Friday, January 18, 2013

Runtuhnya Moralitas Kaum Intelektual

Oleh : Masmulyadi Wijaya
Peneliti PUSHAM UII


Dunia akademik benar-benar terpukul. Setelah pemenjaraan sejumlah tokoh intelektualseperti nazaruddin syamsudin, daan dimara, dan mulyana w kusumah dalam kasus korupsi di komusi pemilihan umum (KPU). Kini sejumlah guru besar kita dalam proses menjadi saksi pada kasus dugaan korupsi di kamous merah. Kesaksiannya pun bukan dalam kapasitas sebagai saksi ahli. Di tempat yang lain kasus pembajakan skripsi marak terjadi penyuapan PT Monsanto atas sejumlah pejabat Indonesia dengan melibatkan tiga perguruan tinggi negeri (dua di Pulau Jawa dan satu di luar Jawa). Mereka ditengarai terlibat sebagai peneliti dalam proyek kapas transgenik yang akhirnya memberikan izin dan rekomendasi ilmiah kepada perusahaan asal amerika serikat itu menjalankan aktifitas bisnisnya di Sulawesi Selatan. Tawuran yang terjadi setiap saat yang melibatkan mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan sopir angkutan kota, mahasiswa dengan aparat keamanan. Bahkan sampai membakar kampus sendiri.

Praktik jual beli gelar dan mark up beserta proyek-proyek lainnya. Gerakan mahasiswa yang bahkan (maaf) menggauli ideolisme gerakan yang pernah dibangun oleh founding father bangsa ini. Gerakan mahasiswa dijual demi segepok materi oleh para penggeraknya. Fakta-fakta tersebut adalah pertanda betapa rusaknya tatanan negeri. Kampus sebagai ruang tempat kemajemukan ini diafirmasi. Di mana nilai-nilai kejujuran dan antikorupsi itu diajarkan. Kampus tempat harapan keadilan dan kejujuran disandarkan. Kampus adalah simbol dan nilai herousme kini tak lagi menampakkan simbol-simbol itu semua. Simbol itu mungkin sudah, pergi entah kemana.

Di Kampus kini, dibangun tren premanisme, dunia yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan akademik. Itu dilakukan untuk membungkam anak-anak kritis yang setiap saat bisa melempar kritik kepada almamaternya. Lagi-lagi ini adalah perilaku tak akademik yang tidak pantas dipelihara dunia kampus. Premanisme kampus boleh jadi hari ini menjadi tren baru bagi penyelesaian masalah di kampus. Dunia premanisme kampus memang sengaja dipelihara dengan menggunakan anak-anak mahasiswa untuk membenturkannya dengan mahasiswa lain.

Fakta inilah yang terjadi pada kasus tawuran mahasiswa beberapa hari terakhir di Universitas Negeri Makasar (UNM). Terjadinya fenomena premanisme kampus sesungguhnya menjadi cermin bahwa seakan tidak sah penyelesaian masalah jika tidak dilakukan dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Padahal, penyelesaian masalah seperti tiu adalah penyelesaian masalah yang lagi-lagi tak akademis. Penyelesaian persoalan dengan cara-cara kekerasan sekali lagi adalah bagian dari cara-cara yang tidak berbudaya. Penyelesaian masalah mestinya dilakukan secara dialogis dengan cara-cara yang beradab. Semua orang merasa dihargai dan diperlakukan secara manusiawi.

Kehilangan Identitas

Sikap hedonisme yang melanda mahasiswa seakan memberikan trade mark bahwa kampus saat ini tak ubahnya sebuah mall. Sebuah pasar ilmiah. Mahasiswa datang ke kampus mengikuti mata kuliah,  membei diktatnya para dosen, lalu pulang kerymah atau ketempat kos. Itulah siklus yang dijalaniseorang mahasiswa tradisi diskusi yang dulu menjadi ciri mahasiswa tak pernah lagi kelihatan di kampus-kampus pun kampus menjadi tempat berkumpul tetapi berkumpul untuk sekedar canda yang tidak memiliki makna sama sekali.

Roh kampus benar-benar kehilangan identitas sebagai ruang ilmiah dan intelektual. Seorang mahasiswa yang kritis tidak boleh mendapat ruang di kampus  mereka karena kritisisme terpaksa tidak bisa lulus pada suatu mata kuliah tertentu karena berseberangan pandangan dengan dosennya. Kondisi inilah yang dikritik oleh Aslan Abidin dalam sebuah artikelnya di harian Tribun berjudul Universitas Taturu di Indonesia Timur, beberapa waktu lalu.

Menurut sastrawan muda itu, bahwa kampus sejatinya adalah kamar bagi tercapainya ‘ejakulasi’ intelektual. Tetapi kini berubah wujud menjadi forum yang hanya sekedar untuk menikmati makan dan minum. Kesan ini lalu membangun image pubik bahwa perguruan tinggi tidak lagi memiliki kekuatan dan tradisi intelektual yang memadai untuk melakukan transformasi ilmu pengetahuan kepada anak didiknya.

Anda mungkin bertanya kenapa para intelektual itu terjebak dalam dunia yang tak intelektual? Jawabannya karena intelektual itu meninggalkan garis orbitnya. Apa garis orbitnya?. Garis orbitnya adalah berupa nilai. Nilai inilah yang dijunjung dan dijadikan  sebagai standar bertingkah laku bagi seorang intelektual-akademisi. Ketika dia sedikit saja keluar meninggalkan nilai-nilai ini, maka dia tak ada bedanya dengan masyarakat lain di luar kampus. Nilai-nilai tersebut adalah kejujuran, kebenaran, pengabdian masyarakat dan objektifitas. Oleh karena itu konsistensi dalam memegang teguh prinsip-prinsip ideal itu sangat penting.

Jangan karena materi dan kekuasaan kaum intelektual mengorbankan nilai-nilai idealitas. Sebab materi dan kekuasaan merupakan godaan yang paling dahsyat membayangi kaum intelektual. Tidak jarang orang terjebak dan lalu melacurkan diri dalam kekuasaan karena tarikan materi yang lebih menjanjikan ketimbang berprofesi sebagai pegajar. Karena itu pilihan menjadi seorang akademisi dan intelektual adalah pilihan sadar yang lahir dari sebuah pemaknaan yang dalam akan arti pentingya kaum intelektual. Sehinggga sekeras dan segencar apapun godaan itu karena kita sadar bahwa intelektual adalah jalan dan pilihan kita, maka istiqomah pada pilihan itu.

Ejakulasi Intelektual

Dalam keadaan seperti itu tidak ada pilihan lain kecuali kembali membangun tradisi intelektual yang pernah lahir di negeri ini. Dan harapan itu ada di kampus. kenapa kampus? karena kampus merupakan tempat lahirnya kader-kader intelektual. Dari kampuslah diharapkan muncul tokoh-tokoh bangsa yang cerdas dan visioner. Dan dari kampus pulalah nilai-nilai kejujuran dan subjektifitas diharapkan terinternalisasi. Membudayakan bersikap jujur, objektif, dan menghargai kebenaran adalah bagian dari upaya membangun tradisi intelektual. Untuk sampai pada ‘ejakulasi’ intelektual maka pendidikan harus dipandang sebagai proses bukan hasil. Sehingga mahasiswa dan seluruh civitas akademika perguruan tinggi tidak lagi mengejar target bagaimana mahasiswa bisa menjadi sarjana dan cepat bekerja.

Tetapi berpikir bagaimana mahasiswa bisa mengenali fakta-fakta sosial, ekonomi dan politij sehingga bisa melakukan analisis dan pemecahan masalah atas fakta-fakta yang dilihatnya. ‘orgasme’ intelektual hanya akan dicapai jika terbangun budaya intelektual yang kuat dan memadai. Budaya intelektua ini akan diraih manakala terbangun kesadaran dalam diri mahasiswa atau dosen bahwa mereka adalah agen-agen intelektual yang memiliki fungsi sebagai penebar kebajikan. Mereka para intelektual harus melihat fakta-fakta sosial sebagai alat rekayasa untuk perubahan masyarakat. Dan karena itu puncak ‘orgasme’ intelektual adalah terjadinya transformasi sosial dari keadaan tidak adil kepada keadaan yang berkeadilan. Dari tak akademis menjadi akademis. Wallahu A’alm Bisshowab.

Sumber : Koran Tribun Timur, 2005

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK