Saturday, January 23, 2016

Gerakan Membunuh Jogja



#urbanliteracycampaign I David Efendi



“...biar bagaimana pun hastag#gerakanmembunuhjogja telah membuat huru hara di jogja...”

--Testimoni Gamatriono
Hastag #gerakanmembunuhjogja awalnya dimaksudkan untuk kalimat satire pengganti bahwa kami tak rela Yogyakarta dibunuh secara mengenaskan oleh brutalnya kapitalisme dalam praktik bussiness as usual yang diamini oleh rezim tekhnokrasi baik pemerintahan kota maupun DI Yogyakarta pada umumnya. Pemerintahan berkelindan lintas level dan juga berkelindan dengan berbagai aktifitas ekonomi dari bussiness society. Jadi hancur leburnya perkotaan dan perdesaan di DIY ini tidak bisa kita alamatkan kepada walikota semata tetapi semua penguasa termasuk dua institusi pengambang budaya dan tradisi yaitu kraton ngayogyakarta dan Pakualaman.


Beberapa teman mengatakan gerakan ini bagus tetapi orang ‘awam’ bisa salah paham bahwa gerakan ini sulit dimengerti dengan hastag #gerakanmembunuhjogja dikira ini gerakan yang negatif. Saya bisa memahaminya dengan munculnya beberapa pertanyaan di twitter dengan meminta penjelasan. Di sisi lain, ada diskusi di group instagram dan facebook yang memperlihatkan pemahaman cukup bagus mengenai gerakan berbasis social media ini. Saya sangat mengapresiasi apa pun responnya karena saya sendiri tidak menduga akan menjadi pembicaraan di dunia maya—sampai dishared sebanyak lebih dari 1400 kali dan 500 kali (dua status yang sama) yang saya posting tanggal 23 Desember 2015 silam. Respon yang sangat baik di twitter salah satunya mengatakan #gerakanmembunuhjogja mencegah kota bunuh diri dengan puluhan kali diretwiit. Lalu apa sebenarnya? Beberapa apresiasi di atas tak jauh dari pikiran liar yang tumbuh di sarang kepala saya.


Namun demikian, dalam kesempatan ini saya ingin berbagi dengan dinamika gerakan membunuh jogja ini. Pertama, sabotage jenis ini sangat dipengaruhi oleh kehidupan saya yang dekat dengan kota karena saya penduduk kota. Penegasan saya sebagai penduduk kota jogja ini penting ketika beberapa orang inbox di FB saya mengatakan bahwa saya hanyalah pengamat yang hanya bisa sumpah serapa. Beberapa saya balas, saya warga kota jogja secara legal jadi saya pikir saya bukan pengamat. Sejak beberapa tahun silam saya sering memfoto beragam gerakan grafiti di tembok-tembok kota, juga di media online. Selain itu saya juga memperhatikan gelandangan, pengemis, anak jalanan, loper koran difable, dan beragam jenis kekerasan yang dialami perempuan di Yogyakarta. Buruknya sanitasi kota sehingga gampang banjir, juga banalitas jalanan yang menggerus pedestrian side yang sangat mencelakai pejalan kaki terutama kaum difable. Ini adalah bagian kota yang luar biasa penting tetapi diabaikan begitu saja. Tidak banyak yang berteriak lantang. Saya kira banyak status di social media mengutuk kekurangan tata kota di jogja. Hanya kritiknya sangat private, tersembunyi, dan tak teorganisir.


Jika pemerintah kota sensitif, harusnya banyak complain di media sosial menjadi rujukan untuk memperbaiki keadaan. Zaman sekarang, meminjam Gunawan Muhamad, “...membela yang benar tidak cukup disimpan di dalam hati.” Ini benar menjadi spirit kita semua untuk melakukan apa yang bisa dan mungkin kita lakukan. Untuk meneriakkan kejahatan praktik pengelolaan pemerintah tak perlu menungu sejuta orang. Ini sangat mendesak, karena kerusakan ekologi, banalitas kekuasaan itu selalu nyata.


Kedua, kehadiran individu-individu berdaya yang ada di Yogyakarta bener-bener menggembirakan saya. Teman-teman yang aktif di “jogjaasat #wargaberdaya #jogjaoradidol dan peran[peran lainnya yang tak terendus oleh media meanstream. Kreatifitas kelompok-kelompok yang berjuang menahan kota dari tenggelam ke dalam lumpur dengan poster poster yang mewaraskan akal sehat. Kehadiran, untuk menyebut beberepa, Dodok dan Elanto selalu mengingatkan saya pada sepak terjang individu seperti Al Gore yang menentang beragam kebijakan Amerika dalam ekspansi perusahaan yang dianggapnya mengancam kedaulatan ekologi. Di Jogja, kelompok yang saya sebut sebagai warga berdaya (super citizens) ini bukan hanya teriak soal degradasi air akibat rakusnya bisnis perhotelan dan cahar budaya, mereka juga memikiran masa depan kebudayaan dan juga etika jalanan (moge yang dihadang, konvoi pilkada yang dipetisikan). Kesadaran atas persoalan riil dan sikap otonom merupakan ciri khas dari warga berdaya. Dengan demikian, potensi untuk menjadi alat kontrol atas beragam kebijakan yang diterapkan di daerah.


Ketiga, untuk menjawab mengapa melalui sosial media?wasapp? mengapa facebook?(pemantik). Kekuatan sosial media sangat luar biasa. Hampir semua orang berurusan dengan minimal satu akun dimiliki dan diupdate secara reguler.  Dengan demikian, banyak sekali pembaca yang akan mendapatkan pengetahuan baru tentang apa yang sedang terjadi di kota jogja. Setidaknya mereka akan yakini bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Diam diam terkonsep dalam dirinya tentang apa yang disebut sebagai ‘living within truth’ sehingga dia akan berpotensi menolak kerusakan (bencana, human-made disaster) yang disengaja oleh suprastruktur (modal, atau kuasa politik). Sebagai metode perlawanan, social media yang paling memungkinkan untuk memviralkan ketakutan atau kesadaran bersama-rasa memiliki kota. Selain murah, ini adalah medium yang paling kecil resikonya. Perasaan saya, jauh lebih banyak yang support kepada gerakan menyelamatkan kota ketimbang yang kontra. Kebaikan akan berdampak kebaikan. Ini adalah keyakinan bukan sekedar jargon kosong.


Terakhir, saya ingin menjawab mengapa diksi pilihannya #gerakanmembunuhjogja? Kenapa tidak yang positif seperti #janganbunuhjogja #savejogja, dan banyak lagi kata yang positif. Tentu ini pertanyaan menarik bagi saya dan saya gembira karena sudah banyak dibicarakan di group wasapp Rumah Baca Komunitas. Diksi membunuhjogja itu adalah kata yang menghentak ketika kita merasa buntuh. Orang baik seolah jauh lebih lambat membangun,s ementara perusak kota itu liar luar biasa akselerasinya. Jadi, bunuh saja kota ini. Orang baik sudah mati, kalah dan menyerah. Nada putus asa ini secara peyoratif dapat membangun kesadaran sebaliknya. Kita harus lawan! Kita banyak dan berlipat. Ini imajinasi yang muncul.


Banyak respon dan saya merasa beruntung dengan beragam masukan. Ada yang memberikan saran, setelah akun gerakan membunuh jogja diblokir dan spasca huru-hara tentu ada baiknya dibuat suatu website yang support untuk pemberian pengetahuan berbasis data dan menggalang kekuatan baru untuk menjaring silent majority. Gagasan ini penting sekali. Saya pribadi menyampaikan apresiasi kepada Mas Gama, Mas Adim, Dolah, arya, Cak Abdullah, Mas Iwan, dan teman-teman lainnya yang turut memikirkan upaya penyelamatan kota dari kepunahan yang tak dikehendaki.


Prinsip gerakan yang saya fikirkan adalah tanpa pengorganisasian yang formal, kecil, lincah, fleksibel, sporadis, tanpa pimpinan. Setiap orang punya cara melawan dan melakukan upaya pembelaan terhadap hidup: tanah dan airnya. Maka, bergeraklah seperti apa yang engkau inginkan bukan karena orang lain yang paksakan. Gerakan no leader just together...mengawal akal sehat karena akal sehatlah yang menjadikan kita berada di posisi yang sama. We are 99%, kira-kira begitu jargon yang pernah kita lihat di media online di benua Amerika: occupy wall street!.



David Efendi, Salah seorang pendiri Rumah Baca Komunitas (gerakan literasi). Pegiat Urban Literacy Campaign untuk komunitas. Belum lama ini membuat “huru hara” di Yogja dengan hastag #gerakanmembunuhjogja.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK