Sunday, September 15, 2013

Kedelai Dan Keledai-Ekonomi

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Pada tahun 1970-an, mitos bahwa krisis ekonomi tidak mungkin terjadi di desa hancur. Bagaimananpun, petani mendapatkan pinjaman dari Bank lewat Kredit Usaha Tani yang berasal dari pinjaman lunak Bank Dunia. pupuk yang digunakan petani sama saja, semuanya berbau dolar. Pemerintah saat itu mengatasi langkanya kebutuhan pokok masyarakat seperti beras dengan memanfaatkan bulog.

Tahun 2013, harga kedelai tembus hingga Rp.10.000 per Kg. Komunitas pegusaha yang memanfaatkan kedelai melakukan mogok selama tiga hari. Di Yogyakarta, saya tidak terlalu merasakan dampaknya. Rumah makan masih menyediakan tempe atau tahu.

Pada tahun 1983 gerakan pengapuran tanah masam dilakukan di Indonesia. Gerakan pengapuran digagas oleh Goeswono Soepardi karena terinspirasi dari Ilmuwan tanah Brazil yang berhasil menemukan teknologi pengapuran tanah bereaksi masam. Menteri pertanian saat itu, Affandi menyetujui gagasan Goeswono untuk melakukan gerakan pengapuran. Satu tahun kemudian, gerakan ini berhasil dan berdampak pada pertanian Indonesia. Gerakan ini juga yang akhirnya membuat kedelai impor berkurang, karena sanggup menyediakan stok yang cukup bagi Indonesia. Pada tahun 1988, gerakan pengapuran dihapus karena Amerika tidak ingin kebijakan impor kedelai Indonesia berakhir dan berkuasa atas produksi pangan dunia. Goeswono merupakan salah-satu pakar yang menyadari propaganda dari perdagangan Indonesia untuk menguasai Indonesia_setiap tahun impor kedelai 1 Juta Ton!_atau semisal program aneh “empat sehat lima sempurna.”

Pada kasus impor kedelai, kondisi saat itu terjadi sama dengan sekarang. Kedelai impor dianggap bersih dan berkualitas tinggi, sedangkan kedelai lokal dianggap berkualitas rendah. Masyarakat dibodohi dengan keterangan yang mengatakan bahwa kedelai impor untuk memastikan kebutuhan pangan masyarakat, sedangkan kedelai lokal yang berkualitas rendah untuk kebutuhan hewan. Kenyataannya, industri besar justru menggunakan kedelai lokal, yang tentunya memiliki harga murah untuk diolah.

Memimpikan sebuah kedaulatan pangan bukan dogeng. Perjalanan menuju kedaulatan tidak dapat dilakukan kecuali pemerintah berani mengambil sendiri arus pertaniannya tanpa harus terpengaruh secara tidak langsung sikap-sikap Amerika. Indonesia bisa saja mandiri dalam hal kedelai, jagung, tepung gandung, atau daging. Inovasi petani untuk memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produksi pertanian tidak boleh ditekan dengan alasan-alasan yang melangkahi hak-hak masyarakat. Harga pasar yang selama ini jadi dalih pemerintah seharusnya disadari bukan menjadi hal yang begitu menentukan. “harga pasar” hanya sebuah gejala yang biasa sebenarnya dalam teori ekonomi, harga pasar dapat dibuat atau dikendalikan dengan mekanisme-mekanisme yang begitu nampak.

Sebenarnya Indonesia hanya perlu memperhitungkan bagaimana agar terjadi keseimbangan antara sebaran uang dan produktivitas masyarakat, hanya hal itu yang dapat memastikan inflasi berhenti. Tidak mudah, tapi kalau tidak dilakukan sejak sekarang, produktivitas masyarakat tidak akan terjadi sesuai dengan prediksi ekonomi yang begitu mikro. Andaikata menteri keuangan meminta masyarakat agar aktif melakukan transaksi beli agar dapat mempengaruhi perekonomian secara positif, itu tidak sepenuhnya benar. Kecenderungan untuk membeli malah membuat nilai sebuah barang cenderung naik, karena tingginya permintaan sedangkan kemampuan penyediaan barang tidak berbanding sama. Kalaupun tindakan membeli dilakukan, barang-barang yang dibeli sebenarnya tidak berdampak pada arus perputaran uang dalam bentuk rupiah. Sekarang kalau ingin beli tempe, uangnya tidak kembali kepada penjual tempe, tapi berputar dengan logika dolar, sehingga produktivitas hanya terjadi dalam dolar bukan rupiah. Hal ini tentu tidak memberikan keseimbangan. Berbeda misalkan jika pinjaman didapatkan dari mata uang semisal yen yang tentu lebih “terjangkau” daripada dolar. Nilai barang yang meningkat akan terbaca sebagai harga kenaikan sebuah barang. Bagaimana mungkin logika ini terus dipaksakan kepada masyarakat?. Apapun yang kita beli, bau dolar pasti ada.

Indonesia tidak perlu mengemis kepada Amerika untuk mendapatkan pinjaman. Pengusaha-pengusaha juga sebaiknya jangan melakukan pinjaman dalam bentuk dolar, karena ini tentu tidak membantu sama sekali. Cukup sulit dan begitu dilematis, tapi kita sebagai bangsa Indonesia tentu tidak ingin selalu gagal. Sejarah sudah mencatat pengulangan-pengulangan dalam aspek kebijakan ekonomi yang sudah jatuh bangun. 

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK