Friday, December 26, 2014

Hati-Hati Mati, Kawan (Resensi Buku Martin Aleida "Mati Baik-Baik Kawan")

Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Setidaknya, dalam sejarah diskursus sastra di Indonesia, kita mencapai perkembangan yang baik. Pembebasan tiga tahanan politik pada tahun 1970-an, dua di antaranya adalah Pramoedya Ananta dan Daoed Joesoef memberikan warna yang lain. Kita bisa menyebut warna itu sebagai apa saja. Tetapi yang jelas, muncul penerbitan yang penting dan berpengaruh; Hasta Mitra. Dan tetralogi buru karya Pram diterbitkan lewatnya. Tetapi apa yang dapat kita pastikan dari kehadiran-kehadiran tersebut? Jika pada kenyataannya humanisme universal sebagai mahzab sastra berkembang lebih meluas di Indonesia? Ketimbang realisme-sosialis, selain catatan spektakuler penjualan karya-karya Pram?

Martin Aleida, setahu dan sedapatnya saya peroleh, bukan nama baru. Dulu sempat bekerja di Tempo. Dan Goenawan Mohamad, saat itu adalah pimpinannnya. Tetapi, bagi penikmat sastra populer, nama Aleida sama sekali tidak tampak. Nama-nama beken seperti Nh. Dini, Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge, tentu saja menutup sebagian akses kita terhadap nama-nama yang memang menyembunyikan cara-caranya menangkap dan melukis realitas, seperti Saut Situmorang, Hersri Setiawan, dan Aleida.


Tetapi, Aleida, sebagaimana penulis, sastrawan, budayawan lainnya, punya kekhasan. Aleida, adalah seorang pembaca Hamka dan Pram. Tapi seperti pengakuannya dalam suatu wawancara dengan Fatimah Fildzah Izzati, tentang pengaruh dua sastrawan tersebut, dijawabnya “...walaupun cerita-cerita mereka itu sangat memikat, tapi kalau terpengaruh betul sih tidak.” Karangan lamanya yang dicetak ulang beberapa kali Mati Baik-Baik Kawanmenggambarkan bunyi yang sama. Tentang sebuah hak, dan kejengkelan masa lalu. Atau tentang perpindahan antara kedalaman-kedalaman pelaku dalam cerita yang dia hadirkan. Pernah muncul, cerita dengan sudut yang berlainan. Aleida seperti memahami apa yang dipikirkan istri bekas jegal orang PKI. Maka wajar saja jika kita harus menunggu (atau kita ditutup berharap jauh-jauh) Aleida punya epigon.

Dalam sejarah sastra, ada beberapa deret nama yang tidak dapat disebut sebagai yang-utama. Widji Thukul misalnya, disebut sebagai “catatan kaki”. Penikmat sastra populer yang ahistoris tentu tidak menemukan estetika dalam puisi Thukul, atau cerpen Aleida. Yang kebanyakan mereka tunggu adalah “puisi mbeling”, atau sastra yang bicara soal kasur-kasur, atau dalam bahasa Saut adalah “ideologi tempat tidur”. Cerita tentang kekerasan arbitrer sekelompok orang bukanlah topik yang bernilai. Paling-paling, sastra realisme-sosialis dipandang sebagai pendakian pubertas seorang sastrawan muda. Dengan bahasa yang sarkastik, penikmat sastra realisme-sosialis dipandang sekedar pengaruh darah panas. padahal, ada saja yang menunggu sastra tentang “kasur”, sebagian penikmat sastra populer itu ingin terbang menjulang ke langit beserta kalimat yang menyihir. Dan sudah pasti, tidak ingin melihat dunia yang profan.

Aleida bicara dalam beberapa tema tentang pengasingan. Rasa tak bersahabat. Dan tatapan mata yang melaksanakan tugasnya; memata-matai. Bagi pembaca sastra yang lahir sesudah luka-luka peperangan ideologis, tidak bisa berbuat apa-apa. Kita adalah penikmat yang berjalan di atas pergulatan dan darah-darah sejarah. Yang bisa kita lakukan adalah belajar darinya. Syukur-syukur bisa memperbaiki. Akhirnya kita hanya bisa berbicara tentang bagaimana hak-hak manusia tidak terabaikan lagi. Satu kata, Adil.

Mengutip Asep Sambodja, cerpen-cerpen Aleida adalah “kesaksian”. Penuturan yang menyatakan realitas. Aleida, seperti yang dapat kita hayati sendiri, menangkap realitas begitu kuat, saya kutipkan dari Wasiat Untuk Cucuku:

“Bukan permesuman itu benar yang ingin kuwasiatkan untukmu. Perempuan-perempuan itu! Perempuan yang menunggu di atas becak-becak itu adalah gadis-gadis kecil yang dikorbankan orangtua mereka untuk mendapatkan uang gampang. Ketika mereka memasuki usia belasan tahun dan baru mendapat mens beberapa kali, mereka dijodohkan. Setelah nikah sebulan-dua-bulan, perceraian mereka diatur untuk mendapatkan surat cerai. Dengan surat cerai ini gadis-gadis kecil itu dijual kepada para pedagang manusia dan dikirim ke kotaku.”

“Aku tak sudi kau melihat kekerasan dan perlakukan semena-mena terhadap anak-anak di kota ini. Biarlah kenyataan itu hanya sampai ke telingamu sebagai bahan pergunjingan belaka. Kota ini, sebagaimana yang kukatakan, adalah sahara bagi anak-anak. Anak-anak tak punya tempat di sini, apalagi binatang.”

Apa yang ditangkap Aleida? Tuturannya untuk seorang cucu yang baru lahir. Euforia menanti seorang cucu. Kebanggaan seorang atok. Kekhawatiran seorang sastrawan. Dan seperti judul kisahnya, itu adalah sebuah wasiat. Kekhawatiran Aleida, kekhawatiran manusiawi. Aleida tergelitik untuk mengungkap. Dan sedikit berdoa untuk sang cucu.

Seorang pembaca yang curiga dengan tema-tema ontologis Aleida tentang kematian, silahkan membaca catatan penutup Wasiat untuk Cucuku,

“Usiaku 85 Desember ini (saat itu tahun 2011-pen). Kalau kau tanyakan bagaimana sesungguhnya kematian yang kuinginkan, maka jawabanku adalah kematian di ujung tanganmu. Selama hidupku aku telah menyelesaikan delapan maraton. Orang bilang, sekali ikut dalam lomba lari berjarak 42.195 meter itu, maka serangan jantung akan terhindar selama delapan tahun. Aku percaya aku tidak akan dibunuh serangan jantung. Arswendo, kawanku, bilang betapa malunya mati kena stroke. Aku tak mau seperti itu. Kumau kau masukkan aku ke ruang operasi. Robeklah dadaku, pukulilah jantungku sampai dia berhenti berdenyut”.

“Kau” bisa berarti sang cucu. Bisa juga “Kau” si pembaca. Seperti kebanyakan teks, penunjuk “Kau” selalu punya kelekatan dengan si pembaca, sedangkan “sang cucu” adalah tokoh yang ditentukan oleh penulis. Tetapi pesannya, dapat menjadi informasi bagi si pembaca. Si pembaca menerima kata “Kau” sebagai “Kau”. Meskipun kadangkala, si pembaca tidak ingin melangkahi kemauan penulis. Si Pembaca yang sadar juga tidak ingin kurangajar terhadap si “Kau” yang sebenarnya. Karena sang cucu sebagai “Kau” adalah pewaris wasiat yang sebenarnya. Meskipun, penulis manapun selalu bicara kepada “Kau” siapa saja.

Aleida sebagai penulis, tahu bagaimana wasiatnya itu akan dibaca. Dan ada maksud khusus untuk meluapkannya dengan cara yang berkesan—sedapatnya menghindari kemungkinan ironis. Tapi, “...pukulilah jantungku sampai dia berhenti berdenyut” adalah perintah. Mungkin hanya sang cucu yang bisa melakukan itu. Kalau “Kau” sebagai si pembaca, tentu maksudnya berubah. Aleida, sebelumnya, menyimpah sebuah harapan, “Aku percaya aku tidak akan dibunuh serangan jantung”.


Yogyakarta, 26 Desember 2014
DeJure Rumah Baca Komunitas

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK