Sunday, September 21, 2014

Urgensi Basis Materialisme Dalam Gerakan Intelektual (Bagian I)

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Kurator RBK

Perkembangan mengenai proyeksi dan visi gerakan intelektual tidak berada dalam ruang vakum. Perkembangannya selalu mengalami benturan yang khas dengan berbagai macam varian. Menganalisa perkembangan proyeksi dan visi gerakan intelektual akan menyeret banyak hal dasariah. Tulisan ini akan mempersoalkan salah-satu kecenderungan utama dari visi semu pendekatan romantisme di dalam pengembangan formulasi gerakan intelektual. Tentu saja, gerakan intelektual yang penulis maksudkan di sini adalah gelombang mobilisasi massa pasca-strukturalisme. Ada ciri yang menarik dari gerakan pasca-strukturalisme. Pertama adalah proses mistifikasi subjek radikal. Proses mistifikasi ini berjalan sesuai dengan kecenderungan untuk menghapuskan subjektivitas dengan kebenaran. Penghapusan otoritas subjek berakibat pada keberhasilan membunuh ide metafisika—daya spiritual—sebagaimana Derrida mentenggarai penyebab dukungan Heidegger terhadap Nazi. Kedua adalah berkembangnya kecenderungan untuk mereduksi konflik sosial sebagai persoalan simbolis belaka. Konflik diskriminasi dan kekerasan akhirnya berakhir pada konsolidasi elit dan membuahkan kebijakan serta strategi dalam paradigma emansipasi hanya berhenti pada model deklaratif. Kecenderungan terakhir ini membuat paradigma emansipasi menjadi ladang baru bagi proyek-proyek intelektual di dunia ketiga. Ketiga terjadi proses ketercerabutan basis-basis materialisme di dalam ilmu pengetahuan yang selama ini digunakan oleh gerakan intelektual. Setelah perlawanan sengit dengan dikotomi dari empirisme, gagasan berhenti pada model Derridean.  Tentu saja, gerakan intelektual ini kemudian memproklamirkan distingsi naif antara yang realistis dan yang otentik. Dalam konteks ini, ontologi gerakan ini bersandar pada postulat kekeliruan besar mengenai kesucian ilmu pengetahuan dan keterbatasan manusia. bagi mereka, kesadaran adalah tema utama dari gerakan intelektual, yakni memberikan semacam kesadaran kepada masyarakat yang diasumsikan tidak tercerahkan. Pada kenyataannya, kondisi demikian memang memberikan kesempatan bagus untuk membangun formasi gerakan intelektual yang ril bagi proyek-proyek emansipasi, tetapi menyimpan permasalahan laten.

Tetapi seperti yang sudah nampak dari beberapa perkembangan gerakan intelektual yang sedang dirintis oleh kalangan universitas terjebak pada romantisme. Gerakan intelektual ini mencoba merumuskan dunia dan perjuangan emansipasinya bukan untuk manusia melainkan untuk proyeksi adiluhung seperti memperjuangkan ilmu sebagai bagian yang harus dimasuki oleh manusia bukan sebaliknya. Perjuangan gerakan intelektual ini menempatkan ilmu sebagai sumber pemecahan masalah manusia. tetapi kalau merunut menggunakan sejarah material, sudah ada tanda-tanda bahwa perjuangan mendekati satu abad itu tidak berbuah sebagaimana yang dirasakan pada awal kebangkitannya.

Gerakan Intelektual dan Kapitalisme

Gerakan intelektual bukan agen utama untuk mengkondisikan kapitalisme hidup dan menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru. Tetapi dalam banyak hal, gerakan intelektual menjadi ladang penyesuaian-penyesuaian kapitalisme. Proses demikian terjadi bukan karena kapitalisme masuk ke dalam agenda-agenda gerakan intelektual tetapi masuk melalui keyakinan gerakan intelektual pasca-strukturalisme yang mengaburkan antara basis epistemologi dan ontologi. Kritik keras terhadap hal ini dapat dimulai dengan memperhatikan kritik marxian terhadap marxian yang lain, atau lebih tepatnya kritik terhadap marxian kontemporer terhadap Marxian-Hegelian yang kental dengan Doktrin Relasi Internal seperti Bertell Ollman. Di Indonesia, perspektif marxian kontemporer dibangun oleh Martin Suryajaya melalui buku berjudul Materialisme Dialektis (2012).

Kecenderungan psikologisme dalam gerakan intelektual yang mengembalikan kenyataan “sekedar” sebagai problema realitas berakibat pada kesimpulan yang disederhanakan dalam tataran ontologi-epistemologi. Akibat paling nampak dari kekaburan basis ontologi dan epistemologi ini dalam agenda gerakan intelektual dapat terlihat dari tindakan sarkastik terhadap konsep kapitalisme. Perjuangan emansipasi akhirnya dilihat sebagai bagian dari agenda intelektual muda yang belum mengenal realitas. Kajian-kajian mengenai kapitalisme direduksi sekedar pengejaran hasrat intelektual muda. Padahal, konteks kontemporer terhadap beragam tesa kemunculan fenomena sepeti korupsi, ketimpangan sosial dan kekerasan serta diskriminasi banyak berputar dan terjebak pada analisa simbolisme yang bukannya menyatakan bagaimana cara terbaik untuk menghasilkan solusi tetapi menjadi “tesis penangguhan”. Bagi penulis, ini adalah salah-satu penyebab mengapa ada tuduhan terhadap kelompok intelektual sebagai tangan pembenar represi kapitalisme (bukan negara sebagaimana yang dituduhkan selama ini) bagi rakyat. Kapitalisme berkembang justru ditopang oleh ketersediaan intelektual menara gading yang jumlahnya dibatasi sehingga menjaga ketersediaan rakyat dengan kemampuan-kesadaran praxis yang pada awal kemunculannya berfungsi sebagai buruh sedangkan pada masa ini berfungsi sebagai produsen kecil sekaligus konsumen. Kelompok rakyat ini dipaksa untuk mengeluarkan kemampuan berwirausaha dengan bantuan negara sekaligus dimanfaatkan untuk membantu PDB. Dari agenda ini, ekonomi kreatif yang didukung oleh gerakan intelektual melalui representasi komunitas epistemiknya masing-masing atau melalui akademisi universitas memberikan dukungan utuh atas nama kreatifitas. Tetapi sebagaimana kritik dari lapangan seni realisme, hasil akhir dari babak ini adalah kecenderungan seni kreatif pragmatik karena rakyat didorong untuk ikut bertanggungjawab atas kegagalan pemerintah dan swasta yang menghancurkan bidang manufaktur dalam pertanian dan perkebunan serta sumberdaya kelautan—dan tentu saja—migas dan non-migas.

Materialisme sebagai Basis


Posisi intelektual sebenarnya adalah melawan kecenderungan kehadiran Doktrin Relasi Internal menggunakan materialisme di dalam agenda-agenda keilmuan yang dirintis. Terdengar janggal bagi sebagaian intelektual dari lapangan pasca-strukturalisme mengenai kehadiran materialisme sebagai basis di dalam agenda gerakan intelektual untuk melawan Doktrin Relasi Internal. Alasan yang paling memungkinkan adalah kesadaran mengenai ketidaksesuaian materialisme dengan kondisi temporer paradigma keilmuan. Alasan ini sebenarnya terdengar seperti dongeng dan mitos ditengah kepentingan kita bersama untuk mempelajari dengan cermat penyebab dehumanisasi di dalam aras yang sekarang dinarasikan secara cantik melalui agenda-agenda buntu gerakan intelektual transendensi. Gerakan ini tentu saja hanya memikirkan tentang kerangka pembentukan ilmu yang lepas dari konteksnya dengan masyarakat. Hal yang sama terjadi ketika aras ekonomi tercerabut dari integrasinya dengan lapangan antropologi. Akhirnya kita melihat agenda-agenda yang dijalankan terkesan berputar kepada kepentingan ilmu sebagai dirinya sendiri. Eksistensi manusia sebagai pegulat dan aktor dialektis tercerabut dengan alasan yang tidak dapat diterima. Manusia dan dialektika yang dikembangkannya dianggap melawan narasi progresif. Berlawanan dengan fenomena empirisme di dalam ilmu yang banyak mendasarkan diri pada keadaan yang terinderawi, gerakan intelektual yang menggaungkan ilmu sebagai kesucian sekarang sampai pada tahap yang lebih mengerikan karena melangkahi kesakralan lainnya. Gerakan ilmu seperti ini tidak menempatkan manusia sebagai aktor yang menyentuh ilmu karena dianggap akan memberikan kejumudan. Manusia, ilmu dan alam adalah garis dialektika yang utuh. Memposisikan salah-satu sebagai yang dominan atas yang lainnya adalah kekeliruan fatal. Ilmu adalah bagian integral yang akan menyatu dengan manusia dan alam, bukan sebaliknya. 

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK