Showing posts with label sekolah literasi. Show all posts
Showing posts with label sekolah literasi. Show all posts

Wednesday, April 6, 2016

Membincang Kurikulum Sekolah Literasi (1)

Oleh admin RBK

Sebenarnya Sudah ada Tiga Kali pengalaman berharga dari Teman Teman rumah baca komunitas. kegiatan sekolah literasi pertama diselenggarakan di Rbk, lalu inisiatif pegiat pojok batca di UII. kedua lokasi Kebetulan ada di Jogja Bantul, Dan satu lagi mahanani di kediri, Jawa Timur. Kita ingin segera bukukan pengalaman ini. Rencananya, buku pengalaman sekolah literasi akan disajikan dalam cerita proses, Dan lampiran materi dengan desain yang ceria, asik, rasa rasa kuliner. Kalau yang Sudah Kita adakan INI agak berat dikit mungkin Sudah level madya. 

Dalam kesempatan ini, Saya ingin tulis sekedar catatan kecil mengenai usulan kisi kisi materi sekolah literasi yang terbagi menjadi Tiga tingkatan Antara lain yaitu tingkat dasar, madya Dan utama. 

Batasan isi materi yang akan disajikan dengan bwberapa tahapan baik indoor atau outdoor Dan campuran dapat dituliskan seperti di bawah ini gagasannya.  

Kelas dasar 1. Memuat Motivasi di bidang membaca 2. Mengenal ragam atau genre buku 3. Mendalami duNia buku dari film film inspiratif 4. Memuat materi bagaimana membaca buku (Misal, buku quantum reading Dan quantum writing ala Hernowo) 5. Praktik kegiatan Bisa dikombinasikan jurnalistik dasar, dengan praktik pengelolaan majalah dinding, reportase dll 

Kelas sekolah literasi madya 1. Memuat APA Dan mengapa gerakan literasi 2. Memuat Paradigma gerakan literasi 3. Menceritakan pengalaman pengalaman gerakan literasi (Komunitas atau individual) 4. Bagaimana mengelola Dan merawat komunitas (gagasan Mikroba, Misal) 5. Bagaimana gerakan menjadi inovatif, kreatif, berdaya tahan (Penggunaan socmed) 6. Bagaimana menjadikan gerakan literasi menjadi kekuatan emansipatif, advokatif, liberatif, Dan katalisator transformasi sosial 

Terakhir, untuk kelas sekolah literasi "utama", dapat memuat beberapa pokok materi; 1. Materi yang dapat membangun nalar kritis transformatif 2. Materi untuk membangun opINI, memenangkan dukungan publik 3. Materi seputar financing a movement, bagaimana mengelola Keuangan Komunitas agar survive Dan Tetap otonom 4. Keterlibatan terhadap isu isu strategis di sekitar lingkungan, nasional, global 5. PenuliSan populer untuk propaganda, campaign, Penerbitan buku Mandiri), edukasi publik 6. Membangun sekutu untuk penguatan gerakan 7. Membangun kekuatan civic connectedness, associationism, Dan volunteerism,

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/masdavid/menggagas-sekolah-literasi_56fd464f567b61270a13cd88

Tuesday, September 8, 2015

Melek: Refleksi sekolah Literasi #1

Oleh: Sakir (Mas Kumis)

Catatan ini hanya sekilas apa yang saya rasakan dan pikirkan tentang “Sekolah Literasi”#1 yang dilahirkan oleh Rumah Baca Komunitas (RBK). Catatan ini tidak akan membahas banyak terkait materi kurikulum yang sudah didiskusikan pada setiap pertemuan. Karena jujur saja saya belum banyak hantam buku hingga saat ini.
Sejak mulai menyusun rancangan konsep Sekolah Literasi hingga pelaksanaanya banyak anugerah yang dapat saya ambil. Berikut ini anugerah yang saya dapatkan saat mengikuti sekolah literasi:

Pertama, pada hari Jumat, 28 Agustus 2015 merupakan pertemuan ke 4 sekolah literasi. Materi yang diskusikan tentang Konsep & Metode Pendidikan kritis dalam gerakan literasi. Om Weik selaku fasilitator membawa diskusi dengan penuh semangat sebagaiman ciri khasnya. Om Weik menjelaskan tentang sejarah pemikiran kritis, gerakan kritis dan aktifis literasi dan Gerakan literasi yang populis/pro-rakyat. Sebelum jauh menjelaskan 3 sub-topik tersebut. Om Weik terlebih dahulu memberikan pertanyaan kepada temen2 sekolah literasi “Apa yang kalian pahami dari kata kritis?”. Om Weik meminta memberikan jawaban dalam satu kata. Waktu ini saya memaknai “Kritis” dengan satu kata yaitu “melek”. Kata “melek” yang saya maksud adalah kita harus melek terhadap berbagai persoalan dimana kita berada. Namun, yang lebih penting adalah “Sejauhmana kita melek terhadap diri sendiri”, sebelum kita melek terhadap apa yang sudah dilakukan orang lain. Kadang tanpa kita sadari atau kita memang sadar, menilai bahwa orang lain belum bisa memanusiakan manusia. Sedangkan kita sendiri lupa atas apa yang sudah dilakukan (apakah yang sudah kita lakukan benar-benar sudah memanusiakan manusia atau justru malah jauh dari konsep tersebut). Perlu kita renungkan…semoga kita menjadi manusia yang senantiasa mengasihi dan menyayangi sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Kedua, Kesepakatan bersama Sekolah Literasi. Pertemuan pertama sekolah literasi kita sepakat bahwa desain sekolah literasi yang kita sepakati adalah 1)Santai dan Membahagiakan, 2) Aktif dan Asyik, 3)Menghargai Waktu, dan 4) Saling Menghargai. Perlu kita renungkan kembali “apakah kita semua sudah menjalankan kesepakatan itu?” atau justru melupakan kesepakatan tesebut. Tidak sedikit dari kita yang kurang menghargai waktu dan kadang pegiat rbk justru yang lebih aktif/menguasi saat diskusi sehingga keaktifkan temen2 yang lain kurang terlihat. Kesepakatan bersama tersebut perlu kita renungkan dan jabarkan sehingga benar-benar bisa dinikmati oleh semuanya. Oleh karena itu, pada setiap akhir sekolah literasi perlu dilakukan evaluasi baik dari temen2 sekolah literasi maupun dari temen2 Rumah Baca Komunitas. Sehingga kita dapat mengetahui apa yang dirasakan temen2 sekolah literasi selama mengikuti sekolah literasi dan mengetahui apakah sekolah literasi sudah terlaksana sesuai dengan yang dimpikan oleh Temen2 Pegiat Rumah Baca Komunitas. 
Harapan saya, kita semua tetap komitmen dan konsisten atas apa yang sudah dirumuskan dan disepakati bersama untuk tetap berbagi masa depan salah satunya melalui sekolah literasi. Saya pribadi mohon maaf atas segala kekurangan saya selama pelaksaaan sekolah literasi yang belum banyak membantu baik secara pikiran, tenaga dan lainnya. Terimakasih saya haturkan kepada Cak 
David Efendi David Efendi, OmAhmad Sarkawi, Om Fauzan Anwar Sandiah, Om Unggul Sujati Prakoso, Om Lutfi Zanwar Kurniawan, Kanda Abdullah Zed Munabari, Bung Yoga Mascu, Adikku Agam Primadi, Kakak Vitho Rumarey Wattimena, Gus Indra Pradhanaxs dan semua pegiat Rumah Baca Komunitas serta temen2 sekolah literasi.
Selasa, 08 September 2015
Ruang Referensi Prodi Ilmu Pemerintahan UMY 
(Salah satu tempat favorit saya untuk “Melek atas diri sendiri”)


https://www.facebook.com/syakir.imoet/posts/987998901222820

Monday, September 7, 2015

Sekolah Literasi: Refleksi & Pemaknaan-isme

Abdullah Zed Munabari, Pegiat RBK

Yap, ini tulisan berisi refleksi dari dinamika selama kegiatan #SekolahLiterasi dan dari obrolan kawan" pegiat RBK tentang evaluasi Sekolah jni beserta refleksi-refleksi nya. Agak unik memang, sekolah ini dari awal memang di design sebagai sebuah ruang untuk bertukar pikiran tentang sejarah, perkembangan, cara merawat, hingga peneluran model baru gerakan literasi. 

Dari mulai menjaga nilai-nilai independensi komunitas, anti donasi terikat yg mematikan semangat kerelawanan, penerapan pendidikan kritis, pengadopsian nilai-nilai ekoliterasi hingga tataran praksis, hingga pengadopsian spirit dan jiwa RBK, yaitu nilai apresiatif yg tentu saja dibarengi dgn nilai-nilai kemanusiaan sebagai prinsip.

Ahh lagi" kemanusiaan, sebuah terminologi "pasaran" yang dijadikan label dan kulit oleh banyak kalangan. Bahkan korporasi yang berniat mengeksplorasi potensi sumber daya suatu kawasan pun seringkali menggunakan term ini sebagai legitimasi rencana "penyejahteraan masyarakat nya". Terdistorsi lah makna kemanusiaan, tak indah lagi lah kata kemanusiaan, bahkan seringkali bikin mual saat ini dikampanyekan. Hmm, setidaknya itulah yg barangkali dirasakan oleh dunia kita sekarang. Kalian tau apa emas paling berharga yang saya dapatkan selama proses Sekolah Literasi itu?? Ada 2 emas yg saya temukan, yaitu Pemaknaan-isme dan Kemanusiaan.

Agar tidak ditelan bumi, saya coba refleksikan emas di pikiran dan hati saya itu kedalam tulisan ini. Yang pertama yaitu pemaknaan-isme. Hmm, terminologi apalagi ini, begitu barangkali yg orang pikirkan saat membaca ini. Tunggu dulu, ini term punya makna, yang tentu saja bukan dimaksudkan utk membuat saya terlihat ala ilmuwan sosial kekinian dgn menambahkan isme diakhir kata Pemaknaan. Pemaknaan-isme disini saya dapatkan dari refleksi sederhana saya pasca sekolah literasi, membaca refleksi pegiat" RBK, dan obrolan kecil sambil makan di burjo dgn Lutfi Zanwar Kurniawan, pegiat RBK. Sebenarnya ini sudah menjadj semacam budaya di RBK utk menuliskan refleksi-refleksi. Namun refleksi ini sebenarnya lahir dari sebuah pemaknaan dalam dimensi pikiran dan jiwa manusia. Apa yang membuat ini penting saya sadari pasca sekolah literasi ini. Sebenarnya proses memaknai manusia terhadap apa yg dia atau orang lain lakukan atau bahkan sebuah fenomena sosial, menjadi sangat berarti dalam rangka menjaga pikiran dari dominasi media atau pihak manapun, menjaga kewarasan untuk tetap memberi tahu kita bahwa tempat kita memijak belum tentu tempat yg ajeg utk ditempati, dan juga (yang paling penting) untuk mengetuk hati, jiwa, dan pikiran kita tentang apakah yang kita ucapkan atau lakukan terhadap orang lain itu sudah sesuai dengan ke-hakikian manusia tersebut (ini akan jadi titik temu dgn emas kedua yaitu "kemanusiaan"). 

Point terakhir tadi adalah titik terpenting dari mengapa pemaknaan yang melahirkan refleksi-refleksi itu menjadi sangat perlu. Yaa, dgn memaknai interaksi" kita dgn org lain lalu kita melakukan oto-kritik terhadap diri kita sendiri, menurut saya itu akan membantu kita menjadi ksatria yang berani mengatakan hal sederhana namun sulitnya luar biasa, yaitu "Ya ternyata aku yang salah, tdk seharusnya aku seperti itu". Pemaknaan menemukan titik termulia nya saat bisa mengantarkan manusia melewati tahap-tahap tersebut (lepas dari dominasi, tetap "waras", dan berkomunikasi dgn jiwa/hati dgn keberanian mengakui kesalahan). Kesimpulan saya dari emas bernama Pemaknaan-isme ini adalah Sekolah Literasi dimana proses pembelajaran nya yang memicu pesertanya untuk melakukan pemaknaan-pemaknaan melalui refleksi yang dituliskan telah mengantarkan peseta itu sendiri pada titik-titik manusia merdeka yang manusiawi.

Emas kedua yang saya syukuri temukan yaitu Kemanusiaan. Namun bukan kemanusiaan yg biasa dikampanyekan korporasi dalam rangka akumulasi modal nya yang bikin kita mual. Ini kemanusiaan yang lahir dari pandangan filsafat yang memandang manusia sebagai makhluk HOMOBAIKUS & HOMOJUJURUS. Inilah filsafat manusia yang merupakan antitesa dari homoekonomikus. Emas kemanusiaan ini saya temukan saat menyadari bahwa memandang manusia pada dasarnya makhluk baik dan dapat dipercaya itu justru akan menjauhkan kita dari sikap penuh kecurigaan yang spekulatif yang bisa jadi berujung pada luka nya hati seseorang atau curiga berlebihan yang dapat menghapus kepercayaan kita pada orang yang bahkan belum pernah kita temui. 

Emas kemanusiaan yang saya dapatkan ini diawali saat membaca tulisan ahmad sarkawi yang menjelaskan makna kemanusiaan dan penting nya membuat asumso dasar bahwa manusia itu makhluk yang baik dan dapat dipercaya. Setelah membaca itu, .elalui proses pemaknaan dan berkomunikasi dgn hati saya pun melahirkan sebuah otokritik yang memberi tahu saya bahwa saya masih belum memandang manusia sebagai Homobaikus & Homojujurus. 

Dibalik kesedihan saat sadar bahwa saya masih seorang yang curigaan dan blm bisa menjadi pribadi yang apresiatif, saya sungguh bersyukur dapat mengenal komunitas seperti Rumah Baca Komunitas yang telah memberi saya begitu banyak hal berharga, saya benar-benar belajar bagaimana memanusiakan manusia itu di komunitas ini. Saya membayangkan bila saya tak pernah belajar disini bersama orang-orang seperti , mungkin saya akan menyakiti dan mencurigai ratusan orang lain di sepanjang hidup saya kedepan nya. 

Terima kasih RBK..terima masih mas dwi cipta dari GLI yang telah memberi saya banyak inspirasi tentang membangun paradigma kritis-transformatif dalam gerakan literasi yang dikawal dgn aksi-aksi praksis yang konsisten. 

Kalibedog, 3 september 2015


Sekolah Literasi: Pembangunan Visi Negara Berkemajuan

Oleh: Hanapi
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY dan Pegiat Rumah Baca Komunitas.

“Buku adalah teman bicara yang tidak mendahuluimu ketika engkau sedang sibuk, tidak akan memanggilmu ketika engkau sedang bekerja dan tidak memaksakanmu untuk berdandan untuknya. Buku adalah teman duduk yang tidak menyanjungmu, sahabat yang tidak membujukmu, kawan yang tidak membosankanmu dan penasehat yang tidak mencari kesalahanmu”(Ahmad bin Ismail).


Literasi adalah isu-isu yang selalu dibicarakan akhir ini dengan berbagai presfektif yang dikemukakan baik oleh para kalangan akademisi, mahasiswa bahkan tingkat lapisan elit bangsa ini, literasi menjadi sebuah kekuatan yang akhir ini menunjukkan eksistensinya sebagai kekuatan masyarakat yang maju untuk membangun budaya bangsa yang lemah dalam budaya membaca meskipun budaya membaca sudah mulai pesat di kota-kota besar.

kota Yogyakarta yang dinamakan kota pendidikan ini selalu memiliki kekhasannnya dalam bidang keilmuan dan budayanya, budaya literasi di indonesia masih cukup lemah karena tidak meratanya akses terhadap dunia keilmuwan yang disediakan oleh pemerintah. Gerakan literasi yang muncul ini seperti Rumah Baca Komunitas. Gerakan literasi di Indonesia merupakan respon terhadap lemahnya peran Negara dalam memberikan akses terhadap buku, kalau selama ini Negara hanya menyediakan bacaan yang belum mampu memberikan pencerahan pada lapisan ditingkat masyarakat desa, budaya membaca tidak disertai dengan politik will dalam kebijakan pemerintah untuk menunjang agar budaya ini lebih cepat terwujud dengan demikian kualitas sumber daya manusia Negara semakin meningkat dan memberikan dampak yang luar biasa untuk perubahan bangsa ke-arah yang lebih baik.

Sekolah literasi yang merupakan fondasi dasar untuk menanamkan spirit membaca, menulis, menanam agar dasar ini menjadi kekuatan yang mengakar dalam setiap masyarakat indonesia yang pada akhirnya akan memberikan manfaat yang sangat besar untuk membangun Negara ini, Tulisan ini berusaha untuk melihat begaimana sekolah literasi mampu membangun visi Negara berkemajuan dengan melihat manfaar dari sekolah literasi dan bagaimana hubungan sekolah literasi dengan sumber daya manusia serta memberikan nama-nama tokoh-tokoh literasi dalam dunia islam yang sangat terkenal dengan kualitas keilmuwannya.

Sekolah literasi yang diadakan oleh Rumah Baca Komunitas beberapa akhir yang lalu memberikan paradigma yang cukup utuh dalam menjelaskan tentang literasi walaupun penulis hanya mengikuti sekolah yang kelima tetapi kegiatan yang dilakukan sangat memberikan manfaat yang besar baik untuk individu maupun secara kolektif, sekolah literasi ini sangat bermanfaat terutama untuk kalangan yang ingin mengenal dunia literasi. Ada beberapa manfaat sekolah literasi yang perlu diadakan di jenjang-jenjang pendidikan dasar agar pembangunan Negara berkemajuan itu bisa lebih cepat dengan penyadaran bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang rajin membaca, memunculkan inovasi dan selalu kritis terhadap pemerintah sehingga terciptanya sebuah Negara yang berkeadilan yang selama ini banyak kaum radikalis mengkritik dan mengatakan bahwa Negara tidak adil makanya mereka melakukan kekerasan padahal itu salah seperti yang dijelaskan oleh Buya Syafie Maarif dengan dalil yang kuat.

Manfaat sekolah literasi yaitu:
(1) menyadarkan bahwa membaca adalah hal yang terpenting yang harus dilakukan oleh manusia
(2) Dengan membaca pembangunan menjadi warga Negara yang cerdas sekaligus beradap cepat diwujudkan. seperti yang dikatakan oleh Platon salah satu kebahagian adalah menjadi warga Negara yang cerdas, baik dan beradab.

(3) Menyadarkan bahwa budaya membaca harus dibangun oleh siapapun tanpa memandang pangkat dan kedudukan dalam masyarakat (4) Memberikan gambaran bagaimana seharusnya fungsi kaum yang tercerahkan di masyarakat

Ada keyakinan bahwa, Semakin tinggi budaya membaca maka kepedulian sosial semakin tinggi, kemandirian masyarakat semakin kokoh dan hilangnya budaya yang mengarah pada kekerasan dalam kehidupan bangsa
Semakin mencintai lingkungan.

Hal ini dapat mengacu seperti yang dilakukan oleh Rumah Baca Komunitas yang memiliki ajaran ekoliterasi tentang harus melestarikan lingkungan dan merawatnya
Dengan membaca maka tidak akan ada lagi penguasa yang akan bertindak sewenang-wenangnya.(Manifesto Rumah Baca Komunitas).

Membiasakan budaya menulis agar mampu menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki gagasan yang cemerlang dengan gagagasan yang cemerlang inilah bangsa ini akan maju tapi disertai tindakan yang kongkret.
Membangun jiwa kemanusian yang akan selalu bertindak demi kebaikan bukan demi materialisme

Kegiatan sekolah literasi ini sebagai pondasi dasar untuk membangun budaya membaca maka sekolah literasi ini dalam jangka panjang akan semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena budaya membaca yang mulai bersemi akan semakin membuat banyak kaum terdidik dan memiliki kesadaran untuk berani bersaing dengan orang lain, budaya membaca yang tinggi pasti meningkatkan SDM yang tinggi maka sangat memberikan manfaat yang besar.


Dalam dunia islam sangat banyak tokoh-tokoh yang sangat mencintai dunia literasi yang memiliki perpustakaan pribadi yang besar bahkan ada tokoh yang mengatakan buku jauh lebih berharga dari pada harta, sikap seperti ini menunjukkan kecintaan terhadap dunia keilmuwan yang sangat tinggi maka penulis akan memperkenalkan nama-nama tokoh islam yang sangat mencintai dunia literasi dan kaya akan bukunya serta kualitas intelektual yang tinggi, nama-namanya yakni: Al-Fath bin Khaqam, Ibnu Khasyab, Jamaluddin Al-Qithi, Muwaffaq bin Muthran ad Dimasqi. Masih banyak lagi toko-tokoh islam yang kuat budaya literasinya seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Arabi, Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Imam Al-Ghazali, dan lainnya.

Friday, September 4, 2015

Soal Fasilitator dan Pendekatan Partisipatoris Bagi Anak-Anak (Catatan Fasilitator Sekolah Literasi #1)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Belakangan ini baik gerakan sosial, atau lembaga pendidikan formal mulai mengenai istilah “fasilitator”. Istilah ini sebenarnya merupakan metamorfosa penting dari model pedagogi kritis yang berkembang di Indonesia pada tahun 90-an. Tetapi pada masa itu sebenarnya hanya terdapat dua jenis pemaknaan terkait dengan istilah fasilitator. Pertama fasilitator sebagai seorang yang membawa partisipan untuk masuk ke diskursus seputar realitas ekonomi-politik yang bertujuan membangun basis massa “berkesadaran”. Kedua adalah fasilitator sebagai bagian dari proses dialektika. Makna pertama banyak digunakan dalam model pendidikan alternatif yang dikembangkan oleh gerakan sosial di Indonesia. Sedangkan makna kedua, meskipun telah menjadi kredo dari model pendidikan partisipatoris, dalam kenyataan lapangan adalah yang paling sulit dipraktikkan.



Sewaktu merancang Sekolah Literasi pada pertengahan bulan Agustus, Abdullah menjelaskan kepada saya bawah tujuan utama Sekolah Literasi adalah sebagai “sarana distribusi nilai-nilai”. Menurut Abdullah nilai-nilai emansipatif RBK harus dibagi melalui suatu forum diskusi yang “tematis dan sistematis”. Gagasan itu sepenuhnya berangkat dari kegelisahannya atas distribusi nilai-nilai emansipatif seperti apresiatif, liberatif, dan ekologis serta humanis yang dalam forum-forum diskusi sering menjadi basis aksiologis pegiat RBK. Tentu saja saya tertarik dengan gagasan tersebut dan mengusulkan kepada Abdullah agar tetap ada penekanan partisipatoris dalam proses pendidikan.

Pokok Tentang Pendidikan Partisipatoris
Kenyataanya menerapkan proses yang partisipatif dan menghindari dominasi adalah perihal yang sangat menantang dalam setting pendidikan model apapun. Sewaktu menjadi fasilitator untuk orientasi awal dan materi dinamika gerakan saya menyadari beberapa hal yang harus direfleksikan terkait dengan penerapan model atau pendekatan partisipatoris.





Pertama, fasilitator harus memegang prinsip dasar yang menyatakan relasi antar subjek pertama-tama harus berangkat dari kesetaraan. Artinya, proses partisipatoris dan egaliter hanya dapat dicapai jika fasilitator pertama-tama berangkat dari asumsi bahwa dirinya dan partisipan adalah setara. Masing-masing partisipan termasuk fasilitator memainkan peranannya masing-masing. Partisipan merupakan subjek yang hidup dalam pengalaman dan persentuhan objektivitasnya sendiri. Sedangkan fasilitator memegan peranan sebagai pihak yang mengapresiasi segala basis gagasan subjek, termasuk kejadian, peristiwa, hingga kepercayaannya.

Kedua, fasilitator merupakan pihak yang menunjukkan bahwa setiap subjek memiliki persentuhan kekaryaannya masing-masing. Fasilitator menunjukkan bahwa setiap subjek memproduksi ataupun mereproduksi jenis kebudayaan secara unik. Tidak ada subjek yang tidak menghasilkan apapun dalam relasinya dengan kehidupan. Fasilitator jika diperlukan harus menunjukkan bahwa “kebudayaan” setiap subjek itu niscaya eksis. Dalam hal ini, fasilitator harus mampu menjadi pihak yang turut memberi afirmasi mengenai eksistensi kebudayaan pada aras otonomi subjek. Persoalan di sini harus dilihat dalam bahasa yang digunakan oleh Freire sebagai apresiasi.

Ketiga, peran sesungguhnya fasilitator tanpa menegasikan kehadiran sosial subjek yang lain adalah memungkinkan sebuah kesadaran baru bahwa diri setiap subjek adalah politis sehingga dapat menjalankan transformatif. Dalam hal ini, fasilitator bukan menjadi pihak satu-satunya yang menyadari realitas, dia hanya berperan sama penting dan setaranya dengan partisipan lain untuk mengemukakan gagasannya bahwa transformasi dari setiap kejadian, kebiasaan, dan pemikiran subjek atau partisipan mampu membuka dinamika baru.

Tiga hal di atas, saya ungkapkan kepada Abdullah di sela-sela evaluasi Sekolah Literasi. Mengingat dalam konteks tertentu Sekolah Literasi ini pun juga merupakan proses belajar bersama maka selalu ada ruang terbuka untuk membicarakan persoalan tentang kefasilitatoran ini. misalnya sering ditemukan beragam pertanyaan, “bagaimana memfasilitasi jika dinamika dalam kelas berubah?”, “apakah bisa seorang fasilitator mengubah tekniknya sementara proses sedang berlangsung?”.

Fasilitator lebih tepat menurut saya disebut sebagai seorang seniman daripada seorang pendidik. Fasilitator berhadapan dengan partisipan seperti sedang berhadapan dengan dirinya sendiri. Dinamika di dalam proses pendidikan partisipatoris merupakan persyaratan penting. Dinamika harus muncul sebagai wujud dari proses partisipatif dan merepresentasi secara eksistensial keberadaan fasilitator. Dinamika hanya muncul melalui pertukaran gagasan dan perilaku yang berjalan secara simultan, egaliter, terbuka, tetapi tanpa diskriminasi. Seorang pendidik yang dominan tentu saja tidak selalu memperoleh dinamika tersebut karena tujuan utamanya adalah transferring knowledge, sebuah pandangan yang begitu kuat dalam filsafat pendidikan bekas negara koloni.

Maka dalam soal bagaimana memfasilitasi dinamika yang sudah sewajarnya ada dan bahkan harus muncul. Sehingga tidak mengherankan jika setiap fasilitator membawa banyak kesiapan untuk berdialektika dengan dinamika. Mengganti teknik, termasuk dari sekian persiapan yang memungkinkan. Tetapi itu tidak menjadi beban yang berat jika fasilitator bergerak bersama dinamika. Kesulitan biasanya muncul karena fasilitator menganggap “segalanya” bersumber dari dirinya.

Model Partisipatoris bagi Anak-Anak
Model atau pendekatan partisipatoris pada dasarnya lebih dekat dengan kelompok-kelompok yang selama ini dianggap tidak signifikan dalam membentuk kebijakan. Mereka adalah sebagaimana yang disebut oleh Robert Chambers (2002) yakni perempuan, “orang miskin”, minoritas dari kalangan berbasis etnis atau agama, pengungsi, difabel, termasuk anak-anak.

Dalam proses evaluasi Sekolah Literasi beberapa partisipan memiliki kesan bahwa pendekatan partisipatoris asing digunakan untuk anak-anak. Bersama partisipan kami mencoba mendiskusikannya secara umum karena memang dibutuhkan suatu waktu reflektif khusus untuk persoalan ini. Tetapi buku Stepping Forward (Johnson, dkk: 1998) dapat memberikan informasi yang cukup perihal etika, metodologis, hingga implementasinya. Sekali lagi kami berharap ada waktu khusus untuk membicarakan topik yang sangat menarik itu dalam forum Sekolah Literasi.

Gagasan tentang “transformasi sosial itu mudah dan menyenangkan” yang sering muncul merupakan cara baru untuk memulai bagaimana memahami partisipatoris bagi anak-anak. Kedekatan antara transformasi sosial dan model pendidikan partisipatoris seakan mengikat suatu imajinasi bahwa prosesnya pasti “serius” dan jauh dari kesan “asik-kocak”. Kenyataannya justru sebaliknya, proses partisipatoris justru sebaiknya mengilustrasikan tentang kemungkinan menciptakan dunia (another world is possible). Sehingga mendayakan imajinasi yang berbasis sepenuhnya pada pergulatan praksis adalah salah-satu kunci penting. Hal ini tentu saja dapat diterapkan pada siapapun, termasuk anak-anak. Misalnya dengan memberikan pertanyaan seputar aktivitas, keinginan, dan hal-hal yang dianggapnya sebagai “dunia” hingga dilanjutnya dengan merancang agenda yang “sederhana” seperti berkumpul bersama untuk membersihkan tempat pertemuan atau mendekorasi pendopo.

“anak-anak merupakan pemilik masa depan” begitu Cak David mengungkapkan sewaktu merespon topik tentang Sekolah Literasi bagi anak dan remaja. Anak dan remaja merupakan salah-satu partisipan penting sebagai representasi dari kehadiran kelompok marjinal dalam proses penentuan masa depan. Pendekatan partisipatoris membantu proses menyelami dinamika anak-anak, yang pada sisi lainnya turut  membantu orangdewasa menemukan proses partisipatoris dalam arti yang paling mengesankan. Makna politis tentu saja sedang diupayakan untuk mendekatkan pengambilan kebijakan pendidikan berbasiskna pada penelitian partisipatoris yang melibatkan anak-anak dan peneliti yang berperan sebagai fasilitator. Dalam pengertian demikian, pendekatan partisipatoris tidak hanya bersifat pedagogis tetapi juga bersifat politis karena bertujuan menghasilkan pemahaman yang baik terkait dengan anak-anak. Maka partisipatoris juga merupakan teknik penelitian yang penting untuk dicoba terus-menerus. Sehingga proses pengambilan kebijakan dapat mengakar dengan basis sosiologisnya sendiri.


Sebagaimana Chambers, anak-anak termasuk kelompok “yang justru paling mampu memandang partisipasi secara terbuka sebagai hal yang penting dan prioritas” (Chambers, Fakih, dan 2002, hlm.x).  

Refleksi Sekolah Literasi (Bagian 2)

Oleh: Lutfi Zanwar Kurniawan
Pegiat RBK


Memasuki ruang kelas sekolah tidak selalu berarti mengalami kegiatan pembelajaran. Orang bisa saja hanya duduk, masuk ke dalam kelas, mendengar dan mengikuti uraian yang disampaikan sambil sesekali memainkan gadget, tetapi ia tidak pernah mengalami proses pembelajaran. Mengalami sesuatu seperti kita tahu berbeda dengan mengikuti. Meminjam istilah Nirwan Ahmad Arsuka, mengalami adalah membuka diri bertaut ke dalam bagian-bagian dari alam sesuatu itu, segaja atau tidak. Keseluruhan diri-tubuh kita yang mengalami itu terjun dan tercelup ke dalam apa yang dialami. Kita seakan-akan mengarungi dan menampung berbagai sifat alami sesuatu itu, beberapa diantaranya tertinggal, menetap, lalu perlahan-lahan tenggelam menjadi bagian dari bawah sadar. Pada saat-saat yang istimewa apa yang mengendap di alam bawah sadar hidup kembali memperkaya khazanah kehidupan kita.

Berbagai materi yang saya terima dari fasilitator dan peserta Sekolah Literasi yang diadakan oleh Rumah Baca Komunitas harus saya akui memberikan pengalaman mengalami proses pembelajaran. Walaupun saya sendiri belum berani mendaku bahwa materi yang disampaikan di Sekolah Literasi mewujud dalam kesadaran diri saya. Tetapi berada di kelas itu, mendengarkan uraian, mencatat, bertanya, dan menanggapi saya merasa turut larut, tercelup, berimajinasi terpaut pada suatu suasana, sebuah ruang waktu yang lain. Ada sesuatu yang meruah dan menjadi lebih intensif dalam diri saya. Bahwa apa yang mereka sampaikan di kelas itu bukanlah sesuatu yang mengawang-awang tetapi suatu yang kongkret yang dekat dan tak berjarak.

Konsep literasi yang sebelumnya kabur atau saya pahami sebatas kegiatan membaca dan menulis ternyata tak sekabur dan sesederhana itu. Melalui diskusi yang panjang dan pertemuan beberapa kali di sekolah literasi saya menjadi lebih memahami letak kekuatan gerakan literasi. Di satu sisi ini memperkaya wawasan saya tentang gerakan literasi, kedua memperkuat keyakinan saya ikut terlibat di gerakan ini. Dwi Cipta dari Literasi Press dengan penjelasan sederhananya mampu menjelaskan di mana letak kekuatan gerakan literasi. Pada pertemuan terakhir yang mengangkat topik Praksis Advokasi Gerakan Literasi mengatakan, “Gerakan Literasi Indonesia terinspirasi dari gerakan yang digagas oleh Hugo Chaves yang berjuang mengajari buruh-buruh tambang di Venezuela untuk membaca kontrak-kontrak kerja yang dibuat oleh majikan. Selama ini buruh-buruh itu banyak dirugikan dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena mereka tidak memahami isi kontrak yang mereka sepakati bersama majikan dikarenakan mereka tidak bisa membaca. Dengan kemampuan membaca, buruh-buruh tadi menjadi tahu bahwa mereka selama ini mendapat perlakuan tidak adil. Berawal dari membaca kemudian mereka melawan penindasan dan ketidakadilan.” Di sini membaca lalu memberi kita sebentuk keberanian untuk melawan terhadap segala macam kekuasaan yang hendak menindas dan berlaku tidak adil.

Cerita tentang Hugo Chaves menerbangkan ingatan saya pada tulisan Sindhunata yang berjudul, Ambil dan Bacalah. Terutama fragmen tulisannya yang bercerita tentang kegilaan membaca Don Quixote. Siang malam Don Quixote membaca novellas de caballeria, kisah-kisah kepahlawanan para satria. Malam tak membuatnya berhenti membaca. Ia menanti pagi dengan membaca, dan dengan begitu pagi tiba ia masih terus membaca. Demikian rajin ia membaca, sampai-sampai apa yang dibacanya menjadi kenyataan. Kisah peperangan, perselisihan, luka-luka, hinaan, pujian, penghargaan, dan cinta yang dialami satria dalam buku yang dibacanya menjadi kisahnya sendiri. Karena membaca, ia menjadi seperti satria yang berperang, berselisih, menderita luka dan hina, menerima pujian serta penghargaan, dan menikmati cinta.

Karena membaca, ia menghendaki fantasinya menjadi kebenaran. Bukan realitas yang memaksanya bertindak, tetapi suatu perasaan dan imagi magis yang ia peroleh dari bacaan. Seharusnya realitas yang bisa melawan dan menggugurkan pikiran. Tetapi pada Don Quixote yang terjadi justru sebaliknya: realitas yang harus tunduk pada bacaannya. Menurut realitas ia kehialngan akal. Menurut bacaan dan karena membaca, ia justru memperoleh akal dan kepercayaan. Ini sepertinya anggapan dan angan-angan idiot. Barangkali memang terdengar konyol dan idiot tetapi dari sanalah dapat dilihat betapa dahsyatnya daya suatu bacaan. Memang, kita ingin mengubah dunia. Upaya itu harus kita mulai dengan mengubah pikiran kita sendiri. Bagaimana kita mengubah pikiran kita, jika kita tidak membaca? Itulah pesan kisah Don Quixote, karikatur seorang yang gila baca.

Turun Ke Bawah
Kalau mayoritas masyarakat Indonesia sudah terbebas dari buta huruf lalu apa yang bisa dikerjakan oleh gerakan literasi? Menurutnya gerakan literasi harus menemukan konteks di dalam masyarakatnya. Mayoritas masyarakat Indonesia saat ini sudah terbebas dari buta huruf, namun mereka kerap buta dan tidak menyadari bahwa mereka kerap mendapat perlakuan tidak adil dan penindasan entah itu dari negara atau sistem sosial yang berjalan saat itu. ditopang oleh kegiatan, membaca, menulis, diskusi, riset, dan aksi gerakan literasi saat ini harus mampu membuat masyarakat mampu membaca dan menyadari kondisi realitas sosial atau permasalahan di sekitarnya.

Dwi Cipta menambahkan, “masalah yang kini dihadapi oleh intelektual atau orang-orang kita adalah keengganan mereka bekerja turun ke bawah bersama masyarakat.” Gerakan Literasi Indonesia bersama teman-teman lintas komunitas ketika kerja bahu-membahu bersama warga rembang menolak didirikannya pabrik semen. Saat itu wacana yang santer beredar di masyarakat bahwa dengan adanya pabrik semen akan memberikan dampak keuntungan ekonomi kepada masyarakat sekitar pabrik. Mengurangi pengangguran, dana CSR sebesar tiga milyar akan digelontorkan oleh perusahaan.

Diperlukan kajian akademis untuk membuktikan bahwa wacana itu salah. Mereka riset langsung ke lapangan untuk menghitung angka potensi ekonomi yang dihasilkan oleh lahan yang akan didirikan pabrik. Hasilnya ternyata apa yang dijanjikan oleh pabrik semen masih lebih kecil. Berpijak pada membaca, menulis, dan riset mereka mereka mengembangkan gerakan, praksis advokasi.

Dengan begini jelas kiranya betapa konstruktif arti dari gerakan literasi yang ditopang oleh kegiatan membaca, menulis, dan riset dalam melakukan kerja-kerja advokasi. Kerja advokasi tentu menjadi kurang berarti dan memiliki taji jika orang-orang yang terlibat tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai akan masalah. Di titik ini pengertian konvensional kita tentang gerakan literasi sebagai gerakan meningkatkan minat baca tidak lagi memadai.

Thursday, September 3, 2015

Makna Sekolah dalam Sekolah Literasi


Fauzan A Sandiah, Kurator RBK
Istilah “sekolah” dalam kata sekolah literasi bermakna “tempat berbagi”. Tentu saja ada banyak orang yang telah mengusulkan topik seputar pentingnya sekolah literasi. Berbagai kelompok masyarakat juga sebenarnya telah menginisiasi semacam sekolah literasi yang bertopang pada aktivitas membaca, menulis, serta keterampilan budaya lainnya.
Hal itu juga banyak kami temukan dari berbagai individu atau kelompok masyarakat. Kalau mengingat bagaimana upaya-upaya pegiat literasi seperti Almarhum Dauzan Farook, sebenarnya gerakan literasi telah dirintis secara serius dan diam-diam dalam kesunyian tertentu. Dalam rangka untuk mengapresiasi setiap perjuangan masyarakat dalam menggiatkan literasi maka, Rumah Baca Komunitas mengadakan semacam pertemuan rutin khusus untuk membahas seputar gerakan literasi yang disebut “Sekolah Literasi”.
Ada antusiasme tersendiri yang kami rasakan sewaktu menyelenggarakan Sekolah Literasi. Antusiasme itu muncul dari beragam respon menarik selama sekolah literasi berlangsung.
Saya ingin mengemukakan beberapa respon dari teman-teman yang mengikuti sekolah literasi, misalnya Mbak Rosa Kusuma Azhar seorang pegiat dari Komunitas Sedekah Edukatif berkata “saya ingin menemukan beberapa inspirasi dari proses sekolah literasi, semoga setiap orang semakin memperkuat kerja-kerja inspiratif”.
Andi, seorang mahasiswa UAD “menarik sekali membicarakan seputar gerakan literasi, saya ingin tahu bagaimana menjadi seorang pembaca yang bijak?”.
Akil, seorang mahasiswa dari Solo berujar “menurut saya literasi konvesional dan literasi digital atau media harus barengan”.
Ipin, Mahasiswa UMY, “saya ingin tahu bagaimana caranya memilih buku yang baik. Apakah ada cara menghindari buku yang memuat tentang kekerasan?”.
Ucil, Mahasiswa UMY “membaca buku harus dilandasi oleh keinginan belajar, jadi membaca apapun secara kritis itu sangat penting”.
Selama lima pertemuan Sekolah Literasi berbagai diskusi sudah terjadi. Latarbelakang dari tiap parisipan telah memberikan banyak informasi berharga untuk RBK.
Sejak awal Sekolah Literasi tidak didisain semacam klinik atau rumahsakit. Sekolah literasi justru muncul karena keinginan untuk menemukan model gerakan literasi yang berangkat dari proses apresiatif terhadap beragamnya identitas kultural. “Gerakan literasi sejatinya memang sebuah proses transformasi sosial yang mudah dan gampang untuk direplikasikan oleh berbagai orang” kata Cak David di sela-sela obrolan mengenai evaluasi Sekolah Literasi.
Saya kira ada juga catatan penting dari Om Awiek tentang “Sekolah literasi pertama-tama harus berangkat dari kesetaraan dan keinginan untuk mengenal konsep berbagi (sharing) sebagai bagian penting dari gerakan literasi yang berpihak”. Mas Sakir juga menekankan pentingnya perspektif gerakan literasi sebagai “rumahnya manusia”. Maksudnya adalah “tempat dimana semua orang dapat mencoba berkembang dengan caranya sendiri” hal itu saya perolah dari keterangan Mascu, Dollah, dan Lupet. Tiga pegiat RBK ini juga banyak meluangkan waktunya untuk berbicara seputar nilai-nilai kemanusiaan yang harus terus belajar dipraktikkan. Melalui mereka juga saya menemukan banyak hal yang baik.
Semoga kita dapat sharing lagi.


Dua Pijar Gerakan Literasi di Yogyakarta

Oleh Dewi Widyastuti
Begitu memasuki ruangan utama Rumah Baca Komunitas (RBK) yang berlokasi di dusun Sidorejo, Desa Ngestiharjo, Kasian, Bantul kita akan melihat banyak buku tersusun rapi. Komunitas yang menyediakan berbagai ragam bahan bacaan baik buku, majalah, e-book milik komunitas dan anggota ini tengah menyelenggarakan Sekolah Literasi bagi kalangan umum yang memiliki kepedulian terhadap persoalan literasi dalam masyarakat. Mereka mengundang berbagai pegiat literasi untuk menjadi fasilitator di sekolah baru bentukan mereka.
Lahirnya Rumah Baca Komunitas (RBK) berangkat dari kegelisahan pentingnya minat baca masyarakat di Indonesia. Latarbelakang ini membuat RBK menjadi komunitas mandiri di tengah masyarakat yang memiliki beberapa tujuan antara lain menggembirakan masyarakat dengan memasyarakatkan tempat baca yang menyenangkan, meningkatkan minat baca masyarakat khususnya anak-anak dan remaja di lingkungan sekitar, ikut berkonstribusi mendukung kegiatan belajar mandiri masyarakat lewat bahan bacaan bermutu dan aktual. Selain itu, rumah baca memikul satu misi besarnya yaitu mempromosikan nilai-nilai perdamian dalam masyarakat yang berkeanekaragaman melalui materi-materi bacaan yang memberikan pencerahan. Organisasi ini menata dirinya pelan-pelan dengan kesadaran membangun basis kelembagaan dan aksi literasi yang kokoh di kemudian hari.
Mulanya buku-buku yang ada di RBK milik pribadi, namun dalam perkembangannnya bertransformasi menjadi komunitas hingga ada yang titip asuh bukunya di tempat ini. RBK mengembangkan gerakan literasi yang berbasis ideologi kemandirian dan anti-diskriminasi lewat pembelajaran komunitas, pembukaan perpustakaan jalanan setiap hari minggu, pendidikan kritis, ekoliterasi (menyuarakan keadilan berbasis ekologi, menyuarakan yang bisu yang menjadi korban stigma dan diskriminasi.
Zakir, salah satu penggiat di RBK ini bercerita, “Selama ini kalau kita pinjam buku pasti ribet, harus meninggalkan identitas, dll. Tapi RBK hadir supaya hak membaca menjadi jaminan semua orang tanpa jaminan apapun dalam peminjaman buku. Sekaligus kita menanamkan budaya kepercayaan.”
Sekolah Literasi yang diselenggarakan oleh para pengelola dan pegiat RBK terdiri dari 5 kali pertemuan. Dalam pertemuan terakhir ini Gerakan Literasi Indonesia (GLI) diundang oleh mereka untuk menjadi fasilitator di kelas “Praksis advokasi Gerakan Literasi terhadap Kaum Tertindas.” Ada 25 orang yang turut serta dalam diskusi ini. Menurut pertimbangan pengurus RBK, GLI diminta untuk mengisi bagian terakhir dari Sekolah Literasi mengingat organisasi yang resmi berdiri pada 17 Juni 2013 tersebut cukup intens dan konsisten mengadvokasi beberapa kelompok tertindas dan menerbitkan beberapa buku sebagai upaya penyebaran gagasan.
(31/8) Sekolah Literasi ini diadakan dalam rangka mendistribusikan pengetahuan yang berbasiskan pada narasi perjuangan sekaligus proses pembebasan dan apresiasi identitas kultural melalui gerakan literasi. Sekolah literasi merupakan pelatihan bagi pesertanya yang bertujuan membentuk pemahaman tentang pentingnya rumah baca, pentingnya membangun gerakan literasi, metode-metode pengembangan gerakan literasi hingga pentingnya membangun gerakan literasi yang ideologis yang mempunyai visi kerakyatan.
Di awal, Dwi Cipta, anggota sekaligus salah satu inisiator GLI ini menyatakan bahwa GLI tidak melakukan advokasi/pendampingan. Yang dilakukan oleh GLI ketika berhubungan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang sedang menghadapi persoalan ekonomi-sosial-budaya di sekitarnya adalah dengan bekerja bahu-membahu bersama masyarakat untuk mencari solusi dan bahkan menyelesaikan persoalan tersebut. Dengan begitu, posisi GLI dan masyarakat dimana GLI bekerja menjadi sama. Sementara terma advokasi/pendampingan ini akan dirasa menempatkan organizer dari luar dalam posisi lebih superior dibandingkan masyarakat. Setelah menjelaskan standing position GLI dalam hubungannya dengan masyarakat yang sedang berada dalamkondisi tertindas, ia menjelaskan tentang konseptualisasi gerakan literasi yang responsif terhadap persoalan isu-isu ekologi dan ruang publik. Diskusipun berlangsung.
Menanam Benih Literasi
Pada sesi tanya-jawab para peserta yang terprovokasi oleh uraian daripemateri melontarkan berbagai tanggapan. Menurut Fauzan, penggiat RBK, “Kita melihat literasi dimaknai secara sempit misalkan lewat hibah buku dan pengadaan taman baca. Di era pasca Orde Baru apa yang terjadi dari rumah baca? apakah adakah perubahan? Kredo utama gerakan literasi selama ini hanya dimaknai sebagai pembebasan buta huruf dari orde lama, orde baru, reformasi hingga pasca reformasi. Setelah refleksi ternyata tidak berubah. Literasi ternyata tidak memfasilitasi manusia pindah dari kondisi ketertindasan tapi justru melanggengkan sistem”.
Kegelisahan pun muncul dalam diskusi ini, salah satunya dari salah satu peserta Sekolah Literasi, Fathan. Dia bercerita bahwa seseorang bisa membeli 30 buku dalam 1 bulan tetapi gagasannya hanya mandeg di dalam kepala saja, tidak ada solusi ataupun pembacaannya terhadap kondisi Indonesia saat ini,. “Aku pusing mikir orang-orang seperti itu. Kita butuh orang yang sableng yang bisa merubah semua kebuntuan ini. Kalau orang bener, setelah sekolah itu kuliah lalu kerja selesai. Masa bodoh dengan isu-isu” katanya.
Bagai gayung bersambut, Dwi Cipta menceritakan pengalaman pribadi yang kemudian terkonfirmasi menjadi pengalaman banyak orang yang ia tanyai. Ketika SD dia mengenal orang sekampung, ketika SMP mengenal satu dusun, beranjak SMA hanya mengenal beberapa, saat Kuliah hanya mengenal tetangga sebelahnya saja. “Artinya, pendidikan formal yang dialami peserta didik justru menjauhkan anda dari masyarakat anda sendiri, anda tidak bisa menjadi agen perubahan di desa sendiri. Anda akan merasa superior dan lupa tentang pengetahuan yang dimiliki petani, pedagang sayur, pemilik warung, guru ngaji atau ulama, preman desa, dan berbagai kelompok masyarakat desa anda sendiri. Anda jadi tidak sadar bahwa interaksi serta ikatan sosial yang telah mereka bangun secara sadar dan tidak sadar telah berlangsung lama dan kuat. Di titik ini, ide-ide perubahan yang dibawa oleh orang yang secara formal telah meniti jalur pendidikan formal yang tinggi namun tercerabut dari masyarakatnya hanya tindakan mencangkok sesuatu yang asing dan tak sesuai dengan struktur masyarakat sejarah sosial-budayanya,” jelasnya.
Kegiatan ini bagaikan menanam pohon. Benih ditanam dengan harapan membuahkan hasil. Benihnya berupa gerakan literasi, gerakan membaca; melek; sadar diri dengan persoalan yang ada di sekitarnya. Gerakan literasi ini melakukan pencerdasan terhadap orang. Yang tidak membaca buku tidak akan bisa ikut dalam gerakan ini. Tetapi juga sebaliknya persoalan banyak membaca terkadang tidak teraktualisasikan secara konkrit. Melalui gerakan literasi ini diharapkan seseorang memiliki kesadaran terhadap apa yang dibaca. Berbagai gerakan pun dilahirkan dari pembacaan. Gerakan ini bisa dilakukan oleh satu orang seperti seseorang yang berkeliling meminjamkan bukunya dari satu tempat ke tempat yang lain tetapi jika dilakukan secara bersama akan memiliki efek yang lebih besar. Di akhir diskusi, Ahmad Sarkawi, penggagas RBK ini mengapresiasi diskusi ini. “Yang dilakukan RBK selama ini tidak diapresiasi banyak pihak. Namun mendengar paparan dari pemateri, saya sekarang yakin kita punya teman yang satu visi dan satu kesadaran. Di sini RBK dan GLI memiliki kesamaan. Salah satunya gagasan terhadap nilai yang dikembangkan oleh RBK yaitu ecoliterasi, untuk memberikan keberpihakan manusia terhadap alam”, tuturnya. [] sumber: http://literasi.co/dua-pijar-gerakan-literasi-di-yogyakarta/

Bukan Bengkel Literasi

David Efendi, Pegiat RBK
Gagasan "sekolah" literasi di RBK lahir bukan didesain untuk teknikalisasi atau fabrikasi komunitas yang rentan dengan proses mekanistik yang tidak apresiatif dengan kreatifitas dan proses evolusi ilmiah. Mendesain dan mempraktikkan model belajar manusiawi--interaksi non-doktriner yang memanusiakan serta menghargai keragaman peserta belajar. Artinya, inklusifisme dalam belajar merupakan keniscayaan yang perlu diciptakan bersama-sama.


Harus diakui, substansi partisipatoris dalam beragam training sering berujung pada dominasi yang laten. Taruhlah contoh, seorang fasilitator yang berubah menjadi penceramah atau seorang yang menyebut dirinya hanya fasilitator ternyata mengendalikan waktu dan jalan kegiatan yang menjadikan peserta kehilangan kenyamanan dalam proses belajar. Metode belajar gaya kyai atau gaya bank hari ini benar benar tak dapat diterima oleh kalangan anak anak muda bahkan anak anak TK. Mempertahankan car belajar demikian menjadi ironi karena kegagalan menjadikan manusia itu punya pengetahuan dan kreatifitas. Fasilitator tahu segalanya, merasa tahu semua hal, dan menjadikan peserta merasa bodoh adalah kegagalan paling berbahaya dalam proses pembelajaran komunitas. Ini belajar gaya militer bagi manusia manusia pendamba kebajikan akal fikiran. Tugas semua orang untuk melakukan pembaharuan cara belajar terus menerus sesuai konteks zaman.
Dari cerita sekolah literasi baik yang saya saksikan, dari WA, dari obrolan dengan fasilitator dan peserta serta refleksi dari teman-teman pegiat ada beberapa catatan yang perlu saya curhatkan di sini; bukan dalam rangka menghakimi tapi menemukan makna makna baru yang menguatkan;.
Pertama, level paradigmatik penyelenggara. Kedua, level konsepsi kurikulum. Ketiga, level interaksi manusiawi dalam proses dan keempat level evaluatif materi, penyajian dan capaian.
Pertama, paradigma sebagai cara memandang diri dan dunia luar merupakan hal sangat mendasar yang secara langsung berpengeruh bagaimana perlakuan seseorang pada dirinya, pada kemampuannya dan juga kepada orang lain atau lingkungan lain. Terlalu inward looking sering terjebak pada superioritas dan terlalu over outword looking akan berakhir pada psimisme yang berakibat tidak PD akan peran yang dilakoni. Nalar apresiatif sangat penting untuk memperkuat posisi secara manusiawi. "Tidak ada yang sempurnah" tapi yang tak sempurna itu sangat bermakna. Inilah brainstorming awal setidaknya yang perlu dimiliki oleh penyelenggara. Keinginan mengubah keadaan secara instan hanya akan melukai optimisme. Paradigma emansipatif, pedagogis, inklusif serta apresiatif sangat penting hari ini untuk memulai memikirkan landasan epistimologis dan aksiologis gerakan.
Kedua, kurikulum adalah kbutuhan peserta setelah melakukan aksesmen di hari pertama atau pra training. Asesmen akan sangat penting membentuk antusiasme warga belajar karena memang materi itu yang diharapkan didambakan peserta. Tanpa asesmen yang tepat suasana pembelajaran dapat dengan mudahnya berubah menjadi suasana sosialisasi. Kurikulum didesainnbareng dengan komitmen hal hal positif yang mesti dijaga selama proses pelatihan ( kontrak belajar). Sangat bagus, jika kontrak belajar tidak berisi larangan larangan tapi hal hal yang menguatkan potensi apresiatif.
Kurikulum yang pas menurut hemat saya adalah materi yang ditargetkan untuk (1) memungkinkan potensi setiap peserta berkembang tanpa mengabaikan salah satu pun dari warga belajar; (2) memantik berbagai gagasan orisinil yang dimiliki peserta; (3) mengembangkan nilai apresiasi sesama ; (4) merawat dan menumbuhkan kepercayaan diri akan eksistensi perannya dalam komunitasnya atau dalam keluarganya; (5) menjadi media interaksi sosial yang dinamis dan kretif; (6) serta menumbuhkan keberanian sikap dan tindakan yang dilandasi pengetahuan; dan sebagainya. Banyak hal positif secara mandiri juga diserap oleh peserta dengan logika dan emosi masing masing.
Ketiga, nuansa interaksi manusia adalah keinginan semua orang. Tak mungkin ada yang menolak suasana humanis dan damai nyaman belajar bersama orang orang baru dikenal. Nilai nilai humanisme secara sederhana dapat dijelaskan dengan metode apresiatif inquary--semua orang punya kekuatan dahsyat yang disadari maupun tidak/kurang diketahui. Dengan penghargaan atas potensi semua orang kekuatan dalam diri memungkinkan tumbuh. Will to improve atau N-ach adalah suatu tendensi umum yang berhak untuk dirawat dan dipelihara. Fasilitator dan peserta yang baik adalah orang yang ingin maju berdaya bersama sama. Tidak keberatan memberikan bantuan dan berbagi sesama. Egoisme dan narsisme adalah dua problem yang harus diwaspadai. Termasuk suasana antar peserta yang saling mengalahkan dan menjebak yang berakibat pihak lain malu adalah interaksi buruk yang harus dihindarkan. Adil harus benar benar sejak dalam pikiran dan sampai perbuatan. Open minded dan terbuka menerima perbaikan adalah jiwa kstaria hebat yang perlu ditumbuhkan.
Untuk belajar secara manusiawi, ada beberapa buku yang perlu untuk dibaca dengan penuh kesungguhan rasa seperti buku buku Paulo Friere politik pendidikan dll, buku sekolah itu candu, buku pendidikan populer karya Mansur Fakih dan masih banyak lagi. Setidaknya pengetahuan tersebut menancapkan filosofi pendididikan dan pembelajaran agar tidak menjadikan ruang belajar sebagai bengkel yang mekanistik dan cenderung dehumanis. Inilah kepentingan kita untuk menghargai proses bukan berlari kencang mengejar hasil semata.

Terakhir adalah keberanian evaluatif sebgai bentuk kepribadian mulia bahwa kita sadar manusia adalah makhluk pembelajar--belajar dari masa lalu dan masa depan untuk memberikan bekal bagi jiwa dan akal kebajikan. Tanpa merasa kurang dan terbuka kritik perbaikan maka kita telah memenjarakan akal kreatif kita untuk mentok pada kepuasan semu. Pujian keberhasilan penyelenggaraan kegiatan bukanlah target dari kegiatan pembelajaran namun sejatinya trget adalah bagaimana tahapan belajar satu menuju tahapan berikutnya dengan antusias dan semangat. Kata plato, pendidikan itu bukan mengisi air dalam bejana tetapi menyalakan lampu penerang bagi kegelapan.

Sangat pas mengutip Yudi Latif, jenis keberpihakan kita yang dibutuhkan negara adalah patriotisme progresif dimana generasi muda tak sibuk mencela, melawan yang tidak disuka tetapi harus menawarkan alternatif perbaikan secara nyata. Saatnya menyalakan lampu bukan mengutuk kegelapan. Semoga manfaat bagi saya dan pembaca


Refleksi Sekolah Literasi (Bagian 1)


Lutfi Zahwar, pegiat Podjok Batca

Sekolah Literasi pertama yang diselenggarakan oleh Rumah Baca Komunitas (selanjutnya disebut RBK) berakhir senin 31 Agustus 2015 dengan materi Praksis Advokasi Gerakan Literasi Terhadap Kaum Tertindas yang difasilitatori oleh Kang Dwi Cipta dari Gerakan Literasi Literasi menorehkan bekas yang dalam pada diri saya. Bekas yang mendalam itu yang kemudian membuat saya memutuskan untuk membuat refleksi singkat tentang Sekolah Literasi yang saya ikuti di RBK.
Menyesal rasanya tidak bisa mengikuti Sekolah Literasi dari pertemuan pertama tanggal 21 Agustus karena masih berada di Kediri. Tetapi beruntung saya bisa mengikuti kelas kedua sampai kelas terakhir. Sekaligus saya mendapatkan kesempatan yang tidak terduga untuk menjadi salah satu fasilitator di kelas ketiga karena David Efendi yang seharusnya menjadi fasilitator mengikuti konferensi di Davao, Filipina.
Menjadi fasilitator tentu saja memberikan banyak pelajaran bahwa saya masih harus banyak belajar. Untung saja waktu itu ada Ahmad Sarkawiyang membantu menjelaskan dengan cukup detail latar belakang lahirnya RBK serta nilai-nilai apa yang diperjuangkan. Menurut Om Wiek, panggilan Ahmad Sarkawi di RBK lahir karena adanya semangat untuk berbagi. Membuka akses seluas-luasnya bagi siapapun untuk bisa mengakses pengetahuan. Menjadikan buku sebagai kepemilikan pribadi menjadi milik bersama di komunitas. Buku yang sebelumnya privat disosialkan.
Om Wiek juga menjelaskan bahwa dalam perjalanan keberadaan RBK yang saat ini sudah berumur tiga tahun. RBK sempat mengalami beberapa transformasi gerakan untuk menemukan formula gerakan yang lebih pas guna menjadi gerakan literasi yang transformatif. Di periode kedua ketika di Jalan Paris (selanjutnya disebut mahzab paris) RBK mengorientasikan keberpihakannya pada kaum-kaum marjinal yang disisihkan oleh masyarakat. RBK membuka diri seluas-luasnya kepada kelompok-kelompok waria, anak gelandangan, dan pekerja seks komersial untuk mendapatkan bahan bacaan, akses pada ilmu pengetahuan. Sedangkan di saat yang sama perpustakaan negara melakukan diskriminasi terhadap mereka. RBK ingin memperlakukan mereka sebagai layaknya manusia, tidak melakukan diskriminasi.
Kemudian apa yang membedakan RBK dengan taman baca-taman baca pada umumnya. Dalam diskusi di Podjok Batja, Cak Daviid pernah menyinggung bahwa gerakan yang diinisiasi di RBK adalah model gerakan baru yang memberikan nafas baru dalam gerakan literasi. Ia menyebutnya sebagai gerakan post taman baca yang hanya menyediakan buku. RBK dengan mengusung dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan, anti diskriminasi, anti kekerasan, berpihak pada mereka yang tertindas tidak saja menyediakan buku untuk bisa diakses. Namun juga secara rutin mengadakan diskusi rutin dua kali seminggu, Diskusi Reboan dan Diskusi Jumat Sore (DeJure) yang banyak mengangkat isu-isu tentang nilai-nilai yang diusungnya.
Tentang Gerakan Post Taman Baca yang disebut oleh David Efendi.Fauzan Anwar Sandiah dalam kelas kedua dalam Sekolah Literasi yang mengangkat topik Dinamika Gerakan Literasi. Sayang dalam pertemuan itu saya datang terlambat sehingga tidak bisa mengikuti dari awal penjelasan menarik dari Fauzan tentang dinamika gerakan literasi. Namun beruntung malam harinya saya berkesempatan mengulang materi yang disampaikan sambil berbincang santai di kafe. Fauzan membagi dinamika gerakan literasi menjadi tiga bagian penting. Pertama gerakan literasi yang berfokus pada meningkatkan minat baca masyarakat. Kritik Fauzan Anwar Sandiah terhadap gerakan ini selain karena tidak kontekstual dengan realitas sosial yang dihadapi masyarakat, bahkan kerap kali dijadikan lahan basah proyek bagi yang berkuasa untuk mengeruk keuntungan. Kedua, gerakan literasi yang berorientasi pada pengembangan dan peningkatan skill, misal saja pelatihan komputer, membaca dan menyusun laporan keuangan.
Tentu saja gerakan itu bagus apalagi jika sesuai konteks dan kebutuhan masyarakat dalam sistem ekonomi yang berkembang seperti sekarang. Namun lebih penting lagi jika tahap kedua itu dilanjutkan ke tahap ketiga, gerakan literasi kritis transformatif. Sebab kalau tidak gerakan literasi model kedua hanya akan menyediakan tenaga terampil yang akan menjadi penopang sistem kehidupan yang instrumentalistik industrial. Gerakan literasi model ini tidak hanya berorientasi, meminjam istilah Karlina Supelli, memproduksi manusia yang semata-mata mampu survive, beradaptasi dengan lingkungan demi keselamatan diri. Melainkan menumbuhkan pemikiran baru, merangsang pemikiran kritis. Ini adalah kemampuan khas manusia untuk mengkreasi budayanya, menangani realitas, menambahkan hal-hal baru, bahkan mengubahnya.
Sebagai model gerakan literasi post taman baca, RBK ingin menjadi tempat disemainya model pendidikan dan pembelajaran gaya baru. Seperti dikatakan David, gagasan sekolah literasi yang diadakan RBK bukan didesain untuk teknikalisasi atau fabrikasi komunitas yang rentan dengan proses mekanistik yang tidak apresiatif kreatifitas dan proses evolusi ilmiah. Mendesain dan mempraktikkan model belajar manusiawi dengan interaksi non doktriner serta menghargai keragaman peserta belajar. Sekaligus membuat Model gerakan literasi seperti itulah yang dalam pandangan saya akan membuka dan menumbuhkembangkan pemahaman kritis mengenai permasalahan apa yang terjadi, kenapa bisa terjadi, dan bagaimana kemungkinan upaya pemecahan yang bisa dikerjakan dalam dunia ini terus berubah. Sekaligus membuat dunia tempat kita hidup mendapatkan kehadiran seseorang yang baru, yang belum pernah ada sebelumnya.

Proses seperti ini akan menjadikan gerakan literasi model baru seperti RBK sebagai tempat berdialog dengan realitas, bukan semata-mata pengalihan pengetahuan tentang realitas. Pemahaman dialogis ini juga berarti pelibatan subyek di dalam membentuk sejarahnya sendiri. Melalui proses berdialog dengan realitas, seseorang akan mampu merekonstruksi dan merevisi kepemahamannya mengenai dunia secara terus menerus. Ia akan lahir sebagai mahluk yang terus menerus mencipta diri, atau secara sederhana, mahluk pembelajar seumur hidup. Dari proses inilah lahir subyek otonom yang tidak lepas dari konteks sosial-kulturalnya, dan konteks kehidupan secara menyeluruh.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK