Wednesday, January 9, 2013

Paradoks Negara


Oleh : David Efendi
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Kehadiran negara sebagai penjamin atas hak-hak dasar warga negara kembali dipertanyakan ketika kembali mencuat kasus kekerasan oleh oknum TNI yang menimpah jurnalis dan warga biasa di Pekan Baru, Riau kemarin dalam kegiatan meliput di lokasi jatuhnya pesawat Hawk 200.  Kejadian itu mengundang protes dan solidaritas public di berbagai lokasi di tanah air. Mereka sepakat kekerasan yang dilakukan oknum TNI AU melanggar UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Mereka juga sepakat, kekerasan terhadap fotografer Riau Pos, Didik Herawanto wajib diusut sampai tuntas di jalur hukum. Hal ini perlu, agar tidak terulang dan terulang kembali.

Berita itu kembali mengejutkan, setelah beberapa pekan negara diramaikan dengan pertanyaan, “kemana Presiden kita?” yang mana subtansinya mengandung kegalauan bahwa negara itu tidak ada, negara absen dalam persoalan serius yang mengancam kedaulatan hukum dan undang-undang. Kini oknum negara itu hadir, tetapi dengan wajah brutal dan bukan untuk melindungi tetapi bermain 'hakim' sendiri. Inilah yang kita sebut sebagai paradok negara! 

Sebagai negara hukum, presiden adalah pemegang kekuasaan politik sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Secara politik, presiden dipilih rakyat langsung sehingga presiden sebagai representasi negara dapat secara syah melakukan tindakan  walau bersifat kekerasan (Weber, 1919) demi menjaga kebiakan umum---bahwa hukum dapat ditegakkan. 

Kasus pemukulan atau kekerasan oknum angkatan Udara di Riau adalah wujud bahwa negara itu hadir tetapi hadir dalam wajah bringas tanpa orientasi penegakan hukum bahkan tindakan itu cenderung melawan hukum seperti halnya massa bringas menghakimi oknum polisi di berbagai tempat seperti di sekitar kawasan penambangan freepot, di Medan, dan sebagainya. Artinya hukum massa berlaku dan oknum penegak hukum dan agen pengamanan negara melakukan hal yang sama. Kasus penghilangan nyawa yang dialami oleh komunitas Ahmadiyah di Jawa Barat dan komunitas Syiah di Madura juga peristiwa yang jelas menggambarkan negara absen dan diam. Kealfaan negara ini menjadi kesalahan yang sangat serius manakalah alasan-alasan sosiologis dan politik memperlihatkan bahwa negara kita lemah. 

Negara lemah  ditandai dengan rendahnya kapasitas negara (weak state, incapacity to govern)  dalam melindungi dan memproteksi hak-hak dasar individu dalam masyarakat.  Ketidakmampuan itu kemudian melegalisasi  hukum rimba dimana komunitas yang kuat dapat memangsa komunitas lemah tanpa konsekuensi hukum yang berat. Disisi lain, seringkali negara hadir (berwujud polisi dan tentara) hanya berupaya mengamankan asset-aset pemilik perushaaan besar walau alat produksi mereka sedang diperkarakan oleh rakyat. Tetapi jelas, kasus Mesuji yang menewaskan dan menghilangkan banyak orang itu adalah wujud bahwa negara hadir untuk memusnahkan rakyat kecil. Ketimbang menyediakan jasa keamanan bagi seluruh rakyat tanpa pandang buluh. Dalam konteks inilah negara hukum yang kita yakini sebenarnya sedang dikhianti dari berbagai sisi.   

Rentetean fenomena yang menunjukan situasi kontraproduktif baik disebabkan oleh hadir atau ketidakhadiran negara itu menjadikan kita terus berfikir sebanarnya negara ini hendak kemana dan mau dibawah kemana. Kasus kekerasan terhadap insan media yang sudah berulang kali di era pasca reformasi ini menjadikan pertanyaan besar bahwa pola perolaku militer yang ‘kejam’ dan tidak humanis kepada masyarakat sipil ini terus berlanjut dengan aktor yang berubah (change and continuity) sehingga persoalan dihapuskannya dwi fungsi ABRI bukan jawaban pemangkus untuk mengurangi dampak buruk dari militer.

Dalam materi amandemen UUD 1945 tahun 2002 itu disebutkan bahwa reformasi setidaknya menuntut beberapa hal mendasar yaitu amandemen UUD 1945, mencabut dwi fungsi ABRI, pemberantasan KKN, otonomi daerah, demokratisasi, dan kebebasan pers. Keenam point itu jika dirangking tentu saja baru secara sempurna dijalankan adalah penghapusan dwi fungsi ABRI. Amanat reformasi lainnya nampaknya bisa dikatakan masih jauh panggang dari api terutama sekali persoalan kebabasan pers di Indonesia.

Pada tahun 2012 ini Freedom House merilis rangking kekebasan pers di dunia. Indonesia menempati urutan ke 97 dari 197 negara dan mendapatkan status ‘party free” artinya kebebasannya terbatas atau baru sebagaian. Untuk kawasan Asia Pasifik Indonesia harus puas dengan urutan ke-22 dari 40 negara untuk kebebasan pers  atau media.  Artinya perjuagan amanat reformasi dan kelompok civil society masih sangat panjang untuk dapat menjadi alat control yang independen dan tidak dihantui oleh bayang-bayang kekerasan ‘negara’ atau akibat ketidakhadiran negara. 

Rilis freedom house itu dipublis sebelum kasus kekerasan oleh oknum Angakatan Udara di Pekan Baru. Artinya rangking kebebasan pers kita bisa semakin terpuruk apabila lembaga internasional terus saja memantau apa yang terjadi akhir-akhir ini terhadap insan media. Setidaknya ini menjadi cambuk, bahwa negara kita belums ecara subtansial demokratis akibat kebebasan pers yang terus saja dianggap menjadi ancaman bagi ‘penguasa’ dalam hal ini lembaga militer baik polisi atau tentara yang rishi terhadap pemberitaan media.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK