Sunday, August 10, 2014

Kesadaran; "Proses Kreatif “Tanah Tabu”

berikut ini adalah catatan Anindita Siswanto Thayf, penulis Novel asal Jogjakarta, terhadap salah-satu karyanya "Tanah Tabu" yang memenangi sayembara menulis novel pada DKJ Tahun 2008.  
_______________________________________________________
Oleh: Anindita Siswanto Thayf

“Suatu hari saya membaca sebuah realitas, seketika hidup saya pun berubah…”

Dalam novelnya The New Life, Orhan Pamuk mengisahkan seorang pemuda bernama Osman yang begitu terpengaruh dan terobsesi dengan sebuah buku yang dibacanya. Tak hanya merampas hari-harinya, pemuda itu justru sengaja menjerumuskan diri ke dalam pencarian-pencarian makna rahasia dari buku tersebut, yang ternyata semakin menjauhkannya dari “kehidupan normal” sebagai seorang mahasiswa.

Hampir mirip kisah Osman, saya pun pernah merasakan hal sama. Bagaimana sebuah realitas yang saya temukan tanpa sengaja lewat sejumlah tulisan di internet—dari sumber berbeda tapi memaparkan kisah yang serupa—begitu memengaruhi saya. Membangkitkan sebentuk kesadaran yang selama ini, sepertinya, hanya tidur-tidur ayam dalam diri saya. Hingga terjagalah saya. Mulai kasak-kusuk sendiri karena merasa “cukup terganggu”; mengapa saya baru tahu sekarang? Kemarin-kemarin saya ke mana saja? Dulu-dulu mata saya hanya digunakan untuk “melihat” apa saja? Kok bisa-bisanya saya lupa bahwa hidup tak hanya melulu diisi warna cerah yang menyenangkan hati, tetapi warna suram yang menyimpan rahasia pun pasti ada. Sejak itu, niat saya yang semula ingin mengumpulkan bahan untuk menulis sebuah buku non fiksi untuk anak-anak tentang keindahan panorama alam di Pulau Kepala Burung, Papua, sontak berubah haluan.

Untuk apa menulis tentang keindahan jika di sebelahnya ada penderitaan yang lebih nyata dan sangat membutuhkan perhatian? Bukankah sudah banyak buku/artikel yang membahas tentang keindahan tersebut—bahkan telah diterjemahkan entah dalam berapa bahasa asing, pada buku panduan wisata atau katalog tempat wisata, lengkap dengan foto beresolusi tinggi dari seorang lelaki tua berkoteka—sebaliknya buku/tulisan yang menyinggung nasib rakyat di pulau itu yang begitu menderita dan tersisih di negara sendiri justru diwanti-wanti penerbitannya (padahal jumlahnya pun sedikit). Apa pula gunanya mengabadikan keindahan pulau itu dalam bentuk buku (tulisan)—yang jika kelak diterima penerbit dan diterbitkan, maka saya pun akan mendapat keuntungan materi dari hal tersebut—sementara mereka yang tinggal di tempat itu malah tidak bisa menikmati keindahan tanahnya sendiri karena terlalu diberati beban hidup yang tak habis-habis?

Sebenarnya, pada titik ini, semula saya ingin pura-pura “buta” saja. Pura-pura menyesal karena telah mendapat informasi yang bertentangan dari yang saya butuhkan. Pura-pura telah salah baca bahwa telah terjadi “ketidakadilan yang merata” di negara yang seharusnya “berkeadilan merata” ini. Tapi apa boleh buat, saya tidak bisa. Benar-benar tidak bisa! Realitas itu ada di mana-mana. Tertulis di buku, jurnal, koran, situs internet, bahkan blog pribadi. Semakin saya hindari, semakin menari-nari dalam kepala ini. Semakin tak digubris, semakin membuat diri serasa pengecut. Pemerkosa kebenaran karena lebih memilih diam. Benarkah saya seperti itu?

***
Butuh keberanian untuk meruntuhkan dogma “Diam adalah Emas”. Bohong jika saya berkata tidak ada palang rintang yang harus saya lewati sebelum kemudian memantapkan hati menulis tentang nasib rakyat tanah Papua dalam bentuk novel. Maksud saya, hey, bisakah novel serius model begituan diterima penerbit? Sebagai seseorang yang bernapas, makan, dan minum dari menjual tulisan (tidak ada pekerjaan lain, selain mengurus rumah tangga), bisakah saya menggantung harapan atas seikat sayur bayam dan sepotong tempe dari novel itu nantinya?—sungguh, waktu itu belum ada niat untuk mengikutkannya dalam lomba, apalagi Sayembara DKJ, karena berdasarkan hasil survey saya, novel pemenang DKJ selama beberapa tahun terakhir tidak ada yang seperti novel yang akan saya tulis (dan saya pernah memaksakan diri mengikutkan novel karya saya yang “lain sendiri” namun hasilnya: kalah!). Dan Papua, tahu apa saya tentang pulau yang belum pernah sekali pun saya kunjungi itu? Bagaimana dan dimana mencari bahan tulisan tentangnya?

Sungguh beruntung saya lahir di abad yang begitu modern sekarang ini. Kalau semisal saya lahir sezaman dengan Pramoedya Ananta Toer, tentu saya harus bolak-balik keperpustakaan untuk meminjam buku berbecak-becak, kemudian sampai di rumah diketik ulang buku-buku itu sebagai bahan tulisan—dan mungkin pula saya tidak mempunyai ketekunan seulet itu. Abad ini memudahkan saya melakukan ini-itu tanpa harus mengeluarkan biaya yang bisa membuat saya dan suami bangkrut mendadak. Melintasi sulitnya melakukan penelitian secara langsung, dari mulut orang pertama—karena saya terbentur besarnya biaya untuk melakukan perjalanan ke Papua—saya pun memilih melakukannya melalui tulisan.

Anak-anak pun tahu kalau buku adalah jendela dunia. Namun bagi saya, tak hanya sebatas buku, semua bentuk tulisan, apapun isi dan maksudnya, adalah jendela serba guna. Lewat jendela itu saya bisa mengintip kehidupan di sebuah tanah yang belum pernah saya jejaki, mencoba merasakan penderitaan penghuninya, dan menguping keinginan terpendam mereka—dalam hal ini, saya pikir menguping adalah kegiatan positif. Lewat jendela yang sama pula saya tersadarkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi mereka: membuat satu jendela baru yang semoga berguna bagi siapapun yang membacanya. Hingga terbangkitkanlah sadar mereka, seperti sadar saya dahulu. Sebuah kesadaran yang sangat penting, saya rasa, mengingat masih adanya pandangan negatif dari segelintir orang yang menganggap mereka berbeda (secara fisik, budaya, dan gaya hidup).

Satu kenyataan pahit yang sempat membuat saya tersentak kaget dan miris, ketika menemukan betapa tidak mudahnya orang Papua mencari rumah kontrakan atau kos di Jogja, yang sesuai keinginan mereka, karena para pemilik kontrak dan kos-kosan (juga sebagian besar tetangga) merasa mereka adalah sejenis tetangga yang suka bikin ribut (baca: suka memasang musik keras-keras, berbicara keras-keras, dan bertengkar keras-keras). Sebuah sikap yang membuat saya semakin bersemangat mengais-ngais kisah tentang tanah leluhur mereka: Papua.
***
Tanah Tabu adalah judul yang saya pilih untuk novel saya karena beranggapan bahwa setiap tanah yang merupakan warisan leluhur pastilah ditabukan oleh turunannya yang berbakti. Ditabukan dalam arti dipergunakan sesuai manfaat dan kebutuhan, serta dijaga kelestariannya.

Dengan hanya berbekal riset pustaka[3] dari berbagai jenis tulisan, entah dalam bentuk buku dan jurnal di perpustakaan, atau artikel-artikel koran setempat, situs LSM lokal, bahkan blog komunitas dan pribadi selama dua tahun, saya pun mulai menyusun informasi. Dengan teliti, saya mencoba mengenali sumber permasalahan rakyat tanah Papua dan menyusun kembali adegan kehidupan imajinatif yang harus mereka jalani dalam kepala saya berdasarkan semua sumber pustaka itu. Dan untuk membantu visualisasi, saya mencari potongan film dokumenter yang menggambarkan keadaan masyarakat Papua di internet (biasanya milik sebuah LSM lokal atau yayasan sosial asing), dan semakin rajin mengamati berita di televisi. Beruntungnya, latar belakang saya yang lahir dan besar di Makassar, Sulawesi Selatan, dan berasal dari keluarga bermacam suku (salah satu saudara nenek saya menikah dengan orang Papua dan tinggal di sana) membuat saya dengan mudah memelajari dan memahami aksen/logat bahasa Indonesia-Papua, yang sedikit banyak telah dipengaruhi aksen/logat para pendatang dari Sulawesi, khususnya Bugis-Makassar. Hingga akhirnya tibalah waktu untuk menulis.

Ada begitu banyak penulis yang memengaruhi saya dalam berkarya. Saya telah membaca lebih dari satu kali Anna Karenina-nya Leo Tolstoi (novel ini bagi saya sangat luar biasa dalam pengarapan tokoh-tokohnya sehingga seolah-olah tokoh-tokoh itu punya daging dan nyawa seperti kita), Ibunda-nya Maxim Gorki (walaupun saya tidak begitu suka kalimat-kalimat Gorki yang mengiris ciri khas realisme sosialis, tapi saya memuji semangat dan kejujuran Gorki dalam berkisah), The Famished Road-nya Ben Okri ( ini novel favorit saya. Sudah saya membaca sebanyak enam kali novel ini dan tak pernah bosan), The Name Shake-nya Jhumpa Lahiri, dan My Name is Red-nya Orhan Pamuk (bagi saya Pamuk memang jago mendongeng tentang runtuh-bangunnya peradaban). Dengan penuh ketakjuban, saya juga membaca kisah Minke-nya Pramoedya Ananta Toer (dalam tetralogi Buru), kisah keturunan Jose Arcadio Buendia-nya Gabriel Garcia Marquez (dalam Seratus Tahun Kesunyian), dan keajaiban hidup Jean Valjean-nya Victor Hugo (dalam Les Miserables). Pun, saya tak pernah bosan mengikuti setiap petualangan kata Ernest Miller Hemingway dengan Lelaki Tua dan Laut, dan Salju Kilimanjaro-nya, Seno Gumira Adjidarma dengan tokoh Sukab-nya, dan Naguib Mahfouz dengan Kisah Seribu Satu Malam-nya (walaupun Mahfoudz lahir di Mesir, dalam karya-karyanya saya tak pernah mendapatkan dia berdakwah tentang agamanya). Guna memperkaya kosa kata saya juga membaca puluhan buku kumpulan puisi dan tentu saja kamus bahasa. Namun yang terjadi kemudian, ketika tiba saatnya jemari ini mulai mengetikkan huruf demi huruf, maka yang terjadi adalah saya menulis sesuai keinginan saya. Dengan gaya bahasa yang sesuai dengan irama yang dimainkan kepala saya. Menggunakan kosakata yang pernah saya dengar dan baca entah dimana. Mengeluarkan semua pengetahuan saya tentang pulau yang jauh di ujung timur itu: Papua. Dan hasilnya, setelah melewati enam bulan masa penulisan, novel tersebut rampunglah. Novel ala saya. Tanah Tabu. Bisa dibilang novel ini mengikuti irama realisme magis ala saya. Dan, nantinya kalau ada orang membaca novel ini dan ingin mencari-cari pahlawan di dalamnya, maka orang itu akan kecewa, karena tidak ada pahlawan dalam Tanah Tabu. Atau kalau ada yang ingin menemukan kisah percintaan, romantisme, perselingkuhan, seks dengan segala variasinya, ataupun kutipan-kutipan dari ayat-ayat suci, maka ia pun akan kecewa, karena di dalam Tanah Tabu hanya ada seorang bocah kecil, seekor anjing dan babi!

Novel Tanah Tabu adalah suara individu saya, sebagai penulis, yang merasa terpanggil untuk memotret sekeping kebenaran yang terjadi tak jauh dari kita, tapi tersamarkan. Terlepas dari kita yang terlalu acuh, atau realitas yang terlalu kejam, saya sangat berharap novel saya tersebut dapat menjadi sebuah jendela yang akan menghubungkan kita dengan kebenaran di luar sana, dengan manusia-manusia yang terpinggirkan, dengan masalah-masalah yang sengaja ingin dilupa.

Akhir kata, saya ingin mengutip kata Pramoedya Ananta Toer:

“Pengarang itu korps avant garde, bukan penghibur… tugasnya melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya.”

Sepenggal kalimat tersebut terasa sangat hebat bagi saya yang masih pemula ini. Karenanya, saya coba menjadikannya pedoman dan pemicu semangat. Mencoba menulis tanpa kenal takut. Mencoba menulis atas nama kebenaran. Mampukah saya? Entahlah. Semoga saja.


*Lereng Merapi, Jogjakarta, jelang 2009

tulisan bersumber dari salah-satu komentar yang Anindita tulis sendiri untuk merespon tulisan di : http://jalansetapak.wordpress.com/2008/12/15/hanya-satu-juara-tanah-tabu/ 

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK