Monday, November 11, 2013

Mantra Si Guru

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Kita akan berbicara mengapa sebuah buku atau karya tulis dapat mengajak pembacanya menjadi demikian terikat. Gagasan dalam sebuah buku memberikan peluang bagi pembaca untuk memutuskan apakah menjadi bagian dari yang memperjuangkan gagasan atau mempertanyakan gagasan dan memilih untuk menciptakan anti-thesis temporer. Tapi sebenarnya yang akan kita kejar adalah bayang seorang guru yang mulai membuat mantra karena membaca buku.

Suatu kali, seorang guru mendapati buku-buku “asing” saat berjalan pulang menuju surau tempat dia juga “nyambi” mengajar. Dalam pertanyaan-pertanyaan dia memutuskan untuk membawa buku-buku tersebut dan tenggelam selama beberapa waktu setelah isya. Apa yang kemudian disadari oleh guru tersebut adalah kenyataan atau realita yang berbeda. Penemuannya menyeretnya kepada kepentingan untuk mulai mempertanyakan strata sosial, dan objek-objek semu dari yang dihasratkan manusia. Dia mulai mempertanyakan apakah kita tidak sedang tertidur?. Apakah kita tidak sedang dalam fase yang begitu miris dan begitu kosongnya nilai-nilai hakiki pada setiap putaran-putaran sejarah?. Si guru mulai meraba-raba tentang muka-dua manusia, sebuah kedustaan yang berangkat dari sistem.

Nampaknya buku-buku tersebut membantu si Guru untuk menata realita yang sebelumnya hanya berupa potongan-potongan gambar tanpa ada interpretasi. Kejadiannya mirip seperti, dua orang yang memperhatikan sebuah lukisan Jojing-nya Delsy Syamsumar. Yang pertama interpretasinya adalah mengenai kumpulan wanita yang berlenggak-lenggok di depan tamu undangan lurah. Atau seperti lazimnya acara-temu di kampung-kampung di mana kepala desa akan menyediakan hiburan-hiburan “wanita dangdut”. Yang kedua akan menganggapnya sebagai realita dari “sesajen” politik bagi tamu. Mana yang benar?. Itu bukan pertanyaan yang memuaskan.

Dalam kasus membaca potongan-potongan gambar realita, ada penemuan baru tentang tatanan realita. Bagi si Guru, dia akhirnya menganggap telah melihat realita yang “sebenarnya”.  Maka si Guru mulai akan menasehati murid-muridnya dengan cara begini, yang dia sebut “mantra”.

“anak-anakku, kalian akan jadi penghamba tanpa membaca
Akan jadi apa kalau tidak kau paham apa-apa?.
Bukan soal uangnya mereka, tapi soal nuranimu kemana?.
Memang kau tidak mau kebebasan?”
Jauhi pengecut-pengecut menjijikkkan, para pencipta neraka dunia
Yang bahkan syaitan pun enggan menerima kawan macam mereka
Kau harus sadarkan duniamu, dan kalau bisa selamatkan”

Dengan agitasi begitu, si Guru mulai bernafas lega dan menimbang dilemma. Apakah cukup?. Si Guru ingat dengan Nasihat untuk Anakku, Karya Motinggo Busye.

“Ya sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji tadi. Dalam buku harian itu aku bisa tulis apa saja yang bisa kutulis…dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap…dengan buku harian…aku merasa jauh lebih merdeka..biarpun kemerdekaan itu kumiliki untuk diriku sendiri saja”.


Si Guru menambahkan mantranya dengan kebajikan-kebajikan yang dia pelajari dari kitab suci, buku-buku dan hasil renungnya siang-malam. Dan suatu kali di tengah kerumunan orang di pasar, tanpa sengaja dia membaca mantra itu lagi di depan muridnya yang sedang menjual ikan di pasar “ba’da shubuh”. Orang-orang melihatnya dengan senyum sinis seakan sebuah optimisme adalah jualan murahan yang tidak laku lagi di kehidupan nyata. Si Guru membalas dengan mengatakan, “sepertinya waktu aku belum tiba”, tapi mantraku semoga saja berhasil. “barangkali warta atau mantra ini masih aneh”.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK