Saturday, December 14, 2013

Kondisi Masyarakat Pasca Liberalisme Di Indonesia (Mengapa Menyoal Liberalisme Goenawan Mohamad)

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Lantas Apa

Kesadaran kolektif diuji saat orang mulai bertanya “lantas apa” setelah pembongkaran informasi mengenai keterlibatan Goenawan Mohamad dengan politik agresi kebudayaan dan intelektual di Indonesia. Pertanyaan “apa” terdengar sangat materialistik karena menuntut bentuk. Pertanyaan ini meminta ungkapan praktis tentang hal-hal yang jika dijelaskan secara rasional mengandung muatan yang berbeda. Pertanyaan “lantas apa” bukan titik utama dari diskursus yang dikonstruksikan yang pada saat bersamaan akan melahirkan pertanyaan praktis lain tentang bagaimana bersikap atas buku-buku terbitan YOI atau karya Goenawan Mohamad.

Pertanyaan “lantas apa” akan dengan sendirinya tenggelam jika yang jadi masalah pokok sekarang adalah warisan-warisan ideologi orde baru tidak serta merta habis pasca 1998. Warisan tersebut sampai sekarang menjadi biang kejijikan tertentu terhadap perbedaan ideologi. Secara normatif, harus diakui bahwa tidak ada masyarakat beyond good and evil. Hampir seperti utopia mengharapkan masyarakat melampaui apa yang baik dan buruk. Maka masyarakat selalu mengadopsi atau yang mewarisi ideologi-ideologi yang dibangun dengan bantuan makelar-makelar intelektual. Akan tetapi syaratnya adalah mempertahankannya menjadi bentuk-bentuk elegan.

Ketelitian Baru

Maka kondisi yang sebenarnya sedang terjadi adalah bahwa tiba-tiba orang mulai sadar dari mana asal notion iklim intelektual. Semua kecurigaan mungkin sudah mulai tercium dari sejumlah komentar-komentar lepas tanpa sadar, atau kritik-kritik yang tidak sempat disensor pada pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi. Kecurigaan lain juga mulai beredar lewat tulisan yang mengkaji tokoh-tokoh yang menjadi agen dari gagasan liberalisme. Dan sekarang kita juga mulai dipaksa memperhatikan dengan jelas tafsiran-tafsiran para penulis Eropa, Afrika, Asia dan Amerika (singkatnya darimana saja) yang tergabung di dalam CCF atau yang tidak terlibat tapi memiliki visi yang serupa dan mulai membangun ketelitian baru. Sebuah usaha yang pada beberapa waktu hanya dilakukan oleh segelintir orang saja yang menyadari terjadi agresi liberalisme di Indonesia. Bahkan dalam kondisi yang serba terlambat seperti sekarang ini, kesadaran tersebut menjadi tercampur dengan pertanyaan “lantas apa” yang jelas-jelas tidak mendudukkan sejarah karena kebenaran. Maka muncul watak pemaafan destruktif terhadap wajah lama historis di Indonesia. Kenyataan yang sudah dapat diprediksi mengingat liberalisme sudah melakukan transfigurasi yang cepat dan nyaris tanpa sekat. 

Migrasi intelektual secara massif yang sudah terjadi sejak 70-an ke liberalisme dengan sendirinya ingin menegaskan eksistensinya yang tidak kenal lelah. Dan keberhasilannya dicetak dengan jelas pada apatisme masyarakat terhadap persoalan-persoalan ideologi dan filosofis negara. Ada jarak yang jauh antara kelompok yang konsisten memperhatikan ideologi dan masyarakat pada umumnya. Jarak yang dibangun perlahan-lahan dengan cara memaklumi kejadian dunia sebagai kejadian itu sendiri dan bukan sebagai proses yang dapat di-rekayasa dan diubah. Kesulitan akses pendidikan dan kesehatan dipandang sebagai kejadian yang tidak terhindarkan. Ketimpangan ekonomi, sosial, politik juga dipandang lumrah karena berpijak pada pemakluman-pemakluman.

Pencapaian Liberalisme

Pencapaian-pencapaian fisik liberalisme sendiri memang memukau insting kapital manusia. Akan tetapi, pencapaian seperti demikian jarang terjadi secara merata di sebuah negara, termasuk Indonesia. Sehingga dibutuhkan “bangunan” lain yang dapat mengadakan pra-kondisi penerimaan akan kemungkinan-kemungkinan kegagalan liberalisme dalam jangka waktu dekat yang pada umumnya nampak tidak berkaitan secara erat. Iklan-iklan komersil mengangkat tema “cinta tanah air”, dan sejumlah isu sentimentil bagi logika masyarakat yang baru merdeka tahun 1945 dan praktis kehilangan figur-figur penting pada saat yang bersamaan. Atau kemudian kegandrungan masyarakat mengidentikkan euphoria dengan menyandarkan kekuatan jiwanya terhadap simbol-simbol liberal-kapital. Singkatnya kita bangga tanpa sadar atas keadaan yang seharusnya memalukan.

Bicara soal pencapaian liberalisme, kekerasan struktural adalah primadona layak bin unggul. Infasi liberalisme dalam ruang-ruang publik memberikan legitimasi kepada pihak minoritas-ekslusif yang memegang kekuasaan untuk bertindak sentralistis, sedangkan pihak yang mayoritas (masyarakat) dipaksa untuk memahami kondisi tertindas sebagai nasib. Pihak minoritas-ekslusif kemudian menjadi demikian sensitif dan merasa dibutuhkan dan harus bebas dalam mengejawantahkan kehendak-kehendaknya dan pihak mayoritas harus menerimanya tanpa syarat karena tidak berhak mengajukan keberatan. Kekerasan struktural muncul dengan rasionalitas yang dia bangun sendiri, yakni bahwa apa yang bisa dicapai pihak mayoritas membutuhkan syarat yang sudah ditentukan oleh pihak minoritas-ekslusif. Tidak hanya itu, watak keserakahan akan masuk ke dalam upaya menyimpangkan hak-hak masyarakat.

Masyarakat Paradoks

Sulit luar biasa memang menyatakan bahwa seluruh sejarah dan masa depan berada dalam tangan liberalisme, atau_menurut Francis Fukuyama dengan Kapitalisme. Apakah kita berada dalam masa-masa membuktikan hipotesis tersebut?. Semoga tidak. Akan tetapi tidak bisa dianggap remeh juga nada-nada pesimis mengenai kemunculan sistem baru yang akan menanggalkan liberalisme dan ajaran-ajarannya. Pertentangannya untuk sementara bukan semata pertentangan klas, tapi pertentangan ideologi. Alasannya sederhana bahwa pertentangan dalam sejarah terjadi karena ketidaksepakatan terhadap makna simbol-simbol realitas. Ketidaksepakatan itu kemudian mengakibatkan makna simbol-simbol yang dilekatkan pada diksi-diksi menjadi beragam dan tidak tunggal.

Ekses dari proses-proses yang terjadi demikian menyebabkan masyarakat terjepit dan bersikap paradoks. Banyak orang memprotes jika anak-anak, atau remaja ikut demo atau kampanye gerakan-gerakan sosial dengan menyebutnya sebagai eksploitasi. Akan tetapi iklan-iklan “manis” yang menampilkan anak-anak atau remaja mempromosikan produk komersil, tidak semuanya sepakat menyebutnya sebagai eksploitasi. Ini bukan persoalan terselubung atau bukan, ini persoalan sejauh mana invasi ideologi liberalisme dengan berlindung pada slogan “kebebasan ekspresi” telah berhasil mengaburkan wilayah-wilayah tersebut.

Akhirnya kita melihat proses eksploitasi diri sendiri juga muncul bersamaan dengan kejadian pengaburan makna eksploitasi. Saat masyarakat bersikap paradoks dengan melihat anak sebagai subjek kampanye gerakan sosial dengan anak sebagai subjek iklan produk komersil, hasil mengerikan yang sebenarnya akan muncul setelah sikap tersebut, yakni eksploitasi berdasar pada kemauan sendiri. Masyarakat dengan suka rela mempromosikan secara cuma-cuma produk komersil lewat media sosial internet atau lewat interaksi-interaksi wajah hedonis. Fenomena ini terjadi karena basis liberalisme menyediakan reason bagi subjek-subjek tertentu dalam masyarakat untuk memahami tindakan-tindakan tersebut sebagai hal yang tidak patut untuk dihindari dengan berlindung pada kebebasan berekspresi.

Hilangnya sekat-sekat yang selama ini menjadi pencengkram-pembatas asimilasi budaya mengakibatkan munculnya “masyarakat tanpa sekat” dan masyarakat yang berpikir kontradiktif. Ramalan singkatnya pada bagian ini adalah bahwa peningkatan intervensi kekuatan-kekuatan besar dunia akan melahirkan imperialisme budaya dan terorisme di bidang ekonomi hingga imperialisme informasi. Fenomena ini mau tidak mau menjatuhkan tatanan masyarakat dan pemerintah sebagai aktor yang melalui kerjanya harus berpikir tentang arah pembangunan negara. David C. Korten dalam “A not so Radical Agenda for A Sustainable Global Future” mengatakan nilai-nilai spiritual pada kondisi demikian akan menjadi bahan yang dibutuhkan untuk memperbaiki peradaban. Dan sudah pasti dibutuhkan penelaahan kembali ideologi-ideologi  yang mempromosikan liberalisme di Indonesia.

Menutup Kegelisahan

Saya akan menutup catatan singkat atas komentar-komentar pribadi mengenai apa yang bagi saya menarik untuk diperbincangkan terkait dengan “lantas apa” dalam liberalisme budaya Goenawan Mohamad. Beberapa tahun belakangan ini pasca 1998 perkembangan gagasan-gagasan intelektual sepertinya menemukan tempat yang nyaman di belantara kepustakaan masyarakat Indonesia. Mudah saja sekarang kita membeli karangan-karangan filsuf Eropa barat, Amerika, Jerman, Prancis. Fakta ini secara terselubung seolah-olah menunjukkan bahwa pada masa orde baru, pemikiran-pemikiran ini “asing”. Kenyataannya bukan “asing” melainkan di-kanalkan sesuai dengan kepentingan semangat agresi liberalisme Amerika. Adapun masa pasca 1998 yang kita anggap sebagai gerbang bagus dalam wacana intelektual sebenarnya tidak lebih dari proses hegemoni selera intelektual yang kian tidak mudah terdeteksi. Di beberapa daerah di Indonesia misalnya malah mengalami gejala konflik luar biasa, di Papua, tahun 2012, sampai disebut sebagai tahun kekerasan. Apakah hubungan semuanya dengan liberalisme?.


Kejatuhan blok timur tahun 1991 seakan menegaskan keabadian liberalisme-kapital untuk menghakimi solusi sosialisme terhadap dunia. Ditopang dengan kemunculan knowledge worker yang berhaluan ideologi anti-kiri sudah jelas akan bagaimana masa depan masyarakat. kategori kelompok sosial unggul ini akan menentukan faktor-faktor penting dalam memainkan agresi liberalisme terutama dalam bidang ekonomi, politik, dan tentu saja budaya. Dengan demikian pertanyaan “lantas apa” adalah indikator utama dan kuat yang menunjukkan proses menggerogoti kejatuhan negara dengan kesadaran masyarakatnya yang luar biasa aneh.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK