Wednesday, November 20, 2013

Sudahkan Anda Menulis Hari ini?


David Efendi
Aktifis Gerakan Literasi Di Yogyakarta

Banyak orang mempunyai kebiasaan menulis tetapi tentu saja jauh lebih banyak dari populasi bumi ini yang tidak ‘peduli’ dan tidak punya ikatan emosional dan moral dengan kegiatan tulis menulis. Hal ini bias dilihat dari tingkat produktifitas buku di seluruh dunia dibandingkan dengan jumlah manusia. Dari fakta yang kita dapatkan itu kita dapat membuat satu premis kesimpulan bahwa jumlah populasi manusia penduduk bumi bertambah seperti deret ukur (2,6,12,24, dst) sementara karya tulis manusia bertambah hanya sekencang deret hitung (1,2,3,4,dst). Ini satu hal yang memprihatinkan sehingga seorang ilmuwan berkebangsaan Amerika menyebut era diatas tahun 2000 sebagai senjakala ilmu pengetahuan karena minimnya inovasi dan temuan manusia dalam karya pikir dan karya tulis.

Saya akan bercerita lingkungan kerja saya yaitu di sebuah universitas swasta ternama lantaran prestasi akademik berbasis pemerinkat nasional maupun iinternasional menempatkan posisi kampus ini diatas rata-rata kampus swasta lainnya. Sayang, ketika kasaran saya hitung selama satu tahun dari satu jurusan hanya sekitar 2 buku dan 3 artikel dimuat di jurnal ilmiah kampus. Ini jumlah yang sangat sedikit dengan kepadatan dosen antara 20-30 orang. Dari sekian dosen hanya 1% mungkin yang aktif menulis di blog pribadi yang disedikan oleh kampus atau freeblog (tidak berbayar). Salah satu dosen dapat dibilang cukup menonjol mewarnai wacana di media nasional (kompas dan republika).

Menulis bagi akademisi harusnya ditempatkan bukan hanya sebagai tugas formal administrative tetapi jauh melampaui itu bahwa menulis adalah kewajiban sebagai intelektual dimana dimensi dan pengaruh dari karya cipta berupa tulisan itu adalah mampu memperbaiki keadaan—paling tidak menyuarakan kebenaran tentang suatu praktik penindasan baik laten maupun manifest baik simbolik maupun fisik. Inilah sebenarnya didisebut dengan intelektual membumi atau meminjam bahasa Habermas sebagai intelektual organic dan yang disebut lebih awal sebagai intelketual konvensional atau tradisional. Tugas-tugas kemanusiaan yang tidak diperankan itu artinya terjadi apa yang disebut Benda sebagai pengkhianatan intelektual.

Menulis, menurut Pramudya Ananta Tour, adalah tugas nasional dengan demikian karya tulis haruslah dihargai dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga tak boleh ada oknum apalagi rejim kekuasaan yang dibolehkan membakar buku. Jika ini dlakukan maka peradaban suatu bangsa akan mundur berabad-abad ke belakang. “Orang yang membakar buku pada akhirnya akan membakar manusia.”, demikian pesan Heinrich Heine (1821). Dua tahun lalu saya mengikuti sebuah kampanye di Taman ismail marzuki bertajuk jangan bakar buku! Gerakan ini adalah ekpresi penolakan terhadap kepongahan rezim Negara yang senantiasa memata-matai rakyat dengan berbagai operasi senyap terhadap buku-buku tertentu.

Sangat menarik membincang dunia buku di republic ini. Tahun 2003 Persma Balairung UGM menerbitkan jurnal bertajuk industri penerbitan dan minat baca masyarakat Yogyakarta yang menginvestigasi berbagai cerita dunia perbukuan yang selama ini undercover. Dunia penerbitan yang semakin lintang pukang itu juga mempunyai korelasi pada rendahnya daya beli masyarakat walaupun keinginan membaca lebih tinggi. Senada dengan laporan jurnal tersebut, pada tahun 2007 di Yogyakarta terbit buku berjudul DECLARE! Ditulis oleh Adhie yang mengupas tuntas dunia perbukuan dari sudut pandang “orang dalam.” Refleksi ini sangat menggugat lantaran dunia buku di Yogyakarta adalah salah satu ruh dari kebudayaan local di Yogyakarta.

Kesatuan senyawa antara buku dengan budaya Yogyakarta itu sangat terlihat dalam kebudayaan fisik (tangible) seperti banyaknya lembaga pendidikan kemudian Jogyakarta disebut sebagai kota pelajar. Lalu inovasi dalam penyajian pameran buku pun tak terlepas dari upaya mengawinkan tradisi local dengan perbukuan dalam berbagai topic seperti “Jogja itu boekoe”, “gerebek buku”, “sekaten buku,” “Jogja Book Fair”, dan sebagainya.

Kembali ke jalan yang benar tentang pertanyaanan “sudahkah Anda menulis hari ini?” maka kita akan juga mempertanyakan kenapa pertanyaan itu mampir pada pembaca dan saya? Ada beberapa alasan mengapa pertanyaan ini muncul. Pertama, rendahnya karya tulis kita bukan hanya untuk komunitas kita tetapi kontribusi akademisi dari Indonesia dari dunia persilatan ilmu pengetahuan dalam lingkungan internasional. Untuk publikasi jurnal internasional Indonesia jauh kalah disbanding Malaysia, Singapura,, India, dan China. Jika capaian publikasi internasional dan nasional akademisi Indonesia kita kurangi dengan standar plagiasi maka angka kita semakin terpuruk di bawah permukaan tanah. Ini sangat Ironi (irony) walau tidak serta merta menjadi “enemy”.

Kedua, budaya atau tradisi membaca kita sangat rendah sehingga menulis itu lambat laun akan mendorong kita membaca karena menulis tidak akan berkembang tanpa aktifitas membaca tekun dan keras. Membaca dan menulis adalah kembar siam, kata Taufiq Ismail. Menulis adalah aktifitas aktif untuk melakukan refleksi. Artinya, menulis juga akan banyak mencegah frustasi dan stress. Ini tujuan kesehatan psikologi, tetapi jika dikembalikan kepada tujuan peradaban dan pembedaraban tentu saja menulis adalah satu keniscayaan sejarah untuk mengisi dan sekaligus membuktikan bahwa kita adalah manusia berkebudayaan!

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK