Wednesday, April 13, 2016

Yuk, Waktunya Belanja ke Warung Tetangga!

Sekjen APPSI, Ngadiran dalam perbincangan Ruang Publik KBR pada Rabu (06/04) hari ini. (Foto : KBR)
KBR, Jakarta- Pasar modern, dari hypermarket hingga minimarket begitu mudah ditemukan. Bahkan tak jarang dilengkapi dengan penunjuk arah menuju lokasi. Tak perlu repot hingga jalan utama, depot mini pasar modern pun sudah terlihat. Bagi konsumen, tentu hal tersebut menjadi kemudahan tersendiri. Bagaimana tidak, beragam buaian kenyamanan berbelanja ditawarkan, tak bawa uang tunai pun tetap bisa gesek kartu.

Tapi, ada sisi lain yang terlupakan. Kehadiran pasar-pasar modern itu mendesak pasar-pasar tradisional. Alhasil, warung-warung kecil pun semakin tak dilirik masyarakat. Ini kemudian menjadi alasan bagi sekelompok orang di Yogyakarta untuk menggagas gerakan belanja di warung tetangga dan pasar tradisional.

Sang penggagas sekaligus pegiat literasi Komunitas Rumah Baca, David Effendi, dalam perbincangan di Ruang Publik KBR pada Rabu (06/04) pagi mengungkapkan, sepanjang 2016 saja sejumlah warung tradisional di Sleman terpaksa tutup lantaran pasar modern tak dibatasi pembangunannya. "Di Sleman misalnya, mereka (pedagang warung) sudah tak ada ide lagi mau jual apa, semua ada di toko modern. Ada juga warung tetangga yang nggak mati dan nggak hidup," ujarnya.

Contoh lain juga ia jumpai di Kulonprogo. David menceritakan, bukan hanya warung tetangga yang terdampak menjamurnya pasar modern, warung kelontong di sekitar daerahnya pun mengalami hal serupa. Padahal bisnis warung kelontong itu, kata David, sedang moncer-moncernya. Sang empunya warung pun terpaksa beralih ke usaha bakso kecil-kecilan.

Dosen di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Kota Gudeg ini, tentu saja menyayangkan kondisi tersebut. Warung tetangga, menurut David, menyimpan budaya toleransi, kebersamaan, tolong-menolong dan banyak nilai lainnya. Interaksi sosial pun dipastikan terjaga.

"Biar bagaimanapun tetangga lah yang mengerti kondisi kita, membantu kita. Hubungan manusiawi ini lah yang sangat penting dalam budaya Indonesia," imbuhnya.

Kekhawatiran David itu segendang sepenarian dengan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Sekjen APPSI, Ngadiran mengeluhkan, penurunan tingkat kunjungan masyarakat ke pasar. Dampak yang paling nyata, ungkapnya, dirasakan pedagang pasar tradisional yang lokasinya berdekatan dengan pasar modern. Omset, lanjut Ngadiran, jauh menurun. Sebelum "invasi" pasar modern, pedagang sembilan bahan pokok (sembako) di Jakarta misalnya, rata-rata meraup untung 1,5 juta Rupiah hingga 2 juta Rupiah per harinya.

"Kondisi saat ini kan ditambah barang-barang yang harganya makin mahal, cari omset ya susah", keluh bapak empat anak ini.

Terhitung lebih dari 30 tahun Ngadiran menjadi pedagang pasar tradisional. Ia menyayangkan upaya pemerintah dan pengelola pasar yang dinilai belum maksimal. "Kami ini bayar uang kebersihan, kok nggak bersih? bayar uang keamanan kok tidak aman? Sementara pasar modern kok sehari bisa di-pel empat kali? di pasar tradisional belum tentu begitu", ujarnya berapi-api.

"Kami tidak anti dengan pasar modern, mohon hendaknya (pemerintah daerah--Red) mengatur sedemikian rupa tapi sebenarnya menggerus pasar tradisional. Kami minta diperlakukan adil saja," pungkasnya.

So, Kapankah terakhir kali Anda belanja ke warung tetangga atau pasar tradisional?


Editor: Nurika Manan
sumber: http://portalkbr.com/04-2016/yuk__waktunya_belanja_ke_warung_tetangga_/80119.html

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK