Saturday, September 22, 2012

Gerakan Membaca, Demokrasi dan Counter Hegemoni “Barat”

Oleh : David Effendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Sangat jarang kita temui dalam bacaan bahwa minat baca dihubungkan dengan pembangunan demokrasi dan politik di tanah air. Kedewasaan berpolitik dalam kultur demokrasi di negeri Indonesia seolah tidak ada titik temu dengan budaya membaca masyarakat. Hal ini bisa saja disebabkan bahwa kualitas manusia Indonesia atau indeks pembangunan manusia tidak dianggap mempunyai korelasi positif dengan tradisi membaca warganya.  Belum lama ini, Koran Tempo mempublikasikan data bahwa di tahun 2011 masih bertengger di angka 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen dari jumlah penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun (Koran Tempo, 12 September 2012). Artinya, kekhawatiran kita masih berada di titik dasar yaitu baru persoalan kemampuan membaca-menulis (literacy).

Saya setuju dengan pendapat bahwa buta huruf itu ‘AIB’ bangsa. Namun, bisa jadi angka buta huruf di Indonesia turun tetapi buta baca (bisa membaca, ada buku tersedia tetapi tidak mau membaca) inilah tragedi anak bangsa (‘buta huruf’ jilid 2) yang akan segera menyusul dan meruntuhkan bangsa. Situasi ini dibenarkan dengan temuan riset Taufik ismail (2003) yang kemudian popular dengan istilah ‘tragedi nol baca’ di Indonesia karena ternyata pelajar SMA di Indonesia tidak membaca karya sastra walau satu buah buku padahal karya sastra adalah sumber filosofi dan pengetahuan tentang nilai-niali agung budaya bangsa sendiri. Namun perlu diketahui juga bahwa membaca dalam konteks tulisan ini tidak hanya diartikan sebagai aktifitas membaca namun juga meliputi memahami, meneliti serta kemampuan menaganalisa bukan hanya dari texts tetapi juga dari realitas kehidupan sosial-budaya.

Situasi ini juga memperpuruk daya saing bangsa-bangsa sedang membangun seperti sebagian besar bangsa di kawasan Asia Tenggara sekaligus menjadi ‘mangsa’ empuk bagi Negara-negara imperealisme yang lebih awal mengalami proses kapitalisme seperti pada umumnya negara-negara liberal Barat (Eropa dan Amerika). Berbagai dampak ikutan dari rendahnya minat baca/tradisi membaca senantiasa menghantui kita diantaranya adalah efeknya terhadap pelaksanaan demokrasi semu, kekerasan, dan perasaan inferior anak bangsa berhadapan dengan dominasi dan hegemoni kebudayaan asing (barat, sekuler). Ketiga persoalan serius tersbeut akan dibahas sepanjang tulisan ini.

Budaya Baca dan “Demokrasi”

Kata Demokrasi yang berasal dari Yunani itu tidak bisa kita artikan sebagai 100% impor dari ‘budaya barat’ karena pada prinsipnya nilai-nilai demokrasi itu sudah melekat dalam tengah masyarakat yaitu adanya tradisi kekeluargaan, ramah tamah, gotong royong (partisipasi), tenggang rasa, dan menghargai perbedaan dalam berpendapat. Nilai toleransi yang seiring dan sebangun dengan nilai-nilai barat ini sudah dipercaya sebagai kebudayaan bangsa Indonesia. demokrasi yang mengajarkan permusyawaratan itu sudahtercantum dalam konstitusi negara yang tentu akan menjadi ‘kompas’ bagi perjalanan dan interaksi dengan bangsa lainnya.

Fakta membuktikan bahwa negara-negara yang lebih dewasa dalam berdemokrasi (toleran atas perbedaan, penghargaan atas hak-hak orang lain, dan partisipasi) mempunyai peringkat buta huruf lebih kecil dan minat baca jauh lebih tinggi. Artinya, tradisi membaca dan partisipasi politik mempunyai korelasi positif. 

Jika kita tengok para pendiri bangsa (founding fathers) dan pemikir kebangsaan republik ini, seperti Sukarno, Bung Hatta, Tan Malaka, Shahrir dan seterusnya mereka mempunyai karakteristik dan tradisi membaca sangat kuat bahkan banyak sumber mengatakan bahwa mereka ketika dikirim ke pembuangan dan selama di pembuangan dibekali dengan berpeti-peti buku serta menghasilkan berbagai jenis buku pemikiran yang sangat bermanfaat. Karakter dan kepribadian mereka jelas sangat ‘demokratis’ dan mampu mengejatahkan dalam kehidupan berbangsa sebagai pemimpin (negarawan).   Selain itu, karya pemikiran Sukarno yang dikenal sebagai Trisakti sangat relevan sampai hari ini untuk meneguhkan jati diri bangsa yaitu berdaulat dalam pemerintahan, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Budaya Baca dan Kekerasan

Akhir-akhir ini, setidaknya 10 tahun terakhir, kita sering kali dikagetkan oleh merebaknya berbagai peristiwa kekerasan baik atas nama alasan agama, ras/ethnis, dan alasan lainnya. Taruhlah contoh, di Ambon, Maluku, Palangkaraya, Jakarta, Jawa Barat, dan Madura. Kekerasan tersebut  seolah menjadi ekpresi kekecawaan baik karena negara maupun karena ekpresi anti-budaya Barat yang sekuler. Hal ini juga disebabkan kompleksitas hegemoni negara ‘super power’ seperti Amerika dan Inggris atas ‘negara-negara Islam’ seperti Palestina, Irak, dan Indonesia. Kecenderungan ekspansi kekeuasaan militer dan budaya menjadikan kelompok tertentu marah.

Kemarahan dan ekpresi kekerasan itu dalam batas tertentu dapat ditolerir namun apabila mengakibatkan situasi lebih kacau dan kerugian bagi masyarakat sendiri tentu ini akan patut diantisipasi. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru dan pola ini akan terus berlangsung dan berlanjut tanpa akhir sehingga peradaban manusia menjadi terancam. Kehidupan bersama sebagai desa global (globalized village) yang damai menjadi sulit tercapai seperti ungkapan jauh panggang dari api.

Keyakinan atas imajinai bahwa kita adalah satu entitas dalam satu planet bernama bumi dan dapat hidup berdampingan haruslah ditopang dengan pngetahuan yang cukup untuk memahami situasi multikulturalisme dan berbagai perbedaan karakter sosial-budaya di bumi. Salah satu cara memberadabkan pikiran kita adalah dengan sikap open minded, terbuka atas kebenaran lain dan hasrat ingin belajar sebagai proses tanpa akhir (unfinished processes). Karakter tersebut adalah karakter masyarakat pecinta buku yaitu masyarakat pembelajar yang bersikap moderat, inklusif melalui bacaan-bacaan dan pengetahuan yang didapatkannya.

Dalam hal budaya, mereka menganut kepercayaan bahwa mengetahui budaya lain dan menghargainya tidak berarti kita larut dan kehilangan karakter kebudayaan asli bangsanya. Dengan demikian, sikap eklusif yang mengantarkan kepada kekerasan itu sering diakibatkan oleh tertutupnya jalan pikiran atas kebenaran lain yang sebenarnya dapat didapatkan dari berbagai sumber informasi (buku). Tentu saja ini paradok, sebagai maysrakat yang menurut August Comte (year) sudah bergeser dari masyarakat mitos menuju masyarakat ilmu tetapi kita tidak terbuka atas khasanah pengetahuan yang telah disediakan/diwarsikan oleh para penulis, sastrawan, dan ‘ilmuwan’ dalam berbagai literature.

Budaya Baca dan Counter Hegemoni ‘Barat’

Ada banyak komunitas yang melakukan kerja-kerja panjang dan melalahkan untuk mencoba meningkatkan daya saing budaya bangsa menghadapi kebudayaan negative dari bangsa lain yang super power. Komunitas yang kecil dan massif itu sedang menghadapi banyak persoalan sinisme public dan Negara atas kerja-kerja sosial yang dilakoninya setiap hari. Taruhlah contoh, Rumah Baca Komunitas di Yogyakarta yang penulis juga aktif di dalamnya sangat gencar mengkampanyakan gerakan membaca dengan berbagai kegiatan di dalamnya. Termasuk kampanye melawan hegemoni industri televisi yang menyesatkan publik.

Pada suatu kesempatan diskusi di rumah baca yang bertajuk “tadarus gerakan Iqro (membaca) dianggap perlu melakukan proses  yang disebut "ideologisasi Gerakan Iqro". Inti dari diskusi adalah pentingnya nilai-nilai keislaman, keagamaan diinfeksikan ke dalam strategi gerakan membaca sehingga membaca tidak lagi sebagai kegiatan yang terpisah dari praktek ibadah seseorang. "Membaca adalah manifestasi keimanan," merupakan kata-kata yang cukup bertenaga muncul dari diskusi kali ini. Karena membaca merupakan implementasi keberaagamaan kita tentu kemudian nilai-anilai yang dihasilkan adalah nilai-nilai penghargaan atas manusia, keadilan, dan budaya luhur yang bersumber pada nilai-nilai dan tardisi lokal.


Selain itu, dirumuskan setidaknya ada 5 pilar untuk sukses gerakan Iqro, yaitu antara lain; Ideologi, Pelopor penggerak/komunitas, Perpustakaan/rumah baca, “Industri” Perbukuan yang ramah, dan terakhir adalah peran “Negara” (pemerintah). Menurutnya, kelima pilar itu harus berkolaborasi stau sama lain dan menjadi suatu kekuatan tempur untuk melawan pembodohan masyarakat (TV, hedonisme, kapitalisme, budaya negative lainnya).

Catatan Akhir

Dengan upaya revitalisasi gerakan membaca atau gerakan literacy di Indonesia kita ibarat sebuah ungkapan yaitu sekali dayung tiga atau empat tantangan dapat kita lewati. Peningkatan kualitas dan minat baca mampu membangun tradisi berdemokrasi lebih dewasa karena masyarakat mempunyai informasi lengkap dari berbagai bacaan. Selain itu hal ini mampu meminimalisir kekerasan akibat kesalahpahaman dalam mengakses informasi. Terakhir, gerakan membaca, apabila termanifestasikan dalam masyarakat secara integral (negara-civil society) tentu akan menjadikan anak bangsa tidak merasa inlander atau inferior menghadapai kompetisi global atau setidaknya kita percaya diri untuk mengembangkan budaya khas dan asli yang ada di Nusantara dan tidak silau dengan kebudayaan ‘asing’ yang hanya baik di kemasan dan miskin nilai folosofis.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK