Sunday, December 8, 2013

Nelson Mandela, antara Buku dan Membaca

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Ruth Havelaar menulis bahwa pengaruh bacaan pada manusia memang besar tetapi tidak patut dibesar-besarkan juga. Saya sepenuhnya tidak setuju dengan Havelaar. Apa yang dia maksud dengan “tidak patut dibesar-besarkan” bermakna realis. Padahal aktivitas membaca tidak pernah ada kaitannya dengan apakah tindakan membaca merupakan sebuah perilaku yang apatis terhadap dunia sekitar. Kita memang menyaksikan ada banyak manusia soliter yang berhenti di menara gading kecendikiawannya. Tapi kita juga melihat pergerakan manusia aktif seperti Emiliano Zapata (Zapatista) atau Paulo Freire yang tidak bermain dalam jebakan perdebatan abstrak.

Persoalannya adalah bahwa membaca memberikan kita insight khusus. Dan bergantung dari gesekan antara hasil insight tersebut dengan pengalaman empiris akan menghasilkan apa. Nelson Mandela meyakini bahwa buku adalah jembatan untuk mengenal posisi manusia. Dan yang paling mengesankan adalah bahwa buku tidak mengurung Mandela dalam keadaan sebagai masyarakat kalah. Buku memberikan dia alasan dan kekuatan untuk bertindak membelah realitas sebagai hasil konstruksi barbar. Keyakinan Mandela terhadap materialism-dialektik juga berasal dari pengaruh buku-buku yang dia baca. Mandela akhirnya menjadi begitu akrab dengan Karl Marx, Friedrich Engels, Mao Zedong dan lain sebagainya.

Mandela sebenarnya bukan orang yang asing dengan membaca dan menulis. Hanya saja perjuangan Mandela dalam mengakses bahan bacaan menjadi sulit setelah berbagai macam kebijakan penjara terhadap dirinya. Salah-satu yang juga menjadi batu “hambatan” adalah dampak dari perlakuan kasar di penjara yang tidak mengizinkannya menggunakan kacamata saat memecah batu. Tugas Mandela di tambang pada tahun 1965 tersebut mengakibatkan material batu kapur berhubungan langsung dengan matanya. Hal ini mengakibatkan penglihatan Mandela terganggu. Tapi seperti yang sudah kita lihat, bahwa sembari berada dalam masa tersebut, Mandela memperjuangkan gelar LLB-nya.

Mandela yang terlahir dengan nama depan Rolihlahla, yang berarti “pembuat masalah” pada tahun 1975 pindah ke tahanan kelas A, dihentikan hak belajarnya karena menyelundupkan tulisan otobiografinya. Hal ini patut disesali karena otomatis hubungan surat-menyurat Mandela dan Mangosuthu Buthelezi serta Desmon Thutu jadi berakhir sementara. Pasca kebijakan tersebut, hingga tahun 1985 Mandela lebih banyak membaca dan berkebun.

Dalam tiga masa tahanan yang dialaminya, Mandela tidak mencoba mengubur ambisinya untuk perang terhadap rasisme, yang ternyata dibantu terjaga oleh sebuah buku yang dibawa oleh Sonny Venkatrathnam yang diloloskan dari sipir penjara karena menggunakan sampul “Kitab Hindu”. Buku yang berada dibalik sampul tersebut berjudul Complete Works of Shakesphere. Mandela kemudian tertarik dengan bagian Julius Caesar act II scene II, Cowards die many times before their deaths. Ketika banyak orang yang melihat lompatan besar Mandela dalam penjara, bagaimana mereka melihat juga peran buku dalam penyemaian spirit tersebut?.

Mandela yang didaulat sebagai simbol politik “welas asih” memberikan apresiasi tersendiri terhadap buku (Jelani Cobb membuat tajuk tulisan Mandela and The Politics of Forgiveness). Resonansi terpenting yang ditemukan oleh Mandela sebelum sampai kesitu adalah kesempatan membaca dan memiliki tabiat baik dalam mengubah paradigma. Siapa yang tidak tergelitik untuk membalas dendam terhadap kelompok yang dengan nyata-nyata ingin kepalanya digantung?. Sepertinya tidak bagi Mandela, itu sebuah tindakan pengecut. Mandela memperjuangkan prinsipnya tidak untuk melanggar prinsip kemanusiaan. Buku yang telah menemani Mandela dan aktivitis lainnya mengajarkan optimisme terhadap kemanusiaan, “bahwa manusia tidak terlahir dengan sikap diskriminatif”. 

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK