Showing posts with label Podjok Literasi. Show all posts
Showing posts with label Podjok Literasi. Show all posts

Sunday, September 6, 2015

Cerita di bawah Pohon Mangga (1)

Fauzan A Sandiah, pegiat RBK
Tepat setengah tahun yang lalu sewaktu bicara soal perpustakaan jalanan, tidak terpikirkan nama "Alun-Alung Kidul". Beberapa teman pada awalnya menawarkan Sunmor sebagai alternatif tempat membuka perpustakaan jalanan. Waktu itu saya ingat Indra dan Mascu bilang "sunmor itu nanti kita bisa sekalian jogging gitu, di sana juga rame banget..".
Pembicaraan malam minggu itu sedikit lama soal lokasi perpustakaan jalanan buat esok pagi. Kopi aceh, gorengan, dan kacang-kacangan sisa kerja bakti pagi hari masih tersedia. begini ceritanya bisa nekad buka perpustakaan jalanan di Alkid. 
Indra: "perpustakaan jalanan itu bisa jadi jalan biar RBK dikenal"
Mascu: "kalau saya sih ngak penting bisa dikenal, tujuannya itu yang penting lho ndra...kira-kira kita nanti bentuknya mau gimana?"
Saya: "iya, tujuannya itu yang penting..tujuannya kan biar buku-buku ini dekat sama pembaca..."
Indra: "Oh iya, biar buku ketemu orangtuanya gitu kan? hahaha"
Saya: "nah begitu juga oke"
Mascu: "indra ikut-ikut pak david aja..trus gimana cara nge-disain perpus jalanannya?"
Indra: "kita butuh banyak orang nih..besok sunan-sunan bisa bangun pagi ngak?..kita butuh banyak personel"..
Saya: "kamu nanti ngak usah tidur ndra, ini dah jam 2..kita nonton trus jam pagi berangkat ke sunmor"
Mascu: "Bang, sunmor itu kejauhan ngak?. dah pasti susah ngumpulin sunan-sunan RBK yang lain ntar pagi.."
Indra: "lho kok gitu, aku dah nyiapin sesuatu buat di sunmor"
Mascu: "tapi itu kejauhan..di Alkid aja gimana bang?" 
Indra: "Alkid cuma banyak lari pagi aja..tapi boleh juga sih. soalnya di Alkid juga kan jarang orang buka stand selain buat jualan..hehe.."
Saya: "aku ikut kalian berdua aja..enaknya gimana..yang jelas, kita yang harus siap di sana dulu baru bisa kontak teman-teman biar ngak kelamaan. nanti juga siapa tahu andan, cak david sama kak wiek bisa ke Alkid..".
Indra: "kita foto aja trus kirim ke WA"..
(Bersambung).

Thursday, September 3, 2015

Catatan ROTS


Fauzan A Sandiah, Pegiat RBK

Memperjuangkan ruang terbuka adalah pekerjaan yang asik. RBK On The Street (rots) tidak dirintis lewat diskusi satu malam. Rots bukan legenda tentang sebuah bangunan bersejarah yang diceritakan dalam legenda muncul begitu bangsa Jin membantu aristokrat.
Rots dirintis dari diskusi kecil tentang mimpi. Lewat pahit kopi tanpa gula. Lewat cerita membeli buku yang mengesankan. Juga lewat diskusi gerakan literasi selama 4 tahun rbk.
Rots Hari INI merupakan perjalanan panjang dari mimpi kecil yang dibentuk bersama lewat bentuk yang awalnya terlihat "Tak konkret".

Orang boLeh bertanya apa yang dilakukan RBK hingga Hari INI. Biasanya mereka bertanya "apa yang konkret RBK telah lakukan?". Pertanyaan itu tidak pernah mengganggu Saya. Seperti yang mereka lihat, ketika bicara soal mimpi, segala "yang konkret" seketika ITU berkuasa. Kita terbiasa dengan yg konkret, sampai sampai bicara mimpi seperi bicara tntang tidur Siang yang panjang. Itu berbeda.
Dari rots Hari INI Saya menangkap banyak Hal. Tentang pentingnya sebuah kesabaran Dan mimpi. Tentang pentingnya bersikap asik. Dan yang paling adalah kebahagiaan dalam setiap kondisi. Bukan karena suka membuat keramaian makanya rots dibentuk. Melainkan karena keramaian selama INI telah menjadi sesuatu yang jauh dari manuSia sebagai seorang seniman. KEtika Kita menerima rasa damai Dan kesabaran dalam setiap perjuangan, Maka keramaian adalah konsekuensi yang Tak perlu dipersoalkan.

Rots mngajarkan Saya bahwa hidup adalah bertanya reflektif di antara keramaian atau kesunyian. Tentang apa Arti penting pergerakan yang ramai karena tepuk tangan atau ramai karena kebersamaan kecil. Tentang bahagianya kemenangan kecil. Menabung kemenangan.
Hari INI tentu saja Kami masih sedih dengan kehadiran tukang parkir yang menggunakan troatr depan tikar plastik rots. ITU tentu saja memang menyesakkan. Tetapi mnjdi bukti baHwa Kita perlu melihatnya sebagai bagian dari perjuangan yg terus reflektif. Kenyataannya korporasi melakukan penindasan yg lebih Daripada tukang parkir. Jdi bukan perkara besar jika tukang parkir menceplok lahan terbuka. Karena kelas menengah Juga mencari peruntungan di tengah masyarakat "kecil".
Rots semoga kau mnjadi semacam kebahagian dI Hari minggu yang menyenangkan.


Podjok Literasi

Lutfi Z Kurniawan, Pegiat RBK

Dulu, setiap kali membuat acara senang sekali rasanya kalau diliput media. Merasa bangga, keren, gaul, maqamnya naik karena acara yang dikerjakan mendapat perhatian dari media mainstream. Diliput media mainstream berarti bisa dibaca dan diketahui oleh banyak orang. Harapannya sih bisa menginspirasi banyak orang kemudian ditiru di berbagai tempat.
Kurang afdol rasanya kalau membuat acara tapi tidak masuk media mainstream. Sehingga panitia bekerja keras menyusun acara yang punya nilai berita walaupun terkadang tak terlalu substantif acaranya. Asal rame, meriah, dan gemerlap menyedot perhatian khalayak. Bahkan kalau diingat-ingat keinginan diliput dalam media mainstream itu membuat panitia harus berkompromi diantara mereka sendiri untuk membuat acara yang "jangan berat-berat" karena potensinya untuk mencuri perhatian khalayak itu kecil, sehingga kecil pula kemungkinannya untuk diliput media.
Tentu baik dan tak salah acara itu diliput media. Apalagi penyebaran informasi dari media mainstream menjangkau lebih banyak kalangan. Syukur-syukur kalau liputan yang diturunkan turut menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan atau kegiatan-kegiatan serupa. Menjadikan wacana yang diangkat menyebar lebih masif sehingga diketahui lebih banyak orang. Namun ada jebakan yang dulu tidak saya sadari. Keasyikan memburu supaya acara diliput media membuat saya lupa untuk menuliskan refleksi dengan bahasa dan perspektif saya sendiri tentang kegiatan yang saya terlibat di dalamnya.
Padahal kita sama-sama tahu bahwa ruang yang ada di media mainstream begitu terbatas. Liputan yang dituliskan di sana tentu saja tidak bisa sepanjang refleksi yang kita buat sendiri dengan bahasa dan perspektif kita. Apalagi informasi yang kebanyakan diproduksi oleh media mainstream bukan diproyeksikan untuk memberdayakan, melainkan memperdaya warga supaya giat mengkonsumsi dan menaruh perhatian pada isu-isu yang diagendakan media, yang seringkali menggeser fokus substansinya ke remeh-temeh di seputarannya. Kalau 50 tahun yang lalu sumber persoalan kebudayaan kita adalah ignorance (ketidaktahuan), barangkali sekarang sumber persoalan itu adalah banalitas (kedangkalan/remeh-temeh).
Menuliskan refleksi menggunakan bahasa, perspektif, dan pemaknaan kita sendiri tentu menjadi begitu penting untuk memperkaya makna pada setiap kegiatan yang kita lakukan atau jalani. Menulis refleksi menjadikan kita produsen yang tak sekedar mengkonsumsi informasi. Tapi sekaligus memberikan pemaknaan sesuai konteks kebutuhan kita sendiri.
Menuliskan refleksi membawa kita masuk ke sebuah dunia yang terlihat lain, terdengar lain daripada isi media-media yang setiap hari mengepung kita. Lebih jauh individu atau komunitas atau warga yang menulis refleksi sesungguhnya sedang melawan untuk dikuasai. Karena mereka mampu menciptakan wacana dan membentuk dunia dengan bahasa khas mereka sendiri.

Refleksi Sekolah Literasi (Bagian 1)


Lutfi Zahwar, pegiat Podjok Batca

Sekolah Literasi pertama yang diselenggarakan oleh Rumah Baca Komunitas (selanjutnya disebut RBK) berakhir senin 31 Agustus 2015 dengan materi Praksis Advokasi Gerakan Literasi Terhadap Kaum Tertindas yang difasilitatori oleh Kang Dwi Cipta dari Gerakan Literasi Literasi menorehkan bekas yang dalam pada diri saya. Bekas yang mendalam itu yang kemudian membuat saya memutuskan untuk membuat refleksi singkat tentang Sekolah Literasi yang saya ikuti di RBK.
Menyesal rasanya tidak bisa mengikuti Sekolah Literasi dari pertemuan pertama tanggal 21 Agustus karena masih berada di Kediri. Tetapi beruntung saya bisa mengikuti kelas kedua sampai kelas terakhir. Sekaligus saya mendapatkan kesempatan yang tidak terduga untuk menjadi salah satu fasilitator di kelas ketiga karena David Efendi yang seharusnya menjadi fasilitator mengikuti konferensi di Davao, Filipina.
Menjadi fasilitator tentu saja memberikan banyak pelajaran bahwa saya masih harus banyak belajar. Untung saja waktu itu ada Ahmad Sarkawiyang membantu menjelaskan dengan cukup detail latar belakang lahirnya RBK serta nilai-nilai apa yang diperjuangkan. Menurut Om Wiek, panggilan Ahmad Sarkawi di RBK lahir karena adanya semangat untuk berbagi. Membuka akses seluas-luasnya bagi siapapun untuk bisa mengakses pengetahuan. Menjadikan buku sebagai kepemilikan pribadi menjadi milik bersama di komunitas. Buku yang sebelumnya privat disosialkan.
Om Wiek juga menjelaskan bahwa dalam perjalanan keberadaan RBK yang saat ini sudah berumur tiga tahun. RBK sempat mengalami beberapa transformasi gerakan untuk menemukan formula gerakan yang lebih pas guna menjadi gerakan literasi yang transformatif. Di periode kedua ketika di Jalan Paris (selanjutnya disebut mahzab paris) RBK mengorientasikan keberpihakannya pada kaum-kaum marjinal yang disisihkan oleh masyarakat. RBK membuka diri seluas-luasnya kepada kelompok-kelompok waria, anak gelandangan, dan pekerja seks komersial untuk mendapatkan bahan bacaan, akses pada ilmu pengetahuan. Sedangkan di saat yang sama perpustakaan negara melakukan diskriminasi terhadap mereka. RBK ingin memperlakukan mereka sebagai layaknya manusia, tidak melakukan diskriminasi.
Kemudian apa yang membedakan RBK dengan taman baca-taman baca pada umumnya. Dalam diskusi di Podjok Batja, Cak Daviid pernah menyinggung bahwa gerakan yang diinisiasi di RBK adalah model gerakan baru yang memberikan nafas baru dalam gerakan literasi. Ia menyebutnya sebagai gerakan post taman baca yang hanya menyediakan buku. RBK dengan mengusung dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan, anti diskriminasi, anti kekerasan, berpihak pada mereka yang tertindas tidak saja menyediakan buku untuk bisa diakses. Namun juga secara rutin mengadakan diskusi rutin dua kali seminggu, Diskusi Reboan dan Diskusi Jumat Sore (DeJure) yang banyak mengangkat isu-isu tentang nilai-nilai yang diusungnya.
Tentang Gerakan Post Taman Baca yang disebut oleh David Efendi.Fauzan Anwar Sandiah dalam kelas kedua dalam Sekolah Literasi yang mengangkat topik Dinamika Gerakan Literasi. Sayang dalam pertemuan itu saya datang terlambat sehingga tidak bisa mengikuti dari awal penjelasan menarik dari Fauzan tentang dinamika gerakan literasi. Namun beruntung malam harinya saya berkesempatan mengulang materi yang disampaikan sambil berbincang santai di kafe. Fauzan membagi dinamika gerakan literasi menjadi tiga bagian penting. Pertama gerakan literasi yang berfokus pada meningkatkan minat baca masyarakat. Kritik Fauzan Anwar Sandiah terhadap gerakan ini selain karena tidak kontekstual dengan realitas sosial yang dihadapi masyarakat, bahkan kerap kali dijadikan lahan basah proyek bagi yang berkuasa untuk mengeruk keuntungan. Kedua, gerakan literasi yang berorientasi pada pengembangan dan peningkatan skill, misal saja pelatihan komputer, membaca dan menyusun laporan keuangan.
Tentu saja gerakan itu bagus apalagi jika sesuai konteks dan kebutuhan masyarakat dalam sistem ekonomi yang berkembang seperti sekarang. Namun lebih penting lagi jika tahap kedua itu dilanjutkan ke tahap ketiga, gerakan literasi kritis transformatif. Sebab kalau tidak gerakan literasi model kedua hanya akan menyediakan tenaga terampil yang akan menjadi penopang sistem kehidupan yang instrumentalistik industrial. Gerakan literasi model ini tidak hanya berorientasi, meminjam istilah Karlina Supelli, memproduksi manusia yang semata-mata mampu survive, beradaptasi dengan lingkungan demi keselamatan diri. Melainkan menumbuhkan pemikiran baru, merangsang pemikiran kritis. Ini adalah kemampuan khas manusia untuk mengkreasi budayanya, menangani realitas, menambahkan hal-hal baru, bahkan mengubahnya.
Sebagai model gerakan literasi post taman baca, RBK ingin menjadi tempat disemainya model pendidikan dan pembelajaran gaya baru. Seperti dikatakan David, gagasan sekolah literasi yang diadakan RBK bukan didesain untuk teknikalisasi atau fabrikasi komunitas yang rentan dengan proses mekanistik yang tidak apresiatif kreatifitas dan proses evolusi ilmiah. Mendesain dan mempraktikkan model belajar manusiawi dengan interaksi non doktriner serta menghargai keragaman peserta belajar. Sekaligus membuat Model gerakan literasi seperti itulah yang dalam pandangan saya akan membuka dan menumbuhkembangkan pemahaman kritis mengenai permasalahan apa yang terjadi, kenapa bisa terjadi, dan bagaimana kemungkinan upaya pemecahan yang bisa dikerjakan dalam dunia ini terus berubah. Sekaligus membuat dunia tempat kita hidup mendapatkan kehadiran seseorang yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya.

Proses seperti ini akan menjadikan gerakan literasi model baru seperti RBK sebagai tempat berdialog dengan realitas, bukan semata-mata pengalihan pengetahuan tentang realitas. Pemahaman dialogis ini juga berarti pelibatan subyek di dalam membentuk sejarahnya sendiri. Melalui proses berdialog dengan realitas, seseorang akan mampu merekonstruksi dan merevisi kepemahamannya mengenai dunia secara terus menerus. Ia akan lahir sebagai mahluk yang terus menerus mencipta diri, atau secara sederhana, mahluk pembelajar seumur hidup. Dari proses inilah lahir subyek otonom yang tidak lepas dari konteks sosial-kulturalnya, dan konteks kehidupan secara menyeluruh.

Refleksi sekolah literasi: Memaknai Kehidupan

Ahmad Sarkawi, pegiat RBK

Proses yang dilakukan bersama dalam sekolah literasi sangatlah membahagiakan, membangun semangat berbagi merupakan ciri yang penting untuk tidak dilupakan. Dialog setiap manusia yang berada dalam ruang bersama sekolah literasi tentu saja memberi makna setiap kita, namun yang menjadi indah dalam sekolah literasi adalah tumbuhnya cinta dan kasih sayang antar sesama modal dari benih-benih kepercayaan antar sesama.

Dalam proses yang dilakukan pada setiap pelatihan atau sekolah kita sering mendengar kontrak belajar dan pemetaan kekhawatiran. Tetapi bila saya memfasilitasi yang disebut “kontrak belajar” saya selalu menggantikan dengan kesepakatan bersama sedangkan pemetaan kekhawatiran saya menggantikan dengan kekuatan kepercayaan. Sederhananya jika menggunakan pemetaan kekhawatiran itu berangkat dari asumsi kecurigaan sedangkan menggunakan kekuatan kepercayaan adalah berangkat dari asumsi kekuatan Trust yang ada pada setiap individu yang mengikuti proses berbagi pengetahuan dan pengalaman bersama. Penggunaan kontrak belajar ini lebih pada pilihan kata saja sebenarnya namun saya punya alasan tidak mengunakan kata belajar, diajar dan sebagainya yang menggunakan kata dasar ajar. Karena menurut subjektif saya kata ajar menjadi relasi tidak setara. Maka saya menggunakan kata berbagi pengetahuan dan pengalaman, asumsi saya setiap orang mempunyai pengetahuan dan pengalaman dengan kekuatan berbagi maka pengetahuan dan pengalaman setiap individu bisa diramu menjadi pengatahuan dan pengalaman bersama sebagai proses berbagi dalam kehidupan.

Melalui sekolah literasi mengingatkan saya bahwa berbagi tidak mesti melihat ke siapa kita berbagi namun lebih pada proses refleksi terhadap perjalanan kemanusiaan kita semata. Misalnya seperti cerita masa kecilku : pada hari jumat hampir 20 tahun yang lalu seorang laki-laki datang menuju kerumah kemudian menyampaikan niatnya pada bapakku bahwa dia mau menginap dirumah padahal laki-laki itu belum ada yang mengenalnya di tengah keluargaku, semua anak-anak keberatan jika laki-laki itu menginap di rumah. Tapi saat itu bapak menyampai dengan suara yang tenang “laki-laki itu adalah malaikat yang akan menyempurnakan amal ibadah kita”. Akhirnya kita semua menerima, hampir satu minggu laki-laki itu menginap. Anehnya bapak tidak ada kekhawatiran sedikitpun, terus aku protes saat itu dengan berbagi kekhawatiranku namun bapak selalu menang. Bapak memberikan penjelasan kepadaku “kamu harus menghilangkan kekhawatiran dan kecurigaan kepada siapapun walaupun itu sangat kecil, belajarlah untuk percaya kepada semua orang bahwa semua manusia di dunia ini adalah baik”.

Sekolah literasi tidak sekedar mengenal tulisan dan bacaan namun lebih jauh dari itu semua, yaitu proses memahami setiap makna kehidupan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis kemudian melahirkan berbagi aksi nyata sebagai bentuk komitmen terhadap kemanusiaan kita.

Condang catur, 4 September 2015


Wednesday, August 19, 2015

Kegembiraan dalam Perpustakaan Jalanan


RBK on the street 9 agustus 2015

Rahayu Dwiningsih, Mahasiswa UMY

Alhamdulillah program RBK on the street berjalan lancar. Kegiatan ini diadakan setiap hari Minggu mulai pukul 06:30 hingga pukul 11:00. Ada beberapa tambahan yang dijalankan. Pertama, kami membuka ruang mewarnai gambar bagi pengunjung anak-anak dan memamerkan karya mereka di area hotspot. Bagian ini mendapat sambutan yang cukup baik dari para pengunjung. Terlebih karena kami juga menghadiahkan para peserta sebatang pensil dan 5 bungkus permen.
Kedua, kami juga menyediakan beberapa koran harian. Kami berasumsi bahwa dengan disediakannya bacaan koran-koran, orang-orang menjadi lebih berminat mendekati titik RBK on the street. Dan faktanya, orang-orang memang berdatangan menyerbu dan mengakses informasi yang berkaitan dengan RBK, termasuk masalah-masalah teknis seperti soal keanggotaan, peminjaman buku, dan lain-lainnya.
Pengadaan perpustakaan jalanan atau RBK on the street juga membagikan brosur berisi informasi mengenai RBK pada yang lalu lalang dan mereka yang menyambangi area RBK on the street. Kami merasa optimis bahwa program ini sangat bermanfaat terutama bagi mereka yang memiliki minat pada dunia literasi.
Peminjaman buku yang gratis dan tanpa tenggat waktu, tanpa menyerahkan kartu identitas sebagai jaminan, tanpa ada kewajiban mengembalikan buku yang sudah dipinjam saat hendak kembali meminjam, membuat respek para pembaca pada RBK on the street menjadi tinggi. Semua barangkali karena pihak RBK menerapkan azas percaya—azas yang tak kenal syak wasangka. Dan kami, kelompok KKN 06 UMY, merasa terhormat dan bangga menjadi yang dipercaya mengelola. Meskipun, terus terang saja, kami menaruh sedikit cemas sebab bagaimanapun juga buku-buku yang kami bawa adalah amanah dari pihak RBK.
RBK on the street kali ini agak sedikit berbeda. Sebab, pelaksanannya bertepatan dengan kegiatan 17-an di Dusun Sidorejo, tempat kami live in selama KKN. Karenanya, saat itu kami membagi dua energi: sebagian kelompak KKN 06 standby di Alkid, sebagian lainnya segera kembali ke Dusun Sidorejo untuk berpartisipasi dalam kegiatan 17 Agustusan.
Hal menarik lain dari RBK on the street adalah bahwa pada pelaksanannya, kami kerap berdiskusi tentang banyak hal dengan para pengunjung. Pada kegiatan ROTS minggu kedua ini, misalnya, kami kedatangan salah satu tamu tak terduga. Tubuhnya sudah tak tegap. Sulur-sulur keriput memenuhi wajahnya. Uban di kepalanya pun tampak seperti kopiah haji yang menutupi. Usianya pasti tak kurang dari 70 tahun.
Kami berdiskusi tentang lanskap kota Jogja dari mulai sejarah politik, sosiologi, hingga kuda yang sampai kini masih menjadi salah satu alat transportasi. Sesi yang paling menarik adalah saat ia mengisahkan kota Jogja semasa mudanya: Jogja yang lengang namun hidup dan semarak, Jogja yang minim petugas kebersihan namun justru lebih ramah lingkungan.
Membengkaknya laju pertumbuhan penduduk memang membawa banyak persoalan. Kita memang belum mengalami krisis pangan. Namun masalah hunian, macet kendaraan, kebersihan, ketertiban, kenyamanan, atau angka kriminalitas yang terus meningkat, memaksa kita untuk berpikir ulang tentang tata kelola sebuah kota.
Jogja yang sekarang tidak sebagus dan senyaman jogja yang dulu tetapi beliau masih tetap mencintai jogja dikarenakan jogja menyimpan banyak kenangan tentang masa mudanya.
Sekian dulu cerita ROTS minggu kedua ini, kita tunggu cerita dari kejadian-kejadian menarik yang terjadi selama pelaksanaan ROTS di minggu-minggu selanjutnya yang tentunya kita akan menceritakannya kembali, sekian dan terimakasih.

Friday, August 14, 2015

Angkringan Literasi: Teratur Untuk Maju


Catatan dari rots by Unggul Sujati Prakoso
Teratur Untuk Maju
 
Menjelang peringatan hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke -70 para masyarakat mulai sibuk bergotong royong kerja bakti membersihkan dan menata dan menghias lingkungan di sekitar kampung tempat mereka tinggal. Mulai dari mengecat beton pembatas trotoar dengan warna hitam putih kemudian membersihkan tugu atau gapura tanda masuk ke desa. Selain itu tak ketinggalan pula hal pemasangan umbul umbul dengan warna merah putih yang semakin menambah kesan heroik dalam peringatan HUT RI.
Dan yang acapkali ditunggu tunggu adalah lomba agustusan bagi para warga kampung. Berbagai macam jenis lomba di adakan untuk memeriahkan peringatan HUT RI. mulai dari panjat pinang, makan kerupuk, sepak bola, voli, dan banyak lagi.
Namun yang bagi saya hal yang menarik dalam peringatan kemerdekaan negara ini adalah upacara pengibaran dan penurunan bendera merah putih baik ditingkat negara, provinsi hingga kecamatan.
Para pasukan pengibar bendera atau yang biasa di sebut paskibraka yang tentunya telah berlatih keras dalam mempersiapkan momen penting ini. Bahkan latihan telah digelar jauh-jauh hari sebelumnya hingga menjelang tanggal 17 agustus untuk memberikan hasil yang terbaik.
Yang menarik dari pasukan ini adalah terdiri dari tentara, polisi dan pelajar SMA. Untuk menjadi bagian dari pasukan ini para pelajar tersebut tentunya telah melalui proses seleksi yang panjang dan ketat apalagi jika menjadi bagian dari paskibra di Istana Negara Jakarta. Pastinya hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi para pelajar tersebut dan juga keluarga mereka. Apalagi yang melatih mereka biasanya berasal dari anggota militer sehingga dapat dibayangkan materi latihan yang penuh kedisiplinan untuk membentuk keteraturan dalam baris berbaris.
Berkaitan dengan hal keteraturan dalam baris berbaris tentunya tidak hanya identik dengan upacara bendera tanggal 17 Agustus saja namun juga upacara bendera yang setiap minggu dilakukan di sekolah dan instansi instansi pemerintah. Lain lagi ceritanya bila seseorang yang sedari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas mengeyam pendidikan di sekolah negeri dan bahkan bila kelak ia menjadi pegawai negara maka bisa dibayangkan berapa kali upacara bendera yang telah diikutinya. Dan jika banyak dari warga negara indonesia yang menjadi abdi negara maka seharusnya upacara menjadi contoh pembelajaran yang baik dalam menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat dan tentunya membawa kemajuan bagi bangsa karena kedisiplinan yang baik. Tapi hal ini tentulah hanya ada dalam pikiran saya sebagai penulis karena kenyataannya tidak demikian. Karena sesungguhnya keteraturan yang di tanamkan sifatnya hanya badaniah semata dan belum mencakup aspek kehidupan yang mendetail dalam lingkup yang luas. Dan lagi negara negara yang punya predikat maju pun saya kira tidak menjadikan upacara bendera menjadi kegiatan rutin tiap minggunya.
Sementara itu keteraturan dalam berpikir akan melahirkan produk keilmuan dan budaya yang dapat menjadi sebuah prinsip dalam kehidupan sehari-hari manusia yang akan menjadikan kualitas hidup manusia menjadi lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Dalam pemahaman saya keteraturan tidaklah melulu harus di tanamkan dalam bentuk sebuah kotak yang kaku. Tetapi justru yang menjadi penting dalam memanamkan keteraturan adalah dengan memahami hakekat dan fungsi teratur itu sendiri karena sejatinya manusia hidup menjadi bagian dari keteraturan alam semesta raya ini. Namun akibat dari ketidakpaham hakekat dan fungsi tersebut dapat menciptakan kelainan dalam sistem kehidupan.
Dan dalam hubungan teratur dan kemerdekaan tentunya kita wajib bersyukur karena dengan status ini kita dapat dengan mandiri mengatur kehidupan kita tanpa perlu lagi diperintah oleh bangsa lain. Namun hal ini tentu saja dengan catatan yang sudah saya tulis sebelumnya bahwa kita sebagai manusia Indonesia sudah paham betul hakekat dan fungsi mereka sehingga dalam saling bahu - membahu bekerja sama dalam sebuah tempo yang selaras untuk menjadikan Indonesia yang beradab dan bergerak menuju kemajuan.
Kemajuan yang didambakan tentunya tak hanya melulu seputar teknologi semata namun juga dalam hal kebudayaan masyarakat yang positif yang saling mendasari gerak perkembangan kehidupan manusia. Sehingga timbullah suatu produk positif identitas kemajuan bangsa dan ini semua menjadi tugas kita bersama sebagai orang Indonesia untuk terus mengembangkan diri menjadi manusia-manusia yang berkualitas secara keilmuan dan budayanya sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Tuesday, August 11, 2015

Angkringan Literasi


Lupet, Pegiat Podjok Batca

Dibandingkan membaca tulisan Samuel Mulia di kolom parodi saya lebih sering membaca tulisan Bhre Redana di kolom udara rasa, Kompas Minggu. Hari minggu yang lalu salah satu teman, Fauzan Anwar Sandiah, ketika leyeh-leyeh di bawah pohon mangga sambil menunggui lapak perpustakaan jalanan Rumah Baca Komunitas, menyodorkan tulisan Samuel terbaru yang judulnya Mari Menabung!
Saya terima dan baca sampai selesai. Seperti biasa tidak ada impresi khusus yang saya dapatkan
ketika membaca tulisan-tulisan Samuel, biasa-biasa saja. Bahkan kerap kali saya tidak mengerti apa isi tulisan Samuel kecuali curhatan pengalaman kesehariannya dalam beraktivitas.
Dalam tulisan Mari Menabung! Samuel bercerita tentang kecelakaan antara taksi yang ditumpanginya dengan sepeda motor. Dari kecelakaan itu terjadilah drama singkat yang berakhir si sopir taksi harus mengeluarkan biaya untuk mengganti kerusakan motor. Padahal dalam kejadian kecelakaan itu kesalahan diakibatkan oleh dua belah pihak. Hanya saja yang satu berani mengakui kesalahan dan menanggungnya, yang satu berani menekan untuk mendapatkan ganti rugi.
Di bagian lainnya masih dalam tulisan yang sama. Samuel berkisah tentang kesulitan yang dialaminya ketika akan menyebrang jalan padahal saat itu sudah dibantu oleh satpam, namun tetap saja beberapa kendaraan tidak mau berhenti untuk memberikan kesempatan untuk menyeberang. Menurut Samuel perilaku pengendara yang tidak memberikan kesempatan untuk menyeberang bukan karena lalu lintasnya tetapi tetapi hanya karena orang tak mau mengalah. Ia percaya mereka yang tak mau mengalah tahu bahwa penyeberang jalan membutuhkan waktu dan kesempatan untuk menyeberang, tetapi tampaknya pengendara enggan memberikan waktu dan kesempatan itu. Rasanya mengalah itu susah sekali dilakukan.
Mengalah itu menurut Samuel membutuhkan kekuatan, bukan kekuatan fisik dan kegagahan raga, tetapi kekuatan hati dan kebesaran jiwa. Dan itu bukan hanya soal etika, sopan santun tetapi lebih merupakan tabungan di masa depan, di masa yang kita tidak ketahui apa yang akan terjadi di dalam hidup yang kita lalui. Kekuatan hati dan kebesaran jiwa untuk sebuah perbuatan baik itu adalah sebuah cara yang kita lakukan dan tanpa kita sadari untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan di masa depan. Perbuatan baik itu dikembalikan kepada kita dalam bentuk berbagai rupa dan datangnya tepat ketika kita membutuhkannya.
Sampai di sini saya tak mendapatkan impresi apapun membaca tulisan Samuel berjudul Mari Menabung! Seperti biasa berisi ujaran-ujaran klise, normatif semacam gaya bijak Mario Teguh. Dan itu sama sekali tidak menarik. Sampai teman tadi mengajukan pertanyaan, "bagaimana menurutmu tulisan Samuel? Adakah kutipan-kutipan menarik yang kamu temukan?" Saya jawab, "tidak ada yang istimewa, hanya saja Samuel menawarkan gagasan baru bahwa menabung itu tak melulu uang."
Kemudian ia mengambil koran dari tangan saya lalu menunjukkan kutipan yang menurutnya menarik yang bisa menjadi renungan, "jadi kalau sekarang ini anda merasa hidup anda tenteram, sehat, anak cucu bahagia, bisnis lancar, itu tidak semata-mata karena anda untuk memelihara semuanya dengan baik, tetapi juga merupakan hasil dari tabungan kekuatan hati dan kebesaran jiwa untuk hal-hal kecil yang setiap hari anda hadapi." Apa menariknya kutipan itu? Biasa saja normatif. Tapi aku diam saja tidak memberikan komentar karena aku menduga sebentar lagi akan keluar analisis filosofis darinya. Ternyata benar, tulisan Samuel yang menurutku biasa saja dan terkesan klise dan normatif diuraikan begitu menarik olehnya. Uraiannya terkait tentang tulisan itu begitu panjang. Ia sampai pada uraian tentang hasrat, kekuatan uang, konsumsi, dan teori kapital.
Saya mengangguk-angguk saja mendengar uraiannya di bawah pohon mangga yang teduh di saat siang mulai beranjak panas. Dari urainnya saya sedikit mengerti, tapi ini hanya dugaan saya saja bahwa tulisan Samuel Mulia selama ini adalah olok-olok dan kritik humor tentang keambiguan dan ambivalensi modernitas.
Kekhasan kekuatan tulisan Samuel adalah penolakannya untuk hanyut dalam ideologi konsumerisme, hedonisme, dan fetisme kapitalistik. Dalam ideologi itu mantra utamanya dalam mencapai kesuksesan dan kemuliaan hidup adalah kompetisi, efektif, dan efisien. Lewat tulisan-tulisannya di kolom parodi, Samuel Mulia berhasil menunjukkan ambivalensi mantra-mantra modernitas untuk mencapai kesuksesan dan kemuliaan

Sunday, August 9, 2015

Pojok Literasi

Angkringan Literasi

Hanapi, Pegiat RBK

Saya selalu berfikir kenapa bangsa ini lambat bangkitnya padahal pergantian kepemimpinan di daerah telah berjalan cukup lama sedangkan kerusakan yang lama belum pulih, sekarang kerusakan semakin bertambah, Apakah kita bisa memperbaiki bangsa ini dalam waktu cepat??

 Beribu keyakinan ada di dalam hati dan pikiran ini tapi kenyataannya kerusakanlah yang terjadi semakin cepat, kerusakan ini terlihat dalam bidang politik di indonesia, mulai dari prilaku para politisi yang sangat pragmatis, politik telah dijadikan tempat untuk memperluas kekayaan, menjual aset negara ke tangan para pengusaha, bidang ekonomi, ekonomi dalam negeri telah dikuasai oleh etnis tertentu sehingga pengusaha pribumi kalah dengan etnis ini, media massa telah dikuasai oleh para kapital yang memberikan informasi untuk pencitraan politik, saya teringat kata Cak David bahwa kita hanya bisa memperlambat kerusakan yang terjadi sekarang ini.

Saya ingat bahwa Iran bisa bangkit dari jajahan asing dalam bidang kehidupan negaranya dengan adanya para aktivis yang sejati, yang tak takut mati demi memperjuangkan kehidupan yang islami untuk masyarakatnya, kalau melihat di indonesia aktivis yang cerdas, idealis banyak tapi mereka tidak pada struktur kekuasaan, kalau setelah struktur mereka terjebak dengan permainan politik seperti banyak yang dikatakan teman teman saya kuliah bahwa para aktivis yang dulu idealis sekarang telah hilang idealismenya, setelah saya melihat kekuatan literasi maka saya sadar bahwa semakin cerdas masyarakat suatu bangsa akan semakin tinggi harapan untuk menjadikan negara ini sebagai negara maju dan bangkit, kenapa harus literasi?

 Setelah saya berfikir, bahwa kegiatan literasi ini memberikan kesadaran masyarakat sehingga memunculkan sikap yang penuh nilai nilai kebaikan, humanisme, literasi ini akan memberikan informasi yang jelas dan teori yang berguna sehingga masyarakat bisa membaca situasi kehidupan negara, dengan Gerakan literasi maka akan terbangunnya budaya masyarakat yang beradab maka cita cita menuju masyarakat madaniyah lebih cepat terwujud, gerakan literasi ini kalau diwujudkan disetiap rumah dengan perpustakaan keluarga masing masing maka kita akan lebih cepat melahirkan tokoh tokoh cendikiawan muslim di indonesia, di tengah masyarakat yang mengalami pergeseran budaya maka akan terbentuk budaya budaya yang mencerdaskan dan budaya yang kreatif tanpa menyalahi Tauhid, gerakan literasi akan membangun sistem sosial yang islam, literasi akan membuat masyarakat tidak mudah ditipu oleh ulama ulama gadungan dan kapital yang menjual ilmu demi kesenangan dunia.

Gerakan literasi itu seperti dakwah kultural yang sangat lembut, dia hadir untuk mencerahkan, kehadiran gerakan literasi sangat jarang dibangun penguasa di abad ini tapi lihatlah peradaban islam terdahulu, budaya literasinya sangat tinggi sehingga maka peradaban islam berkemajuan. Setiap kaum muda harus menjadi pegiat literasi karena pemuda menanggung tanggungjawab secara konstitusional dan moral untuk membangun negara ini dijalan yang penuh khidmat agar cita cita semua masyarakat yang ada dalam mimpi menjadi nyata. Pentingnya literasi moral?



 Literasi moral bukan model dakwah tapi literasi moral ini lebih pada sikap dan prilaku kaum yang cinta terhadap buku, bisa disebut kaum yang tercerahkan begitulah masyarakat menyebutnya, literasi moral memberikan penekanan kepada pegiat literasi pentingnya sauri teladan, "penerus para Nabi itu bukan hanya ulama tapi juga orang berilmu". Karenanya, gerakan literasi harus menjadi budaya bahkan pada titik radikalnya harus fatwa, kalau memang penyadaran kolektif tidak bisa dilakukan dengan jalan kultural maka jalan politik dengan kebijakan penguasa yang mendukung, seperti kebijakan mewujudkan kota literasi.

Gerakan literasi dan literasi moral tak bisa dipisahkan dengan tujuan untuk mewujudkan negara yang berkemajuan. Takkan indah sinar bintang dan bulan tanpa budaya literasi, jangan bermimpi membangun politik humanis sebelum masyarakat gila literasi.

Jambi, 4 Agustus 2015.



Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK