Saturday, November 9, 2013

Mistis dalam Kertas dan Manusia

Oleh : Fauzan Anwar Sandiah

Membaca adalah pengalaman mistis. Suatu kali Einstein pernah mengatakan bahwa dia “menahan napas” saat membaca buku People’s Books on Natural Science, karya Aaron Bernstein. Saat Max Talmud membawakan buku tersebut, Einstein berusia sepuluh tahun. Ini adalah pengalaman yang begitu lain dan mistis. Pengalaman yang begitu mempengaruhinya. Hingga Walter Isaacson menulis, "buku karya Bernstein tersebut tampaknya telah memberi pengaruh terhadap Einstein yang kelak menyusun teori relativitas."

Setiap buku adalah makhluk. Kepercayaan ini tampak tidak berlebih-lebihan kalau kita menimbang bahwa buku sebagai eksistensi yang mempesona itu disebabkan oleh adanya pengaruh, gugatan, dan candu dalam buku. Kita tidak tahu bahwa buku lahir untuk membuktikan bahwa kata-kata, konsep selalu menjadi indikator dari peradaban.

Tempo dulu, kemampuan menyusun puisi, atau sajak-sajak bukan pekerjaan sembarang lipat. Kemampuan membaca puisi atau sajak-sajak dan kemudian menafsirkannya adalah kemampuan yang begitu diidamkan. Maka, tidak heran pendengar akan berebut ke keramaian pasar di daerah gurun pasir timur tengah dulu hanya untuk menunggu dibacakannya sebuah puisi atau sajak. Atau saat pencatat hikmah kehidupan Yunani dulu berpidato di sekumpulan pemuda-pemudi Athena yang mengharapkan oase untuk perbaikan kualitas hidup.

Sekarang rasa-rasanya, pekerjaan tidak butuh lagi keagungan membaca, menulis dan berpikir, asal bisa tercapai kegunaan dan fungsi.

Saat Pram didatangi oleh sekelompok oknum tentara di rumahnya, permintaan Pram Cuma satu “kalian boleh membawa semuanya, tapi saya mohon jangan ada kertas yang dirusak. Jika Negara membutuhkan ambillah, tapi jangan rusak satupun”.

Bagi seseorang yang memahami pentingnya membaca dan menulis, kertas adalah karya Tuhan yang memikat. Dalam kesederhanaan yang memikat, kertas melakukan pekerjaannya sebagai media tinta kehidupan pengarang. Maka kertas adalah media penghubung pengalaman empiris dan kacamata perspektif pengarang terhadap realita. Sungguh menakjubkan.

Pengarang diajak setia untuk terus menggores tinta, tidak untuk memastikan pemikiran, tapi juga dengan imperatif berkata pada diri “ini belum selesai”. Pengarang meletakkan sebuah kebajikan subjektif melalui kata-kata dan sambil bertanya-tanya. Akhirnya pembaca akan sadar bahwa ada proses metafisik yang terjadi antara kertas dan manusia. Sebuah proses yang tidak akan selesai andaikata pohon-pohon ditebang untuk membikin kertas dan lautan berubah jadi tinta.

No comments:

Post a Comment

Tulisan Terbaru

Populer

Hamka For RBK

Hamka For RBK

Sjahrir For RBK

Sjahrir For RBK