Saturday, November 17, 2012

Inspirasi: Kupu-kupu dalam Buku Anakku

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Anak-anak adalah manusia masa depan,
Jika hari ini kutularkan virus mencintai kupu-kupu dalam buku,
Tentu anakku, akan lebih siap melawan kegelapan masa depan
  
Pada saat anakku belum lahir aku sudah menyiapkan berderet-deret rak buku bukan hanya untuk minatku, tetapi juga buku-buku keluarga untuk bacaan istriku dan anak-anakku yang akan lahir ke dunia. Tidak heran, disaat ekonomi tidak stabil kami masih nekat membeli buku terbitan MDS yang harganya 1 -2 juta-an. Buku Halo Balita dan Ensiklopedia Bocah Muslim itu sudah bertengger di rumah sebelum anakku lahir di bumi. Gilanya, pada saat saya hanya seorang mahasiswa, dan istri saya sedang cuti yang juga guru TK Islam dengan gaji tidak cukup untuk memnayar listrik dan sembako setiap bulan. Dari buku itulah, rizki akan terbuka!

Itulah keyakinanku, itulah keimanan kami kepada Allah dengan jalan mencintai berbagai binatang pengetahuan dan imajinasi dalam buku.

Menjadi sedikit dari…

Artinya saya dan keluarga ingin selalu menjadi bagian dari pembaca buku. Di saat kami bepergian kemana dan sedang santai di mana kami selalu ‘sangu’ berbagai buku bacaan untuk saya, istri, dan anak. Katakanlah, ketika kami main di Sunday morning UGM selalu asik dengan aksi membaca di sekitar Masjid Kampus UGM. Semua menikmati dan bukan sekedar menikmati angins egar pagi ciptaan tuhan, tetapi juga firman-firman keindahan dan kebenaran dalam lembaran buku-buku yang diciptakan manusia. Di saat antri servis motor, antri periksa dokter, saya selalu emmbiasakan membaca buku baik ketika mengajak anak atau tidak. Dan ternyata itu menular kepada anak saya….alhamdulillah.
Beberapa hari lalu. Saya menulis catatan singkat ini:

Catatan Harian
Sangatlah kumimpikan sebuah negeri dimana rakyatnya berdaya dengan menguatnya tradisi membaca diantara warganya. Aku pun mencoba sekuat tenaga untuk membiasakan diriku, anak dan istriku semampuku. Hafiz berkembang dengan ketertarikan terhadap buku-buku yang bermacam-macam. Setiap hari, setiap waktu membawa dan membuka-buka halaman buku.

Di tempat reservasi tiket kereta api di stasiun tugu Jogjakarta. Pagi yang cerah, hari itu 14 Nopember 2012 saya dan anakku Hafiz membelikan Pak Dhe Tri tiket kereta api untuk tujuan Jakarta. Tentu saja sudah sangat berjubel dan nomor antrian panjang hingga lebih dari 55 orang sebelumku.

Aku: Nak, kamu tunggu  dulu, abi mau lihat-lihat jadwal tiket dan membeliknya secepatnya ya?
Hafiz : iya...,

Sejurus kemudian dia langsung mendekati tempat duduku yang kosong dekat kasir tiket dan mengambil posisi duduk dan mulai membuka tas bawaannya yang berisi dua buah buku. Aku pun sambil mengisi blangko tiket dan sesekali melihatnya. Dia sangat sibuk membuka-buka halaman buku dan dengan muka yang sangat ceria. Anak usia 3 tahun itu sudah bisa cuek dengan lingkungan kerumunan orang dan sibuk menikmati lembaran-lembaran buku. Walau sadar, dia belum bisa membaca vocal tetapi sudah kenal angka, binatang, dan simbul-simbol tertentu.

Dialah, satu-satunya manusia yang membaca buku di dalam ruang itu. Banyak anak-anak, remaja, mahasiswa, dan orang tua menunggu dengan bengong, sms-an, dan sebagainya tetapi tidak ada satu pun yang membaca buku. Ada ratusan orang berjubel memadati reservasi tiket memburu tiket liburan cuti bersama dan akhir tahun baru. Mereka tentu saja akan merayakan liburan, tanpa buku.

“Liburan dengan buku” adalah surga bagi aku sendiri dan tentu saja anakku. Setiap ada bazaar dan pameran buku pasti kami terlibat antrian panjang membayar buku dan menikmati gelaran buku di situ. Ibaratnya, kami ingin mewujudkan mimpi-mimpi Taufiq Ismail dalam puisinya “kupu-kupu dan buku” dimana dia memimpikan bangsa yang berbudaya membaca.

Sangat menyedihkan! Khususnya buatku, sebagai pegiat gerakan membaca dan pecinta buku. Salut  untuk anakku yang demen sekali dengan dunia buku. 

Karena kisah itu inspiratif, maka aku berpesan agar kamu semua, termasuk anak-anakku dan manusia pembelajar masa depan untuk membaca puisi inspiratif ini. Sebuah kisah kupu-kupu dan imajinasi masa depan bangsa. Silakan di simak puisi ini.

Ketika duduk di setasiun bis, di gerbang kereta api, di ruang tunggu praktek dokter anak, balai desa, kulihat orang-orang di sekitarku duduk membaca buku, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang, 

Ketika berjalan sepanjang gang-gang antara rak-rak panjang, di perpustakaan yang mengandung ratusan rak buku dan cahaya lampunya terang-benderang, kulihat anak-anak muda dan anak-anak tua sibuk membaca dan menuliskan catatan, dan aku bertanya di negeri mana gerangan aku sekarang, 

Ketika bertandang ke toko, warna warni produk yang dipajang terbentang, orang-orang memborong itu barang dan mereka berdiri beraturan di depan tempat pembayaran, dan aku bertanya di toko buku negeri mana aku sekarang, 

 Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya tentang kupu-kupu pada mamanya, dan mamanya tak bisa menjawab keingintahuan putrinya, kemudian katanya, “tunggu mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang kupu-kupu”, dan aku bertanya di negeri rumah mana gerangan aku sekarang, 
  
Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di setasiun bis dan ruang tunggu kereta api negeri ini buku di baca, di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca, di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang tepajang di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca. 
(puisi Karya Taufiq Ismail dengan Judul ‘kupu-kupu dalam buku’)

karena anakku dan mungkin aku saling menjadi sumber inspirasi untuk menegakkan perintah membaca. Maka spesial untuk anak-anaku, istiqomahlah menjadi pembaca walau engkau dalam keadaan yang paling tidak memungkinkan untuk membaca!


Friday, November 16, 2012

Misi Advokatif dalam Gerakan Iqro

Oleh : Iqra Garda Nusantara
Pegiat Rumah Baca Komunitas


Sebagaimana artikel Moh. Mudzakkir, habitus membaca yang sejak awal dikuasai oleh kelas menengah dan elit harus direbut oleh kaum proletar (mustadafin). Kaum-kaum pemilik modal di Perancis mengkonsumsi buku sebagai bagian dari hidupnya. Tidak ada yang aneh, tetapi itu adalah sebuah privilege yang sangat keji atas kaum-kaum proletar yang tidak mendapatkan akses sama baik dalam pendidikan formal.

ditambah lagi akses buku-buku berkualitas (tentu saja mahal tidak terjangkau).  Zaman terus bergerak, print capitalism tumbuh tidak terkendali sehingga buku-buku dan pengetahuan diproduksi lebih massal dan lebih terjangkau. Lalu, apa yang berubah dari diri kita---aktifis pelajar proleter yang mimpi perubahan?

Bergeming
Tidak banyak yang berubah bahkan semakin mengalami paradok. Anak-anak muda lebih senang dunia hura-hura ketimbang mengkonsumsi pengetahuan dan meningkatkan kadar intelektual. Tuna baca inilah yang merebak menjadikan anak-anak muda dan pemimpin di negeri ini mengalami penyakit gila yang disebut oleh Syafii Maarif sebagai “tuna idealism” yang akan berujuang pada tuna kuasa (Amin Rais dalam pidato guru besar, 2001). Karena apa? Buku, informasi, dan pengetahuan adalah kekuasaan.  Jika tidak punya, atau kecil jumlahnya maka kita adalah mustadafin dalam segala hal.

Karena ketidakmampuan berubah dan menerima perubahan/memanfaatkan monetum perubahan inilah kita menjadi involutif dalam dunia gerakan. Satu cara adalah perlunya ideologisasi gerakan membaca sebagai model gerakan advokasi nir-kekerasan. Anak-anak muda jangan hanya menyumpai buruk keadaan—hanya mampu memadamkan api tetapi istiqomah dalam kegelapan alam pikir akibat tuna baca tersebut.

Dengan gerakan iqro maka ada proses-proses penyadaran, ada potensi melakukan pembelaan terhadap situasi pribadi, sekitar, dan bahkan melakukan pemberdayaan dan proteksi terhadap komunitas yang kita yakini baik dan melawan kekuatan global yang dominative dan hegemonic. Membaca ideologis artinya menjadi budaya tanding atas penindasan terhadap jati diri dan idealism kita sebagai masyarakat berbudaya, islam, dan ramah lingkungan.

Terakhir, mari kita rebut bung. Mari kita rebut habitus membaca itu dari kaum kapitalis! 

Wednesday, November 7, 2012

Mas Hernowo dan Karyanya (Bacaan Wajib Aktifis Gerakan Iqro')


Singkat tentang Hernowo

Hernowo adalah penulis 24 buku dalam 4 tahun. Di dunia internet, dia dikenal dengan nama “Hernowo Hasim”. Hernowo memiliki konsep membaca dan menulis yang memberdayakan bernama “mengikat makna”. Dia tambahkan kata “memberdayakan” di dalam kegiatan baca-tulisnya karena “mengikat makna” adalah kegiatan membaca dan menulis yang dipadukan yang mampu menghadirkan kesenangan dan kegairahan serta menghasilkan (menjadikan seseorang produktif menulis).

Hernowo telah bekerja di Penerbit Mizan selama hampir 30 tahun (1984-2012). Karier kepenulisannya dimulai ketika usianya lewat 40 tahun. Pada usia 44 tahun (2001), dia menerbitkan karya pertamanya, Mengikat Makna, yang langsung mencetak best seller. Selain Mengikat Makna, buku lainnya yang mencetak best seller adalah Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, Quantum Reading, dan Quantum Writing. Kini, Hernowo sudah menerbitkan 35 buku. Buku terakhirnya yang dibuat pada November 2009 berjudul Mengikat Makna Update. Untuk melihat karya lengkap Hernowo silakan lihat di bawah.

Keaktifannya menggalakkan budaya baca-tulis di Indonesia diganjar oleh Panitia ”World Book Day Indonesia I” pada tahun 2006. Hernowo menjadi orang pertama dari Indonesia yang mendapat penghargaan dari Panitia ”World Book Day Indonesia I” sebagai penulis yang berhasil menginspirasi dan membangkitkan semangat para pembaca bukunya untuk menjalankan kegiatan baca-tulis yang memberdayakan. Pada Desember 2010, karya tulisnya, “Agar Perpustakaan Tak Jadi Kuburan” meraih juara ketiga dalam sayembara karya tulis menuju perpustakaan nasional ideal yang diselenggarakan oleh Perpusnas.

Karya-Karya Hernowo (2001-2009)
  1. Mengikat Makna: Kiat-Kiat Ampuh untuk Melejitkan Kemauan plus Kemampuan Membaca dan Menulis Buku (2001, cetakan ke-7)
  2. Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza: Rangsangan Baru untuk Melejitkan “Word Smart” (2003, cetakan ke-3)
  3. Spirit Iqra’: Menghimpun Samudra Makna Ramadhan (edisi sebelumnya berjudul, Bagaimana Memaknai Ibadah Puasa: Catatan Harian Sebulan Ramadhan, 2003)
  4. Tujuh Warisan Berharga: Wasiat Seorang Ayah kepada Putra-Putrinya dengan Menggunakan Metode “Pemetaan Pikiran” (2003, cetakan ke-2)
  5. Quantum Reading: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Membaca (2003, cetakan ke-6)
  6. Quantum Writing: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis (2003, cetakan ke-7)
  7. Larik-Lirik Mencuatkan Potensi Unik (2003, Editor)
  8. Menulis Diary Membangkitkan Rasa Percaya Diri (2003, Editor)
  9. Langkah Mudah Membuat Buku yang Menggugah (2004, cetakan ke-3)
  10. Main-Main dengan Teks sembari Mengasah Kecerdasan Emosi (2004, cetakan ke-2)
  11. Bu Slim dan Pak Bil: Kisah tentang Kiprah Guru “Multiple Intelligences” di Sekolah (2004, cetakan ke-3)
  12. Bu Slim dan Pak Bil Membincangkan Pendidikan di Masa Depan (2004, cetakan ke-3)
  13. Smart Book 1: 40 Hari Mencari Makna (2004)
  14. Smart Book 2: 40 Hari Mencari Ilmu (2004)
  15. Smart Book 3: 40 Hari Mencari Tuhan (2004)
  16. Mengikat Makna untuk Remaja (2004)
  17. Bu Slim dan Pak Bil Menggagas-Kembali Pendidikan Berbasiskan Buku (2004)
  18. Self-Digesting: “Alat” untuk Mengurai dan Mengenali Diri (2004)
  19. Vitamin T: Bagaimana Mengubah Diri lewat Membaca dan Menulis (2004)
  20. Breaking the Habit: Menulis untuk Mengenali dan Mengubah Diri (2004, Editor)
  21. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Membuat Buku (2005, cetakan ke-2)
  22. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar secara Menyenangkan (2005, cetakan ke-6)
  23. Bu Slim dan Pak Bil Mengobrolkan Kegiatan Belajar-Mengajar Berbasiskan Emosi (2005)
  24. Mengubah Sekolah: Catatan-Catatan Ringan Berbasiskan Pengalaman (2005)
  25. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar dengan Menggunakan Pendekatan Kontekstual (2005, cetakan ke-3)
  26. Bu Slim dan Pak Bil Mengimpikan Sekolah Imajinasi (2005)
  27. Mengikat Makna Sehari-hari: Bagaimana Mengubah Beban Membaca dan Menulis menjadi Kegiatan yang Ringan-Menyenangkan (2005)
  28. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar secara Kreatif (2006, cetakan ke-3)
  29. Poligami yang Tak Melukai Hati? (2007, dengan nama pena: Abu Fikri)
  30. Al-Quran Bukan Da Vinci Code (2007, dengan nama pena: Khulqi Rasyid)
  31. Aku Ingin Bunuh Harry Potter! (2007, cetakan ke-3)
  32. Aku Ingin Bunuh Harry Potter!: Extended Version (2007)
  33. Membacalah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit (2008)
  34. Terapi Hati di Tanah Suci: Ya Allah, Jadikan Aku Cahaya (2008)
  35. Mengikat Makna Update: Membaca dan Menulis yang Memberdayakan (November 2009)


Tuesday, November 6, 2012

Membangun Habitus Membaca di Sekolah

Oleh : Mohammad Mudzakkir
Dosen Universitas Negeri Surabaya, Mantan Ketua PP IPM


Berdasarkan laporan dari Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2009 Indonesia hanya bisa mencapai peringkat 10 besar terbawah dari 65 negara. Kemampuan siswa yang dinilai meliputi tiga bidang; Reading (57), Science (60), dan Mathematics (61).  Dalam kemampuan membaca, Indonesia masih kalah dengan Thailand, yang menempati posisi ke-50. Bila dibandingkan dengan  Jepang, jarak Indonesia semakin lebih jauh. Jepang menempati posisi ke-8 dalam hasil survey tersebut. Apalagi bila dibandingkan dengan Korea Selatan dan Singapura yang masing-masing menduduki posisi ke 2 dan 5. Posisi pertama justru diraih oleh negeri Tirai bambu Cina, yang mempunyai minat dan kemampuan membaca tertinggi jauh meninggalkan negeri adidaya Amerika Serikat yang hanya bertengger di peringkat ke 17.

Survei ini tentu cukup mencengangkan tapi sekaligus menunjukkan perubahan peta dunia. Bila selama ini Amerika Serikat beberapa dekade berada di posisi lima besar, justru saat ini terlempar ke 20 besar. Bahkan persoalan penurunan peringkat ini telah menjadi isu nasional di negeri Paman Sam, yaitu perlunya evalusi terhadap sistem pendidikan mereka, khususnya dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan sains. Fareed Zakaria, seorang pengamat politik Internasional terkemuka Amerika, keturunan India-muslim, melihat bahwa persoalan ini bisa menjadi persoalan serius bagi masa depan bangsa Amerika Serikat. Oleh karena itu menurutnya, Pemerintah harus segera mencari solusi untuk memperbaiki dan meningkatkan peringkat tersebut, yaitu dengan jalan mereformasi pendidikan. Bukan hanya itu saja, kegelisahan itu pun segera direspon oleh Bill Gates, bos Microsoft dan pendiri The Gate Foundation, dengan mendonasikan dana sebesar 5 miliar dolar US untuk sekolah, perpustakan, dan beasiswa.

Mungkin bisa dipahami kegelisahan yang dialami oleh Amerika Serikat bila dibandingkan dengan posisi Cina sebagai kompetitor mereka yang semakin menguat. Negeri yang mempunyai penduduk terbesar di dunia ini ternyata mampu bangkit dengan cepat dari ketertinggalan selama dua dekade. Bukan hanya dalam hal kemampuan membaca, matematika, sains, saja tapi juga dalam hal ekonomi, teknologi, bahkan dalam hal olah raga.  Sudah dua kali Olimpiade, Cina mampu mempertahankan diri sebagai juara umum di perhelatan olahraga bergengsi dunia tersebut. Dan yang paling mutakhir, Cina juga mampu menyandingkan Piala Thomas dan Uber yang beberapa dekade lalu menjadi langganan Indonesia. Mungkin peradaban dunia sedang berputar kembali, dan Cina kembali ke era keemasannya.  Era ketika kertas pertama kali ditemukan dan bermunculannya karya-karya sastra terbaik karya pujangga Cina, baik yang ditulis pada era sebelum masehi maupun setelahnya. Maka bukanlah sebuah kebetulan, bila Nabi Muhammad SAW pernah bersabda “carilah ilmu hingga ke negeri Cina”.

Hasil survey yang dirilis oleh PISA tentu bukanlah sesuatu yang mengagetkan bila dikaitkan dengan tradisi literasi kita, khususnya lagi dalam tradisi membaca. Seakan-akan survey tersebut memperkuat pernyataan Taufiq Ismail, seorang maestro puisi sekaligus juga pengelola Majalah Sastra Horison,bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami Tragedi Nol Buku alias kekurangan membaca buku. Ia sangat sedih melihat budaya kita yang kian jauh dari tradisi membaca. Ia juga membandingkan di masa perjuangan kemerdekaan. Ia mengatakan bila para aktivis kemerdekaan itu memiliki budaya baca yang sangat tinggi. Tidak heran bila mereka memiliki pemikiran yang visioner dalam membangun bangsa ini. Memiliki langkah-langkah yang strategis dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Kemampuan mengorganisir perjuangan kemerdekaan itu diperoleh dari bahan bacaan mereka yang beraneka ragam. Gagasan brilian dalam melawan segala tipu muslihat penjajah merupakan rangkuman dari intisari buku-buku yang mereka baca (Rohmani, 2011).

Persoalan rendahnya tradisi membaca bukanlah persoalan lembaga pendidikan saja, tapi juga masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini bisa kita lihat dari kebiasaan membaca di masyarakat kita masih sangat rendah. Membaca belum menjadi sebuah kewajiban dan pengisi waktu luang (leasure time) atau lebih tinggi lagi menjadi bagian dari gaya hidup (Life style). Tetapi kebanyakan lebih menyukai menonton televisi untuk mengisi waktu luang, atau jalan-jalan ke mal melihat pakaian dan barang elektronik dari pada melihat dan membuka-buka buku di Gramedia atau Toga Mas. Mengobrol atau meng-gosip ketika menunggu sesuatu baik ketika di ruang kerja atau di perjalanan, dari pada membaca buku. Di tambah lagi, buku juga belum menjadi barang yang menjadi prioritas utama dan lebih baik untuk membeli barang lainnya. Kalau pun ada uang lebih mending untuk membeli barang-barang elektronik mutakhir, seperti HP misalnya. Itu lah realitas kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita yang masih jauh dari tradisi membaca.

Saya ingin mengatakan bahwa pendidikan tidak vacuum dari realitas sosial. Ketika kita berharap agar para siswa mempunyai tradisi membaca-tulis yang kokoh, tapi di sisi lain ketika mereka kembali ke keluarga, tetangga, dan masyarakat secara luas tidak terbiasa dengan tradisi literal tapi lebih dominan tradisi oral, maka usaha mulia ini menghadapi tantangan yang cukup serius. Belum lagi di tengah tradisi konsumerisme masyarakat kita yang semakin menggila, khususnya dalam mengonsumsi produk-produk elektronik mutakhir. Hal ini juga berimbas kepada anak didik, yang tanpa sadar mereka juga mempunyai kecenderungan menjadi seorang konsumeris dengan mantra “saya menjadi ada karena mempunyai HP terbaru”. Bukannya justru sebaliknya “saya membaca buku baru maka saya ada”, itu lebih baik.

Meskipun demikian kita harus optimis untuk membangun tradisi membaca di kalangan generasi muda, agar mereka terhindar dari “rabun membaca dan tumpul menulis”. Gerakan-gerakan yang ditujukan untuk meningkatkan minat baca banyak dilakukan masyarakat, misalnya dalam bentuk kampaye pentingnya membaca, lomba menulis, meresensi atau meringkas; pendirian taman bacaan dan perpustakaan umum; dan sebagainya. Gerakan sastra masuk sekolah yang dipimpin oleh budayawan Taufik Abdullah, merajuk anak didik, terutama yang duduk di sekolah menengah atas untuk membaca karya sastra. Ia mencanangkan 6 gerakan sastra, yaitu menerbitkan sisipan “Kaki Langit” di majalahHorison sejak 1996 untuk karya siswa SMU; melatih guru-guru SMU dalam sastra sejak 1999; menggelar acara “Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya” di berbagai sekolah menengah; demikian pula di perguruan tinggi; lomba mengulas karya sastra dan menulis cerita pendek untuk guru SMU; dan membentuk sanggar sastra untuk siswa (Laksmi, 2004). Dan itu bisa direduplikasi di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah di setiap level, dengan pendekatan dan materi yang kontekstual tentunya.

Hingga saat ini, kurikulum pendidikan di sekolah masih sangat memprihatinkan. Dalam kurikulum, kegiatan membaca di sekolah belum menjadi prioritas utama, apalagi membaca karya sastra. Padahal kemampuan baca tulis dan sekaligus menjadikannya sebagai sebuah habitus (kebiasaan) merupakan pondasi awal bagi pengembangan akademik lainnya. Apabila sekolah tidak mampu membangun lingkungan yang  akrab dengan tradisi membaca, maka sekolah ikut berkontribusi dalam tragedi nol buku, seperti yang diutarakan oleh Taufiq Ismail. Memang usaha untuk merubah keadaan ini tidak gampang, namun juga bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk kita pecahkan. Masalah ini bukan sekedar masalah sekolah, tapi juga menyangkut struktur (negara yang) dan kultur (budaya) yang tidak bersahabat dengan membangun kultur membaca.

Dengan keseriusan yang tinggi, saya yakin sekolah mampu membangun habitus (kebiasaan yang kuat, meminjam istialah Pierre Bourdieu) membaca di kalangan siswa-siswinya. Tentu niatan tersebut harus direalisasikan dalam bentuk program dan kegiatan yang nyata dan berkelanjutan. Banyak strategi yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah, dan salah satu strategi yang bagus adalah seperti yang disampaikan oleh Rahadjo (2004), yaitu:

 1.       Menciptakan suasana. a) Membuat komitmen seluruh guru. Pendidik ini sangat penting dalam memberi teladan dan menumbuhkan rasa cinta terhadap buku. Komitmen sebaiknya juga membantu dan mengajarkan kepada murid bagaimana memahami bacaan. b) Membuat program khusus yang terintegrasi. Murid akan berfikir bahwa kegiatan baca-tulis penting jika sekolah membuatnya menjadi program khusus. Program yang dimaksud adalah: membuat surat kabar/majalah/majalah dinding/kliping, membentuk klub pecinta buku, membuka toko buku/koperasi sekolah, memberikan ceramah/bimbingan pemakai secara rutin, memperingati Hari Buku, dan kunjungan pengarang/illustrator : resensi buku, diskusi, bedah buku, pelajaran teknik menulis, dan penghargaan kepada siswa-siswi yang mempunyai karya.

 2.         Perpustakaan sekolah yang memadai.  a)  Koleksi di perpustakaan sekolah sebaiknya sesuai dengan jenis dan kebutuhan sekolah, tertata rapi, terawat, mudah ditemukan terus dan ditambah. b) Pustakawan profesional sebaiknya menjaga komitmen dalam pekerjaannya, yaitu memberi teladan kepada anak didik, mengembangkan pengetahuan mengenai perpustakaan dan mempelajari metode pengajaran, kurikulum sekolah, sekaligus mempelajari perilaku manusia. c) Sarana dan program perpustakaan. Perabotan yang nyaman,  perlengkapan memadai,  jam buka dan kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan siswa akan menciptakan suasana yang menyenangkan.

 3.         Membaca bersama dan berbagi pengalaman. Kegiatan membaca yang kita kenal umumnya adalah membaca dengan diam. Bagi sebagian orang, kegiatan ini terasa berat dan membosankan. Agar menarik, kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara lain, seperti :membaca bergiliran, mengadakan acara jam bercerita, membaca kumpulan puisi atau cerpen, mengadakan diskusi buku mengenai ceritanya, pengarang, ilustrasi, pengalaman individu yang serupa, dan lainnya.  

 4.         Melakukan aktivitas. Guru atau pustakawan dapat mengembangkan kegiatan membaca melalui berbagai aktivitas, seperti: a) membuat proyek bacaan (mendata buku seperti pekerjaan yang dilakukan pustakawan). b) membaca secara kreatif dengan menggambar, menjahit, membuat pembatas buku, boneka, topeng, kolase, bendera, film, jaket buku, kartu ucapan, penahan buku, brosur, iklan, kartun, puisi, lagu, pantomim, drama, teka-teki, permainan, dan lainnya. c) Membuat karangan karya sastra sederhana, membuat komentar atau ringkasan, diari, dan lainnya. d) Belajar melalui gambar/barang, kunjungan, kliping, musik, teka-teki, atau mengintegrasikan pelajaran-pelajaran. e) Mengadakan pertunjukan drama, panggung boneka, dan lainnya yang dikaitkan dengan dunia buku. f) Mengadakan kunjungan ke toko buku, penerbitan, percetakan, perpustakaan lain. g)Mengkampanyekan buku-buku terbaik. h) Mengadakan tukar menukar buku dengan perpustakaan, atau sekolah lain. i) Mengadakan bazaar, pameran, atau lomba yang berkaitan dengan buku, dan memilih duta buku; Cak atau Yuk (Putra dan Putri Jatim sebagai Duta) Buku atau Jambore buku.

Menurut saya, apapun gagasan atau pun pemikiran besar kita, tetap harus dimulai dari langkah kecil dan sederhana. Kualitas membaca yang rendah merupakan persoalan bangsa Indonesia secara umum.  Bukan hanya terjadi di lembaga pendidikan, tapi juga dalam kehidupan masyarakat kita. Keluarga dan sekolah (pendidikan dasar) merupakan pondasi awal bagi anak didik untuk mengembangkan intelektualitasnya, dan salah satu keahlian yang sangat penting adalah membaca.  Dan  kemudian diikuti oleh keahlian berikutnya yaitu menulis.  “Membaca membuka cakrawala dunia” ternyata bukanlah sekedar pepatah kosong tanpa makna. Serta bukanlah sebuah kebetulan ketika Cina saat ini kembali menjadi raksasa dunia. Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari kemampuan membaca generasi mudanya yang menduduki peringkat pertama di dunia saat ini. Akhirnya, kita harus betul-betul meresapi perintah membaca sebagai wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad SAW.  Jadi “membaca” adalah syarat wajib agar kita bisa menyingkap dan menguasai dunia. Seperti yang dilakukan oleh generasi muda Cina saat ini. Bagaimana dengan kita?

*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Cikal, Edisi Juni 2012, SD Muhammadiyah Manyar Gresik

Saturday, November 3, 2012

Gerakan Satu Juta Rumah Baca Untuk Rakyat (GERABA)



Gerakan GERAKAN 1 JUTA RUMAH BACA UNTUK RAKYAT yang disingkat GERABA merupakan salah satu bentuk gerakan creative social responsibility (CSR) yang dipelopori anak-anak muda yang mempunyai dedikasi tinggi terhadap pentingnya membaca untuk menjadikan rakyat lebih sadar, maju, dan berdaya. Karena itu, salah satu misi dari gerakan membaca dalam GERABA adalah berisi tiga hal yaitu penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan. Keyakinan kami adalah dengan melahirkan masyarakat yang melek baca maka rakyat tidak dapat dibodohi dan ditindas.

Wujud kongkrit dari gerakan ini adalah program inisiasi terhadap lahirnya perpustakaan komunitas dan pemberdayaan yang sudah ada melalui gerakan buku bergulir kepada perpustakaan di seluruh tanah air. Misi mulia ini tidak akan tercapai tanpa dukungan dan peran kita semua. Anak bangsa ini akan bangkit seiring meningkatnya minat baca dan angka melek baca di kalangan masyarakat. Keyakinan kami semua adalah sama bahwa dengan membaca pengetahuan diraih dan dari sana kemudian dapat direfleksikan menjadi berbagai karya yang produktif, inovatif, dan progresif untuk memenangkan persaingan global.

Gerakan yang lahir dari komunitas anak muda ini mengetuk semua orang dari semua kalangan dan berbagai macam latar belakang untuk peduli dan memberikan sumbangsih kepada gerakan ini. informasi dapat diakses dari facebook (Rumah Baca Komunitas), tweeter (mabaca), dan blog Rumah Baca Komunitas (http://rumahbacakomunitas.blogspot.com/).

Silakan disampaikan jika ada ide dan gagasan yang konstruktif!! Grup ini adalah bank gagasan dan idealisme! Jadilah penabung ide yang kayaraya!


Untuk Bergabung menjadi Relawan GERABA KLIK INI

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK