Monday, December 9, 2013

Mendayung Antara Tiga Karang ; Hatta, Hamka, Mandela

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Antara ketiganya sudah tidak ada lagi yang hidup. Beberapa waktu belakangan, selain syndrom stockholm tentang Soeharto yang ganjil, kita menemukan juga sebagian pihak yang mulai membicarakan gagasan-gagasan pembangunan masyarakat. Hatta kemudian dibicarakan lagi dalam tataran gagasannya atas demokrasi, ekonomi kerakyatan dan visi sebuah negara. Hamka kemudian diwartakan kembali tentang sikap pluralitas yang arif dalam masyarakat majemuk, dan Mandela yang dirindukan karena kehendak politik memaafkannya yang melampaui rasionalitas manusia normal post-modern. Ketiganya sulit ditemukan lagi_jika mungkin memang tidak ada lagi prasyarat khas untuk menciptakan kembali manusia-manusia begini.

Hatta lahir tahun 1902, Hamka lahir tahun 1908, dan Mandela lahir tahun 1919. Ketiganya hidup dalam perpaduan berbagai masa berkecamuk. Ekspansi jiwa kapitalisme tidak sebesar perang ideologi yang saat itu begitu kental. Masing-masing negara sedang memperebutkan posisi, dan sibuk mencari dukungan. Muncul kelompok-kelompok alternatif baik yang berhaluan kiri atau berhaluan kanan. Di Indonesia sendiri, gerakan-gerakan pembaharuan agama mulai membuka gerbang baru bagi upaya kesadaran agama dan konteksnya dalam membangun negara dinilai cukup terlambat karena baru terjadi pada akhir abad sembilanbelas dan awal abad duapuluh.

Dalam konteksnya masing-masing, Hatta bangun dengan kesadaran bahwa bangsa Indonesia harus menentukan kehendaknya sendiri tanpa harus terjebak pada tarikan-tarikan eksternal. Sedangkan Hamka menjadi jembatan antara masyarakat “agamis” dan jiwa nasional untuk tumbuh dalam rangka perjuangan keagamaan. Dan untuk Mandela, konteksnya adalah membangun kemanusiaan dalam kehidupan dengan mengesampingkan syarat-syarat sosiologis atau antropologis. Ketiganya pernah merasakan menjadi pihak yang dianggap mengancam stabilitas. Hatta dianggap tidak konsisten memainkan strategi politik non-koperatif. Hamka diburu karena mengganggu proses penguasaan tanah sumatera pemerintah kolonial dengan mengadakan propaganda-propaganda sampai ke Medan. Dan Mandela berniat digantung karena mengancam dominasi kuasa kulit putih terhadap kulit hitam. Ini bukan persoalan ringan. Hatta, Hamka dan Mandela berjalan dalam tiga masa situasi politik yang berbeda dan khas.

Hatta adalah representasi kecil kelompok pemimpin sekaligus pemikir yang rajin menulis. Setelah selesai sekolah di Belanda, Hatta aktif memberikan komentar-komentar terkini tentang keadaan politik di Indonesia dan dunia internasional melalui tulisan-tulisan. Hatta yang banyak menguasai tentang strategi politik, ekonomi hingga filsafat menuliskan beragam gagasan dan upaya kontemplatifnya di atas kertas dengan gaya yang khas. Sifat tulisan Hatta selalu membawa optimisme dan mendalam secara filosofis. Analisis dan prediksi yang ditulis Hatta sejak masa pra-kemerdekaan ternyata masih begitu relevan hingga saat ini. Pidatonya “Mendayung di antara Dua Karang” atau artikel “Demokrasi Kita” entah sudah berapa kali dibicarakan. Semuanya masih begitu lekat dengan dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Begitu sulit memang mencari pemimpin yang menulis dengan isi otaknya sendiri tentang langkah-langkah politik mikro dan makro yang hendak diajukannya dan sudah siap jika digugat.

Hatta adalah pemimpin yang optimistis. Dalam intisari pemikiran politiknya, Deliar Noer yang menulis biografi Hatta menyatakan bahwa salah-satu ciri pemikiran Hatta adalah “percaya pada kemampuan sendiri”. Tidak sulit untuk membenarkan intisari ini, karena seluruh kehidupan Hatta adalah sebuah visi dengan keyakinan tegus terhadap kemampuan bangsanya sendiri. Dalam berkawan dengan negara lain, Hatta punya syarat, “bebas-aktif”. Indonesia, menurut Hatta tidak harus bersikap pro kepada salah-satu kubu blok hanya untuk menentukan cita-cita bangsanya sendiri. Hatta tidak ingin Indonesia menjadi objek dari perundingan politik dunia internasional.

Kapasitas Hamka ada dalam dirinya sendiri. Menurut Hamka, Kapasitasnya sebagai ‘ulama berada dalam dua himpitan kehendak. Pertama adalah bahwa ‘ulama mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan Tuhan. Kedua adalah ‘ulama selalu berada dalam desakan manusia-manusia. Dalam konteks ini, Hamka mungkin lebih dikenal karena fatwa haram bagi muslim untuk mengucapkan selamat natal. Peristiwa ini bagi beberapa kelompok yang menganggap Hamka sudah menjadi kaki-tangan pemerintah Soeharto membuka mata bahwa Hamka dalam persoalan aqidah selalu berhati-hati. Sedangkan bagi kelompok nasionalis, Hamka dianggap tidak sesuai dengan semangat zaman pembangunan. Akan tetapi sepertinya yang terjadi adalah ketidakadilan dalam menilai Hamka. Meskipun sangat hati-hati dalam persoalan aqidah, Hamka tidak memaksa pandangannya. Hamka menguasai tentang sejarah hak asasi manusia. Tahun 1968 Hamka menerbitkan bukunya yang berjudul “Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam” yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap perbudakan. Menurut Hamka, bentuk-bentuk deklarasi yang dibuat oleh kelompok-kelompok tertentu pada awalnya berniat untuk membebaskan manusia, tapi pada akhirnya dia hanya jadi “barang suci” dan tidak dilaksanakan. Kemanusiaan, Kebebasan, dan anti-perbudakan ada dalam diri Hamka.

Perlawanan Apartheid dan Nelson Mandela bisa jadi adalah wajah sejarah yang paling dikenang dalam peta kongkrit perwujudan sosialisme. Mandela adalah Dyonisus dengan bentuk paling nyata. Semangat Dyonisus untuk mengemansipasi manusia agar setara dengan dewa tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan juga oleh Mandela. Mandela memulai karir politiknya setelah menjadi pengacara. Setelah itu Mandela mulai aktif menggungat kebijakan-kebijakan pemerintah yang meletakkan dominasi kekuasan kepada kelompok kulit putih. Inferioritas kulit hitam bagi Mandela disebabkan oleh supremasi kulit putih melalui sistem dan kebijakan. Tahun 1964, Mandela membuka sebuah pidato pembelaan di Pengadilan Rivonia dengan kalimat “I am the First Accused”. Mandela melanjutkannya dengan “…They do not look upon them as people with families of their own; they do not realize that they have emotions - that they fall in love like white people do; that they want to be with their wives and children like white people want to be with theirs; that they want to earn enough money to support their families properly, to feed and clothe them and send them to school. And what 'house-boy' or 'garden-boy' or labourer can ever hope to do this?”. Ini adalah pidato yang menggugah. Begitu sentimentil dan optimis.


Apa yang sama dari Hatta, Hamka dan Mandela adalah tentang pembebasan. Ketiganya berbicara dengan resonansi masing-masing. Kebebasan untuk menentukan apa yang dapat dilakukan dan apa yang menjadi pegangan. Ketiganya bukan penjual barang-barang prinsipil dalam hidup. Masyarakat modern yang dikotori oleh kaidah kapitalisme sudah menjadi barang haram bagi ketiganya. Kecintaan mereka tentang kebebasan manusia dari tindakan ekploitasi mengajarkan banyak hal. Pertama adalah kemampuan diri untuk menjaga harkat sebagai manusia bebas. Kedua adalah menjaga keseragaman tanpa melakukan penindasan. Ketiga adalah kehendak untuk memaafkan dan “welas asih” kepada siapa saja. Hatta, Hamka dan Mandela selalu dianggap sebagai musuh. Tapi sangat jarang kita melihat ketiganya menaruh kebencian. Hatta, Hamka dan Mandela melihat dunia dalam jangkauan perspektif yang luas. Jika Aristoteles menginginkan “pemimpin bijak” maka ketiganya bisa kita daulat sebagai kandidat. Dengan ketiganya kita akan belajar mendayung di antara tiga karang kebajikan.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK