Tuesday, March 10, 2015

Politisasi Kebudayaan Yogyakarta Demokrasi Ini Milik Siapa?

Oleh: Sadida 
Mahasiswi, Peserta Diskusi Reboan

Malam itu hujan turun cukup galak, gerimis yang deras, diikuti sepinya jalanan karena orang-orang jelas lebih nyaman berada di rumah mereka yang hangat. Tapi saat jam menunjukkan pukul 20.30, sudah ada kurang lebih sepuluh orang berkumpul di Padepokan Rumah Baca Komunitas, ceritanya, salah seorang pegiat RBK, sekaligus pendiri RBK, David Efendi, akan berbagi pada kami semua tentang tesisnya. Menariknya, tesis yang ditulis dalam bahasa Inggris itu dipresentasikan juga dengan bahasa yang sama, dan dimoderatori dengan bahasa yang senada. Mengesankan, menyenangkan untuk belajar, sedikit memusingkan sebenarnya, haha.

Tapi kelugasan bahasa cak David membuat kami bisa mengerti apa yang ia sampaikan, tulisan di power point yang ditembak dengan proyektor juga sangat membantu kami memahami arah dari presentasi ini. Sejujurnya, saya pribadi nggak pernah membayangkan diskusi bisa menjadi se-serius dan se-menarik ini, terutama karena pengantarnya bahasa yang belum biasa digunakan. Tapi pembiasaan itu selalu lebih berguna dari teori apapun kan?

Garis besar dari presentasi cak David adalah: bagaimana Yogyakarta bisa menjadi tempat dimana demokrasi berjalan kalem. Ya, demokrasi berjalan sangat kalem karena adanya dominasi Keraton Yogyakarta, cak David memaparkan teori yang mengklasifikasikan tiga lapis golongan terkait cara demokrasi mereka, pertama demokrasi oleh golongan pemerintahan, kedua demokrasi oleh golongan pergerakan dan paguyuban, dan terakhir demokrasi oleh masyarakat keseharian yang belum jelas arah dan tujuannya. Dominasi Keraton inilah yang kemudian menarik kebudayaan dan ideologi masyarakat Yogyakarta masuk sebagai salah satu faktor penguatnya.

Diskusi kemudian merembet masuk pada keistimewaan Yogyakarta (yang jelas tidak dapat dipisahkan dari upaya demokrasi rakyat Yogyakarta itu sendiri), berbagai macam informasi masuk dan tertanggapi dengan baik, dan berujung pada persoalan tanah di Yogyakarta. Persoalan yang terus dipersoalkan namun masih bisa diredam oleh Keraton karena hak milik tanah masih banyak yang beratas namakan milik Sultan.

Poin penting yang kemudian muncul adalah bagaimana kita mengkritisi dan mengadvokasi hak-hak masyarakat Yogyakarta, dimana titik keadilan serta akar persoalan demokrasi itu sendiri? Di satu sisi kadang kita bisa melihat ketidak adilan yang justru adil bagi masyarakat yang menjalaninya. Lantas demokrasi yang kita perjuangkan itu sendiri merupakan demokrasi milik siapa? Rakyat Yogyakarta kah? Atau justru buah kritisme kita yang kadang lupa mencari dasar dan akar permasalahan?

Untuk itulah media diperlukan, dan untuk itulah diskusi-diskusi semacam ini harus terus dikembangkan. Kritis memang salah satu sifat yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, tapi dalam sikap kritis tersebut, kita juga harus paham betul suatu permasalaha. Bukan percuma jika kita mengkritisi suatu hal tanpa dasar, tapi melakukannya tanpa pengetahuan yang cukup justru membuat sikap kritis tersebut tidak tepat sasaran.

Tetap kritis, tetap berilmu, dan tetap berbagi, karena ada banyak hal yang masih perlu kita semua ketahui, dalam hal apapun itu.


-dida

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK