Thursday, October 17, 2013

Buku Terlarang dalam Kisah-kisah Fiksi

Oleh : Dian

Dalam sejumlah fiksi, antara lain novel Libri di Luca, dikisahkan bahwa buku merupakan sumber kekuatan. Para lector, dalam cerita Mikkel Birkegaard tersebut, adalah orang-orang yang mampu membangkitkan kekuatan dari pembacaan buku untuk memengaruhi dan bahkan menghancurkan orang lain. Pertarungan terjadi di antara orang-orang yang memperoleh kekuatan dari pembacaan buku untuk tujuan-tujuan jahat melawan orang-orang yang menentang mereka.

Lain lagi dengan fiksi yang dikisahkan oleh Allisson Hoover Bartlett. Dalam The Man Who Loved Books Too Much, ia menceritakan kisah seorang pencuri yang obsesif terhadap buku–konon, ini merupakan kisah nyata. Karakter utama buku ini selalu berpikir bagaimana cara mendapatkan buku tertentu sekalipun harus dengan menipu dan mencuri.

Namun, dalam fiksi-fiksi lain, buku dikisahkan sebagai karya yang harus dihancurkan karena pikiran di dalamnya dianggap mengancam ketenteraman, mengganggu kekuasaan, dan mengusik hegemoni kebenaran oleh segelintir orang. Ray Bradbury, dalam novel Fahrenheit 451 (terbit tahun 1953), umpamanya, mengisahkan sebuah masa depan ketika buku dilarang. Penguasa membentuk pasukan khusus yang siap menghancurkan buku apa saja sebelum pikiran yang dicetak dalam buku itu mengusik benak masyarakatnya.

Bradbury mengaku memperoleh inspirasi untuk menulis Fahrenheit 451 dari pembakaran buku oleh Nazi—salah satu peristiwa bersejarah paling terkenal. Ia juga prihatin dengan sensor dan ancaman terhadap buku di AS waktu itu, ketika berlangsung era McCarthy yang sangat antikomunis dan mencurigai warga Amerika masa itu. Judul novel ini merujuk kepada anggapan bahwa pada temperatur itu kertas mulai terbakar (saya tak tahu, apakah memang pada temperatur 451 F kertas sudah terbakar).

Buku, ingatan, dan pikiran juga menempati posisi sentral dalam novel Nineteen Eighty-Four karya George Orwell. Bung Besar (big brother, saudara tua) mengawasi seluruh penduduk Inggris ketika negeri ini, dalam cerita Orwell, menjadi negara sosialis yang fasistis pada tahun 1984. Di bawah pengawasan yang sangat ketat, seorang warga memberanikan diri menuliskan pikirannya dalam jurnal harian—tindakan yang sangat terlarang.

Orwell menggambarkan bagaimana kekuatan Bung Besar sanggup menaklukkan warga pembangkang ini dengan cara mencuci otaknya. Bung Besar tidak membiarkan ada satu lubang memori pun yang tidak terisi oleh kata kesetiaan kepada dirinya. Seluruh buku dan teks tertulis lainnya harus dihancurkan.

Dalam The Case of Charles Dexter Ward, H.P. Lovercraft menggambarkan sekelompok orang yang bertekad menghapus ingatan keturunan penyihir dengan cara membakar perpustakaan miliknya. Terbakar sudah segala kitab penyihir. Dengan cara itu, mereka berharap keturunan penyihir tak lagi mampu menguasai mantra-mantra yang sanggup membangkitkan kekuatan yang mengerikan.

Ketakutan terhadap buku juga menjadi alasan penguasa negara untuk menghancurkan buah pikir manusia ini dalam kisah Voices (Annals of the Western Shores). Novel karya Ursula K. Le Guin ini mengisahkan seorang gadis bernama Memer yang berusaha membaca buku di perpustakaan rahasia yang luput dari penghancuran oleh penguasa pendudukan. Memer berjumpa dengan pendongeng yang bersama-sama kemudian melakukan perlawanan.

Banyak orang yang menganggap pandangannya sebagai satu-satunya kebenaran menjadikan buku sebagai ancaman. Banyak despot yang tak mau terungkap kecurangan dan kekejiannya menyita dan membakar buku. Mereka lebih suka memilih jalan pintas ketimbang menghabiskan waktu untuk berdebat meladeni para penulis yang mengancam kuasa mereka. Kisah-kisah itu dituangkan dalam novel dengan begitu menakutkan, namun kisah nyatanya seringkali lebih mengerikan.


No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK