Sunday, September 21, 2014

Bagaimana Polanyi Menyelesaikan Kapitalisme?

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Judul Buku          : Ekonomi Insani “Kritik Karl Polanyi terhadap Sistem Pasar Bebas”
Penulis                 : Justinus Prastowo
Penerbit              : Marjin Kiri
Tahun Terbit      : 2014
Dimensi Buku    : xx + 183 hlm, 14 x 20,3 cm

Pasca-modernisme di dalam filsafat dan konteksnya terhadap pemahaman global bagi perkembangan diskursus mendapat tantangan serius. Kecurigaan terhadap filsafat pasca-modernisme dan corak filsafat liberalisme di dalam ekonomi ditenggarai bertanggungjawab atas kondisi kapitalisme yang tidak mengartikulasikan secara maksimal model pembangunan ekonomi di negara-negara dunia ketiga. Konteksnya dengan kebijakan pasar bebas terhadap negara-negara berkembang justru menimbulkan kebijakan-kebijakan paradoksal. Antara lain dengan proporsi tidak berimbang yang harus ditanggung oleh warga negara melalui industri ekonomi kreatif melalui PDB. Sedangkan industri manufaktur menjadi proyek yang terbengkalai dan mengalami privatisasi. Justinus, mengawali penulisan mengenai Karl Polanyi dengan pertanyaan utama, apakah kapitalisme dan seluruh turunannya dapat dikritik?.

Karl Polanyi adalah ekonom sekaligus filsuf politik (political philosopher) yang menulis karya penting; The Great Transformation (GT) dengan apresiasi Hans Kohn ketika memberikan resensi atas karya tesebut yang dimuat di harian New York Times; “will learn much for a better under­standing of the elements of 19th‐century society and thought”. Hans Kohn menyandarkan komentarnya karena Polanyi dalam GT mengungkap empat prinsip yang menjadi “tiang peyangga tatanan sosial abad ke-19”. Sama halnya dengan Hans Kohn, Justinus Prastowo dalam Ekonomi Insani (EI) pun mendasarkan penjabaran ini sebagai pintu prinsipil untuk bangunan kritik Polanyi atas sistem pasar bebas. Keempat prinsip tersebut ialah, pertama, sistem keseimbangan kekuatan; kedua, tata keuangan berdasarkan standar emas internasional; ketiga, tata Negara liberal; keempat, sistem pasar swatata (hlm.21). 

Bagaimana sebenarnya Justinus akan mengeksplorasi Polanyi?. Sebagaimana Karl Marx di dalam Capital Jilid I yang mengambil tema penggunaan dan pertukaran sebagai pembahasan awal, posisi Polanyi pun secara ideal tidak berbeda jauh keberadaannya pada titik demikian. Justinus dalam EI melakukan hal ini dengan menggembirakan. Selain berbicara persoalan mengenai ide-ide Polanyi pada bagian awal EI, posisi individu dan kepemilikan pribadi juga diletakkan dengan cermat pada setiap pembahasan tiap Bab dengan simpul penutup secara spesifik di bagian akhir.

Sebelum memasuki pemikiran Polanyi melalui EI, hal menarik yang perlu diperhatikan adalah pembabakan sejarah pemikiran Polanyi sendiri dalam konteksnya dengan bidang kajian yang menjadi sasaran utama kritik-kritik Polanyi. Pembabakan sejarah intelektual Polanyi berdasarkan acuan pada karyanya; GT, masuk ke dalam tahap ke-III (hlm.18). sebelum skematisasi pemikiran Polanyi berdasarkan GT, hembusan dari pandangan Polanyi dalam artikelnya yakni; Essence of Fascism (EF) memberikan kesimpulan prediktif atas resiko berbahaya dari sistem pasar bebas. Dalam EF, Polanyi mengatakan bahwa benturan antara sistem pasar bebas dan masyarakat dapat mengarah pada kemungkinan fasisme. Hal ini disinggung kembali di dalam Mystery of Capital oleh Hernando de Soto. Pembabakan sejarah intelektual Polanyi ini akan turut kita lihat juga terkait dengan posisi Polanyi sebagai ekonom substantif secara diametral dengan ekonom formalis yang dekat dengan ide-ide ekonomi neo-klasik pada karya Anumertanya, The Livelihood Man.

Untuk melihat bagaimana Justinus sampai kepada apa yang disebutnya sebagai Ekonomi Insani kita akan mencoba turun dari beberapa dasar premis pembentukan istilah ini—yang masih terkait erat dengan pembabakan intelektual Polanyi. Turunan umum dari gagasan penting Polanyi seperti dissembedded economy berasal dari Aristoteles (hlm.47). Aristoteles membagi dua jenis sistem pertukaran yakni, pertukaran alamiah (natural exchange) dan pertukaran tidak-alamiah (unnutural exchange). Dua jenis pembagian Aristoteles ini sebagaimana yang akan kita lihat, ditelusuri oleh Justinus di dalam kerangka pembentukan istilah Ekonomi Insani. Gagasan tentang jenis pertukaran memperlihatkan kepada Polanyi mengenai bagaimana sebenarnya sistem pra-kapitalis bekerja.

Menurut Justinus, terdapat dua indikator dari metode yang digunakan oleh Polanyi. Dua indikator tersebut yang kemudian meletakkan Polanyi sebagai ekonom substantif. Pertama, Polanyi mengajukan ekonomi substantif sebagai senjata untuk melawan ekonomi arus utama dengan mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang dibangun oleh ekonomi arus utama. Asumsi itu adalah masalah asumsi kelangkaan dan asumsi pengejaran keuntungan. Polanyi mempertanyakan secara tegas mengenai bagaimana sebuah kondisi dinyatakan sebagai “langka”, ketidakcukupan”?. Menurut Polanyi asumsi-asumsi ini diturunkan dari postulat yang dibangun oleh ekonomi formalis. Kedua, ekonomi substantif membuka celah untuk mengkritik ideologi Hobbesian di dalam ekonomi arus utama.

Indikator metode tersebut digunakan oleh Justinus untuk mendefinisikan Ekonomi Insani sebagai “...tidak meletak pada ketidakterbatasan keinginan dan kebutuhan atau fakta kelangkaan, tetapi berakar pada proses sosial atau konteks kultural” (hlm.47). Postulat mengenai kelangkaan dan keinginan yang tak terbatas menurut Justinus adalah “menggambarkan distorsi kultural ketimbang fakta alamiah”. Ketercerabutan ekonomi di dalam masyarakat berawal dari distorsi kultural. Melalui distorsi kultural tersebut, ketercerabutan ekonomi dari masyarakat berakhir dengan proses identik antara ekonomi dan pasar. Logika pasar secara dominan menguasai alur kerja ekonomi. Sistem-sistem logika, budaya, tradisi, politik—antropologi tidak masuk di dalam logika pasar. Dalam hal ini Polanyi membantu diskursus kritik terhadap ekonomi arus utama dengan mengintegrasikan antropologi ke dalam analisis perbandingan sistem ekonomi (hlm.49).

Bagaimana jalan yang sedang diupayakan oleh Justinus untuk mengkritik kapitalisme melalui metode ala Polanyi di dalam EI?. Jawabannya, pertama, mengkritik kapitalisme yang selalu bersandar pada asumsi mengenai keterbatasan, kelangkaan, dan keinginan manusia yang tidak terbatas. Sedangkan pada kenyataannya, sarana, yang menjadi media untuk mencapai tujuan sebenarnya adalah aras soal penentuan dan pilihan. Polanyi menyatakan bahwa soal kelangkaan bukan pada ketidakcukupan sarana, sebagaimana yang diyakini oleh ekonomi formalis, melainkan pada soal pengalihan sarana kepada alternatif yang tersedia dengan mendasarkan asumsi pada Aristoteles mengenai manusia sebagai makhluk yang secara kodrati cukup-diri (self-sufficient). Cara ekonomi formalis mendefinisikan komoditas sama artinya dengan sebuah proses dehumanisasi. Komodifikasi mencerabut manusia dari alam dan masyarakat yang secara serius membangkitkan dua model di dalam gerak ganda; ekstensi dan proteksi. Komodifikasi merampas materi yang tak terbatas, yang disediakan oleh alam tanpa diproduksi, dan mengubahnya ke dalam logika sarana-tujuan. Dalam aras tersebut, problematika mendasar kembali kepada daya beli masyarakat terhadap komoditas.

Kedua, bangunan kritik Polanyi terhadap kapitalisme, menurut Justinus adalah mengembalikan persoalan moral di dalam ekonomi tanpa terjebak—yang disebut oleh Justinus sendiri yakni; Eisegesse. Pada titik ini, level institusi ekonomi memerlukan landasan ideologi yang tepat bagi pembangunan negara yang memperhatikan seluruh lapisan masyarakat.

Ketiga, Justinus melalui kritik Polanyi atas kapitalisme berupaya untuk menunjukkan jalan awal proses rekonstruksi asumsi antropologis dalam ilmu ekonomi. Ketercerabutan ekonomi dari tujuan asalinya adalah salah-satu penyebab ekonomi formalis memainkan logika pasar sebagai domain utama pelandasan ekonomi. Maka proses integrasi antropologi di dalam ekonomi adalah perihal penting untuk membangun kritik dan pemecahan bagi kapitalisme.


Secara menarik, Marjin Kiri, sebagai penerbit buku Ekonomi Insani berkontribusi terhadap minat yang tinggi dari khalayak atas pemikiran Polanyi. Penerbitan buku ini menurut Ronny Agustinus, Redaksi Marjin Kiri, menjadi momentum gerbang awal bagi pembaca di Indonesia untuk menunggu penerbitan kumpulan karangan Polanyi di dunia Internasional yang akan dirilis dalam satu tahun ke depan di AS dan London. Selain itu, buku dapat menjadi langkah awal untuk memahami perdebatan tanpa akhir antara Polanyi dan Raymond Firth. 

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK