Friday, October 18, 2013

CATATAN RBK FOR KIDZ BAGIAN 1 ; “Bagaimana Anak-anak menyelesaikan Masalah?.”

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

*Pada intinya catatan ini dibuat hanya untuk mengatakan bahwa apa yang disebut kemerdekaan adalah merasa tidak perlu untuk berkuasa.

Setiap minggu, saya akan menghabiskan sore hari bersama anak-anak. Kami menamakan kegiatan ini dengan sebutan “RBK For Kidz”. Paling sedikit, atau rata-rata ada sekitar 7 anak yang akan hadir. Oleh karena varian umur mereka berbeda secara ekstrim, maka saya putuskan untuk mengajak mereka menemukan sendiri kebahagiaan apa yang dikehendaki mereka setiap minggunya. Pertama-pertama biasanya akan kami habiskan dengan menyantap makanan kecil, seperti buah-buahan. Sesi ini akan menghabiskan paling tidak sepertiga dari pertemuan saya.

Kembali ke menemukan kebahagiaan. Saya merasa upaya advokasi literasi yang menjadi misi utama komunitas kami adalah sebuah proses untuk sama-sama belajar menemukan kebajikan-kebajikan. Mencari optimisme dalam tumpukan jerami kehidupan yang kadang dipandang keras akan kita hancurkan dengan pandangan yang menghasilkan kekuatan positif. Maka, anak-anak yang mengikuti sesi saya pada awalnya tidak mendapatkan apa-apa. Pertemuan pertama saya habiskan untuk bercerita saja. Pertemuan kedua saya habiskan untuk pelajaran sekolah. Saya nampaknya belum menemukan sesuatu yang bisa menginspirasi diri saya dan kami semua pada saat itu.

Pada suatu ketika, saya merasa bingung ketika ada sedikit pertentangan di antara anak-anak. Saat sedang mengajar matematika, sebagian anak minta diajari puisi. Saya sudah sepakat untuk mengikuti kemauan anak-anak, tapi seperti biasa, itu tidak dapat lurus dengan cepat.  Saya melihat seorang anak yang sedang antusias mengerjakan pecahan desimal mengkerutkan dahi karena tidak setuju pada permintaan pelajaran puisi. Nah, saya berusaha untuk tidak mengambil tindakan apa-apa. Saya meminta kepada masing-masing anak untuk mendiskusikan masalah tersebut. Saya katakan kepada mereka, mari kita buat komitmen kecil hari ini—harus ada yang mengalah. Ternyata diskusi tersebut malah berubah menjadi beku. Masing-masing anak kemudian mulai mengkritik saya, kata mereka, saya saja yang memilih. Akhirnya saya minta kubu matematik untuk menyelesaikan pecahan desimal, sembari saya menuliskan puisi di papan tulis. Anak-anak tiba-tiba fokus kembali.

Menurut saya, itu bukan keputusan yang tepat, meskipun dapat meredakan keributan (keramaian) sebentar. Tapi saya cukup senang, mereka ingin aktif mengemukakan pendapat. Apapun itu, saya benar-benar ingin mereka menjadi begitu orisinal. Ya, dengan mengemukakan pendapat biasanya kita akan menemukan makna baru. Saya masih belum memutuskan apakah harus menyela di antara debat anak-anak yang menjurus pada pelecehan verbal atau tidak. Jadi saya menunggu hingga selesai sesi baru kemudian saya menutupnya dengan doa yang isinya kurang lebih tentang penerimaan diri, penghargaan terhadap sesama manusia.


Saya sadar sepenuhnya anak-anak mengajari kita hal-hal yang sederhana tentang betapa pentingnya menjadi diri sendiri. Betapa pentingnya berkutat dengan “ego-halus” dan kemudian mencari sendiri kebaikan. Setelah selesai berdoa, anak-anak menjadi ramai lagi dan mulai mengucapkan salam. Nampaknya pertentangan tadi tidak berbekas sedikit pun. Benar, mereka pulang tanpa membawa kebencian. Ah, saya jadi iri dengan mereka, pasti pulang kembali dalam pelukan alam, dalam pelukan angin, seperti kata seorang pujangga yang saya lupa—Anak Angin.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK