Monday, December 15, 2014

Buku dan Lenyapnya Kegelapan

David Efendi, pegiat RBK

Pada tanggal 22 April 2013 sebuah perkumpulan anak-anak muda di Yogyakarta yang tergabung dalam Rumah Baca Komunitas mengadakan refleksi gerakan literasi dengan mengambil tema “habis gelap terbitlah terang”.  Refleksi ini tepat pada tanggal hari Kartini. Tepat sasaran. Itu kesan saya sebagai salah satu pegiat gerakan literasi. Kartini telah membuka kotak Pandora penyebab selimut gelap peradaban ‘negeri terjajah’ yang diberikan label INDONESIA. Kartini dilahirkan pada 21 April 1879 dan meninggal pada tahun 17 September 1904 pada saat umur 25 tahun di tengah bangsa merasakan pahitnya pasungan penjajahan.

Buku, sebagaiman diyakini banyak orang, menjadi alat paling efektif untuk merebut kebebasan yang sebenarnya. Keyakinan ini telah menjadi bagian dari proses pemerdekaan “bangsa” Indonesia sebagiamana yang banyak dinarasikan secara apik oleh Pramudya Ananta Toer dalam tetraloginya dan karya-karya lainnya khususnya buku yang berjudul “Panggil Aku Kartini Saja”. Sosok  seorang yang dinamai Minke juga menjadi “fakta” tak terbantahkan bahwa buku/tulisan adalah alat paling efektif untuk menyebarkan ide-ide kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan.

Ketiga nilai di atas benar-benar menjadi kontribusi penting dari seorang Kartini dalam panggung nusantara-dipantara yang secara luar biasa dipaparkan oleh Pramudya AT dalam bukunya.  Pram menyampaikan gagasan-gagasan besar dan luhur Kartini dan kita bias melihat betapa mulia pemikiran perempuan pingitan ini. Pertama, nilai-nilai kebebasan. Jelas, Kartini berupaya membebaskan ‘keterkengkangannya” dengan menuliskan karya sastra dan juga melakukan korespondensi dengan dunia luar dengan menuliskan surat-surat. Kartini pernah menuliskan:

“ sebagai pengarang, aku  akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami. Door Duisternis tot Licht (habis gelap terbitlah terang).”

Kedua, nilai-nilai keadilan jelas menjadi konsen penting bagi seorang Kartini untuk secara “diam-diam” dan “sembunyi-sembunyi”untuk memperjuangan keadilan di zaman baru nanti—walau dirinya sendiri tidak mendapatkan keadilan lantaran kekeangan budaya dan paradigm kaum feudal yang berada dialam alam penjajahan. Keadilan yang diusung oleh perempuan ini adalah keadilan generasi berikutnya. Kartini adalah futurist yang baru kita sadari sekian lama. Dia berani mengorbankan status bangsawannya untuk sebuah makna ‘keadilan’. Dia menulis “mboekak peteng” untuk mengepresikan gagasannya tentang optimisme “masa depan.” Sayang sekali, karangan-karangan Kartini tidak banyak tersedia dan bahkan terjemahan atas karya Kartini seringkali ‘terkontaminasi’ oleh konstruksi dari luar (tidak sebagaimana karakter/kebatinan autentik sang penulis).

Terakhir, adalah satu kekuatan besar apabila koalisi kebebasan dan keadilan itu unsur terpenting dari nilai-nilai kemanusiaan. Ketika kita bekerja keras untuk menegakkan keadilan, menolak diskriminasi dan stigma maka kita sebenarnya sedang bekerja untuk pembebasan dan kemanusiaan itu sendiri. Memanusiakan manusia, meminjam bahasa Paulo Friere dalam pendidikan kaum tertindas (pedogogy of oppressed). Dalam bahasa Pram, pentingnya menghormati hak-hak manusia itu harus sejak ada dalam pikiran kita sehingga perbuatan pun menjadi adil—setidaknya, tidak mengancam orang lain. Manusia yang punya kreatifitas, usia muda/waktu produktif, dan kehormatan/harga diri yang harus kita tempatkan sebagai bagian utama kemanusiaan—seperti halnya diri kita yang tak mau dirampas ‘kebahagiaan’ kita.

“Kronik” Kartini ini merupakan karya yang sangat mengagumkan. Buku ini tentu sangat penting untuk dibaca semua orang terlebih untuk generasi muda. Buku yang ditulis dengan berdarah-darah di zaman yang tidak aman ini tentu perlu advokasi serius dari pemegang kekuasaan untuk melakukan politik etis: kalau dulu ada pelarangan dan pembakaran buku Pram, kini harus dibalik, diwajibkan!. Berdasarkan pengakuan Pram via penerbit lentera dipentara, ada empat jilid buku tentang Kartini tetapi hanya dua yang berhasil diselematkan. Tentu, ini kesedihan yang teramat sangat bagi saya. Bagi pegiat literasi pada umumnya.

Jika di zaman ‘demokrasi’ ini masih ada ritual pembakaran dan jenis pelarangan buku, maka sudah dapat diasumsikan bagaimana ‘kegelapan’ masa depan negara tercinta ini. Negara yang mematikan sastra dan kreatifitas dalam peradaban buku/literasi adalah Negara yang otortiter dan kerap kali menghakimi manusia. Negara selalu benar tak pernah bias disalahkan (The King can do no wrong), dan masyarakat sebagai sumber persoalan. Maka pembabatan total akan mengebiri hak-hak kemerdekaan manusia, kebebasan menjadi terampas. Republik menjadi hanya milik segelintir orang elit dengan peringai mengganggu akal sehat.


Agar kita tak dituduh hanya mampu memadamkan pelita, maka periode kegelapan harus segera kita terangi dengan obor pengetahuan dan buku adalah lampu benerang yang kita punya. Semoga menyala. Merdeka!

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK