Tuesday, October 29, 2013

Perubahan Struktural Tanpa Karl Marx

Oleh : Abdurrahman Wahid

Selama ini apa yang dinamakan perubahan struktural seolah-olah sudah menjadi monopoli kaum marxis. Maka menjadi ramailah suasana sebuah seminar, yang notabene diselenggarakan oleh sebuah lembaga pemerintah di tingkat Nasional, ketika ada paper yang menuntut keharusan perubahan struktural dalam kehidupan bangsa kita. Apa kuping tidak salah dengar dan mata tidak salah baca?

Ternyata tidak, memang kata structural itu sendiri berulang kali muncul. Apakah seminar sudah kesusupan eks-PKI? Juga tidak, karena yang membawakan paper adalah agamawan yang jelas tidak komunistis dalam pandangan hidup. Terlebih-lebih, mereka tidak pernah mengakui kebenaran ajaran Marx.

Ternyata di balik pernyataan itu ada sebuah proses penalaran. Masalahnya begini: Marx harus diikuti analisanya terhadap keadaan, tetapi jangan begitu saja diikuti dalam kesimpulan. Dengan kata lain, Marxisme haruslah dipahami sebagai kenyataan sejarah, tetapi belum tentu memiliki kebenaran transcendental. Kita sendiri harus berani melakukan kritik atas Marxisme, jika tidak ingin dijajah olehnya.

Dalam prose situ, kita semua akan dewasa. Betapa tidak, kalau dengan pemahaman analisa Marx kita akan mampu memahami hakikat keadaan yang berkembang? Lalu, dengan keberanian melakukan kritik atas cara metode Marx diterapkan (sebuah masalah metodologis), bukankah kita lalu akan mampu mencari pemecahan bagi masalah kita dengan ‘penemuan-penemuan’ yang sesuai dengan kondisi kita sendiri?

Taruhlah kita terima kebenaran asumsi Marx, bahwa perilaku warga masyarakat sangat ditentukan oleh struktrur masyarakat mereka sendiri. Dikenal dengan paham determinisme ekonomis, pendapat Marx ini akhirnya berujung pada perlunya penggulingan sebuah struktur kekuasaan untuk melakukan perbaikan keadaan masyarakat secara mendasar. Cara lain tidak akan membawa pemecahan.

Dirumuskan dengan kata lain, yang dituju adalah transformasi struktur kehidupan masyarakat. Sedangkan struktur hanya dapat ditransformasikan, kalau kekuasaan telah direbut dari tangan pemegang kekuasaan. Ini adalah inti ideology Marxisme-Leninisme, yang dikenal dengan istilah Komunisme.

Pertanyaannya, haruskan selalu demikian caranya? Ternyata tidak. Menurut kaum Sosial Demokrat : perubahan dapat dilakukan melalui cara damai, kekuasaan dapat diraih melalui demokrasi parlementer. Artinya, setiap struktur memiliki kelengkapan untuk melakukan perubahan.

Dalam transformasi model Marx, atau lebih tepat model Marxisme-Leninisme, transformasi dimulai ketika kekuasaan telah direbut. Apa yang terjadi sebelum itu hanyalah persiapan kea rah transformasi, bukan transformasinya sendiri. Dan sesudah kekuasaan terebut, masih diperlukan semacam ‘pengawal revolusi’ untuk menjaga kemurnian transformasi yang dihasilkan agar tidak diselewengkan.

Bagi yang menolak ajaran Marxisme-Leninisme, walaupun menerima analisa sosial-ekonominya, perubahan terjadi justru sebelum kekuasaan ‘berubah kelamin’. Transformasi terjadi dalam sikap dan perilaku masyarakat secara keseluruhan, melalui proses pendidikan berjangka panjang.

Misalnya melalui perjuangan menegakkan keadilan melalui bantuan hukum struktural. Atau melalui kesadaran berperilaku politik yang menjunjung asas kebebasan dan persamaan hak, atau melalui penubuhan dan pengembangan organisasi ekonomi yang benar-benar demokratis di tingkat bawah.

Hanya mengkhayal? Lihat saja kiprah Lembaga Bantuan Hukum. Atau Yayasan Lembaga Konsumen. Juga organisasi-organisasi yang bergerak di pedesaan untuk menyadarkan warganya akan kemampuan penuh mereka sebagai manusia guna perbaikan kualitas hidup mereka. Termasuk juga media massa kita yang berfungsi edukatif. Apalagi kalau diingat adanya pejabat yang jujur dan tulus, yang mencoba menegakkan birokrasi yang memang benar-benar diperlukan bangsa kita, di tengah-tengah kebalauan hidup di kalangan pemerintahan secara keseluruhan.

Semuanya itu structural, karena akan mematangkan pandangan kita tentang apa yang harus dilakukan di tempat masing-masing. Juga akan mengubah keseluruhan watak kehidupan dalam jangka panjang, tanpa memakai Marxisme dalam pemecahan pokok masalah yang dihadapi.

****
Tempo 13 Februari 1982
(ditulis kembali oleh : Fauzan Anwar Sandiah, 10/29/2013)

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK