Wednesday, October 28, 2015

Kesalehan Ekologi

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

al-Insan ibn bi’atihi (Manusia itu anak lingkungannya). Pepatah Arab ini mengandung arti kita memiliki hubungan simbiosis-mutualisme dengan lingkungan hidup kita.

Di satu pihak kita dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan kita, dan di sisi lain kita juga berperan besar dalam merawat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan demikian, kita harus bersikap harmoni terhadap lingkungan kita, dengan tidak mengeksploitasi dan merusaknya.

Dalam banyak hal, manusia cenderung lebih gampang memanfaatkan dan merusak lingkungan hidup, daripada menanam dan menjaga kelestariannya.

Karena membendung nafsu serakah untuk mengeksploitasi alam itu jauh lebih sulit daripada menumbuhkan kesadaran dan kesalehan ekologis.

Kecerdasan lingkungan (environmental quotion) bangsa kita idealnya terus meningkat, karena hampir setiap saat kita dihadapkan kepada aneka bencana alam.

Kita akan semakin cerdas lingkungan jika selalu mengambil pelajaran dan hikmah dari banjir bandang, banjir rob, tanah longsor, tsunami, kekeringan berkepanjangan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kesadaran untuk merawat dan tidak menebang pohon sembarangan juga perlu dikampanyekan dan disosialisasikan.

Sebaliknya, gerakan menanam pohon dan menghijaukan lingkungan (reboisasi) harus mendapat respon positif dari semua pihak.

Dalam hal ini, Nabi SAW pernah melarang umatnya melakukan penebangan pohon, lebih-lebih pohon itu berfungsi sebagai tempat berteduh manusia atau hewan.

Rasulullah SAW pernah melarang menebang pohon di tanah gurun yang menjadi tempat berteduh manusia atau hewan, dan menganggapnya sebagai arogansi dan aniaya.” (HR. Abu Dawud).   

Sejalan dengan itu, pemanfaatan lahan produktif untuk bercocok tanam, bertani, dan peningkatan produksi bahan pangan merupakan perintah agama.

Artinya, dalam rangka pemeliharaan lingkungan, kita dilarang untuk menelantarkan lahan produktif agar memberi nilai manfaat bagi umat manusia.

Jabir ibn Abdullah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu ada beberapa orang memiliki tanah lebih, lalu mereka berkata: “Lebih baik kami sewakan dengan hasilnya sepertiga, seperempat atau separuh. Tiba-tiba Nabi Saw bersabda: Siapa yang memiliki tanah, maka hendaknya ditanami atau diberikan kepada saudaranya, jika tidak diberikan, maka hendaklah ditahan saja.”  (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, menanam pohon, tanaman, atau tumbuhan yang memberi nilai manfaat sangatlah  penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain.
Bahkan, jika tanaman itu dimakan burung,  binatang, atau manusia, maka yang dimakan itu dinilai sebagai sedekah; dan sang pemilik tanaman itu mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Hadis berikut juga menunjukkan pentingnya gerakan pemanfaatan lahan tidur (yang tidak ditanami) menjadi lahan produktif.

Dengan memanfaatkan lahan menjadi produktif, kelestarian lingkungan menjadi terjaga dan memberi nilai tambah bagi semua.

Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang Muslim yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah. (HR. al-Bukhari Muslim)

Dengan demikian, penelantaran lahan atau tanah yang produktif sama artinya tidak memedulikan kelestarian lingkungan.

Dalam pelestarian lingkungan, prinsip utama yang harus dipedomani Muslim adalah prinsip kemanfaatan, sesuai dengan hadits Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.” (HR al-Thabarani).

Selain itu, prinsip keberkahan, kasih sayang, dan ampunan dari Allah SWT juga merupakan prinsip sosial yang perlu diyakini dan diaplikasikan dalam pemeliharaan lingkungan.

Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: “Ada golongan hamba yang pahalanya terus mengalir, sementara ia telah berada dalam kubur setelah kematiannya, yaitu: orang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam pohon, membangun masjid, mewariskan mushhaf, dan meninggalkan anak yang selalu memintakan ampun orang tuanya setelah kematiannya.” (HR. al-Baihaqi, Ibn Abi Dawud, al-Bazzar, dan ad-Dailami).

Dalam hadits lain, Nabi SAW pernah berpesan kepada para pasukannya ketika hendak pergi menuju medan perang untuk tidak: pertama, membuang kotoran (sampah) di tempat aliran sungai, kedua, menebang pohon tanpa alasan, dan ketiga buang air kecil atau air besar (BAB) di bawah pohon yang biasa dilewati atau digunakan manusia berteduh.

Jadi, pelesatarian lingkungan itu sangat tergantung pada faktor manusianya. Reboisasi tidak akan berhasil jika hutan atau tanaman selalu digunduli secara ilegal.

Optimalisasi fungsi lingkungan alam, lingkungan hidup menjadi sangat penting karena ekosistem ini dapat menentukan kualitas hidup kita.

Jika lingkungan kita rusak (tidak sehat, tidak bersih, tidak indah, tidak nyaman), maka kualitas hidup  menjadi terganggu dan tidak nyaman.

Dengan demikian, pendidikan lingkungan merupakan bagian dari pendidikan Islam yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, mulai dari diri sendiri hingga para petinggi negeri ini agar berbagai bencana dan musibah dapat dicegah dan dihindari.

Esensi kesalehan ekologis adalah menjaga, melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan mendayagunakan lingkungan demi kesejahteraan hidup manusia sekaligus memberikan kenyamanan untuk beribadah dan mewujudkan masa depan yang lebih baik.


Dengan memiliki kesalehan ekologis,  kita hendaknya semakin ramah dan harmoni terhadap lingkungan sekitar kita, karena kita juga yang akan merasakan akibatnya jika kita tidak bersikap saleh terhadapnya.

sumber: 
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/03/07/n211zv-kesalehan-ekologi

Tuesday, October 27, 2015

10 Kecerdasan Ekologis dalam Al-Qur'an, Penuntun Kebahagiaan

oleh Admin

kampanye green deen ‪#‎ekoliterasiRBK‬ Rumah Baca Komunitas
Jum'at mubarak.

Kecerdasan Islam ekologis (ecology Islam Quotient) pada dasarnya adalah sebuah panduan yang mengajak manusia untuk sadar bahwa syarat awal untuk menjadi “orang-orang yang beriman” (mu’min) adalah pengakuan bahwa Allah Swt merupakan Tuhan ekosistem lingkungan yang harmonis. Allah Swt merupakan pencipta langit dan bumi, serta pengatur ekosistem yang menyerahkan amanah pengelolaan bumi kepada manusia.

Syarat pertama manusia dilepas ke muka bumi adalah perintah untuk mempelajari nama benda-benda. Nabi Adam dituntun oleh Allah untuk mengucapkan benda-benda. Perintah qalam untuk Nabi Adam, juga dilakukan kepada Nabi Muhammad dengan perintah Iqra. Perintah Qalam sebab manusia harus memulai kesadaran baru, sedangkan perintah Iqra agar manusia mulai berbenah diri atas kebahagian yang hendak dicapainya.

1. Surat al-Mu’min ayat 64: “Allah-lah yang menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu lalu memperindah rupamu serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah Allah, Tuhanmu, Mahasuci Allah Tuhan seluruh alam.”

2. Surat al-An'am ayat 99 : "Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dari dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serua dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh pada demikian itu ada tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”

3. Surat al-An'am ayat 165: "Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.

4. Surat al-An’am ayat 38: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami lupakan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.”

5. Surat al-Qasas ayat 77: "...berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan."

6. Surat al-Baqarah ayat 60: "...makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berbuat kerusakan.

7. Surat ar-Rum ayat 41: "telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.."

8. Surat al-Azhab ayat 72: "sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."

9. Surat an-Nahl ayat 65: "Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang demikian tu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)"

10. Surat Qaf ayat 9: "Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen."

5 Makna Daya-Tahan

Fauzan A Sandiah, Kurator RBK

kurang lebih tiga tahun yang lalu saat saya menemukan komunitas belajar (sekarang Rumah Baca Komunitas) saya berpikir tentang banyak hal. pertama, ini adalah sebuah pengalaman baru untuk belajar hal baru dari orang-orang di komunitas. Waktu itu saya mengenal Cak David dan Kak Wiek, dua makhluk tuhan ini berbaik hati membuka diri untuk berdiskusi banyak hal.
saya hanya diam saja mendengar mereka bicara soal banyak hal. pelan-pelan saya belajar dari diskusi-diskusi itu. saya mulai berburu beberapa bahan bacaan baru, politik, sastra, filsafat, hingga soal komunitas. saya tidak sabaran dalam membiarkan kehausan belajar lama bersarang di dalam diri.
di kampus saya aktif dengan lintas organisasi kemahasiswaan, baik intra, atau otonom atau lintas kampus. di luar kampus juga pada awal-awal semester di S1 saya sempat menggagas komunitas belajar bersama beberapa teman. ternyata keasyikan membangun komunitas belajar itu menjadi kuat sewaktu bergabung dengan Cak David juga kak Wiek.
saya termasuk orang yang senang untuk membiarkan diri mencari makna hidup lewat pergaulan-pergaulan di jalan sunyi. bicara soal mimpi dan cita-cita, bergaul dengan kehidupan real. bergaul dengan manusia-manusia, dengan lingkungan. pergaulan itu membentuk daya-tahan bagi diri saya.
kedua, saya termasuk mahasiswa yang tidak memiliki apa-apa kecuali buku dan keinginan belajar yang mendorong saya terus-menerus. terkadang, berkorban jatah makan, untuk membeli buku itu sebuah kebahagiaan. menempuh perjalanan jauh dengan jalan kaki atau naik bis merupakan hal biasa bagi saya sejak sekolah dasar. maka sewaktu kuliah jika harus berjalan kaki itu soal biasa. not a big deal. saya terbiasa untuk tidak mengeluh.
sewaktu RBK masih di Onggobayan, terkadang saya harus merepotkan kawan-kawan untuk mengantarkan saya. kemudian sewaktu RBK pindah di Paris, lebih tertolong, saya bisa turun dari transjogja di depan museum perjuangan dan melanjutkan jalan kaki ke jl. parangtritis. ini tentu pekerjaan yang mudah. not a big deal.
selama tiga tahun menjadi pegiat di RBK, begitulah keasyikan yang saya alami. maka saya pikir makna daya-tahan bagi seorang pegiat itu:
1. daya-tahan itu selalu diuji, maka daya-tahan hidup seseorang selalu baru. kebaruan itu menciptakan energi positif bagi diri pribadi dan sesama.
2. daya-tahan itu berkaitan dengan "seni pengabaian". mengabaikan opini sosial yang melemahkan, mengabaikan keterbatasan fisik, mengabaikan hambatan, mengabaikan alasan-alasan yang melemahkan, mengabaikan yang harus diabaikan. go ahead.
3. daya-tahan itu murni muncul karena dorongan diri sendiri yang muncul karena dialektika dengan kehidupan. membaca buku, belajar dari berbagai macam orang, intinya belajar apa yang "real" sedang terjadi di dunia ini akan memunculkan daya-tahan.
4. daya-tahan itu mengharuskan kemampuan untuk melakukan. ide sebesar apapun harus mampu dilakukan. ide sekecil apapun yang dapat dilakukan akan membantu banyak hal. itu akan membangun sikap optimistik pada daya-tahan.
5. daya-tahan itu berkaitan dengan apresiasi kemenangan-kemenangan kecil. kemenangan bangun pagi, kemenangan menepati janji dengan orang, dan kemenangan kecil karena menyiram tanaman setiap hari, kemenangan telah berkata jujur. apresiasi terhadap kemenangan kecil akan menjadi sumber dari kebahagiaan yang maha besar, dalam Islam ini disebut bersyukur.
6. daya-tahan pribadi akan membantu menguatkan setiap orang dalam lingkungan komunitas. maka daya-tahan yang baik adalah yang apresiatif terhadap siapa saja. memperkuat kebersamaan, memperkuat kebahagiaan bagi sesama. sebaik-baik daya-tahan adalah yang memperkuat kemanusiaan.
sekian, selamat sore.

Tuesday, October 20, 2015

review: Buku #Rembang Melawan

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Terdapat tiga faktor penting yang biasanya menjadi rujukan mengapa Indonesia sedang bergerak menuju kemakmuran. Faktor pertama adalah kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia; Kedua, stabilitas politik; Ketiga, penurunan biaya untuk mendapatkan modal. Lembaga investasi seperti Morgan Stanley menggunakan tiga faktor tersebut untuk menunjukkan arah positif besaran makro ekonomi Indonesia.[1] Dan karena kemakmuran itu diasumsikan sebagai bentuk kesejahteraan maka segala upaya menuju pembentukan model kemakmuran ekonomi dilakukan. Pertambangan berkaitan dengan proses industrialisasi dianggap sebagai cara menuju kemakmuran melalui pengelolaan sumber daya alam. Pendapat tersebut pada dasarnya mengandung kerancuan. Diskursus seputar pertambangan sumber daya alam, pada dasarwarsa 90-an di Amerika misalnya menyatakan pendapat tersebut memuat asumsi bahwa sumber daya alam yang belum mengalami proses pengolahan pada dasarnya tidak memiliki nilai. Artinya, sumber daya alam sebagai bentuk dari keadaan material alam dan ketersediaannya bukan merupakan kemakmuran itu sendiri.

Tentu saja perdebatan dalam diskursus tentang kemakmuran dan kesejahteraan tersebut pada realitasnya membawa persoalan lain. Perlawanan yang dilakukan oleh Aliansi Warga Rembang Peduli Pegunungan Kendeng (AWRPPK) yang terdiri atas Joko Prianto, Sukimin, Suyasir, Rutono, Sujono, dan Sulijan, kemudian WALHI, serta LBH Semarang tersebut berhadapan dengan kekuatan besar ekonomi-politik korporasi. Perlawanan tersebut bertambah aneh dan janggal karena negara melalui representasi aparatur keamanan berdiri pada posisi korporasi.[2] Apapun yang menjadi motivasi penolakan warga rembang terhadap ijin pendirian pabrik semen, tidak seharusnya terjadi tindak kekerasan. Apalagi dalam perihal tindak kekerasan, negara secara tidak langsung telah menjadi instrumen korporasi. Dalam hal ini, kemakmuran dan kesejahteraan sebagai protokol formal yang mendasari kebijakan politik negara atas eksistensi niscaya korporasi berhadapan dengan kehendak kelompok yang kontra terhadap usaha mendirikan pabrik semen.

Diskursus tentang kemakmuran dan kesejahteraan memang telah menjadi alat kekuasaan. Begitu juga dengan diskurus tentang kemiskinan yang membantu korporasi melalui negara untuk menemukan legitimasi. Dengan demikian, perlawanan warga dari Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, terhadap usaha pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia memberikan kita dua hal penting untuk dicatat. Pertama, kasus Rembang ini menjadi penting untuk melihat apa yang disebut oleh Hendra Try Ardianto sebagai “darurat ekologi dan agraria”. Berkaitan dengan hal tersebut, perlawanan terhadap narasi-narasi legitimatik atas tambang, pabrik, dan industri tentang efek mikro dan makronya terhadap masyarakat merupakan bagian dari kondisi darurat ekologi dan agraria. Diskursus kemakmuran dan kesejahteraan ketika dihadapkan pada kondisi darurat ekologi dan agraria mendapat tantangan serius.

Kedua, tentang perlawanan yang dikonsolidasi untuk menentang Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 668/1/17 Tahun 2012 atas ijin lingkungan PT Semen Gresik yang sekarang berubah menjadi PT Semen Indonesia (PT SI). SK tersebut ditandatangani Bibit Waluyo tanggal 7 Juni tahun 2012. Perlawanan terhadap SK tersebut dilakukan melalui berbagai upaya konsolidasi massa, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan kritik reflektif terhadap peran intelektual.

Melalui Buku #Rembang Melawan; Melawan Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng, kita dibawa pada tiga aras dokumentatif tentang perlawanan warga rembang terhadap korporasi yang dibantu oleh aktivis, mahasiswa, akademisi, wartawan, dan kelompok-kelompok lain. Pertama adalah aras analisis yang berusaha mendudukkan keterangan-keterangan objektif mengenai Kawasan Karst di Kendeng Utara, Ijin Lingkungan dan validitas data dalam proses pembuatan SK, dan yang paling penting berkaitan dengan mitos kesejahteraan melalui pertambangan. Aras pertama ini hendak membantu perlawanan warga rembang terhadap korporasi melalui pertarungan diskursif pada tataran ilmu pengetahuan.

Analisis geologi, ekologi, ekonomi-politik, hingga hukum merupakan basis-basis argumentasi yang dapat menjadi jembatan kekuasaan. Dua akademisi UGM, Eko Haryono (dosen fakultas geografi) dan Heru Hendrayana (Dosen Teknik Geologi) yang menjadi saksi ahli PT Semen Indonesia dalam persidangan di PTUN memang tidak menjadi satu-satunya faktor mengapa Majelis Hakim PTUN menolak gugatan warga rembang pada sidang tanggal 16 April tahun 2015. Tetapi, kesaksian HH sebagai akademisi dikritik oleh Bosman Batubara melalui tulisannya Benarkah Batu di Rembang Tidak Memiliki Sumber Air?. Apa yang dikritik oleh Batubara terkait dengan klaim objektivitas melalui simbol “saksi ahli” atau “akademisi” dalam menginterpretasikan data. Penggunaan simbol sebagai “saksi ahli” telah menjadi alat legitimasi keakuratan interpretasi. Persoalan klaim dengan “nada pasti” yang berkaitan dengan interpretasi data dari dokumen Amdal oleh HH dikritik oleh Batubara sebagai “tidak lazim” dalam konteks geologi dan hidrologi. Kritik Batubara terhadap HH adalah salah-satu bentuk benturan dalam diskursus ilmu pengetahuan dan perannya sebagai basis logika manusia.

Kedua, adalah aras tentang kritik reflektif atas berbagai perkembangan terbaru seputar gugatan warga Rembang. Ketiga, adalah aras tentang gerakan penolakan pendirian pabrik semen melalui subjek-subjek yang melawan korporasi. Aras kedua, dan ketiga, berisi tentang narasi-narasi perlawanan, dan kekecewaan-kekecewaan.

Keseluruhan aras yang dibahas dalam buku #RembangMelawan memperlihatkan satu topik utama, yakni berkaitan dengan dinamika diskursif yang terjadi selama proses gugatan dan protes warga rembang, WALHI, dan LBH Semarang terhadap pihak PT Semen Indonesia. Dinamika tersebut terjadi dalam tiga sifat kategoris diskursif; (1) analisis ilmu pengetahuan, (2) kritik etis-politis, dan (3) rekaman naratif atas pergerakan melawan PT Semen Indonesia. Maka #RembangMelawan seperti memuat tiga protes sekaligus. Ketika gerakan-gerakan sosial dan mobilisasi massa di Indonesia menghadapi kritik dan basis sosiologis yang terperangkap, gerakan protes warga rembang dapat memberikan kita keterangan-keterangan aktual tentang proses-proses gugatan yang dilakukan di Indonesia menghadapi korporasi yang berlandas pada argumentasi ekologi-agraris. Selamat Membaca!.



[1] A. Prasetyantoko, “Paradoks Ekonomi dan Agenda Kesejahteraan Sosial”, dalam A. Prasetyantoko, Setyo Budiantoro, dan Sugeng Bahagijo (Ed), Pembangunan Inklusi; Prospek dan Tantangan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2012), hlm. 26-27.

[2] Redaksi, “Kronologi Represi Aparat terhadap Ibu-Ibu Penolak Pabrik Semen di Rembang 27 November 2014”, http://selamatkanbumi.com/kronologi-represi-aparat-terhadap-ibu-ibu-penolak-pabrik-semen-di-rembang-27-november-2014/  diakses 2 Mei 2015.

__________________________
Keterangan Buku
Judul                       : #RembangMelawan
Editor                      : Dwicipta dan Try Ardianto
Penerbit                  : LiterasiPress
Tahun Terbit         : Yogyakarta, 2015

Dari Max Lane, Generasi Sekarang, dan Buku Kiri: Sedikit Jawaban Untuk Pertanyaan Papa

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Lane dalam Unfinished Nation (2014) memberi sedikit inspirasi untuk membaca apa yang terjadi pada generasi manusia Indonesia pasca tahun 1990.  Tesis utama Lane dalam bukunya tersebut memang membicarakan sebab-musabab kejatuhan Soeharto bukan oleh kontradiksi oligarki, atau semacam krisis Asia tahun 1997, melainkan apa yang disebut Lane dengan “Kepeloporan Politik”. Namun ada beberapa pembahasan dengan maksud reflektif, dan proyektif Lane memberikan beberapa inspirasi yang menarik. Misalnya seputar analisis mengapa ide-ide progresif kelompok massa yang meruntuhkan rezim Soeharto tidak berlanjut. Dan yang paling penting adalah membaca kondisi generasi sekarang sebagai kelanjutan dari proses historis yang panjang.

Konsep kepeloporan politik sempat beberapa kali menjadi perbincangan. Termasuk dalam massa Mahasiswa di kampus-kampus misalnya dalam demonstrasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tetapi, konsep kepoleporan dan basis massa yang masif jarang terjadi. Amien Rais pernah menganalisis bahwa fenomena itu menunjukkan ketidakmampuan mahasiswa atau aktor intelektual untuk mengemas isu, dan yang paling utama adalah objektivikasi isu. Mahasiswa gagal menyadarkan masyarakat tentang proses-proses kapitalisme yang berjalan dalam kehidupan pasca reformasi. Lane juga tidak memungkiri hal tersebut, tetapi dengan nada optimis dia menyebut ini sebagai “Periode Baru Mobilisasi” (hlm.472).

Satu hal yang juga menarik, Lane menulis begini, “Saya sudah menjelaskan bahwa tak ada unsur-unsur yang tersisa dari aksi massa berideologi kiri 1900-1965, selain sentimen populis yang dicerminkan oleh kata rakyat dan Soekarno” (hlm. 489). Rezim Soeharto sudah berupaya mati-matian untuk menghapuskan kata “buruh” karena berkonotasi dengan perjuangan kelas dan menggantinya dengan “pekerja” atau “karyawan” serta menghapuskan ideologi dari percaturan diskursus. Hal itu bagi Lane menjadi jembatan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada hari ini. Termasuk apa yang terjadi pasca reformasi tahun 1998.  

Satu hal yang jelas bahwa di era pasca reformasi, perilaku sewenang-wenang, pemiskinan, semakin kasat mata, dan dengan demikian tidak dibutuhkan alat bantu apapun untuk melihatnya. Tetapi mengapa populasi generasi muda tidak sadar dengan proses tersebut? atau mengapa justru generasi muda dengan tangan terbuka siap menjadi buruh dengan gaji berapapun asal bisa membeli gadget, menikmati liburan, dan seakan tanpa malu berfoto ria di kedai atau pusat perbelanjaan yang dibangun atas darah masyarakat lokal? Dan merasa telah berjuang bagi bangsa Indonesia karena demo menolak SPP naik atau karena melakukan kuliah kerja nyata di pedesaan, atau karena telah menjadi voluntir mengajar di daerah kumuh? Dan setelahnya kehabisan napas untuk berusaha kontemplatif?.

Generasi itu, generasi yang memuja komoditas olahan dan memuja “nilai tambah” barang daripada mempelajarinya atau memproteksinya sebab ekses masa depan yang menghancurkan. Maka kehadiran generasi muda lain yang sedang belajar untuk memahami realitas, mencoba upaya-upaya untuk diskusi, membaca buku, sebenarnya sedang menjalankan proyek yang paling tidak, sedikit mengerem kerusakan akut.

Anarkisme sangat kecil hidup dari generasi-generasi ini hanya karena mereka membaca buku kiri atau karena terlibat dalam aksi-aksi protes dengan petani rembang misalnya. Hanya karena tekun dengan Das Capital Karl Marx atau Anti-Duhrin Engels mereka tidak akan menjadi seorang anarkis, pemberontak, atau malas kuliah serta menolak menjadi karyawan. Lebih daripada itu, mereka menjadi generasi yang mencoba secara epistemologis menuju realitas melalui cara-cara yang variatif. Ide-ide tentang kesuksesan atau tentang kegagalan bagi generasi adalah soal hidup sebagai manusia, dan manusiawi.

Buku-buku itu bahkan mengantarkan mereka untuk membebaskan diri dari jerat pesimisme akut, dan memulai optimisme dari kehidupan-kehidupan kecil di sekitar mereka. Generasi itu terpanggil karena sekelompok ibu-ibu dipaksa kalah oleh penguasa. Beberapa mahasiswa yang menjadi pegiat di salah-satu rumah baca bahkan seringkalli saya temui berkelakar bahagia tentang mimpi membangun desa. Generasi itu belum membuktikan, tapi kita patut berharap.

Generasi itu beberapa ada yang senang ikut pengajian, aktif di organisasi keagamaan, dan hidup sebagaimana kehidupan formal publik dibentuk, mereka tentu saja masih senang berburu kuliner ke pelosok kidul atau lor kota. Sebagian menjadi dosen, karyawan, birokrat, pengajar, penjaga warnet, pengusaha, dan lain sebagainya. Sebab membaca buku-buku secara variatif, terbentuk kesadaran tentang transformasi sosial kecil-kecilan dan minim kontradiksi. Generasi itu tidak bersedih hanya karena kegiatan diskusi minim peserta, atau kejar-kejaran dengan tugas pokok.

Bagi generasi pembaca ini, kejadian di masa lalu adalah bagian dari sejarah, baik yang terjadi pada pihak kanan atau pihak kiri. Semua tidak dapat diacuhkan. Dengan membaca sejarah, mereka berusaha menemukan jalan keluar atas konflik-konflik di masa lalu. Dan mungkin saja menganalisisnya untuk kebutuhan di masa mendatang terkait dengan kegagalan dan harapan.

***

Pagi tadi lewat komentar di media sosial, Papa memberikan pertanyaan begini kepada saya: “Akhir-akhir ini buku literatur berbau pikiran komunis semakin merambak pasar dunia maya, apa ini sebagai indikator bangkitnya revolusi mental dan pikir era baru komunis di Indonesia? Entahlah kita tunggu gejala selanjutnya.”

Pertanyaan itu berkaitan dengan peningkatan jumlah penerbitan buku-buku tema “kiri” di Indonesia beberapa tahun terakhir. Buku-buku “kiri” itu termasuk naskah-naskah yang ditulis seputar penelitian sejarah, dan rekonstruksi teori-teori sosial. Beberapa tahun sebelumnya memang ada buku-buku yang dapat dikatakan sebagai kelanjutan kembali penerbitan buku-buku tersebut sama seperti sebelum tahun 1965. Naskah-naskah lain misalnya adalah terkait dengan objek-objek penelitian sengketa antara korporasi dan masyarakat. Bidang hukum, antropologi, dan sosiologi adalah beberapa bidang yang secara kritis membahas misalnya korporasi tambang versus masyarakat.

Memang cenderung sulit untuk memisahkan antara buku “kiri” dan buku dengan basis analisis kritis yang berpijak pada pertentangan kelas, intervensi ekonomi, dan kerusakan ekologi akibat ketidakmampuan fungsional korporasi. Sebagian kalangan memang memandang dua jenis buku tersebut terpisah. Beberapa kalangan mungkin akan senang hati membaca buku yang menggunakan analisis pertentangan kelas daripada membeli buku yang membahas ideologi kiri atau sejarah pemikiran tokoh Marxisme. Walau berbeda, dua buku tersebut sulit dipisahkan. Hal tersebut memang sudah wajar adanya. Bagi kelompok intelektual atau peneliti, buku pertama membantunya menganalisis realitas sosial menggunakan tesis radikal. Sedangkan buku kedua seringkali dianggap sebagai bahan bacaan saja.

Jenis buku lain, yang tidak masuk kategori “kiri” dan oleh penulisnya sendiri diingkari memuat bau Marxisme seringkali dianggap identik. Novel-novel karangan Pramoedya Ananta Toer misalnya akan digolongkan sebagai bacaan kategori kiri karena secara historis sang penulis berafiliasi dengan Lekra. Padahal sang penulis mengaku sama sekali tidak mengenal dan tidak akrab dengan teks-teks Marx. Bagaimana juga dengan buku-buku teori sosial baru semacam Giddens dan Bryan Turner?. Ide-ide komunal yang banyak bertebaran sekarang juga kerap dianggap dekat kategori kiri hanya karena diidentifikasi menyebut nama Marx, Lenin, atau Stalin, meskipun secara epistemologi sama sekali berlainan.

Berkaitan dengan soal generasi sekarang, merebaknya buku-buku kategori “kiri” mungkin dapat dimaknai sebagai rangka belajar. Generasi sekarang mau tidak mau tergugah hendak membaca buku-buku yang sebagian berkategori kiri sebab mereka kehilangan kontak dengan sejarah bangsanya sendiri. Dan era sekarang siapapun sekehendak hatinya dapat muncul di pasar perbukuan Indonesia. Misalnya kelompok penulis sastra relijius berbasis kelas menengah juga dapat menulis novel, atau kelompok penulis demokrat-liberal dengan hegemoni dunia perbukuan sejak tahun 1980-an. Meskipun kelompok penulis yang terakhir ini mulai kehilangan elanvitalnya sebab diskursus yang minim keberpihakan. Sedangkan kelompok pertama justru menemukan momentumnya seiring dengan gejala peningkatan kelas menengah.

Maka generasi sekarang pada beberapa sisi menyerap berbagai ide-ide yang nyaris sama tetapi berasal dari basis epistemologis berbeda. Misalnaya sebagian memaknai kata “berjuang untuk rakyat” melalui kegiatan berfoto bersama mbah-mbah yang membawa bakul di pasar. Sebagian memaknai kata “berjuang untuk rakyat” secara simbolis melalui kampanye kebebasan berpendapat. Sebagian yang lain memaknainya lewat kampanye-kampanye politik. sebagian yang lain menulis, membaca buku, belajar tekun, membangun bisnis, ikut rapat RT/RW, ikut kerja bakti, dan lain-lain. Generasi ini tidak akan anti dengan musik barat hanya karena mengagumi Marx atau Tan Malaka. Sebagian dari mereka tetap berkunjung ke rumah makan waralaba, dan berbahagia karena itu.

Generasi sekarang tengah menikmati proses belajar dari orang tua, filsafat, pemuka agama, ilmu pengetahuan, kejadian sehari-hari, dan buku. Sama seperti generasi-generasi sebelumnya. Hanya saja berbeda dalam dua hal, pertama, mereka berpotensi menjadi objek produksi atau konsumsi. Misalnya, secara politis generasi ini masih dianggap sebagai pelengkap primer kekuatan pemenang pemilu atau objek pasar produk, dan tentu saja sebagai objek yang diperjualbelikan. Kedua, sekuensi evolutif pada generasi sekarang sebagai proses yang alami dari perkembangan manusia.

Nyanyi Sunyi 50 Tahun Pasca 1965

Terlepas dari kontroversialnya data yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa G-30-S, suatu urgensi lain mengemuka. Pasca runtuhnya rezim orde baru, hal apa yang seharusnya kembali dimaknai oleh rakyat Indonesia?. Hal itu yang mendorong saya dan kawan-kawan di Rumah Baca Komunitas untuk membicarakan tentang Gerakan 30 September sebagai dalih pembunuhan massal. Salah-satu alasan utama mengapa pembicaraan mengenai pembunuhan massal tidak dapat disepelekan ini berkaitan dengan proses rekonstruksi identitas kebangsaan. Meskipun begitu, suatu hal yang seringkali menguras tenaga adalah soal apakah dengan membahas pembunuhan massal 1965 seseorang termasuk dalam kategori Pro-PKI atau Anti-PKI (John Roosa, 2008).
Sebelum memulai pembicaraan yang reflektif, ada baiknya diungkapkan beberapa alasan mendasar mengapa penting untuk membahas peristiwa G-30-S. Alasan pertama, G-30-S bukan satu-satunya sejarah pemberontakan di Indonesia. Konteks historis mengenai perpolitikan di Indonesia menyatakan bahwa G-30-S bukan suatu peristiwa politik tunggal. Alasan kedua, ketika membahas mengenai G-30-S tidak serta merta menunjukkan posisi politis dan ideologis. Kajian yang melatarbelakang G-30-S digerakkan oleh sebuah pencarian identitas bangsa. Persis pada momen ini, kajian yang jujur terhadap G-30-S, meskipun tidak merupakan satu-satunya topik, tetapi menjadi salah-satu tangga penting untuk merekonstruksi identitas baru. Alasan ketiga, secara umum, model otoritarian yang laten dimiliki oleh PKI tidak dapat diterima menurut pertimbangan rasional, tetapi itu tidak serta menjadi dalih untuk membenarkan proses pembunuhan massal. Alasan keempat, generasi baru Indonesia, yang telah tercerabut dari sejarah bangsanya sendiri, penting untuk mengetahui tentang kebenaran tak tunggal dari informasi historis mengenai G-30-S.
Alasan kelima, sebagai sesuatu yang tidak kurang penting adalah mengetahui motif ekonomi politik di balik peristiwa pembunuhan massal. Dalih kudeta dan peristiwa misterius di balik kematian Dewan Jenderal apakah dapat diterima sembari kontroversi terhadap data baik di persidangan Mahmilub tahun 1970an atau dokumen sejarah Indonesia tidak dapat dijelaskan?. Lima alasan ini tidak berkaitan sama sekali dengan sikap politik atau ideologis untuk Pro-PKI atau Anti-PKI. Tetapi sebagai cara generasi baru untuk berdialog dengan sejarah bangsanya sendiri. Tentu saja, perkembangan diskursus, dan transformasi sosial tertentu telah menciptakan suatu ruang dialektika yang berbeda.
Menyanyi Sunyi Kembali?
Harapan bagi bangsa yang jujur dengan sejarahnya sendiri adalah kemampuannya dalam menciptakan kemungkinan terbaik bagi kemanusiaan. Pasca pembungkaman terhadap narasi sejarah misalnya diikuti oleh kontrol politik terhadap ruang dialektika, seperti pelarangan penerbitan buku Marxisme yang tetap bertahan hingga keruntuhan orde baru. Kematian petani yang mempertahankan tanahnya, perlakuan militer yang melangkahi batas kemanusiaan serta reproduksi kebencian terhadap kelompok marjinal apakah sebuah bentuk orkestra sunyi yang hendak dipertunjukkan kembali?. Terdapat lima topik yang berkembang selama kami berdiskusi di RBK dalam rangka merefleksikan pertanyaan itu.
Pertama, soal historiografi Indonesia. Topik diskusi yang pertama ini lebih banyak berkaitan dengan konteks bagaimana literatur sejarah Indonesia versi rezim membentuk kesadaran tertentu mengenai apa yang sebenarnya disebut sebagai “masyarakat baik” dan “masyarakat buruk”. Separasi antara dua kategori masyarakat ini banyak berasal dari bagaimana narasi sejarah membentuk kesadaran seorang warga negara dalam proses peleburan identitas diri dengan narasi sejarah. Apa yang terjadi hari ini merefleksikan bagaimana masyarakat memaknai sejarah yang melatarbelakangi proses kehidupan masyarakat lampau.
Kedua, soal menggali kembali nilai-nilai dan identitas bangsa. Topik ini sebenarnya banyak berkembang dari tesis besar Max Lane bahwa proses pembentukan identitas bangsa Indonesia belum selesai (Max Lane, 2014). Proses pembentukan Indonesia sebagai sebuah bangsa tidak dimonopoli oleh satu pihak. Proses pembentukan Indonesia dilakukan oleh aksi massa yang dilatarbelakangi oleh sikap antikolonialisme. Partisipasi rakyat di dalam proses pembentukan bangsa merupakan informasi sejarah yang tidak dapat diabaikan.
Ketiga, mempertanyakan secara kritis proses pembentukan identitas bangsa yang berubah sejak tahun 1965. Menurut Roosa, salah-satu hal penting yang tidak dapat dilupakan dari peristwa 1965 adalah pergeseran identitas bangsa. Roosa menyatakan sebelum tahun 1965, identitas bangsa Indonesia banyak dibentuk oleh sikap antikolonialisme. Bersamaan dengan itu, sikap anti neoliberalisme ekonomi menguat, dan pergerakan mendukung land reform di Indonesia berjalan massif. Peristiwa 1965, secara taktis dan misterius menjadi jalan untuk melenyapkan sikap anti neoliberalisme dalam kebijakan ekonomi serta proses gerakan land reform.
Keempat, mendorong ekonomi politik berkelanjutan sebagai tanggungjawab historis. Lenyapnya sikap anti neoliberalisme dalam diskursus ekonomi politik di Indonesia membawa dampak buruk tidak saja bagi perubahan struktur sosial. Melainkan juga membawa dampak langsung terhadap kerusakan alam. Industrialisasi yang telah merusak kualitas ekologis beberapa tempat Indonesia telah menjadi jembatan untuk mengawali eksploitasi kekayaan ekologis Indonesia di Papua. Hal ini disebabkan oleh sifat eksploitatif industri yang memandang alam sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan manusia ekonomi.
Kelima, mencari model perdamaian partisipatoris. Rekonsiliasi adalah simbol dari kejujuran dalam menimbang masa depan bangsa. Rekonsiliasi merupakan salah-satu tangga untuk membuka kesempatan berbagai orang untuk mendeskripsikan dirinya secara bebas, adil, dan merdeka. Meskipun bukan satu-satunya persoalan kekerasan yang harus segera ditangani, rekonsiliasi terhadap korban 1965 akan mengubah cara pandang Indonesia terhadap masa depannya. Tentu saja ini tidak berurusan dengan soal “mari lupakan masa lalu, kita menatap masa depan saja”. Melainkan berurusan dengan, kenyataan bahwa proses kekerasan yang terjadi hari ini direproduksi terus-menerus melalui suatu kebencian terhadap label “komunis” atau “pemberontak”. Apakah dengan mengatakan “lupakan kekhilafan rezim masa lalu” dengan serta merta menutup mata bagaimana rakyat kecil menjadi tersangka atas proses penuntutan haknya sendiri?.
*Tulisan ini merupakan rangkuman Diskusi Jum’at Sore (DeJure) Rumah Baca Komunitas tanggal 2 Oktober 2015.

Orang-Orang mercusuar

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah, Pegiat RBK
Seperti berteriak di atas mercusuar atau di sudut pasar. Di temani beberapa merpati yang melembut di cakrawala, atau di temani beberapa pendengar setia. Sudamardji menengok di sekelilingnya. Beberapa temannya sudah merantau ke kota. Sudarmadji tahu, melebihi segala yang diketahui oleh perangkat desa di tempatnya membesar—dan mungkin sebentar lagi dia akan dipaksa membusuk. Mereka pergi bukan karena ingin menguji kerasnya kota, melainkan kerasnya tanah di desa tak sanggup untuk air setetes. Sekeras-kerasnya kota, tanah desa yang membatu adalah kepedihan.
Sudarmadji tak bisa lagi berharap bak seorang pengkhotbah di mercusuar. Kawan-kawannya, si Ismail, Yono, dan Faisal berikrar untuk turun gunung. “Jangan kau cegah tekat bulat kami Dji. Pak Yos sudah ikut rapat bareng orang-orang kota itu. Sebentar lagi desa kita cuma sejarah, yang penting jangan lupa untuk cerita ke anak-cucu kita.” Si Faisal menjelaskan.
Matahari sejak pagi dan siang merambat sangat cepat. Panasnya membakar kulit cokelat Sudarmadji. Di antara tanah kering dia mencoba peruntungan. Menanam jagung dan Ubi. Ikhtiar yang sama dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Bantuan air dari pemerintah daerah tiga bulan lalu tak memecahkan persoalan. Itu hanya menghambat tanah meretak di desanya. Ketakutan meracuni pikirannya. Sudarmadji sebenarnya memiliki seorang sahabat bernama Kartubi. Pemuda itu, seorang lulusan SD yang dikenalnya sejak dulu berkoar-koar kepada kepada dukuh untuk menghalangi sebuah pabrik di dekat muara sungai desa.
Kartubi, seorang pemuda pendiam, tak banyak bicara. Bahkan dalam teriakannya pun hanya sayup dan kerongkongan tipis. Kepada para pemuda, termasuk Sudarmadji, Kartubi berulangkali berkata “kalau ada pabrik dekat sungai, nanti airnya jadi kotor”. Sudarmadji mengakui kesimpulan Kartubi saat itu, akan tetapi sembari mengajukan satu pertanyaan. “Ya, tapi mo gimana lagi Kar. Kamu ngak liat di TV kalo menurut seorang peneliti bahaya limbah pabrik itu ngak seberapa?”. Sudarmadji ingat betul saat itu Kartubi terdiam. Sorot matanya tajam menatap sawah di depan jalan. Dia tak mampu berkata. Mungkin saja dia merasa tak mampu menjawab perkataan si peneliti itu. Batin Sudarmadji. Toh, nyali Kartubi sudah menciut saat dirinya dituduh memberontak, seorang komunis hanya karena bicara soal sungai yang akan kotor.
Seolah-olah perangai baik Kartubi tak berkuasa di atas semua tuduhan itu. Seketika ada kelupaan kepada sang muadzin sekaligus imam sholat shubuh itu. Sudarmadji mengenang Kartubi sekali lagi. Ingatannya juga mengenang sahabatnya yang merantau ke kota. Dia merasa tengah berteriak di atas mercusuar. Hanya ditemani beberapa orang yang sekarang pergi. Dan burung yang tak mungkin ada. Serta air yang lupa pada warna beningnya. Kami seperti lelahnya teriakan orang-orang mercusuar.

Politik Baleho Atau Politik Kerakyatan

Oleh: Hanapi
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
pegiat RBK


“Politik Baleho atau Spanduk yang berlebihan dibangun dengan kekuatan modal yang tinggi sehingga bisa dikategorikan politik kaum borjouis sedangkan politik kerakyatan dibangun dengan kekuatan capital sosial atau modal sosial yang sangat mengarah kepada politik para Nabi”(Hanapi)


            Pemilihan umum adalah moment-moment yang di tunggu oleh masyarakat indonesia terutamanya masyarakat di Provinsi Jambi, pemilihan umum merupakan salah satu indikator demokrasi seperti yang dikatakan oleh Afan Ghaffar dan Kacung Marijan dan tokoh politik lainnya, pemilihan umum ini sangat dipengaruhi oleh budaya politik masyarakat di daerahnya, budaya politik yang masih rendah di masyarakat jambi menunjukkan pemilihan umum belum mengarah pada pembangunan politik kesetian, Menurut Penulis Politik kesetian ini sebuah politik yang mengarahkan pada perubahan yang lebih baik, kesetian kepada konstitusional, kesetian kepada kemanusian, kesetian kepada agama, kesetian kepada nilai kemasyarakatan. Kalau penulis menyinggung terkait budaya politik yang belum matang bisa dilihat dari aspek masih kuatnya money politik setiap pemilihan umum di Jambi, masih pragmatisnya masyarakat pada setiap moment pemilihan kepala daerah, Persaingan Tahun ini sangat kuat bahkan berbagai kalangan banyak mengatakan pertarungan antara “golongan muda” dan “golongan tua” yang akan menentukan siapa yang akan menduduki Jabatan Gubernur di daerah ini.
            Melihat realitas politik yang terjadi menunjukkan politik di daerah ini masih banyak dengan menggunakan politik baleho bukan politik kerakyatan walaupun praktek politik kerakyatan dilakukan oleh masing-masing calon kepala daerah di Jambi namun sangat minim jumlahnya, kalaupun itu terjadi maka politik kerakyatan ini bersifat semu atau sementara, sebagai contohnya ketika ada pemilihan umum baru para penjabat yang mencalonkan diri mendekati rakyat, politik kerakyatan dalam jangka pendek banyak diterapkan hal ini sangat merugikan pembangun budaya politik di masyarakat Jambi, politik baleho ini bisa dilihat dengan jelas oleh masyarakat dengan banyaknya jumlah spanduk calon-calon kepala daerah, disetiap desa sampai ke pusat kota. Spanduk kedua pasangan calon Gubernur di jambi Yakni: HBA (Hasan Basri Agus) dan Zumi Zola mengkhiasi setiap tepi jalan kota dan desa, politik baleho atau spanduk memang boleh untuk mengenalkan pasangan calon kepada masyarakat akan tetapi politik baleho yang banyak jumlahnya atau sangat berlebihan ini sebagai bukti bahwa politik kerakyatan belum di cintai atau diterapkan oleh para politisi di negeri ini, politik baleho bisa dikategorikan sebagai politik kaum borjuis karena membutuhkan modal politik yang tinggi sedangkan politik kerakyatan membutuhkan capital sosial atau modal sosial.




           Menurut Penulis faktor yang menyebabkan lemahnya praktek politik kerakyatan ini yakni: Pertama, Belum melembaganya partai politik, partai politik yang melembaga akan menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik seperti pendidikan politik, komunikasi politik, open rektutmen politik, dan fungsi lainnya, belum melembaganya partai politik ini akan berdampak kepada lemahnya hubungan sosial antara masyarakat dengan partai yang pada akhirnya menyebabkan terciptanya politik pragmatis, Kedua, Belum Terciptanya Jiwa Negarawan Sejati, Negarawan Sejati ini pada setiap calon kepala daerah yang mencalonkan dirinya, jiwa seorang Negarawan akan membangun politik jangka Panjang dengan menerapkan politik kerakyatan, Ketiga, Belum Terciptanya masyarakat madaniyah, masyarakat madaniyah adalah masyarakat yang beradab, memilki daya intelektualisme yang tinggi serta pemikiran yang panjang untuk kebaikan bersama, masyarakat madaniyah sangat kritis terhadap praktek politik yang terjadi, Nurcholis Madjid mengatakan kalau demokrasi membutuhkan sebuah rumah maka rumahnya itu civil society atau masyarakat madaniyah. Kalau ingin membangun kemajuan daerah maka kita harus menekan jumlah politik baleho agar modal politik bisa menurun, karena kemudharatan politik beleho sangat tinggi dan mulai membangun politik kesetian dan politik kerakyatan demi terciptanya daerah yang berkemajuan.

Mereka Yang Berkesadaran; “Orang Lain adalah Neraka”

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Bung Hatta waktu itu sudah bilang baik-baik. “Jepang dengan perantaraan Marsekal Terauchi di Dalat telah mengakui kemerdekaan Indonesia yang pelaksanaannya akan diselenggarakan oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia besok pagi jam 10 di Pejambon”. Para pemuda yang terdiri dari Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto tetap kekeuh. “Di saat revolusi, kami rupanya tidak dapat membawa Bung ikut serta. Bung tidak revolusioner” mereka berkata dengan kecewa. Dua pemuda itu berharap Bung Hatta dan Soekarno menyegerakan deklarasi kemerdekaan.
Cerita tentang dua pemuda itu mengingatkan saya tentang apa yang kita temukan hari ini dalam proses transformasi sosial. Pertama, soal apa yang disebut sebagai “revolusioner” dan apa yang bukan. Kedua, adalah soal bagaimana di saat-saat tertentu transformasi sosial tidak selalu mengemuka dalam bentuk “kesegeraan”. Ketiga, soal kealpaan terhadap apa yang disebut sebagai bersikap menghadapi realitas. Keempat, soal pentingnya membuka ruang bicara, yang diiringi oleh sebuah sikap reflektif. Tantangan keempat ini menurut saya adalah yang paling sulit.
Kutipan dialog di atas bersumber dari catatan Hatta yang ditulisnya menjelang akhir hidup. Sepanjang yang saya ketahui, Hatta adalah seorang penulis yang jujur. Dia adalah representasi seorang intelektual, filsuf, dan semacam pemikir yang terhubung secara rasional dengan tindakan. Hatta tidak pernah segan-segan menguji sendiri pemikirannya ketika berhadapan dengan siapapun. Saya kira sikap reflektif seorang intelektual seperti itu merupakan catatan penting untuk menjawab tantangan terhadap proses transformasi sosial nomor keempat yang saya nyatakan di atas. Sekaligus memungkinkan penemuan sebuah jawaban terhadap tantangan nomor satu hingga nomor tiga.
Hatta adalah seorang intelektual yang tidak pernah merasa dirinya adalah aktor yang paling “berkesadaran”. Analisanya murni dari sebuah perpaduan antara tindakan dan pemikiran, serta sebuah kesibukan untuk terus-menerus menelaah secara kritis tesis-tesis yang dikembangkannya. Sewaktu para pemuda menyatakan “Bung tidak revolusioner”, Hatta sama sekali tidak terpengaruh. Dia hanya tersenyum dan berkata “tindakan yang akan engkau adakan itu adalah Putsch, seperti yang dilakukan oleh Hitler di Munchen tahun 1923”. Tentu saja respon Hatta menyulut marah dan kekhawatiran bagi Pemuda. Di balik kemarahan pemuda, Hatta masih menyimpan ruang diskusi.
Diajaknya Soekarno, Subardjo, dan Boentaran yang sedang berkumpul di rumah Soekarno untuk membicarakan kehendak pemuda. Apalagi Wikana yang mewakili pemuda, beberapa menit yang lalu sempat memberikan gertakan kepada Soekarno. “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah” gertak Wikana. Tanpa takut Soekarno menimpali “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu besok”. Wikana menurut catatan Hatta, terperanjat. Wikana meminta maaf dan menyatakan maksud yang lain. “bukan Bung yang saya maksud”.
Tidak sekali itu saja Hatta dihadapkan pada kondisi dicap “tidak revolusioner”. Salah-satu yang cukup terkenal terjadi antara Hatta dan Tan Ling Djie. Tanpa bermaksud untuk mengetengahkan posisi benar-tidak antara kedua orang tersebut, kita dapat mengambil salah-satu makna penting. Hatta adalah seorang yang mengaku bahwa dia “harus tahu diri” soal teori Marxisme. Meskipun itu sama sekali tidak menggambarkan bahwa Hatta benar-benar tidak mengerti soal teori Marxisme. Lebih daripada itu, Hatta adalah seorang pembaca Marxisme yang kritis dan disiplin. Kritis, sebab Hatta mampu memelihara sikap kritisnya di tengah kekagumannya terhadap Marx. Disiplin, sebab Hatta mampu jernih mendialektikan diri dengan Marxisme. Misalnya saat perdebatan dengan Tan Ling Djie, Hatta memberi keterangan soal Marxisme dengan jernih. Dalam proses perdebatan itu Hatta dalam sebuah karangan panjang berjudul Ajaran Marx atau Kepintaran Murid Membeo begitu jujur memahami keterbatasan-keterbatasannya.
Menjadi Superior
Kalau belajar jujur, disiplin, dan kritis seperti Hatta cukup sulit, minimal menjadi seseorang yang tidak berniat mendominasi. Pelajaran penting dari Hatta adalah soal menyadari bahwa antara tiap subjek tidak dapat saling menegasikan. Ilmu pengetahuan memang penting, tetapi menyadari bahwa manusia sebagai subjek yang mengenali memiliki peran dari sebuah narasi sejarah juga tak kalah penting.
Beberapa waktu yang lalu saat mendengar seorang aktivis mempresentasikan jalan politiknya, saya menangkap kesan superioritas. Saya kira, Alm Mansour Fakih cs tak pernah merasa begitu “berkesadaran” saat melakukan aktivitas penggorgansasian massa. Begitu juga dengan Hatta, sama sekali tak tersiratkan sebuah kekuasan yang berasal dari perasaan “merasa sadar”.
Pekerjaan menggorganisir bukan pekerjaan kekuasaan, itu semacam pengambilan dan pembagian peran. Tetapi tidak berarti antara tiap subjek yang mengambil peran merasa paling berkuasa atas “kesadaran” dari yang liyan. Di dalam konteks gerakan sosial saat ini, salah-satu tantangan yang muncul adalah demistifikasi agen. Di sadari atau tidak ini bagian dari sebuah pertanyaan Derrida soal keadilan dan hukum yang melampaui sebuah konteks waktu. Di mana, tiap perjuangan haruslah pada suatu waktu diuji apakah ia sebagai sebuah perjuangan berdiri di atas semua ruh masa lalu atau masa depan. Demistifikasi agen di dalam kerangka sosial merupakan suatu penunjuk bahwa sesungguhnya transformasi sosial tidak dibangun atas peran mereka yang merasa “berkesadaran”. Di dalamnya terdapat logika atau moral sosiologis dari tiap struktur sosial yang juga turut mengambil perannya masing-masing.
Demistifikasi agen sebenarnya merupakan suatu kritik yang alami muncul dari transformasi struktur sosial yang kian kompleks. Di mana, pertautan ideologi dalam kehidupan sehari-hari menjadi kian menipis, dan pembelaan terhadap eksistensi pertautan itu sendiri diisolasi ke dalam kerangka moral antropologis. Maka sudah menjadi wajar jika agen dalam transformasi sosial dipandang sebagai yang “terlalu berkesadaran” sehingga nampak tak menyatu dengan basis struktur sosial manapun. Hal ini memang dapat diperdebatkan sejauh asumsi mengenai pertautan antara tiap ideologi berbaur dalam berbagai setting politik ekonomi.
Maka wajar saja seorang teman yang juga merupakan seorang pegiat suatu komunitas berkomentar, “Mas, kok nampak rumit sekali ya proses transformasi sosialnya?”. Saya kira, pertanyaan itu tidak sesederhana bahwa subjek bertanya tak mampu mencapai posisi “berkesadaran”. Melainkan bahwa “berkesadaran” telah menjadi dawai yang mengatur ritme serta dan kekuasaan si agen terhadap subjek yang lain. Masalah di sini, dalam proses transformasi sosial pengertian tentang agen banyak didominasi secara sepihak sebagai “intelektual”, atau “cendekia” bukan lagi “aksi massa”.
Pergeseran bahwa si “berkesadaran” sebagai cendekia merupakan suatu proses yang telah menghapus “aksi massa” dari perbendaharaan aktivisme sekarang ini. “Aksi massa” dipandang sebagai konsekuensi logis dari kehadiran agen. Dan sebagai sebuah manifestasi kolektif atas eksistensi kesadaran agen. Melalui Hatta saya tidak menangkap suatu identitas superior atas apa yang disebut “kesadaran”. Meskipun sekarang, masing-masing agen atau gerakan sosial merasa berhak menjadi “payung” aktivisme gerakan sosial melalui pendakuan identitas di belakang gerakan seperti tambahan “Indonesia” dalam sintagma nama. Seakan-akan mereka yang “berkesadaran” adalah sebuah tangga penting untuk melepaskan neraka dari yang liyan. Mungkin, “Orang lain adalah neraka”, yang tak pernah mengerti jika tak dijelaskan, yang berdosa karena “bodoh”, atau yang tak terselamatkan.

Pelaku Pelaku Pandora

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Pemeritah yang akhir-akhir ini banyak menyerukan mulai terdengar kosong. Kalau itu ibarat sirup merah, mungkin hanya ginju. “Agar kita tidak membosankan, selain banyak bicara, bekerja juga harus bisa.” Begitu kata si Kasmir kepada Bonijan karena kesal dengan seruan pemerintah untuk “menjaga lingkungan” di koran. Kasmir, pria tua yang sehari-hari senang melucu dan bahagia. Pakaiannya hanya tiga pasang; satu untuk keperluan sholat, satu untuk keperluan ke sawah—yang juga merangkap pakaian sehari-hari, dan satunya lagi sebuah kaos pemberian kawannya. Tiga-tiganya sebenarnya tak berbeda. Baju keperluan sholat adalah koko yang diperolehnya dari hadiah seorang sanak yang kebetulan berkunjung sekitar dua tahun lalu. Warna sebenarnya putih polos, tetapi belakangan ini sedikit krem.
Kasmir bukan pria tua yang miskin. Dia sebenarnya punya sedikit tanah, sebenarnya “banyak” kalau tak dirampas untuk keperluan area latihan militer. Musababnya pun dia tak ingat, waktu itu dia cuma dibilang “ini tanah sejak zaman dulu udah dipake untuk kamp tentara pak” oleh seorang anak muda berbadan tegap. Dia tak tahu menahu tentang kemiliteran. Apa pangkatnya, kontribusinya, serta mengapa mereka penting. Dia sama sekali tak tahu. Sepanjang yang dia tahu, militer mengambil tanahnya yang indah mencium ombak karena nyaris tepat di pesisir pantai.
Pasca pengambilan tanah itu, kehidupan Kasmir biasa saja. Meskipun ada perasaan ganjil dalam hati. Coba kalau Salim masih hidup, tentu dia bisa jadi teman curhat pikirnya. Salim, teman Kasmir tiga bulan lalu ke Jakarta bersama rekan-rekan yang lain. Mereka mengadu soal tanah yang dirampas untuk keperluan tambang. Salim adalah warga desa sebelah yang konon menyimpan kekayaan tambang di dasar bumi. Mengingat Salim, air mata Kasmir menetes. Diri periangnya tiba-tiba melankolis. “Oh Salim, coba para preman itu ngak bunuh dirimu. Kowe kuwi orang biasa wae kok dipateni” desah Kasmir. Bonijan yang sedari tadi menemai Kasmir minum kopi melihat air mata menetes dari Kasmir. Rasanya, Bonijan ingin terkekeh, sebab muka Kasmir sama sekali tak pantas untuk air mata. Wajah kotaknya lebih mirip seorang berhati keras.
Salim sebulan yang lalu meregang nyawanya. Si Topik sama Polim, dua preman desa menggebukinya sampai mati. Kasmir tak tahu kenapa dua preman itu bisa demikian kejam. “Wong karo wong kok iso main bunuh-bunuhan, koyok rak bakal mati wae” Lagi-lagi batinnya bergejolak tanya. Bonijan yang tak sabar menunggu Kasmir kelamaan merenung dan bersedih ikut angkat bicara.
“Pak, sebenarnya ini ada masalah apa?”. Kasmir menata Bonijan, pikirannya justru makin melayang pada suatu masa depan yang tak akan indah untuk anak muda seperti Bonijan. Dia berpikir sejenak, meskipun dia bingung akan bicara pesimis atau optimis.
“Ya, nanti juga kamu bakalan sadar, saya sendiri belum tahu ini rasanya gimana”. Kasmir, meneguk kopinya sedikit. Meski panas tak lagi bertuah di air. Kasmir benar-benar seorang tua yang tidak banyak tahu harus bilang apa jika ditanya. Satu-satunya yang disadarinya adalah bahwa, setelah si Salim wafat, beberapa tanah tiba-tiba sudah dipalang oleh tentaran. Anak-anak muda itu, yang berpakai loreng dan bertatap arogan tak mampu dilawannya.
Dia mengingat waktu seorang anak muda berpakaian loreng hijau itu mencoba menggertaknya, “kalau bapak macam-macam kita ngak segan-segan. Ini soal pertahanan negara pak. Negara sekarang sedang gawat.” Kasmir saat itu mengkerutkan dahinya. Entah harus bangga patriotis atau melemah meringgis. Itu tanahnya, kalau untuk kebutuhan negara, mengapa tidak minta baik-baik?. Lagipula, Kasmir tak tahu apa itu negara, yang dia mengerti bahwa ada seseorang yang disebut sebagai presiden, nah dia itu kepala Negara. Selebihnya dia tak merasakan efeknya.
Waktu dia nyaris mati karena terserang DBD, dia hanya minta tolong ke Mira seorang anak tetangga untuk memanggilkan mantri. Dia sulit menentukan mana yang telah menolongnya di masa gawat itu. Mira, atau Negara. Dia tambah bingung. Bonijan menunggu Kasmir lagi. Dan malam yang kian gerah itu seperti menjadi saksi kerumitan. Sebuah pandora yang tak jelas pelakunya.
Bonijan, “Pak, gimana pak?”. Kasmir bingung lagi.

Seorang Juru Tulis Yang Kehilangan Buku (Mikrofiksi)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kadir, seorang juru tulis. Menyesal dan merana selama tiga hari, gara-gara bukunya jatuh. Seorang sahabat yang menangkap kesedihan menyarankannya untuk membeli buku yang sama.
“Buku itu sulit dicari, lagipula kau tak akan mendapatkan cerita yang serupa pada dua buku yang identik sekalipun” kata Kadir.
Sang sahabat menyerah. Dia paham bahwa Kadir sang Juru Tulis susah ditebak jalan pikirannya, tapi mencoba mengira-ngira teori untuk menjelaskan argumen Kadir tadi.
Pertama, Kadir pasti terhubung dengan sejarah tertentu dengan buku itu. Kedua, buku itu menjadi sejarah tertentu bagi Kadir. Atau, yang ketiga, uang hasil profesi juru tulisnya terselip di antara halaman buku itu.
Sang Sahabat memikirkan lagi tiga teorinya. Tak puas, ia menanyai Kadir untuk memastikan.
Kadir menjawab, “Buku yang jatuh itu adalah hadiah darimu”.

Wednesday, October 14, 2015

7 Rukun Islam Ekologis; Cara Hidup Bahagia Ekologis dan Islami

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Islam pada dasarnya merupakan ajaran yang menawarkan konsep peningkatan kualitas hidup yang bertopang pada ajaran untuk mengikuti kebenaran. Termasuk di dalamnya adalah pengakuan bahwa Allah maha benar dan maha mulia sebab telah menciptkan alam semesta menurut aturannya tertentu.

Aturan itu telah menciptakan kehidupan yang harmonis antara manusia, dan lingkungan hidup sebagai bagian dari ekosistem alam semesta. Oleh karena itu, Allah memerintahkan manusia menjadi khalifah fi al-ardh sebab fungsi manusia di alam semesta adalah menjaga, dan merawat lingkungan.

Setiap nabi, selalu punya tugas dan fungsi ekologis. Nabi Nuh, diperintahkan untuk menyelamatkan hewan, tumbuhan, dan manusia yang berbakti untuk Allah dari kekecauan yang ditimbulkan oleh sikap eksploitatif sekelompok manusia di zaman itu seperti mencemari air, membabat hutan karena keserakahan, dan memperbudak manusia.

Nabi Sulaiman, yang mampu berinteraksi dengan lingkungan, termasuk hewan-hewan. Nabi Sulaiman memperoleh informasi dari lingkungan tentang kejahatan-kejahatan manusia. Nabi Muhammad adalah seorang pengembala yang berkasih terhadap gembalaannya serta memerintahkan pengikutnya untuk menjaga perempuan, anak-anak, dan lingkungan sekalipun dalam masa perang.

Merawat dan menjaga lingkungan berfungsi bagi peningkatan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Berbanding dengan sikap eksploitatif manusia terhadap lingkungan dapat memicu kerugian bagi kehidupan manusia itu sendiri. Meretakkan alam berarti meretakkan manusia.

Tujuh rukun ekologis Islam ala Rumah Baca Komunitas di bawah ini disusun dalam rangka kampanye ekoliterasi.

  1. Merawat alam adalah tugas manusia sebagai khalifah fi al-ardh
  2. Amal jariyah ekologis adalah aktivitas perawatan ekologi yang punya daya replikasi karena manfaat dan kegunaannya bagi alam semesta yang tak putus.
  3. Seorang hamba Allah yang baik adalah yang mampu menjaga alam sebagaimana dia menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia.
  4. Prinsip agama Islam menjelaskan tiga hal yang tak boleh dirusak; Perempuan, anak-anak, dan lingkungan.
  5. Memanfaatan air sisa wudhu untuk keperluan menjaga unsur hara tanah. caranya ialah dengan menampungnya untuk keperluan membasahi tanah kering atau tandus. di beberapa Masjid model seperti ini sudah dilakukan dalam rangka mengurangi dampak tanah kering akibat kemarau.
  6. Menjaga kualitas kristal air dengan pemanfaatan yang beradab, artinya digunakan untuk perihal yang bermanfaat, tak mubazir, dan digunakan untuk kepentingan banyak orang.
  7. Islam mengajarkan bahwa air, udara, dan tanah adalah wujud kasih sayang Allah terhadap manusia. Air, udara, dan tanah digunakan bebas oleh manusia untuk menopang kehidupannya. merawat air, udara, dan tanah berarti merawat kasih sayang Tuhan terhadap manusia, termasuk menjaganya dari proses eksploitasi dan komodifikasi.

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK