Tuesday, February 11, 2014

Resensi Buku: "Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir"

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Judul     : Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir; Esai dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer".
Penulis  : Ausgust Hans den Boef & Kees Snoek
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun   : 2008

Tidak ada puncak dari ekspektasi Pramoedya Ananta Toer (seterusnya disingkat Pram), selain “semuanya berakhir”, begitu bagian utama untuk memulai babak buku “Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir” (disingkat SILSIB). Buku ini secara praktis akan menjelaskan mengapa politik rekonsiliasi yang digagas oleh Goenawan Mohamad tahun 2000 mengalami kendala besar dan buntu dengan Pram. Dan mengapa niatan baik dari pemerintah untuk duduk berangkulan secara damai dengan masa lalu tahanan politik (Tapol) justru selalu menunjukkan sisi antipati bagi Tapol. Tidak sederhana untuk menjelaskan semua ini, paling-paling yang terbersit adalah keengganan orang untuk mempelajari secara mendalam hierarki kejiwaan tapol-tapol. Representasi kuat tapol tentu saja adalah Pram. Bagaimana Pram sulit untuk menerima rekonsiliasi bukan sulit secara subjektif, tapi juga sulit secara kemanusiaan. Seorang pram hidup dengan ausdauer (daya-tahan) memahami betul tentang apa yang disebut-sebut sebagai “maaf”. Kita melihat bahwa ide untuk mengajak para tapol memaafkan rezim Orde Baru wajar saja ditolak. Egoisme memang harus diletakkan secara hati-hati bagi para tapol. Mereka bukan kawanan misterius yang akhirnya hidup menjadi penganut sinisme terhadap “kebaikan-kebaikan formalitas”. Mereka hanya terlalu memahami bahwa “kebaikan-kebaikan formalitas” tidak pernah membuahkan harapan, justru perlahan menjadi senjata membunuh. Tapol seperti sekelompok orang yang dibenci oleh rezim dengan menggunakan kekerasan psikis. Para tapol diberikan harapan bebas, harapan kehidupan, tapi justru itu akhirnya menjadi siksaan.

Menulis di Pasir

Bagi Pram, kekerasan yang melukai adalah kenyataan tulisan-tulisannya dilarang bahkan dirampas tanpa sisa naskah satupun. Kees Snoek, salah-seorang kontributor buku SILSIB, menulisnya dengan gaya yang dramatis, “kadang-kadang Pramoedya merasa kecewa atas sedikitnya jumlah peredaran buku-bukunya di Indonesia, seperti menulis di pasir…”(hlm.102). Tampaknya Kees Snoek ingin menutupi atau menyelubungi kekecewaan Pram dengan “kadang-kadang”. Terbukti, bahwa Kees Snoek sendiri menyadari bahwa ada perlakuan tidak pantas untuk Pram dari kolega-koleganya pada suatu pertemuan di Bulan April 1988, “…beberapa dari kenalan saya itu sepertinya tidak begitu menghargai perkenalan mereka dengan Pramoedya…mereka santun…tetapi setelah itu mereka langsung pergi…” (hlm.103). Sejarah sastra Indonesia yang dipegang oleh kelompok Humanisme Universal hampir setengah abad lebih antara 1965-2000-an tidak menyisakan ruangan untuk Pram. Menulis di pasir jadi kemewahan yang sia-sia untuk Pram, fenomena yang terbukti menghantamnya cukup keras sampai ke titik jauh.

August Hans, Kees Snoek, dan Pram

Buku SIlSIB meletakkan dasar historis yang cukup penting untuk memulai memahami Lebenswelt Pram. August Hans dan Kees Snoek menangkap perihal itu dengan cara yang berbeda. August Hans secara diametral menghadapkan Pram dengan realitas kritikus barat abad 20 serta pemahaman umum tentang dirinya yang berkembang sebagai opini formal di masyarakat. August Hans sah-sah saja bertindak begitu, mungkin hanya untuk menyadarkan kepada kita bahwa tantangan yang dihadapi Pram tidak sekedar tindakan represif pemerintah, tapi juga kecenderungan kritikus di Barat serta rekonstruksi opini masyarakat tentang dirinya. Dan memang, August Hans, menangkap belokan-belokan corak Pram dari fatalisme menjadi komunisme. Belokan-belokan demikian kemudian akan menjelaskan Lebenswelt yang selama ini salah dipahami. Oleh karenanya informasi-informasi mengenai perdebatan apakah PKI harus dimaafkan atau PKI memberi maaf harus dibaca melalui laporan-laporan dokumentatif tentang masing-masing subjek yang memegan symbol utuh tapol seperti Pram. August Hans membuat SILSIB menjadi bacaan wajib untuk itu, walaupun laporannya cukup singkat.


Bagaimana dengan peran Kees Snoek?. Kees Snoek merekam dengan tersirat bahwa ada mutual knowledge dalam pembacaan orang terhadap Pram dan aktivitasnya. Apakah mutual knowledge tersebut? itu menyangkut dengan satu proses yang membuat Pram “luar biasa terluka” menurut Kees Snoek. Pram menganggap diskursus mengenai kritik-kritik kerasnya terhadap kelompok Humanisme Universai bukan suatu yang penting untuk diajukan di dalam sejarah sastra Indonesia. Bagi Pram yang penting adalah penelusuran terhadap pembantaian kelompok-kelompok komunis. Hal ini menjadi lebih terang lagi setelah memasuki pembebasan Pram, dan kemudian mulai membuka pendalaman terhadap isu ini. Yang pasti, Pram ingin melihat semua ini berakhir.. 

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK