Wednesday, January 9, 2013

Pembaca Ideologis vs Pembaca Pragmatis

Oleh : David Efendi
Direktur Rumah Baca Komunitas


Terminologi ideologi dan deideologisasi nampaknya seringkali disematkan pada gerakan-gerakan agama dan partai politik.  Banyak orang mengatakan bahwa ideology sudah berakhir (the end of ideology) dan beberapa meyakini bahwa leiberalisme memenangkan kompetisi ideology dunia (Fukuyama, 1998). Di Indonesia, beberapa kalangan juga mengamini adeologi yang ada sekarang hanyalah ideology perut, ideology pasar yang tidak memanusiakan manusia. Tetapi gerakan re-ideologisasi belum benar-benar berakhir karena ternyata ideology itu sendiri mewakili satu bagian kemanusiaan (jiwa).

Pembaca ideologis

Situasi yang memberikan pelajaran kepada kita adalah mengapa ada beberapa manusia  yang sampai berdarah-darah membaca buku dan mempelajari berbagai data untuk menjawab keraguan atau menemukan bangunan teori baru. Jenis manusia ini terlihat pada diri ilmuwan-ilmuwan terdahulu atau saya sebut  ashabiqu al awwalun seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusd, al-Jabar, Muhammad Abduh, Arkoun, dan dari belahan bumi “Barat” misalnya ada Galeleo, Plato, Aristoteles, Hobes, Einstein, dan sebagainya.  Mereka inilah yang kemudian dapat disebut sebagai pembaca ‘ideologis’.

Jadi, pembaca ideologis secara sederhana dapat diartikan sebagai metode pembelajaran yang didapatkan baik dari membaca text  maupun non-textual untuk memberdayakan diri dan masyarakat secara luas. Pemikiran ilmuwan terdahulu, misalnya, diproyeksikan jauh ke depan untuk kehidupan yang lebih baik untuk ratusan generasi setelahnya. Ideology mereka adalah keberpihakan terhadap nilai kebenaran, humanisme, dan penghargaan atas karya-karya terdahulu. Walau demikian, ada juga jenis pembaca yang mempunyai orientasi ‘merusak’ yaitu upaya mempelajari sesuatu ditujukan untuk dekonstruksi yang melawan kebenaran hakiki. Contoh ini adalah Darwin yang menemukan teori evolusi yang melawan kebanaran dalil agama-agama samawi.

Pembaca Pragmatis

Weber mempunyai teori tentang tindakan manusia yang salah satunya adalah tindakan bertujuan. Misalnya orang emmbaca untuk mengerjakan tugas dari guru/dosen. Membaca bukan dilandasi oleh kesadaran tetapi kepentingan jangka pendek (pragmatis). Situasi ini menjelaskan bahwa membaca bukan menjadi bagian tradisi (internalized) tetapi hanya menjadi mekanisme pekerjaan yang diakibatkan oleh tuntutan dari luar (membaca terpaksa, terpaksa membaca). Jenis pembaca ini cukup banyak dalam dunia pendidikan  di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dari penelitian Taufiq Ismail (2003) yaitu siswa SMA tidak emmbaca karya sastra (nol buku) karena bukan bagian dari penugasan sekolah. Manusia dididik dengan cara mesin diberikan tugas yang sudah paten dan dikerjakan secara mekanis. Masyarakat kemudian menjadi instan, suka menerabas yang penting emmenuhi tugas/kewajiban dari guru. Inilah unintended consequence dari metode pembelajaran yang salah kaprah.

Beberapa jenis pembaca lain misalnya, membaca sebagai hiburan, mengisi waktu luang, dan mohon maaf, kadang hanya iseng. Pembaca pragmatis bisa saja merasa puas tetapi pada umumnya tidak dilanjutkan dalam upaya berbagai informasi dan membela komunitas.

Pragmatisme itu menjalar tidak hanya dalam urusan perut, urusan pendidikan/pembelajaran sudah berkembang mental menerabas sehingga wajar saja banyak kasus plagiasi baik dilakukan mahasiswa atau dosen demi meraih suatu ‘keuntungan’  jangka pendek.

Pembaca pragmatis dan iseng tidak selalu dalam makna negatif. Ada banyak juga tipe pembaca yang memang sudah menjadi tradisi akibat habitus (lingkungannya) walau tidak serta merta diikuti dengan mengimplementasikan dalam tindakan advokatif. Tetapi, se-pragmatis dan se-iseng apa pun jika masih ada waktu membaca artinya da potensi besar untuk menjadi pembaca ideologis. Anak bangsa ini, seperti halnya Sukarno, Tan Malaka, Hatta adalah pembaca ideologis yang mencurahkan seluruh pikiran, tenaga untuk mengantarkan bangsa menjadi lebih unggul secara lahiriah dan bathiniah, secara ideology dan kesejahteraan sosial-ekonomi.

Ada jenis pragmatisme yang lebih berbahaya. Suatu saat di beberapa kesempatan yang sama ada diskusi kecil terkait film yang diangkat dari novel. Saya sendiri tidak mengoleksi film-nya tetapi saya membeli novelnya seperti Laskar Pelangsi, Sang Pemimpi, Nagabonar Jadi 2, Di Bawah Lindungan Kakbah, Hafalan sholat delisa, sang pencerah dan masih banyak lagi. Ketika ada teman mengenalkan novel-novel tersebut lawan bicaranya langsung  nyeletuk, “lebih enak nonton langsung film-nya.” Saya hanya berfikir ternyata budaya nonton jauh lebih banyak jamaahnya ketimbang membaca. Kepuasan menonton adalah kepuasan yang hobi menonton dan jarang membaca.

Bagi pembaca ideologis, penggila baca dan jenis manusia kutu buku tentu kepuasan hasil membaca jauh lebih rasional karena selain melibatkan mata juga melibatkan pikiran, hati, dan imajinasi ketika membaca. Dari sinilah rahasia terkuak, kenapa membaca itu dapat menyehatkan. Membaca dapat mengurangi stress karena pelibatan indra yang lebih interaktif.

Menjadi pembaca adalah kewajiban. Menjadi pembaca ideologis adalah sebuah pengharapan dan cita-cita mulia. Dari sini pula, nilai-nilai pembelaan dan kemanusiaan kita tancapkan. Demikian semoga manfaat.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK