Sunday, November 9, 2014

Belajar, Belajar, Belajar

Oleh: Windu W. Jusuf

KONON kabarnya, tidak ada orang kiri di daftar calon menteri ekonomi sebelum diumumkan beberapa minggu lalu. Alasannya bukan karena desakan oligarki—ingat, ini baru draft awal—tapi karena memang sedikit sekali ‘calon ahli’ dari golongan kiri.

Ada satu pendapat menarik dari nabi pasar bebas Milton Friedman seperti yang dikutip oleh Naomi Klein dalam bukunya, Shock Doctrine (2007). Di buku itu, Klein panjang lebar menceritakan bagaimana kebijakan pasar bebas diberlakukan di banyak negara melalui kekerasan dan proyek-proyek rekonstruksi pasca-perang/bencana. Yang kita lupa, pada dasarnya Shock Doctrine mengisahkan perjalanan panjang gagasan Milton Friedman hingga menjadi kenyataan. Kata-kata Friedman saya kutip agak panjang:

“Hanya krisislah—sungguhan atau dibayangkan—yang menciptakan perubahan nyata. Ketika krisis terjadi, tindakan-tindakan yang diambil akan bergantung pada ide-ide yang bersliweran di sekitarnya. Saya percaya di situlah kerja kita yang sesungguhnya: mengembangkan alternatif untuk kebijakan-kebijakan yang ada, menjaganya tetap hidup dan siap pakai sampai kondisi yang mustahil secara politis berubah menjadi kondisi yang tidak terhindarkan secara politis.”

Alkisah, dari paguyuban Mont Pellerin Society, sejak akhir 1940an, Friedman mempopulerkan gagasannya ke kampus-kampus di seluruh dunia, dengan sokongan lembaga-lembaga akademik dan korporasi-korporasi raksasa dari Paman Sam. Selanjutnya, setahap demi setahap kita menyaksikan perubahan besar, khususnya mulai di Chile sejak Allende dikudeta: orang-orang yang memegang pos-pos penting perekonomian dan keuangan adalah Los Chicago Boys, anak-anak ideologis Friedman, Mafia Berkeley-nya Chile. (Hei, kapan kita bisa menciptakan ‘Mafia Caracas?’).

Sampai di sini Anda mungkin akan bertanya: bukankah gagasan Friedman bisa mapan karena ditopang teror, penghilangan massal, dan pembungkaman gerakan rakyat?

Tidak ada keraguan sedikitpun tentang mesranya Friedman dan Pinochet. Tapi bukan di situ poinnya—dan kalaupun faktor koersi (termasuk di dalamnya kekerasan fisik) jadi pemakluman untuk tidak menganggap Friedman secara serius, sekarang keputusan politik mana di dunia ini yang tidak mengandaikan paksaan, entah itu bersumber dari tentara maupun dari … kekuatan massa-rakyat?

Pokoknya adalah, Bung dan Nona, Friedman tekun memproduksi sebanyak-banyaknya ‘kader pengetahuan’ yang berdedikasi, di saat politik sayap kanan tak laku di massa-rakyat. Pilihannya tepat: organisir kampus, ambil-alih administrasinya, rebut posisi di editorial jurnal-jurnal akademik, jangan malu-malu masuk ke pos-pos penting di pemerintahan, tunggu saat yang tepat untuk bertindak besar.
Pelajaran dari Friedman ini menjadi penting ketika gerakan progresif gagal, meminjam ucapan Sakirman, orang Politbiro PKI, ‘menggunakan setjara maksimal “djalan dari atas”,’ supaya anasir-anasir ‘anti-Rakjat dalam negara dapat disingkirkan atau se-kurang2nja digerogoti, dan dipereteli sehingga mendjadi lumpuh samasekali.’

Tentu ada banyak faktor eksternal yang menentukan apakah seseorang bisa menempati posisi strategis dan bertaktik dari dalam. Namun pada kasus daftar calon menteri itu, sedikitnya pilihan nama menunjukkan problem yang gawat: orang kiri yang sungguh-sungguh mendalami ‘ekonomi-politik borjuis’ adalah endangered species. Nyaris punah. Segala obrolan serius tentang ekonomi di kalangan kiri umumnya baru lebih marak ketika pemerintah mengumumkan akan menaikkan harga BBM, ketika tuntutan kenaikan UMR ditolak, atau belakangan, ketika penduduk dusun A terusir dari kampungnya lantaran perusahaan B ingin membangun pabrik. Biasanya kita langsung teriak: ‘Ini gara-gara kapital!’, ‘Modal asing!’, ‘Nasionalisasi industri minyak!’ serta serapah khas kiri lainnya.

Advokasi memang mahapenting. Tapi di luar itu, sebuah proposal kebijakan yang solid pastinya tidak akan lahir dari umpatan-umpatan berbumbu teori siap-pakai—apalagi sambil marah-marah. Maka, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa ketika kader-kader Friedman sukses menurunkan filsafat sang guru ke dalam kebijakan yang konkret, banyak kelompok kiri nusantara malah merasa puas diri sudah bisa marah-marah dengan meniru gaya memaki ala Lenin, Trotsky, anarkis Eropa abad 19—well, the usual gang.

Belajar dari Friedman pula, gerakan kiri nampaknya harus mengikis kebiasaan buruk lainnya, yakni menjadikan perjuangan akar rumput sebagai fetish, jimat, mantra, seakan-akan semua persoalan akan rampung dengan mengorganisir (pengetahuan) di basis buruh dan tani. Jeleknya, kebiasaan ini tak jarang beriringan dengan melabeli lembaga-lembaga mapan seperti kampus sebagai najis, borjuis, elit, kelas menengah, apolitis, wadah kariris—tak usah heran kalau banyak kampus hari ini administrasinya dikuasai PKS.

Bahwa buruh dan tani adalah soko-guru perjuangan, itu benar. Bahwa kampus semakin lama semakin dihuni orang-orang brengsek, itu juga benar. Namun, fakta keras bicara lain: kampus masih dipercaya memberikan jasa konsultasi kebijakan publik yang akan berdampak pada jutaan orang. Fetisisme terhadap akar rumput ini sebetulnya berkebalikan namun senada dengan fetisisme liberal, bahwa yang paling penting adalah berpolitik secara prosedural serta berpolitik lewat argumen moral ala cendekiawan Kompas dan Tempo.

Pendeknya—tentu tanpa menihilkan peran pengorganisiran massa—kita butuh ‘teknokrat kiri’, yang mungkin akan lebih sering bekerja secara tradisional di balik meja dengan ribuan data dan analisis, menggali sumber pengetahuan di tempat-tempat tak terduga, mempersiapkan planning jangka panjang. Kerja-kerja yang dapat dipastikan tidak seksi, tidak glamor, jauh dari kesan romantik, dan seringkali sunyi dari slogan-slogan sangar. Tanpa kerja-kerja ini, politik kiri akan sulit dibedakan dari keributan sia-sia di jalanan dan propaganda tanpa program.
Tapi kan itu ‘nggak ngorganik’?

Ah, ketika sekarang kita menyebut ‘(intelektual) organik’, seringkali yang kita maksud adalah ‘heroik’—barangkali juga nekat.

Tapi spesialisasi itu kan produk kapitalisme, orang kan mustinya bisa ‘berburu di pagi hari, memancing di siang hari, beternak selepas ashar, dan jadi kritikus sastra waktu dinner?’

Tolong diingat baik-baik, Bung dan Nona: itu baru bisa kejadian kalau masyarakatnya sudah mutlak kuminis.

Maka tantangan Friedman harus sungguh-sungguh diseriusi, apalagi ketika aktivitas yang konon paling intelektual di kiri adalah mempelajari dokumen dan keputusan politik partai-partai kiri antah berantah yang mayoritas sudah bubar, tanpa keakraban dengan luasnya kajian sejarah dan sosiologi masyarakat setempat.

Apa yang mau diharapkan dari diskusi yang membatasi diri dengan referensi-referensi antagonis seperti Revolusi 1917, Perang Sipil di Spanyol, atau peristiwa-peristiwa global kekinian yang sengaja ditarik-tarik, dipas-paskan dengan konteks politik lokal, dan akhirnya hanya minta ditertawakan? Tradisi macam apa yang ditawarkan dari kiri yang sibuk bertengkar tentang siapa jagoannya yang lebih superior secara moral (atau yang paling ‘anti-hirarki’): Marx atau Stirner, Lenin atau Stalin, Lenin atau pelaut-pelaut kronstadt, Stalin atau Trotsky—atau meributkan identitas kedirian yang sama sekali tidak relevan untuk dijawab: apakah Soekarno borjuis kecil atau bukan?

Siapapun yang sempat mengalami masa puber di era 1990an sangat paham dengan kebiasaan-kebiasaan macam itu. Ini tradisinya penggemar Nirvana dan Guns ‘N Roses di Indonesia yang saling bertengkar karena Kurt Cobain dan Axl Rose sempat baku-pukul di Amerika sana. Tentu tidak semua penggemar Nirvana dan GnR berperilaku buruk seperti di atas—itu namanya fans sontoloyo, yang secara kultural sebelas-duabelas dengan ‘kiri sontoloyo.’

Kalau Anda rajin main ke pasar loak, sampai saat ini buku-buku terbitan Soviet Uni masih sering ditemukan. Topiknya bukan cuma ajaran Marx, Lenin, dan the usual gang, tapi juga buku-buku pertanian, perbankan, permesinan, prinsip-prinsip alat bubut, kemiliteran, dan ketrampilan lain yang tidak wah dalam ukuran-ukuran pembicaraan ala kiri, tapi dipelajari di sekolah-sekolah yang didirikan PKI.

Maka, dibandingkan dengan besarnya minat belajar di tahun-tahun ketika PKI masih punya sekolah, nampaknya persoalan kita kini tidak sebatas minimnya spesialis di bidang ekonomi, tapi jauh lebih gawat lagi, minimnya pemikir-ahli dalam segala bidang termasuk, well, kebudayaan. Memang banyak orang kiri yang semangat bicara kebudayaan, tapi terlalu malas memelototi berkardus-kardus halaman legislasi di arsip kementrian kebudayaan, apalagi berurusan dengan birokrasi ngehek di sana.

Dijamin—baiklah, ini otokritik—saya pun malas.***

*) Kutipan Lenin yang dipajang di tiap ruang kelas sekolah-sekolah Rusia, sekurang-kurangnya sejak 1922.

sumber: indoprogress.com/2014/11/belajar-belajar-belajar/


No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK