Tuesday, October 22, 2013

Saling Menyapa Antarsubkultur

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Seorang negarawan sejati pasti bisa mengendalikan keakuan (egoisme) politik kekuasaannya untuk kepentingan yang lebih besar dan mulia--sebutlah kepentingan bangsa dan negara. Bung Karno dan Bung Hatta sebenarnya tidak perlu berpecah sekiranya masing-masing pihak mampu memahami subkultur yang berbeda. Berdasarkan pemahaman itu, Bung Hatta semestinya akan lebih sabar menghadapi egoisme politik Bung Karno yang pada era 1950-an tampak mulai sulit dikendalikan.

Sikap Bung Hatta yang selalu menggunakan “kultur pintu depan” (terbuka dengan bahasa dan argumen yang tajam) jelas tidak enak bagi Bung Karno. Perpecahan politik dua proklamator ini ternyata berbuntut panjang bagi perjalanan sejarah Indonesia merdeka. Integrasi nasional hanya bisa menjadi mantap, jika ratusan subkultur yang sangat kaya di nusantara mengembangkan budaya saling menyapa, saling memahami.

Ada ungkapan Jawa yang tidak dipahami Bung Hatta: “Ngono yo ngono, nanging ojo ngono” (Begitu ya begitu, namun jangan begitu). Sekiranya Bung Hatta sedikit bisa mengendalikan kekuatan rasionalnya berhadapan dengan Bung Karno dengan subkulturnya yang canggih, tetapi ruwet itu, perpecahan akan dapat diatasi. Sebagai seniman, Bung Karno punya perasaan halus dan lembut, asal tidak disikapi dengan senjata “kultur pintu depan” yang belum tentu bijak. Umumnya etnis Minang, Bugis, Batak, dan banyak lain lebih memilih “kultur pintu depan,” dibandingkan dengan etnis Jawa plus kulturnya yang sangat tua, piawai, dan kaya, tetapi belum tentu mudah dipahami oleh pendukung subkultur lain.

Dua tokoh ini sebenarnya saling melengkapi dengan kepribadian khasnya yang kontras masing-masing. Jika berpidato, Bung Karno, salah seorang orator terbesar abad ke-20, akan mampu menghipnotis massa selama berjam-jam, sekalipun menahan lapar. Sebaliknya Bung Hatta akan menyebabkan orang mengantuk jika berpidato terlalu panjang, karena disampaikan secara datar, dingin, sekalipun sangat teratur dan bernas. Kedua tokoh ini adalah pembaca dan kutu buku yang dahsyat. Keduanya sudah sama-sama melalap hasil peradaban Barat modern, termasuk di dalamnya Marxisme, sosialisme, dan kapitalisme. Mungkin dalam filsafat Yunani kuno, Bung Hatta lebih mendalam.

Bangsa ini patut bersyukur karena kedua tokoh itu mewariskan karya tulis yang berjibun. Tetapi, siapakah di antara kita sekarang yang masih mau membaca warisan berharga mereka itu? Menyikapi kejahatan kapitalisme dan imperilisme, keduanya berada dalam satu biduk, hampir tidak ada perbedaan. Tetapi, sikap terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), antara Bung Karno dan Bung Hatta berlawanan seperti siang dan malam. Bung Karno yakin bisa menjinakkan PKI. Bagi Bung Hatta, PKI tidak bisa dijinakkan, karena kesetiaannya kepada Uni Soviet atau kemudian kepada Cina Komunis melebihi kesetiaannya kepada nasionalisme Indonesia, kecuali komunisme Tan Malaka yang nasionalistik.

Bung Karno sejak 1950-an, mungkin dengan maksud baik, berupaya untuk memegang tampuk kekuasaan secara penuh, demi mencapai tujuan revolusi kemerdekaan. Maka, melalui Dekrit 5 Juli 1959, dengan dukungan Angkatan Darat mimpi itu telah diraihnya.

Setelah bertahan selama enam tahun dalam format sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966), tanpa didampingi Bung Hatta, kekuasaan Bung Karno berakhir dengan cara dramatis dan pedih, digantikan oleh rezim militer di bawah kendali Jenderal Soeharto (1966-1998) yang berkuasa selama 32 tahun dengan Demokrasi Pancasila yang minus demokrasi itu, tidak banyak berbeda dengan sistem politik yang digantikannya.

Mencermati hubungan Bung Karno dan Bung Hatta yang pernah bersatu untuk kemudian terbelah secara politik, banyak pelajaran berharga yang dapat diambil di sana. Untuk ke depan, di saat kedaulatan kita yang kini nyaris tergadai, saya mengimbau semua pihak, terutama tokoh-tokoh partai, agar mau mengendalikan egoisme politik kekuasaannya dan tancap gas untuk berlatih menjadi negarawan, demi kepentingan bangsa dan negara yang kini sedang oleng.

Kultur politik yang sangat kumuh sekarang ini, jika tidak segera dibersihkan oleh nalar sehat dengan penuh keberanian, tidak mustahil bangsa ini sedang menggali kuburan masa depannya. Kita semua wajib membendungnya. Indonesia tidak boleh tenggelam di tangan anak-anaknya yang serbatuna. Sikap tegas Bung Karno dan Bung Hatta terhadap imperialisme dan kapitalisme perlu diwarisi, sedangkan perpecahan antara keduanya harus disesali, jangan ditiru, dan harus dikubur untuk selama-lamanya. Sikap saling menyapa antarsubkultur sebagai bagian dari proses dinamis konsep nation and character buildingperlu semakin dipercepat dan diintensifkan, sehingga tercipta sebuah kebudayaan nasional yang agung dan anggun, dipatri oleh unsur-unsur subkultur yang kaya untuk saling menguatkan.


No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK