Sunday, December 22, 2013

Pram : “Basa-Basi Tidak Menghibur Saya..”

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Apa yang menarik dari sejarah adalah realitas sejarah itu sendiri. Sebagai bagian dari realitas, sejarah adalah proses konstruksi yang rumit. Menawarkan kembali penjelasan atau analisa dalam sejarah adalah pekerjaan yang melelahkan atau bahkan menjemukan hati. Selalu ada pertentangan ketika mengisahkan sejarah. Baik karena pertentangan itu merupakan riwayat utama sejarah, atau karena pertentangan itu juga merupakan tema yang didiskusikan terkait presisi data sejarah. Namun melampaui itu semua, sejarah menawarkan sejumlah gagasan penting dalam proses pembentukan dialektika kekinian.

Karena pertanyaan hari ini adalah juga masalah di hari kemarin yang kita alpakan. Apa yang sudah kita lewatkan dari seorang Pram?. Kita yang terlalu muda dalam memahami Pram?.

Judul tulisan ini berasal dari kalimat penutup Pramoedya Ananta Toer yang menjawab surat terbuka Goenawan Mohamad dalam Tempo edisi 3-9 April tahun 2000 ; “Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya”. Goenawan Mohamad meminta Pram mempertimbangkan permintaan maaf Gus Dur pada tanggal 9 April tahun 2000 di Tempo. Pram Menolaknya mentah-mentah.

Melihat perbedaan horizon di antara keduanya tidak semudah melihat bahwa Pram merokok dengan garpit sedangkan Goenawan Mohamad setia dengan cerutu__Ini bukan soal, ‘murah’ dan ‘mahal’. Ini soal apa yang ‘tidak bisa dikembalikan’ dan soal ‘keadilan’.

Bagi Pram, Goenawan Mohamad juga hanya basa-basi dengan membawa kebijaksanaan dewa ala Nelson Mandela. “Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat”. Menurut Goenawan Mohamad, Pram bertindak naïf, dengan mengatakan ; “Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf”. Goenawan Mohamad menganggap Pram perlu mempertimbangkan posisi Gus Dur, sebagai ‘bukan-korban’ yang meminta maaf.

Tidak ada rekonsiliasi. Pram menganggap ide rekonsiliasi Gus Dur yang dibela oleh Goenawan Mohamad hanya basa-basi. Bagi Pram, keadilan tidak dibentuk dengan mudah melalui pernyataan seorang besar dengan anonimitas posisi. Pram mempertanyakan posisi Gus Dur ketika meminta maaf. “Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa”.

Goenawan Mohamad mengenal Pram dengan kondisi yang terlambat. Setidaknya begitu yang dia tampakkan dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2004), “Saya tak tahu bahwa sebuah buku dilarang dan seorang pengarang terkenal dipenjarakan”. Buku yang dimaksud adalah “Hoakiau di Indonesia”. Dalam beberapa Catatan Pinggir (Caping), Goenawan Mohamad pernah membawa nama Pram.  Pram dipuji oleh Goenawan Mohamad, “Ia mengguncang asumsi yang umum berlaku”. Goenawan Mohamad memberikan kata pengantar untuk buku Pram yang berjudul Tales From Djakarta : Caricatures of Circumtances and Their Human Beings (1999).

Caping 6 Oktober 1984, dengan Judul Yang Keras, Goenawan Mohamad menulis, “Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan babat…(kata ‘babat’ yang diperkenalkan Pram) menyarankan satu hantaman dengan parang, untuk merobohkan lalang dan belukar. Seperti yang kita tahu, Goenawan Mohamad akan begitu kenal dengan Pram. Dan kita sudah mencatat dengan baik bahwa Goenawan Mohamad juga adalah seorang yang pernah mendukung pemberian Magsaysay tahun 1995 kepada Pram. Dalam surat terbuka tersebut, Goenawan Mohamad tahu dengan jelas apa makna rekonsiliasi, karena pada tahun 1990-an dia sendiri sudah menggagas rekonsiliasi antara mantan tahanan politik dan seniman kiri. Menurut Goenawan Mohamad, Pram adalah seorang “penantang abadi”, dan representasi geraman eksistensial.


Apa yang kita sebut Adil?

Penolakan Pram terhadap permintaan maaf Gus Dur tidak dapat dilihat sebagai sikap akhir. Kita diberi pilihan untuk menilai seseorang melebihi apa yang ditampakkannya dalam masa-masa tertentu. pernyataan ‘tidak memaafkan’ bukan penegasian terhadap nilai ‘memaafkan’ itu sendiri. Pram mengetahui betul apa arti keadilan dan kekerasan. Yang dengan begitu, sudah pasti memahami apa arti ‘maaf’. Kata-kata tidak selamanya mewakili entitas sebuah kebenaran. Kadang-kadang kebenaran sulit diterima ketika disimbolkan dalam sebuah diksi, karena kebenaran kemudian malah membingungkan. Mungkin demikian kebenaran yang tidak dapat dikenali dengan mudah dalam diri Pram. Dengan kata lain, entitas kebenaran memaksa kita untuk terlebih dahulu menarik secara mendalam pengalaman dan gesekan batin subjek yang tertindas.

Kita bisa bertindak toleran karena pernah merasakan toleransi. Dan kita sulit memahami mengapa orang bisa sangat sentimentil karena tidak pernah merasa ‘kehidupan’ sentimentil. Tapi kita bisa melakukannya karena kita bisa membayangkan jadi mereka. Pram menyaksikan akhir dari kehidupan orang-orang terdekatnya, disiksa, dipukul, dan dibunuh. Tapi seperti tidak ada waktu luang untuk memikirkan sebuah cara untuk menikmati sisi kebajikan orang-orang keji tersebut. Pram merasa semua itu tidak mudah dan berujar “Saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia (Mandela)”. Pram tidak ingin jadi Mandela yang dapat ‘memaafkan’.


Basa-basi dan Agresi

Sebagaimana lelucon, basa-basi pun bisa berubah menjadi agresi. Si Jenakawan bisa jadi aggressor, dan si tukang basa-basi bisa jadi aggressor pula. ‘Meminta maaf’ adalah basa-basi yang berangkat dari tindakan eufisme untuk  menyamarkan atau menghapuskan kenyataan pahit sejarah. Kenyataan bahwa perlakuan sosial yang tidak mengenakkan terhadap Pram adalah kesimpulan yang adil untuk menilai bahwa basa-basi ‘meminta maaf’ sebagai agresi terselubung__bahwa maaf masih tetap melukai. Permintaan maaf dari sebuah rezim tidak otomatis menghapuskan persangkaan yang buruk terhadap diri Pram. Setelah upaya meminta maaf tersebut, masih jarang kita temui nama Pram dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Ini hanya main-main.

Pram mengatakan dalam sebuah wawancara bersama Kees Snoek (1991) ; “Dan sekarang ini, saya hidup di dalam hari depan saya. Hari depan saya adalah hari sekarang”. Pram selalu mengeluh tentang karya-karyanya yang dicekal di negeri sendiri, “seperti menulis di pasir” ungkapnya. Pram adalah persona non grata di negara tempat dia dilahirkan.


Pandangan Pram tentang ‘Baik’

Beberapa pihak menyayangkan sikap menolak Pram. Sikap keliru telah ditunjukkan oleh seorang Pram. Apakah Pram tidak merasa perbuatannya telah melangkahi keadilan?. Jadi apakah yang dipandang sebagai ‘baik’ menurut Pram?.

Pram menekankan dengan tegas bahwa harus ada sebuah keadilan. Pram mendapatkan kewarganegaraannya dengan ‘perkelahian’ dan resiko. Pram mendaulat dirinya sebagai anak renaisans. Jadi kalau demikian apakah sebuah ‘baik’ menurutnya?.

Pram dididik oleh seorang Ibu yang berumur tidak panjang. Walau begitu Pram selalu mengenang dengan penuh rasa hormat terhadap Ibunya. Pram diajarkan tentang arti kemuliaan, keadilan dan sebuah kepantasan menjadi manusia yang bermoral. “Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri” tiru Pram saat mengisahkan tentang petuah Ibunya. Saat Ibunya wafat karena TBC, Pram memeluk dan mencium jenazah Ibunya tanpa peduli dengan resiko. Pram berada dalam kesetiaan dan kesendirian untuk merawat jenazah Ibunya sampai proses pemakaman, “…tidak ada seorangpun yang datang menolong”.

Pram sebenarnya peka terhadap penderitaan orang, tapi kepekaannya berubah menjadi rasa hormat yang dituliskannya untuk membangun kesadaran orang lain juga. Setiap penderitaan dianggapnya sebagai tindakan mandiri dan berkesadaran penuh atas resiko-resiko. Kita melihat munculnya sosok perempuan mandiri dalam karya-karya Pram seperti Nyai Ontosoroh membawa optimisme yang bagus. Perempuan yang ditampilkan oleh Pram kadang-kadang menjadi simbol keberanian untuk membela diri sendiri dan menghindari bergantung pada orang lain.

Pernah tersiar kabar bahwa Pram adalah tipe orang yang tidak sabaran, suka meledak-ledak dan sombong. Tapi begitu mengenal Pram, menurut Andre Vltchek dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian: Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan (2006), “tidak terlihat kesombongan di raut mukanya. Dia malah  begitu hangat, sarkastik, dan banyak tertawa serta bercanda”. Saat itu Vltchek bersama rekan-rekan sedang menggarap proyek film Terlena: Breaking of Nation pada tahun 2003.

Pram mengatakan bahwa ideologi yang dia anut adalah cinta akan keadilan.
"Ideologi ditanamkan di dalam diri saya oleh keluarga saya, yaitu cinta akan keadilan" (Kees Snoek, 1991).

Kadang-kadang Saya merasa sangat terisolasi. Saya hidup di dunia saya sendiri, dan hal ini seperti berada di pengasingan. Saya tidak tahu apakah orang masih ingin tahu apa yang sebenarnya saya pikirkan…” (Saya Terbakar Amarah, 2006).

Saturday, December 14, 2013

Kondisi Masyarakat Pasca Liberalisme Di Indonesia (Mengapa Menyoal Liberalisme Goenawan Mohamad)

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Lantas Apa

Kesadaran kolektif diuji saat orang mulai bertanya “lantas apa” setelah pembongkaran informasi mengenai keterlibatan Goenawan Mohamad dengan politik agresi kebudayaan dan intelektual di Indonesia. Pertanyaan “apa” terdengar sangat materialistik karena menuntut bentuk. Pertanyaan ini meminta ungkapan praktis tentang hal-hal yang jika dijelaskan secara rasional mengandung muatan yang berbeda. Pertanyaan “lantas apa” bukan titik utama dari diskursus yang dikonstruksikan yang pada saat bersamaan akan melahirkan pertanyaan praktis lain tentang bagaimana bersikap atas buku-buku terbitan YOI atau karya Goenawan Mohamad.

Pertanyaan “lantas apa” akan dengan sendirinya tenggelam jika yang jadi masalah pokok sekarang adalah warisan-warisan ideologi orde baru tidak serta merta habis pasca 1998. Warisan tersebut sampai sekarang menjadi biang kejijikan tertentu terhadap perbedaan ideologi. Secara normatif, harus diakui bahwa tidak ada masyarakat beyond good and evil. Hampir seperti utopia mengharapkan masyarakat melampaui apa yang baik dan buruk. Maka masyarakat selalu mengadopsi atau yang mewarisi ideologi-ideologi yang dibangun dengan bantuan makelar-makelar intelektual. Akan tetapi syaratnya adalah mempertahankannya menjadi bentuk-bentuk elegan.

Ketelitian Baru

Maka kondisi yang sebenarnya sedang terjadi adalah bahwa tiba-tiba orang mulai sadar dari mana asal notion iklim intelektual. Semua kecurigaan mungkin sudah mulai tercium dari sejumlah komentar-komentar lepas tanpa sadar, atau kritik-kritik yang tidak sempat disensor pada pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi. Kecurigaan lain juga mulai beredar lewat tulisan yang mengkaji tokoh-tokoh yang menjadi agen dari gagasan liberalisme. Dan sekarang kita juga mulai dipaksa memperhatikan dengan jelas tafsiran-tafsiran para penulis Eropa, Afrika, Asia dan Amerika (singkatnya darimana saja) yang tergabung di dalam CCF atau yang tidak terlibat tapi memiliki visi yang serupa dan mulai membangun ketelitian baru. Sebuah usaha yang pada beberapa waktu hanya dilakukan oleh segelintir orang saja yang menyadari terjadi agresi liberalisme di Indonesia. Bahkan dalam kondisi yang serba terlambat seperti sekarang ini, kesadaran tersebut menjadi tercampur dengan pertanyaan “lantas apa” yang jelas-jelas tidak mendudukkan sejarah karena kebenaran. Maka muncul watak pemaafan destruktif terhadap wajah lama historis di Indonesia. Kenyataan yang sudah dapat diprediksi mengingat liberalisme sudah melakukan transfigurasi yang cepat dan nyaris tanpa sekat. 

Migrasi intelektual secara massif yang sudah terjadi sejak 70-an ke liberalisme dengan sendirinya ingin menegaskan eksistensinya yang tidak kenal lelah. Dan keberhasilannya dicetak dengan jelas pada apatisme masyarakat terhadap persoalan-persoalan ideologi dan filosofis negara. Ada jarak yang jauh antara kelompok yang konsisten memperhatikan ideologi dan masyarakat pada umumnya. Jarak yang dibangun perlahan-lahan dengan cara memaklumi kejadian dunia sebagai kejadian itu sendiri dan bukan sebagai proses yang dapat di-rekayasa dan diubah. Kesulitan akses pendidikan dan kesehatan dipandang sebagai kejadian yang tidak terhindarkan. Ketimpangan ekonomi, sosial, politik juga dipandang lumrah karena berpijak pada pemakluman-pemakluman.

Pencapaian Liberalisme

Pencapaian-pencapaian fisik liberalisme sendiri memang memukau insting kapital manusia. Akan tetapi, pencapaian seperti demikian jarang terjadi secara merata di sebuah negara, termasuk Indonesia. Sehingga dibutuhkan “bangunan” lain yang dapat mengadakan pra-kondisi penerimaan akan kemungkinan-kemungkinan kegagalan liberalisme dalam jangka waktu dekat yang pada umumnya nampak tidak berkaitan secara erat. Iklan-iklan komersil mengangkat tema “cinta tanah air”, dan sejumlah isu sentimentil bagi logika masyarakat yang baru merdeka tahun 1945 dan praktis kehilangan figur-figur penting pada saat yang bersamaan. Atau kemudian kegandrungan masyarakat mengidentikkan euphoria dengan menyandarkan kekuatan jiwanya terhadap simbol-simbol liberal-kapital. Singkatnya kita bangga tanpa sadar atas keadaan yang seharusnya memalukan.

Bicara soal pencapaian liberalisme, kekerasan struktural adalah primadona layak bin unggul. Infasi liberalisme dalam ruang-ruang publik memberikan legitimasi kepada pihak minoritas-ekslusif yang memegang kekuasaan untuk bertindak sentralistis, sedangkan pihak yang mayoritas (masyarakat) dipaksa untuk memahami kondisi tertindas sebagai nasib. Pihak minoritas-ekslusif kemudian menjadi demikian sensitif dan merasa dibutuhkan dan harus bebas dalam mengejawantahkan kehendak-kehendaknya dan pihak mayoritas harus menerimanya tanpa syarat karena tidak berhak mengajukan keberatan. Kekerasan struktural muncul dengan rasionalitas yang dia bangun sendiri, yakni bahwa apa yang bisa dicapai pihak mayoritas membutuhkan syarat yang sudah ditentukan oleh pihak minoritas-ekslusif. Tidak hanya itu, watak keserakahan akan masuk ke dalam upaya menyimpangkan hak-hak masyarakat.

Masyarakat Paradoks

Sulit luar biasa memang menyatakan bahwa seluruh sejarah dan masa depan berada dalam tangan liberalisme, atau_menurut Francis Fukuyama dengan Kapitalisme. Apakah kita berada dalam masa-masa membuktikan hipotesis tersebut?. Semoga tidak. Akan tetapi tidak bisa dianggap remeh juga nada-nada pesimis mengenai kemunculan sistem baru yang akan menanggalkan liberalisme dan ajaran-ajarannya. Pertentangannya untuk sementara bukan semata pertentangan klas, tapi pertentangan ideologi. Alasannya sederhana bahwa pertentangan dalam sejarah terjadi karena ketidaksepakatan terhadap makna simbol-simbol realitas. Ketidaksepakatan itu kemudian mengakibatkan makna simbol-simbol yang dilekatkan pada diksi-diksi menjadi beragam dan tidak tunggal.

Ekses dari proses-proses yang terjadi demikian menyebabkan masyarakat terjepit dan bersikap paradoks. Banyak orang memprotes jika anak-anak, atau remaja ikut demo atau kampanye gerakan-gerakan sosial dengan menyebutnya sebagai eksploitasi. Akan tetapi iklan-iklan “manis” yang menampilkan anak-anak atau remaja mempromosikan produk komersil, tidak semuanya sepakat menyebutnya sebagai eksploitasi. Ini bukan persoalan terselubung atau bukan, ini persoalan sejauh mana invasi ideologi liberalisme dengan berlindung pada slogan “kebebasan ekspresi” telah berhasil mengaburkan wilayah-wilayah tersebut.

Akhirnya kita melihat proses eksploitasi diri sendiri juga muncul bersamaan dengan kejadian pengaburan makna eksploitasi. Saat masyarakat bersikap paradoks dengan melihat anak sebagai subjek kampanye gerakan sosial dengan anak sebagai subjek iklan produk komersil, hasil mengerikan yang sebenarnya akan muncul setelah sikap tersebut, yakni eksploitasi berdasar pada kemauan sendiri. Masyarakat dengan suka rela mempromosikan secara cuma-cuma produk komersil lewat media sosial internet atau lewat interaksi-interaksi wajah hedonis. Fenomena ini terjadi karena basis liberalisme menyediakan reason bagi subjek-subjek tertentu dalam masyarakat untuk memahami tindakan-tindakan tersebut sebagai hal yang tidak patut untuk dihindari dengan berlindung pada kebebasan berekspresi.

Hilangnya sekat-sekat yang selama ini menjadi pencengkram-pembatas asimilasi budaya mengakibatkan munculnya “masyarakat tanpa sekat” dan masyarakat yang berpikir kontradiktif. Ramalan singkatnya pada bagian ini adalah bahwa peningkatan intervensi kekuatan-kekuatan besar dunia akan melahirkan imperialisme budaya dan terorisme di bidang ekonomi hingga imperialisme informasi. Fenomena ini mau tidak mau menjatuhkan tatanan masyarakat dan pemerintah sebagai aktor yang melalui kerjanya harus berpikir tentang arah pembangunan negara. David C. Korten dalam “A not so Radical Agenda for A Sustainable Global Future” mengatakan nilai-nilai spiritual pada kondisi demikian akan menjadi bahan yang dibutuhkan untuk memperbaiki peradaban. Dan sudah pasti dibutuhkan penelaahan kembali ideologi-ideologi  yang mempromosikan liberalisme di Indonesia.

Menutup Kegelisahan

Saya akan menutup catatan singkat atas komentar-komentar pribadi mengenai apa yang bagi saya menarik untuk diperbincangkan terkait dengan “lantas apa” dalam liberalisme budaya Goenawan Mohamad. Beberapa tahun belakangan ini pasca 1998 perkembangan gagasan-gagasan intelektual sepertinya menemukan tempat yang nyaman di belantara kepustakaan masyarakat Indonesia. Mudah saja sekarang kita membeli karangan-karangan filsuf Eropa barat, Amerika, Jerman, Prancis. Fakta ini secara terselubung seolah-olah menunjukkan bahwa pada masa orde baru, pemikiran-pemikiran ini “asing”. Kenyataannya bukan “asing” melainkan di-kanalkan sesuai dengan kepentingan semangat agresi liberalisme Amerika. Adapun masa pasca 1998 yang kita anggap sebagai gerbang bagus dalam wacana intelektual sebenarnya tidak lebih dari proses hegemoni selera intelektual yang kian tidak mudah terdeteksi. Di beberapa daerah di Indonesia misalnya malah mengalami gejala konflik luar biasa, di Papua, tahun 2012, sampai disebut sebagai tahun kekerasan. Apakah hubungan semuanya dengan liberalisme?.


Kejatuhan blok timur tahun 1991 seakan menegaskan keabadian liberalisme-kapital untuk menghakimi solusi sosialisme terhadap dunia. Ditopang dengan kemunculan knowledge worker yang berhaluan ideologi anti-kiri sudah jelas akan bagaimana masa depan masyarakat. kategori kelompok sosial unggul ini akan menentukan faktor-faktor penting dalam memainkan agresi liberalisme terutama dalam bidang ekonomi, politik, dan tentu saja budaya. Dengan demikian pertanyaan “lantas apa” adalah indikator utama dan kuat yang menunjukkan proses menggerogoti kejatuhan negara dengan kesadaran masyarakatnya yang luar biasa aneh.

Monday, December 9, 2013

Mendayung Antara Tiga Karang ; Hatta, Hamka, Mandela

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Antara ketiganya sudah tidak ada lagi yang hidup. Beberapa waktu belakangan, selain syndrom stockholm tentang Soeharto yang ganjil, kita menemukan juga sebagian pihak yang mulai membicarakan gagasan-gagasan pembangunan masyarakat. Hatta kemudian dibicarakan lagi dalam tataran gagasannya atas demokrasi, ekonomi kerakyatan dan visi sebuah negara. Hamka kemudian diwartakan kembali tentang sikap pluralitas yang arif dalam masyarakat majemuk, dan Mandela yang dirindukan karena kehendak politik memaafkannya yang melampaui rasionalitas manusia normal post-modern. Ketiganya sulit ditemukan lagi_jika mungkin memang tidak ada lagi prasyarat khas untuk menciptakan kembali manusia-manusia begini.

Hatta lahir tahun 1902, Hamka lahir tahun 1908, dan Mandela lahir tahun 1919. Ketiganya hidup dalam perpaduan berbagai masa berkecamuk. Ekspansi jiwa kapitalisme tidak sebesar perang ideologi yang saat itu begitu kental. Masing-masing negara sedang memperebutkan posisi, dan sibuk mencari dukungan. Muncul kelompok-kelompok alternatif baik yang berhaluan kiri atau berhaluan kanan. Di Indonesia sendiri, gerakan-gerakan pembaharuan agama mulai membuka gerbang baru bagi upaya kesadaran agama dan konteksnya dalam membangun negara dinilai cukup terlambat karena baru terjadi pada akhir abad sembilanbelas dan awal abad duapuluh.

Dalam konteksnya masing-masing, Hatta bangun dengan kesadaran bahwa bangsa Indonesia harus menentukan kehendaknya sendiri tanpa harus terjebak pada tarikan-tarikan eksternal. Sedangkan Hamka menjadi jembatan antara masyarakat “agamis” dan jiwa nasional untuk tumbuh dalam rangka perjuangan keagamaan. Dan untuk Mandela, konteksnya adalah membangun kemanusiaan dalam kehidupan dengan mengesampingkan syarat-syarat sosiologis atau antropologis. Ketiganya pernah merasakan menjadi pihak yang dianggap mengancam stabilitas. Hatta dianggap tidak konsisten memainkan strategi politik non-koperatif. Hamka diburu karena mengganggu proses penguasaan tanah sumatera pemerintah kolonial dengan mengadakan propaganda-propaganda sampai ke Medan. Dan Mandela berniat digantung karena mengancam dominasi kuasa kulit putih terhadap kulit hitam. Ini bukan persoalan ringan. Hatta, Hamka dan Mandela berjalan dalam tiga masa situasi politik yang berbeda dan khas.

Hatta adalah representasi kecil kelompok pemimpin sekaligus pemikir yang rajin menulis. Setelah selesai sekolah di Belanda, Hatta aktif memberikan komentar-komentar terkini tentang keadaan politik di Indonesia dan dunia internasional melalui tulisan-tulisan. Hatta yang banyak menguasai tentang strategi politik, ekonomi hingga filsafat menuliskan beragam gagasan dan upaya kontemplatifnya di atas kertas dengan gaya yang khas. Sifat tulisan Hatta selalu membawa optimisme dan mendalam secara filosofis. Analisis dan prediksi yang ditulis Hatta sejak masa pra-kemerdekaan ternyata masih begitu relevan hingga saat ini. Pidatonya “Mendayung di antara Dua Karang” atau artikel “Demokrasi Kita” entah sudah berapa kali dibicarakan. Semuanya masih begitu lekat dengan dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Begitu sulit memang mencari pemimpin yang menulis dengan isi otaknya sendiri tentang langkah-langkah politik mikro dan makro yang hendak diajukannya dan sudah siap jika digugat.

Hatta adalah pemimpin yang optimistis. Dalam intisari pemikiran politiknya, Deliar Noer yang menulis biografi Hatta menyatakan bahwa salah-satu ciri pemikiran Hatta adalah “percaya pada kemampuan sendiri”. Tidak sulit untuk membenarkan intisari ini, karena seluruh kehidupan Hatta adalah sebuah visi dengan keyakinan tegus terhadap kemampuan bangsanya sendiri. Dalam berkawan dengan negara lain, Hatta punya syarat, “bebas-aktif”. Indonesia, menurut Hatta tidak harus bersikap pro kepada salah-satu kubu blok hanya untuk menentukan cita-cita bangsanya sendiri. Hatta tidak ingin Indonesia menjadi objek dari perundingan politik dunia internasional.

Kapasitas Hamka ada dalam dirinya sendiri. Menurut Hamka, Kapasitasnya sebagai ‘ulama berada dalam dua himpitan kehendak. Pertama adalah bahwa ‘ulama mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan Tuhan. Kedua adalah ‘ulama selalu berada dalam desakan manusia-manusia. Dalam konteks ini, Hamka mungkin lebih dikenal karena fatwa haram bagi muslim untuk mengucapkan selamat natal. Peristiwa ini bagi beberapa kelompok yang menganggap Hamka sudah menjadi kaki-tangan pemerintah Soeharto membuka mata bahwa Hamka dalam persoalan aqidah selalu berhati-hati. Sedangkan bagi kelompok nasionalis, Hamka dianggap tidak sesuai dengan semangat zaman pembangunan. Akan tetapi sepertinya yang terjadi adalah ketidakadilan dalam menilai Hamka. Meskipun sangat hati-hati dalam persoalan aqidah, Hamka tidak memaksa pandangannya. Hamka menguasai tentang sejarah hak asasi manusia. Tahun 1968 Hamka menerbitkan bukunya yang berjudul “Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam” yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap perbudakan. Menurut Hamka, bentuk-bentuk deklarasi yang dibuat oleh kelompok-kelompok tertentu pada awalnya berniat untuk membebaskan manusia, tapi pada akhirnya dia hanya jadi “barang suci” dan tidak dilaksanakan. Kemanusiaan, Kebebasan, dan anti-perbudakan ada dalam diri Hamka.

Perlawanan Apartheid dan Nelson Mandela bisa jadi adalah wajah sejarah yang paling dikenang dalam peta kongkrit perwujudan sosialisme. Mandela adalah Dyonisus dengan bentuk paling nyata. Semangat Dyonisus untuk mengemansipasi manusia agar setara dengan dewa tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan juga oleh Mandela. Mandela memulai karir politiknya setelah menjadi pengacara. Setelah itu Mandela mulai aktif menggungat kebijakan-kebijakan pemerintah yang meletakkan dominasi kekuasan kepada kelompok kulit putih. Inferioritas kulit hitam bagi Mandela disebabkan oleh supremasi kulit putih melalui sistem dan kebijakan. Tahun 1964, Mandela membuka sebuah pidato pembelaan di Pengadilan Rivonia dengan kalimat “I am the First Accused”. Mandela melanjutkannya dengan “…They do not look upon them as people with families of their own; they do not realize that they have emotions - that they fall in love like white people do; that they want to be with their wives and children like white people want to be with theirs; that they want to earn enough money to support their families properly, to feed and clothe them and send them to school. And what 'house-boy' or 'garden-boy' or labourer can ever hope to do this?”. Ini adalah pidato yang menggugah. Begitu sentimentil dan optimis.


Apa yang sama dari Hatta, Hamka dan Mandela adalah tentang pembebasan. Ketiganya berbicara dengan resonansi masing-masing. Kebebasan untuk menentukan apa yang dapat dilakukan dan apa yang menjadi pegangan. Ketiganya bukan penjual barang-barang prinsipil dalam hidup. Masyarakat modern yang dikotori oleh kaidah kapitalisme sudah menjadi barang haram bagi ketiganya. Kecintaan mereka tentang kebebasan manusia dari tindakan ekploitasi mengajarkan banyak hal. Pertama adalah kemampuan diri untuk menjaga harkat sebagai manusia bebas. Kedua adalah menjaga keseragaman tanpa melakukan penindasan. Ketiga adalah kehendak untuk memaafkan dan “welas asih” kepada siapa saja. Hatta, Hamka dan Mandela selalu dianggap sebagai musuh. Tapi sangat jarang kita melihat ketiganya menaruh kebencian. Hatta, Hamka dan Mandela melihat dunia dalam jangkauan perspektif yang luas. Jika Aristoteles menginginkan “pemimpin bijak” maka ketiganya bisa kita daulat sebagai kandidat. Dengan ketiganya kita akan belajar mendayung di antara tiga karang kebajikan.

Sunday, December 8, 2013

Nelson Mandela, antara Buku dan Membaca

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Ruth Havelaar menulis bahwa pengaruh bacaan pada manusia memang besar tetapi tidak patut dibesar-besarkan juga. Saya sepenuhnya tidak setuju dengan Havelaar. Apa yang dia maksud dengan “tidak patut dibesar-besarkan” bermakna realis. Padahal aktivitas membaca tidak pernah ada kaitannya dengan apakah tindakan membaca merupakan sebuah perilaku yang apatis terhadap dunia sekitar. Kita memang menyaksikan ada banyak manusia soliter yang berhenti di menara gading kecendikiawannya. Tapi kita juga melihat pergerakan manusia aktif seperti Emiliano Zapata (Zapatista) atau Paulo Freire yang tidak bermain dalam jebakan perdebatan abstrak.

Persoalannya adalah bahwa membaca memberikan kita insight khusus. Dan bergantung dari gesekan antara hasil insight tersebut dengan pengalaman empiris akan menghasilkan apa. Nelson Mandela meyakini bahwa buku adalah jembatan untuk mengenal posisi manusia. Dan yang paling mengesankan adalah bahwa buku tidak mengurung Mandela dalam keadaan sebagai masyarakat kalah. Buku memberikan dia alasan dan kekuatan untuk bertindak membelah realitas sebagai hasil konstruksi barbar. Keyakinan Mandela terhadap materialism-dialektik juga berasal dari pengaruh buku-buku yang dia baca. Mandela akhirnya menjadi begitu akrab dengan Karl Marx, Friedrich Engels, Mao Zedong dan lain sebagainya.

Mandela sebenarnya bukan orang yang asing dengan membaca dan menulis. Hanya saja perjuangan Mandela dalam mengakses bahan bacaan menjadi sulit setelah berbagai macam kebijakan penjara terhadap dirinya. Salah-satu yang juga menjadi batu “hambatan” adalah dampak dari perlakuan kasar di penjara yang tidak mengizinkannya menggunakan kacamata saat memecah batu. Tugas Mandela di tambang pada tahun 1965 tersebut mengakibatkan material batu kapur berhubungan langsung dengan matanya. Hal ini mengakibatkan penglihatan Mandela terganggu. Tapi seperti yang sudah kita lihat, bahwa sembari berada dalam masa tersebut, Mandela memperjuangkan gelar LLB-nya.

Mandela yang terlahir dengan nama depan Rolihlahla, yang berarti “pembuat masalah” pada tahun 1975 pindah ke tahanan kelas A, dihentikan hak belajarnya karena menyelundupkan tulisan otobiografinya. Hal ini patut disesali karena otomatis hubungan surat-menyurat Mandela dan Mangosuthu Buthelezi serta Desmon Thutu jadi berakhir sementara. Pasca kebijakan tersebut, hingga tahun 1985 Mandela lebih banyak membaca dan berkebun.

Dalam tiga masa tahanan yang dialaminya, Mandela tidak mencoba mengubur ambisinya untuk perang terhadap rasisme, yang ternyata dibantu terjaga oleh sebuah buku yang dibawa oleh Sonny Venkatrathnam yang diloloskan dari sipir penjara karena menggunakan sampul “Kitab Hindu”. Buku yang berada dibalik sampul tersebut berjudul Complete Works of Shakesphere. Mandela kemudian tertarik dengan bagian Julius Caesar act II scene II, Cowards die many times before their deaths. Ketika banyak orang yang melihat lompatan besar Mandela dalam penjara, bagaimana mereka melihat juga peran buku dalam penyemaian spirit tersebut?.

Mandela yang didaulat sebagai simbol politik “welas asih” memberikan apresiasi tersendiri terhadap buku (Jelani Cobb membuat tajuk tulisan Mandela and The Politics of Forgiveness). Resonansi terpenting yang ditemukan oleh Mandela sebelum sampai kesitu adalah kesempatan membaca dan memiliki tabiat baik dalam mengubah paradigma. Siapa yang tidak tergelitik untuk membalas dendam terhadap kelompok yang dengan nyata-nyata ingin kepalanya digantung?. Sepertinya tidak bagi Mandela, itu sebuah tindakan pengecut. Mandela memperjuangkan prinsipnya tidak untuk melanggar prinsip kemanusiaan. Buku yang telah menemani Mandela dan aktivitis lainnya mengajarkan optimisme terhadap kemanusiaan, “bahwa manusia tidak terlahir dengan sikap diskriminatif”. 

Sunday, December 1, 2013

Paradigma Baru Literasi

Oleh : Tati D. Wardi
Mahasiswi S3 Ohio State University

Pendidikan yang berporos pada kemampuan nalar belakangan menjadi isu yang gencar disuarakan para ahli pendidikan. Prof Iwan Pranoto, guru besar matematika Institut Teknologi Bandung, misalnya, dalam sejumlah tulisannya mengingatkan soal pendidikan bernalar. Kemampuan bernalar dalam konteks ini mencakup daya berpikir logis, keterampilan mengolah informasi dari bacaan, dan kemampuan menyimpulkan dengan pemikiran sendiri. 

Dalam disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar sejatinya bertaut erat dengan literasi. Perlu dicatat, konsep literasi di sini tak lagi dimaknai secara sempit yang terbatas pada kemampuan baca-tulis, tapi juga berkaitan dengan kemampuan memaknai teks, seperti huruf, angka, dan simbol kultural, seperti gambar dan simbol secara kritis. 

Literasi dalam arti luas seperti ini sejatinya sudah cukup lama menjadi acuan UNESCO. Ini bisa kita baca dari Literacy for Life, laporan UNESCO tahun 2006 tentang literasi dunia. Di situ dinyatakan, literasi adalah hak dasar manusia sebagai bagian esensial dari hak pendidikan. Terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains, pengetahuan teknologi, dan aturan hukum, serta mampu memanfaatkan kekayaan budaya dan daya guna media. Singkatnya, literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Karena itu, ia merupakan sumbu pusaran pendidikan.

Untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia di bidang literasi ini, yang paling mendesak untuk dilakukan adalah merevisi paradigma usang literasi dan menggantinya dengan paradigma yang lebih merefleksikan kebutuhan berliterasi di era ketika siswa dikelilingi teks, informasi, dan gambar dari pelbagai penjuru. Upaya strategis yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan daya literasi Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan adalah dengan memulainya dari pendidikan di sekolah. 

Negara dengan tingkat literasi tinggi, seperti Finlandia, Jepang, dan Amerika, secara sistematis menempatkan buku sebagai pusaran kegiatan pembelajaran. Di Amerika, misalnya, sejak jenjang pendidikan dini, anak diperkenalkan dengan konsep buku dan berdialog dengan teks dan gambar. Dengan dibantu guru, sejak belia siswa dibiasakan bertanya, termasuk pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang buku. Mereka belajar berdialog dengan teks, bukan sekadar membaca sambil lewat. 

Di jenjang sekolah dasar, siswa dikondisikan untuk belajar memperkaya kosakata dan menumbuhkan daya analisis mereka menggunakan bacaan berjenjang (leveled reading) yang disesuaikan dengan tingkat kognitif dan kematangan mereka. Bacaan berjenjang biasanya dibedakan seberapa kompleks bacaan (seperti kosakata, struktur, logika, dan konsep). Ketika di tingkat menengah, siswa akan terbiasa mendiskusikan buku beragam genre, dan teks beragam bentuk (seperti digital) dengan tingkat kesulitan sesuai dengan yang diharapkan di perguruan tinggi ataupun dengan kebutuhan literasi ketika mereka terlibat langsung dengan masyarakat luas. Pada akhirnya, keterbiasaan dengan buku akan menumbuhkan cinta mereka terhadap membaca. 

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus di atas? Satu hal yang pasti: peningkatan literasi terkait erat dengan pengoptimalan peran buku. Fungsi buku dan teks bukan sekadar rujukan, tapi juga sebagai medium untuk berpikir kritis dengan cara mendiskusikan makna yang bukan sekadar permukaan. Pendidikan yang melibatkan buku dan bahan bacaan (lebih dari sekadar buku teks) sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran yang dialogis, aktif, dan kritis. 

Buku tentu saja bukan satu-satunya faktor di sini. Peningkatan literasi siswa juga mengandaikan perlunya guru dipersiapkan untuk menanamkan pemahaman literasi dan mengajarkannya di kelas. Dengan begitu, siswa punya kesempatan meningkatkan daya literasi mereka di sekolah. 

Korelasi antara literasi dan peran guru inilah yang menjadi salah satu temuan penelitian saya dua tahun lalu di Jakarta. Saya melibatkan mahasiswa calon guru di UIN Jakarta sebagai fokus penelitian. Mereka saya minta belajar memahami dan membaca buku dan teks dengan kritis. Ketika membaca buku berilustrasi, saya memperkenalkan konsep narasi dalam relasi teks dan gambar yang ada dalam suatu buku. Asumsinya, teks dan gambar sejatinya memiliki cara unik untuk menyampaikan cerita sesuai dengan yang diinginkan oleh pengarang. Saya meminta para mahasiswa calon guru tersebut lebih memperhatikan secara saksama pesan dalam teks, dan bagaimana pesan itu disampaikan, juga efek apa yang diinginkan terhadap pembaca. Hasilnya, mereka membaca dengan lebih kritis dan cenderung tidak menerima begitu saja informasi yang mereka baca. 

Paradigma baru literasi, yang tak lagi berpuas diri pada kemampuan baca-tulis, tapi juga peningkatan daya nalar siswa, tentunya mensyaratkan proses peningkatan literasi yang berkesinambungan, dari jenjang pendidikan dini hingga dewasa. Tak ada jalan pintas untuk itu.


Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK