perhatian terhadap proses mendidik jiwa sebagai konsekuensi dari proses merawat jiwa.
Ketiga, Platon dan Hamka memiliki definisi yang serupa berkaitan dengan arti rasio atau akal. Bagi Platon, rasio adalah sais yang mengikat atau mengendalikan kereta kuda yang diseret oleh dua jenis kuda berbeda. Kuda hitam (epithuma) dan kuda putih (thumos) mewakili sifat yang berbeda-beda. Kuda hitam mewakili nafsu-nafsu rendah seperti makan, minum, dan seks. Sedangkan kuda putih mewakili hasrat harga diri. Hamka juga mengartikan rasio atau sebagai “ikatan”. Hamka dalam Falsafah Hidup (2015:16) berkata “(akal) ibarat tali yang mengikat unta..tali mengikat unta supaya tidak lari, akal manusia mengikatnya pula supaya tidak lepas mengikuti hawa nafsu”. Memang Platon mengatakan akal sebagai “sais”, sedangkan Hamka menyebutnya dengan “ikatan” atau “tali”. Pengandaian itu bermuara pada satu kesan tunggal, yakni; akal atau rasio sebagai “pengendali”.Berkaitan dengan rasio atau akal, Platon mengalamatkan asalnya dari “pemberian dewa” atau “pemberian yang-Ilahi”. Hamka juga menyatakan bahwa asal dari rasio atau akal ialah “inayah dari Allah”.
Keempat, antara Platon dan Hamka memandang jiwa manusia selalu dalam kondisi konflik internal. Hamka menyatakan “akal dan hawa, dua kekuatan yang bertempur di dalam diri kita” (Falsafah Hidup, 2015:59).

Puasa Seorang Platonian
Tripartisi jiwa tersebut disinggung seperlunya guna menjelaskan tentang konflik-konflik diri manusia. Konflik antara jiwa-jiwa yang bertentangan. Misalnya, saat diri menginginkan makan dan minum, tetapi aturan ketaatan memerintahkan kita untuk menundanya. Konflik antara tiap diri tersebut dijelaskan oleh Platon melalui tripartisi jiwa.
Maksud puasa, menurut Hamka adalah “supaya hubungan dengan Tuhan terpelihara”. Apakah hubungannya dengan pengendalian tripartisi jiwa?. Puasa merupakan “perbuatan” atau aktivitas yang dapat meneguhkan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Dalam konteks demikian, Hamka hendak menjelaskan makna laallakum tattaqun. Keteguhan jiwa pada yang Ilahi dijelaskan oleh Hamka saat manusia insyaf bahwa yang dapat memerintah dirinya hanyalah yang Ilahi. Dan saat keinsyafan itu mengantarkan manusia taat berpuasa, timbul dalam dirinya perasaan kebersamaan dengan Tuhan, sehingga hubungannya semakin kokoh. Dengan berpuasa, manusia dapat menguasai jiwa, sehingga hubungan dengan Tuhan terpelihara.
Kunci hidup Arete atau Excellent menurut Platon tergambar dengan jelas melalui kalimat sederhananya “kenalilah dirimu, dan jangan berlebih-lebihan” (A. Setyo Wibowo, 2010: 31). Pembahasan mengenai tripartisi jiwa Platonian berangkat dari pertanyaan seputar diri yang hendak dikenali oleh manusia. Penyelidikan tentang diri, menjadi pertanyaan yang terus menimbulkan minat. Letak penting mengenali diri melalui apa yang kita sebut jiwa disebabkan oleh peran penting jiwa terhadap keputusan-keputusan manusia. Jiwa adalah semacam agen moral dan rasional yang menentukan keputusan-keputusan manusia. Sehingga, menjadi sangat penting bagi setiap orang untuk mengenal dan merawat jiwanya supaya keputusan-keputusan hidup dapat diarahkan pada peningkatan kualitas-kualitas manusia.
Saat manusia lapar dan haus, ada yang merasa menderita rasa kurang. Itu bukan “apa”, “siapa”, atau “sesuatu”, melainkan kodrat. Platon menghindari penggunaan atribusi materi untuk menjelaskan jiwa. Oleh karena itu, untuk menjelaskan peristiwa lapar dan haus pada manusia, Platon menjelaskan makna jiwa sebagai “dia yang menggerakkan dirinya sendiri” (autokineton). Dalam perkara puasa, saat manusia menderita lapar atau haus, peristiwa di dalam dirinya tidak sekedarkebutuhan untuk memperbaiki sel mati, atau memberikan asupan nutrisi bagi tubuh. Melainkan juga aktivitas konflik internal. Saat manusia lapar, haus, atau menginginkan aktivitas seksual, dia tidak dapat mensegerakannya. Alasan di balik penundaan manusia tersebut menjelaskan bahwa terdapat dorongan-dorongan tertentu yang menentukan pilihan manusia. Misalnya, karena perintah agama untuk berpuasa, maka orang yang lapar atau haus akan memutuskan menunggu waktu berbuka puasa. Dorongan-dorongan tersebut mencegah seorang yang berpuasa untuk segera menegak segelas air atau menyantap soto ayam.  
Contoh orang berpuasa untuk menjelaskan tripartisi jiwa termasuk konflik-konfliknya cukup menjanjikan. Saat orang berpuasa, rasa lapar, rasa haus, dan keingingan untuk menunaikan kewajiban saling berkonflik. Dorongan alogistikonakan memaksa manusia menuruti sifat mortal dan irasional, tetapi tidak berarti bahwa dorongan logistikon tanpa hasrat sama sekali. Logistikon dapat menderitasesuatu (pathos) juga melakukan sesuatu (ergon). Hasrat dalam dorongan logistikon tetap melibatkan proses berpikir yang rasional. Proses tersebut menghasilkan hasrat spesifik yang akan membimbing seseorang memutuskan perkara berdasarkan timbangan yang teliti. Oleh karena logistikon mengandung sifat pathe yakni menderita sesuatu, dia dapat melakukan (ergon) melakukan sesuatu. Misalnya dengan berpuasa, orang menjadi peka terhadap penderitaanorang lain. Baik dalam konteks rasa lapar dan haus yang diderita kaum papah, atau konteks melatih jiwa sehingga berkemampuan menyingkap kebenaran di balik realitas yang tampak rutin dan wajar.

Hamka dan Prinsip Platonian
Penyelidikan mengenai jiwa dan fungsi-fungsinya serta pengelolaannya tidak saja menjadi minat Platon. Hamka, yang juga membaca pendapat-pendapat Platon tidak dapat dipungkiri dipengaruhi oleh Platon atau yang disebut Hamka denganPlatonisten (Hamka, Tasawuf Modern, 1990:37). Meski dalam karangannyaTasawuf Modern, lebih tampak secara eksplisit Aristoteles daripada Platon.Maksud Hamka dengan Platonisten mungkin saja adalah Sokrates dan Platon.Empat sifat Platonisten yang disinggung oleh Hamka adalah hikmat, keberanian, kehormatan (‘iffah), dan adil. Kebahagiaan menurut kelompok Platonisten disebabkan oleh empat sifat utama manusia tersebut. kesuburan pokok pada empat sifat keutamaan tersebut akan “menumbuhkan banyak dahan dan ranting”(hlm.38)Empat sifat keutamaan yang demikian akan merawat manusia pada penderitaan-penderitaan.
Pokok-pokok pikiran Platonian tersebut digunakan Hamka untuk menjelaskan anasir-anasir kebahagiaan. Penderitaan manusia disebabkan oleh tubuh sebagai tanda dari jiwa terikat. Padahal selama jiwa tidak diganggu oleh nafsu-nafsu yang membuatnya menderita keinginan-keinginan, jiwa dapat mencapai kebahagiaan. Penafsiran Hamka demikian sangat jamak ditemukan dalam interpretasi-interpretasi pemikiran Platon (bdk, T.M. Robinson, Platon Psychology, 1995). Dalam Phaidon, “pendengaran, pandangan, rasa sakit, rasa nikmat” dapat mengganggu jiwa (A. Setyo Wibowo, 2010:72).
Hamka menyatakan bahwa untuk dengan menggunakan rasio atau akal, manusia dapat membebaskan diri dari kehendak nafsu-nafsu rendah. Hamka menyatakan “kepada akal itulah bersandar segala perkara yang wajib dia lakukan atau wajib dia tinggalkan” (Falsadah Hidup, 2015:8). Rasio atau akal membuat manusia harus melakukan apa yang tidak dia kehendaki. Saat berpuasa, tubuh menghendaki pemuasan-pemuasan tertentu seperti makan, minum, dan aktivitas seksual. Tetapi manusia yang memilih berpuasa (lengkap dengan segala peraturan-peraturan yang melarang pemuasan tersebut) akan menunda pelaksanaannya (makan, minum, seks). Puasa juga melarang berkembangnya hasrat harga diri dari jiwa (thumos) yang berlebihan. Artinya saat orang berpuasa, kehendak untuk memamerkan ibadah tidak diperbolehkan. Akal harusnya menuntun manusia untuk tidak berperilaku riya’ dalam ibadah.  
Optimalisasi fungsi akal atau rasio dalam mengatur konflik internal jiwa menurut Hamka sama pentingnya dengan yang diungkap oleh Platon. Puasa, sebagai proses latihan atau proses melatih diri, dan jiwa.  

Bibliografi
Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Penerbit Republika, 2015.
______, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
______, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996.
Hamka, Irfan, Ayah, Kisah Buya Hamka, Jakarta: Penerbit Republika, 2013.
Setyo Wibowo, Agustinus, Arete: Hidup Sukses Menurut Platon, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010.
____________________ (Penerjemah dan Penafsir), Mari Berbincang Bersama Platon: Keberanian (Lakhes), Yogyakarta: iPublishing, 2011.
_____________________ (Penerjemah dan Penafsir), Platon; Xarmides (Keugaharian), Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2015.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK