Friday, December 26, 2014

Gerakan Pelajar di Tengah Kegalauan


 David Efendi, Pegiat Rumah Baca Komunitas

Kegalauan aktifis gerakan pelajar itu antara lain karena beberapa persoalan pertama, karena tidak mendapatkan kepuasan akan capaian-capaian yang diharapkan; kedua, akibat kelesuhan para kader itu sendiri, dan ketiga adalah lebih disebabkan oleh ‘frustasi’ melihat keadaan sekitar yang tidak sesuai dengan imajinasi yang berkembang pada dirinya, atau pandangan organisasi. Termasuk di dalamnya, adalah cuaca politik yang tidak ramah terhadap cita-cita perjuangan. Bahkan, politik harapan pun tak dapat menyelamatkannya dari kegalauan. Sebagai aktifis dan berlatar belakang terdidik, tentu kegalauan adalah hal yang harus dilestarikan jika tidak mau mati sebelum berkembang.

Dalam tulisan ini akan diartikulasikan beberapa nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam spirit gerakan pelajar yang tentu saja diharapkan progresifitas/kemajuan untuk lanskap sosial-kebudayaan yang lebih luas, lebih humanis, dan inklusif. Secara praktis, keberadaan Gerakan pelajar seperti PII, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan gerakan pelajar lainnya mempunyai tantangan paradigmatik dan tantangan praksis sangat besar mengingat basis massanya luas sekitar 20 jutaan anak-anak muda berusia antara 15-24 tahun. Mereka semua adalah subyek perubahan dan mereka betul-betul mempunyai takdir sejarah untuk mengelola bangsa ini. Tanpa mereka, kerja keras Negara untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ hanyalah sebuah ‘piknik kemanusiaan’, layaknya sebuah keterputusan sejarah yang dampaknya maha mengerikan. “pelajar hari ini, pemimpin masa depan’, begitu ungkapan bijak arab mengajarkan.

Mengingat semakin mengganasnya situasi sosial kebudayaan kita yang tepat menembak jantung para kader bangsa ini, tentu strategi untuk mempertahankan diri dari gempuran nilai-nilai yang melawan akal sehat, menghina kebudayaan bangsa, adalah sebuah keniscayaan untuk kembali mempertegas jati diri, mempraktikakkan kesadaran dan aksi kritis untuk memperoleh keberhasilan dalam deretan kemenangan-kemenangan kecil—kemanangan yang sejati yang setiap hari kita raih.

Nilai-nilai yang kita perjuangkan setidaknya  ada tiga hal yang masih sangat relevan untuk memnyumbangkan kekuatan pada gerakan pelajar kontemporer. Pertama, nilai-nilai ideologi “islam-inklusif” di mana praktik dan nilai ajaran agama akan membangun kekuatan lintas organisasi, latar belakang, status sosial sehingga ‘rahmat untuk semesta’ itu benar-benar adalah nilai yang sudah tertanam kuat dalam akal pikir dan akal budi serta tercermin dalam sikap-perbuatan. Jadi, sikap ‘open minded’ yang dibingkai oleh nilai-nilai ketulusan, kejujuran, dan keadilan itu harus menjadi bagian dari akal sehat kita. Kekuatan nilai-nilai ini yang akan menjamin berlansungnya kehidupan bangsa—dari bayi bangsa menjadi anak semua bangsa.

Kedua, memperkuat tradisi literasi sebagai bagian perjuangan yang tak boleh diceraikan atau disia-siakan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tingkat melek baca dan melek wacananya tinggi. Dengan dalih apa pun, merebut ilmu pengetahuan dan hasanah kebudayaan adalah dengan jalan membangun budaya literasi—baik membaca, menulis, dan mendiskusikannya untuk mendpaatkan pemahaman dari dialektika yang konstruktif. Tanpa itu, sejarah akan gampang dilupakan dan tanpa buku peradaban akan membisu. Dari tradisi literasi ini pula, proses pengilmuwan gerakan menjadi sangat mungkin untuk didesiminasikan menjadi aksi nyata—mendapatkan kemenangan kecil terus menerus sampai menjadi gerakan yang massif. Kesadaran literasi telah berkonstribusi membangun  kesadaran dan merebut kebebasan dalam sejarah Indonesia. Kita tidak bisa membayangkan, tanpa propaganda tulisan bangsa ini mungkin saja maish jauh di bawah lumpur penjajahan.

Dengan demikian, aktifis gerakan pelajar harus meneladani bangsa sendiri sebelum menaladani bangsa-bangsa di atas angin, bangsa-bangsa dari semua bumi manusia. Tak boleh tidak, para pengggerak pelajar haruslah tekun dan sabar membaca jejak pejuang literasi sejati: membaca Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Pramudya AT, Rendra, dan masih banyak lainnya, membaca perjuangan para intelektual dan aktifis yang menjadi martir sejarah dengan mempelajari dan meneladani anak-anak muda dari anak kandung peradaban seperti Munir, Wiji Tukul, dan masih banyak lainnya. Anak-anak muda sekarang harus menyibukkan mencari kekuatan diri sendiri, dari bangsa sendiri, bukan sibuk mencari kelamahan sambil memberhalakan keunggulan bangsa-bangsa lain—yang kadang mereka tak segan-segan merebut kemerdekaan anak bangsa.

Terakhir, nilai-nilai “dekonstruktif” sebagai karakter anak muda. Keberanian keluar dari pakem kelaziman, “thinking out of the box”, berani salah, tidak takut resiko, berani tidak popular, adalah permintaan sejarah yang mestinya dipenuhi oleh aktifis pelajar. Kita saksikan anak-anak muda hari ini yang ingin terkenal, ingin mendapat pujian, dari pada berkhidmat pada nilai-nilai kemanusian sesama teman seperjuangan dan mendekatkan pada basis massa tanpa terdistorsi kepentingan sesaat. Pelajar yang tidak berani melawan arus dan takut mengalami kerugian masa depan, maka pada saat itu juga mereka telah berubah menjadi sosok manusia tua renta yang tinggal menunggu nyawa meregang dari sel-sel darahnya.

Tentu, berani menempuh “jalan lain” bukan tanpa argumentasi, bukan ‘membabi buta’ asal berbeda karena gerakan pelajar sudah mencapai pada tahap pengilmuwan (“masyarakat ilmu”, meminjam istilah Kuntowijoyo) sehingga tak beralasan jika langkah yang ditempuh hanyalah euphoria tanpa akar pengetahuan). Dengan kekayaan ilmu pengetahuan karena budaya literasi telah well established dalam diri kader, tentu saja langka-langka dekonstruktif dalam gerakan menjadi sangat kuat untuk kemudian diwujudkan dalam beragam kegiatan yang ‘positif’—misal, advokasi kebudayaan lokal, nilai-nilai counter hegemoni, dan anti-dominasi.


Kemampuan mengagendakan dan menngelola perubahan itu penting bagi organisasi pelajar karena memang dinamika menjadi tuntutan zaman. Anak-anak muda dengan kemampuan khusus menafsir tanda-tanda zaman ditunjang oleh kemampuan literasi yang kuat tentu mendesains sebuah perubahan yang pro-pelajar dan pro-terhadap cita-cita perjuangan menjadi hal yang tidak mustahil untuk di raih. Bahkan dalam kegiatan sehari-hari msalnya dalam kegiatan pro lingkungan, pemberdayaan komnitas, kedaulatan pelajar, dan beragam bentuk kemenangan kecil lainnya itu akan sangat intensif untuk diperoleh—sebagai bekal mendapatkan kemanangan yang besar pada waktunya nanti. Sebagai penutup, ketiga nilai-nilai itu seharusnya mempu menghentikan kemandegan gerakan dan sebagai manusia kita tak boleh “menyerah dengan kelelahan.”

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK