Sunday, December 22, 2013

Pram : “Basa-Basi Tidak Menghibur Saya..”

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Apa yang menarik dari sejarah adalah realitas sejarah itu sendiri. Sebagai bagian dari realitas, sejarah adalah proses konstruksi yang rumit. Menawarkan kembali penjelasan atau analisa dalam sejarah adalah pekerjaan yang melelahkan atau bahkan menjemukan hati. Selalu ada pertentangan ketika mengisahkan sejarah. Baik karena pertentangan itu merupakan riwayat utama sejarah, atau karena pertentangan itu juga merupakan tema yang didiskusikan terkait presisi data sejarah. Namun melampaui itu semua, sejarah menawarkan sejumlah gagasan penting dalam proses pembentukan dialektika kekinian.

Karena pertanyaan hari ini adalah juga masalah di hari kemarin yang kita alpakan. Apa yang sudah kita lewatkan dari seorang Pram?. Kita yang terlalu muda dalam memahami Pram?.

Judul tulisan ini berasal dari kalimat penutup Pramoedya Ananta Toer yang menjawab surat terbuka Goenawan Mohamad dalam Tempo edisi 3-9 April tahun 2000 ; “Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya”. Goenawan Mohamad meminta Pram mempertimbangkan permintaan maaf Gus Dur pada tanggal 9 April tahun 2000 di Tempo. Pram Menolaknya mentah-mentah.

Melihat perbedaan horizon di antara keduanya tidak semudah melihat bahwa Pram merokok dengan garpit sedangkan Goenawan Mohamad setia dengan cerutu__Ini bukan soal, ‘murah’ dan ‘mahal’. Ini soal apa yang ‘tidak bisa dikembalikan’ dan soal ‘keadilan’.

Bagi Pram, Goenawan Mohamad juga hanya basa-basi dengan membawa kebijaksanaan dewa ala Nelson Mandela. “Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat”. Menurut Goenawan Mohamad, Pram bertindak naïf, dengan mengatakan ; “Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf”. Goenawan Mohamad menganggap Pram perlu mempertimbangkan posisi Gus Dur, sebagai ‘bukan-korban’ yang meminta maaf.

Tidak ada rekonsiliasi. Pram menganggap ide rekonsiliasi Gus Dur yang dibela oleh Goenawan Mohamad hanya basa-basi. Bagi Pram, keadilan tidak dibentuk dengan mudah melalui pernyataan seorang besar dengan anonimitas posisi. Pram mempertanyakan posisi Gus Dur ketika meminta maaf. “Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa”.

Goenawan Mohamad mengenal Pram dengan kondisi yang terlambat. Setidaknya begitu yang dia tampakkan dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2004), “Saya tak tahu bahwa sebuah buku dilarang dan seorang pengarang terkenal dipenjarakan”. Buku yang dimaksud adalah “Hoakiau di Indonesia”. Dalam beberapa Catatan Pinggir (Caping), Goenawan Mohamad pernah membawa nama Pram.  Pram dipuji oleh Goenawan Mohamad, “Ia mengguncang asumsi yang umum berlaku”. Goenawan Mohamad memberikan kata pengantar untuk buku Pram yang berjudul Tales From Djakarta : Caricatures of Circumtances and Their Human Beings (1999).

Caping 6 Oktober 1984, dengan Judul Yang Keras, Goenawan Mohamad menulis, “Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan babat…(kata ‘babat’ yang diperkenalkan Pram) menyarankan satu hantaman dengan parang, untuk merobohkan lalang dan belukar. Seperti yang kita tahu, Goenawan Mohamad akan begitu kenal dengan Pram. Dan kita sudah mencatat dengan baik bahwa Goenawan Mohamad juga adalah seorang yang pernah mendukung pemberian Magsaysay tahun 1995 kepada Pram. Dalam surat terbuka tersebut, Goenawan Mohamad tahu dengan jelas apa makna rekonsiliasi, karena pada tahun 1990-an dia sendiri sudah menggagas rekonsiliasi antara mantan tahanan politik dan seniman kiri. Menurut Goenawan Mohamad, Pram adalah seorang “penantang abadi”, dan representasi geraman eksistensial.


Apa yang kita sebut Adil?

Penolakan Pram terhadap permintaan maaf Gus Dur tidak dapat dilihat sebagai sikap akhir. Kita diberi pilihan untuk menilai seseorang melebihi apa yang ditampakkannya dalam masa-masa tertentu. pernyataan ‘tidak memaafkan’ bukan penegasian terhadap nilai ‘memaafkan’ itu sendiri. Pram mengetahui betul apa arti keadilan dan kekerasan. Yang dengan begitu, sudah pasti memahami apa arti ‘maaf’. Kata-kata tidak selamanya mewakili entitas sebuah kebenaran. Kadang-kadang kebenaran sulit diterima ketika disimbolkan dalam sebuah diksi, karena kebenaran kemudian malah membingungkan. Mungkin demikian kebenaran yang tidak dapat dikenali dengan mudah dalam diri Pram. Dengan kata lain, entitas kebenaran memaksa kita untuk terlebih dahulu menarik secara mendalam pengalaman dan gesekan batin subjek yang tertindas.

Kita bisa bertindak toleran karena pernah merasakan toleransi. Dan kita sulit memahami mengapa orang bisa sangat sentimentil karena tidak pernah merasa ‘kehidupan’ sentimentil. Tapi kita bisa melakukannya karena kita bisa membayangkan jadi mereka. Pram menyaksikan akhir dari kehidupan orang-orang terdekatnya, disiksa, dipukul, dan dibunuh. Tapi seperti tidak ada waktu luang untuk memikirkan sebuah cara untuk menikmati sisi kebajikan orang-orang keji tersebut. Pram merasa semua itu tidak mudah dan berujar “Saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia (Mandela)”. Pram tidak ingin jadi Mandela yang dapat ‘memaafkan’.


Basa-basi dan Agresi

Sebagaimana lelucon, basa-basi pun bisa berubah menjadi agresi. Si Jenakawan bisa jadi aggressor, dan si tukang basa-basi bisa jadi aggressor pula. ‘Meminta maaf’ adalah basa-basi yang berangkat dari tindakan eufisme untuk  menyamarkan atau menghapuskan kenyataan pahit sejarah. Kenyataan bahwa perlakuan sosial yang tidak mengenakkan terhadap Pram adalah kesimpulan yang adil untuk menilai bahwa basa-basi ‘meminta maaf’ sebagai agresi terselubung__bahwa maaf masih tetap melukai. Permintaan maaf dari sebuah rezim tidak otomatis menghapuskan persangkaan yang buruk terhadap diri Pram. Setelah upaya meminta maaf tersebut, masih jarang kita temui nama Pram dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Ini hanya main-main.

Pram mengatakan dalam sebuah wawancara bersama Kees Snoek (1991) ; “Dan sekarang ini, saya hidup di dalam hari depan saya. Hari depan saya adalah hari sekarang”. Pram selalu mengeluh tentang karya-karyanya yang dicekal di negeri sendiri, “seperti menulis di pasir” ungkapnya. Pram adalah persona non grata di negara tempat dia dilahirkan.


Pandangan Pram tentang ‘Baik’

Beberapa pihak menyayangkan sikap menolak Pram. Sikap keliru telah ditunjukkan oleh seorang Pram. Apakah Pram tidak merasa perbuatannya telah melangkahi keadilan?. Jadi apakah yang dipandang sebagai ‘baik’ menurut Pram?.

Pram menekankan dengan tegas bahwa harus ada sebuah keadilan. Pram mendapatkan kewarganegaraannya dengan ‘perkelahian’ dan resiko. Pram mendaulat dirinya sebagai anak renaisans. Jadi kalau demikian apakah sebuah ‘baik’ menurutnya?.

Pram dididik oleh seorang Ibu yang berumur tidak panjang. Walau begitu Pram selalu mengenang dengan penuh rasa hormat terhadap Ibunya. Pram diajarkan tentang arti kemuliaan, keadilan dan sebuah kepantasan menjadi manusia yang bermoral. “Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri” tiru Pram saat mengisahkan tentang petuah Ibunya. Saat Ibunya wafat karena TBC, Pram memeluk dan mencium jenazah Ibunya tanpa peduli dengan resiko. Pram berada dalam kesetiaan dan kesendirian untuk merawat jenazah Ibunya sampai proses pemakaman, “…tidak ada seorangpun yang datang menolong”.

Pram sebenarnya peka terhadap penderitaan orang, tapi kepekaannya berubah menjadi rasa hormat yang dituliskannya untuk membangun kesadaran orang lain juga. Setiap penderitaan dianggapnya sebagai tindakan mandiri dan berkesadaran penuh atas resiko-resiko. Kita melihat munculnya sosok perempuan mandiri dalam karya-karya Pram seperti Nyai Ontosoroh membawa optimisme yang bagus. Perempuan yang ditampilkan oleh Pram kadang-kadang menjadi simbol keberanian untuk membela diri sendiri dan menghindari bergantung pada orang lain.

Pernah tersiar kabar bahwa Pram adalah tipe orang yang tidak sabaran, suka meledak-ledak dan sombong. Tapi begitu mengenal Pram, menurut Andre Vltchek dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian: Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan (2006), “tidak terlihat kesombongan di raut mukanya. Dia malah  begitu hangat, sarkastik, dan banyak tertawa serta bercanda”. Saat itu Vltchek bersama rekan-rekan sedang menggarap proyek film Terlena: Breaking of Nation pada tahun 2003.

Pram mengatakan bahwa ideologi yang dia anut adalah cinta akan keadilan.
"Ideologi ditanamkan di dalam diri saya oleh keluarga saya, yaitu cinta akan keadilan" (Kees Snoek, 1991).

Kadang-kadang Saya merasa sangat terisolasi. Saya hidup di dunia saya sendiri, dan hal ini seperti berada di pengasingan. Saya tidak tahu apakah orang masih ingin tahu apa yang sebenarnya saya pikirkan…” (Saya Terbakar Amarah, 2006).

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK