Tuesday, February 4, 2014

Renungan Pemikiran: Sebuah Pertanggungjawaban

Redaksi blog rumahbacakomunitas memandang penting bagi golongan intelektual pro-rakyat untuk membaca kembali ide-ide tentang manusia, ekonomi, sosial dan etika yang selama ini menjadi wilayah wawasan manusia Indonesia. Maka pada berbagai kesempatan, redaksi akan menerbitkan, atau mempublikasikan kembali tulisan-tulisan dari kalangan intelektual Indonesia, atau siapa saja untuk memberikan kontribusi bagi keseimbangan wawasan intelektual. 

________________________________________________________________________


Oleh : M. Dawam Rahardjo

Dalam kata pengantar untuk buku saya, "Nalar Ekonomi-Politik Indonesia" (IPB Press, 2011), Prof. Didin S. Damanhuri menarik kesimpulan bahwa ia tidak menemukan satu aliran pemikiran yang saya ikuti secara konsisten. Tapi menurut pembacaannya, saya mengambil dan mengkombinasikan berbagai teori untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah ekonomi-politik, misalnya masalah ekonomi kerakyatan yang menjadi benang merah buku kumpulan karangan itu. 

Dengan kata lain, saya, menurut penilaian Didin, mengikuti metode eklektika, suatu kesimpulan yang di masa lalu juga pernah dilontarkan orang mengenai metode pemikiran Soedjatmoko, namun dengan nada yang merendahkannya. Memang, dalam karangan-karangannya Soedjatmoko membahas berbagai masalah pembangunan dan perkembangan masyarakat. Ia sendiri dikenal sebagai seorang yang berfaham sosialis dan menulis buku mengenai kebudayaan sosialis. Tapi sebagaimana nampak pada Sjahrir, Soedjatmoko tidak nampak sebagai seorang penganut sosialisme ortodoks tertentu. Benang-merah yang dapat ditemukan orang adalah bahwa ia adalah seorang penganut paham humanisme universal, yang sesungguhnya dekat dengan faham Liberalisme, padahal faham ini dilawankan dengan sosialisme. Bahkan Herbert Feith menggolongkan aliran pemikirannya, bersama-sama dengan Arief Budiman yang menyatakan diri sebagai seorang Sosialis itu, dalam aliran yang disebut critical-pluralism.

Terus terang saya agak kaget dengan kesan Didin S. Damanhuri itu, karena dia memang sangat mengenal pemikiran-pemikiran saya. Saya berpendapat bahwa kesan itu tidak adalah sebuah kesalah-pengertian. Tapi munculnya kesimpulan semacam itu atas pemikiran saya, sepenuhnya dapat saya mengerti. Saya sendiri ingin menjelaskan kepadanya, bahwa aliran epistemologi yang saya ikuti dalam membahas masalah-masalah ekonomi-politik adalah “ekonomi-kelembagaan” (institutional economics), yang memandang ekonomi sebagai gejala yang kompleks dan selalu berubah, dan oleh karena itu perlu didekati dari berbagai sudut dan perspektif. Saya sendiri pernah menulis bahwa saya mengikuti metode berpikir “historis struktural”, yang dapat ditelisik dalam buku kumpulan artikel saya di Majalah Prisma. Benang merah itu dapat ditemukan oleh cendekiawan muda, Tarli Nugroho, sebagaimana dapat dibaca dalam kata pengantar panjangnya terhadap buku tersebut, yang berjudul Ekonomi Politik Pembangunan (2012). Metode itu pernah saya terapkan terhadap gejala ketergantungan perekonomian Sumatera Utara, sebagai suatu gambaran mengenai perekonomian Indonesia di tingkat regional.

Kesan lain yang juga saya nilai sebagai “stigmatik” terhadap pemikiran saya adalah apa yang pernah dilontarkan oleh Hidayat Nataatmadja (1932-2009) pada tahun 1980-an, ketika ia mengatakan bahwa saya adalah seperti “perpustakaan berjalan”, karena ia melihat tulisan-tulisan saya di Prisma selalu mencantumkan banyak catatan kaki sebagai referensi. Saya tahu bahwa Hidayat waktu itu merasa tersinggung terhadap kritik yang pernah saya lontarkan pada suatu forum terhadap karangan-karangannya. Dalam sebuah seminar terbuka saya memang pernah melontarkan penilaian bahwa tulisan-tulisannya memang lancar bahasanya, tapi sulit dipahami, karena tidak jernih dan sederhana. Kesan njelimet itu pada akhirnya mengesankan ketidak-jernihan pemikirannya, meskipun sebenarnya tidak.

Penilaian Hidayat terhadap pemikiran saya dapat saya pahami, karena saya ketika itu memang masih mengikuti metode penulisan akademis yang harus mempertahankan kejujuran pemikiran. Hidayat sendiri saya akui tergolong sebagai seorang pemikir kritis-kreatif yang melampaui pemikiran akademis dan bidang-bidang keilmuan yang bersifat fakultatif, sehingga saya paham kenapa ia tidak merasa perlu mencantumkan catatan-catatan kaki pada karangan-karangannya. Sebagaimana halnya Soedjatmoko, Hidayat mampu menulis pemikiran tentang banyak hal melampaui suatu disiplin tertentu, karena ia memang memiliki bacaan luas yang diinternalisasikan ke dalam cara berpikirnya itu. Tapi ketika menulis artikel di Prisma, saya masih dan harus berpikir pada level akademis.

Saya memang memiliki minat terhadap berbagai bidang pemikiran, sejak ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, filsafat dan agama. Dan sejak muda, saya memang seorang pengumpul buku, sehingga sekarang bisa memiliki sebuah perpustakaan pribadi yang cukup lengkap. Saya juga membaca buku-kuku dan mempelajari berbagai aliran pemikiran dan epistemologi. Tapi dalam metode pemikiran, saya tertarik kepada Marxisme, terutama Neo-Marxisme atau Kiri-Baru, teori kritis Mazhab Frankfurt, dan nalar Islam Liberal atau “Kiri Islam”. Saya juga tertarik pada ajaran sosial gereja Katolik dan gagasan Teologi Pembebasan Amerika Latin.

 Namun saya tidak puas dengan semua aliran pemikiran dan epistemologi itu dalam berbagai aspek tertentu. Karena itu saya tidak menganggap diri saya ortodoks atau tidakkaffah, atau tidak konsisten mengikuti aliran pemikiran tertentu, termasuk dalam pemikiran keagamaan. Saya lebih mengikuti pemikiran kritis. Karena itu saya menjadikan Marxisme dan nalar Islam sebagai suatu kritik ideologi. Saya pernah menulis bahwa Marx saya temukan mengambil banyak pemikiran dari para pemikir sebelumnya yang lalu ia jungkir-balikkan pemikiran-pemikiran yang telah dipungutnya tersebut, tapi dari situ kita bisa melihat bahwa teori yang dihasilkan Marx adalah orisinil.

 Namun dalam pangalaman berpikir saya, aliran pemikiran kritis itu mengandung kelemahan yang tidak bisa saya terima, misalnya teori perjuangan kelas dengan cara kekerasan. Itu saya jumpai ketika saya terlibat dalam gerakan sosial. Dari pemikiran-pemikiran kritis itu tidak saya dapati konsep-konsep solusi. Dari situlah saya tertarik pada gagasan-gagasan pembangunan alternatif. Tapi titik tolaknya adalah teori modernisasi dan perubahan sosial yang konvensional. Ternyata kecenderungan ini juga melahirkan kritik dari Saiful Mujani. Ia mengatakan bahwa pemikiran saya tidak konsisten, karena di satu pihak saya mengikuti pemikiran kritis Marxis, tetapi ketika berpikir mengenai pembangunan dan gerakan sosial, saya kembali kepada teori modernisasi, yang juga dikritik oleh seorang Neo-Marxis, Andre Gunder Frank, itu. Namun dalam pembangunan alternatif, menurut saya, teori modernisasi itu dibangun berdasarkan temuan-temuan kajian kritis, sehingga sudah berbeda dengan teori modernisasi konvensional.

Di sini saya teringat pada perdebatan antara pandangan idealis-spiritualis Hegelian-Weberian dengan pandangan materialis Marx-Engel. Sebagai seorang yang beragama, tentu saya cenderung pada pandangan Hegelian-Weberian yang percaya bahwa ide dan spirit itu mampu membentuk dan mengubah dunia. Tapi saya juga tertarik pada pandangan materialis, bahwa kondisi itu sangat mempengaruhi ide dan semangat manusia. Di sisi lain, saya juga memperhatikan Karl Popper yang menentang pandangan historisis-deterministis yang menurutnya justru menimbulkan pandangan tentang kelemahan manusia yang dibelenggu oleh lingkungannya. Di sinilah saya menemkan makna ayat al Qur’an, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mengubah apa yang ada dalam diri (kepribadian) kaum itu sendiri. 

Sementara itu Gramsci mengeluarkan pandangan bahwa manusia itu memiliki kemampuan untuk menciptakan sejarah. Saya lalu teringat kepada kata-kata Marx sendiri bahwa hanya ide-ide revolusionerlah yang mampu mengubah sejarah. Jika ajaran agama itu dijelaskan dengan pandangan Hegelian-Weberian sebagai tesis di satu pihak, dan Marx-Engel sebagai anti-tesis di lain pihak, yang disintesiskan melalui pandangan Popper dan Gramsci, maka itu adalah adalah suatu jalan pemikiran ekletisisme juga. Itulah pula yang dikembangkan oleh Tan Malaka dalam bukunya, Madilog (1946), yang menggabungkan pandangan Marxis dengan teologi. Melalui proses materialisme, dialektika, dan logika itulah maka Tan Malaka membimbing bangsa Indonesia untuk menemukan teori dan kesadaran revolusioner guna mencapai Indonesia Merdeka. Proses pemikiran itu pulalah yang terkandung dalam pamflet Mencapai Indonesia Merdeka (1936) yang ditulis Bung Karno.

 Para perintis dan pejuang kemerdekaan pada umumnya adalah kaum terpelajar yang pemikirannya dibentuk oleh pendidikan modern Barat, tetapi tetap berjiwa religius dan memiliki kesadaran kebudayaan kebangsaan. Pemikiran dan pandangan mereka itu sangat beragam dan bahkan pula saling bertentangan. Namun pandangan antara lima tokoh utama, yaitu Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Soepomo dan Sjahrir, meskipun sangat berbeda, kesemuanya mengarah kepada pandangan tentang “Indonesia Merdeka”. Memang masing-masing tokoh itu memilih mengikuti seorang tokoh tertentu, khususnya Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Tetapi tentang demokrasi, muncul perbedaan diametris antara pandangan Soekarno yang mengarah kepada kolektivisme atau integralisme, dengan pandangan Sjahrir yang mengarah kepada demokrasi-liberal. Pengaruh perbedaan pandangan yang cukup mendasar antara dua tokoh itu masih nampak dalam perkembangan politik dewasa ini.

Di antara para pemikir Indonesia kontemporer telah timbul suatu gagasan untuk mengembangkan “Filsafat Nusantara”. Upaya untuk merumuskan Filsafat Nusantara itu nampak dalam buku Negara Paripurna (2011) yang ditulis Yudi Latif dalam usahanya untuk mengembangkan interpretasi terhadap Pancasila dengan menggali pemikiran para pendiri bangsa. Dalam pembahasan itu ia bertolak dari realitas pluralitas Nusantara, sehingga menimbulkan gagasan pluralisme. Dalam pemikiran itu maka metode yang digunakan adalah sintesa pemikiran, yang akan menimbulkan kesan eklektisisme.

 Itulah sedikit penjelasan saya terhadap “tuduhan” Didin. S. Damanhuri, Hidayat Nataatmaja, dan Saiful Mujani, sebagai pertanggungjawaban terhadap karier pemikiran saya dalam ilmu-ilmu sosial.
__________________________
Babarsari, Yogyakarta, 26 Juli 2012
sumber: 
https://www.facebook.com/notes/m-dawam-rahardjo/renungan-pemikiran-sebuah-pertanggungjawaban/451563354863711


No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK